Master Series - Chapter 1
Pada suatu waktu dalam hidupku ketika aku jadi terlalu malas untuk menghitung umurku, Adik Seperguruanku yang terakhir meninggal.
Setelah aku mengantar arwahnya pergi, aku memutar kelaku dan melihat barisan murid-muridnya berbaris di depan kuil Sekte Kong Ling. Total mereka memenuhi sembilan ribu tangga, meski sudah cukup banyak dari murid aslinya yang juga sudah meninggal. Di antara orang-orang ini, sembilan dari sepuluh sudah memanggilku sebagai Leluhur Agung.
Setelah dipanggil seperti itu, kuputuskan pada saat itu juga untuk menerima seorang murid untuk menyelamatkan hatiku yang menua.
Karenanya, aku menerima murid pertamaku.
Pada saat itu, demi tugas menerima seorang murid, para anggota sekteku yang lebih muda menjadi sangat sibuk. Mereka memberiku tiga puluh ribu potret, membiarkanku memilih yang terbaik di antara mereka, untuk diangkat menjadi xian di atara manusia, demi membawa kejayaan dan keagungan bagi sekte.
Namun tak seorang pun, termasuk aku, yang bisa menerka bahwa aku akan menemukan murid pertamaku di dalam sebuah lubang monster.
Dia sudah akan dimangsa oleh monster burung besar yang telah menyeretnya ke dalam lubang itu dan pada saat itu secara kebetulan aku ingin makan telur monster. Kumasukkan tanganku ke dalam lubang, tak berhasil mendapatkan telur, tapi malah berhasil meraih kaki anak itu sebagai gantinya.
Aku menyeretnya keluar dan dengan sekali lihat mengenali dia sebagai seorang anak cerdas yang memiliki semangat menakjubkan.
Dengan satu serangan aku membunuh monster burung besar yang memekik di sebelah kami itu, membawa bocah kecil tersebut ke bawah sebuah pohon dan, bahkan tanpa menanyakan namanya, berkata:
“Apa kau mau jadi muridku?”
Dengan takut-takut, pertama-tama dia menatap mayat monster burung tadi dan kemudian memandangiku:
“Murid itu apa?”
Karena aku tak pernah punya murid sebelumnya, aku juga tak tahu apa arti sebenarnya dari kata tersebut, tapi pada saat seperti ini, mengakali bocah ini adalah hal yang paling penting. Jadi, aku menjawab:
“Seorang murid adalah pusaka kecil yang akan kuberi makan, kuberi pakaian, dan kugenggam dalam telapak tanganku untuk kumanjakan.”
“Beri makan?”
“En, segala macam makanan yang lezat.”
“Pakaian?”
“En, pakaian terbaik dari sutra dan satin.”
“Pusaka kecil….”
“En, en, pusaka kecil tersayang.” Kuulurkan tanganku untuk menepuk bersih debu dan kotoran di wajahnya.
Dia menatapku dengan mata besar dan sepasang pupil obsidiannya yang berkilauan. Semua itu sungguh membuat hatiku sakit. Seorang anak yang begitu kecil, kurus dan sedih nyaris dimakan oleh monster itu dan tak seorang pun yang datang untuk menyelamatkannya.
Kugenggam tangan mungilnya, berjongkok, dan menatapnya tepat di mata:
“Jadilah muridku dan aku takkan membiarkan manusia ataupun monster manapun menindasmu lagi. Aku akan melindungimu seumur hidup.”
Dia menatapku dan mengiyakan.
Dengan penuh semangat aku membawanya pulang ke Sekte Kong Ling, menganugerahinya nama ‘Qian Gu’.
Menyimbolkan harapanku kepadanya untuk mempelajari dan meneruskan warisanku, demi meninggalkan tanda untuk generasi mendatang dan supaya namanya bisa dikenang selama-lamanya.
***
Muridku tak mengecewakan harapanku.
Dia sungguh membuat namanya menggema di Langit dan di Bumi. Tetapi dia juga melakukan kesalahan memalukan, terbenam dalam jalan iblis dan membuat namanya diturunkan dalam sejarah sebagai pameo atas keburukan.
Bila aku sekarang memikirkan tentang itu, Qian Gu sebenarnya adalah murid yang paling bisa diandalkan di antara ketiga muridku.
Dia memiliki karakter yang kokoh, menangani hal-hal dengan tegas dan praktis. Dia juga tahu cara untuk menyembunyikan kemampuan dan mengulur waktu.
Satu-satunya kelemahan Qian Gu adalah….
Menyukaiku.
Hal ini memang membuat orang memukuli dada dan mengentakkan kaki, ini adalah kekurangan yang membuatku benci karena tak mampu menusuk diriku sendiri sampai mati.
Tapi sebenarnya, aku juga harus disalahkan.
Tahun itu saat aku membawa Qian Gu pulang bersamaku, aku sudah berada pada usia tua, delapan ratus tahun. Qian Gu, di sisi lain, baru berumur delapan tahun.
Dengan penampilan seorang wanita berusia dua puluh tahun, aku sudah hidup selama delapan abad dan meski aku memiliki pemikiran terbuka, aku gagal menyadari mentalitas rumit Qian Gu yang tumbuh dewasa.
Dia sangat cerdas dan pada usia dua puluh lima berhasil melatih tubuh abadinya. Sejak saat itu, penampilannya tak pernah berubah.
Setelahnya dia mempelajari seni perubahan wujud, tetapi dia tak pernah mengubah penampilan usianya sedikit pun.
Selalu tinggal di sisiku dengan memasang wajah yang terlihat sedikit lebih tua dariku, sementara pada kenyataannya lebih dari tujuh ratus tahun lebih muda daripada aku.
Tapi aku tak keberatan, karena pemikiranku sangat terbuka.
Aku tinggal di puncak Gunung Kong Ling dan pada umumnya, tak seorang pun yang pernah datang untuk menggangguku. Di antara para anggota sekte, tentu saja, tak satu pun yang keberatan.
Hanya setelah masalah terjadi barulah aku menyadari, orang ini sungguh telah menyembunyikan pemikirannya dengan sangat mendalam.
Bila saja pada hari itu aku tidak minum arak terlalu banyak – terkantuk-kantuk di sebelah kolam arak – dan Qian Gu tidak datang untuk menciumku, tidak secara sentimental membisikkan “Guru” di samping telingaku lagi dan lagi….
Takutnya bahkan hingga saat ini aku takkan pernah menyadari perasaannya.
Barulah setelahnya aku jadi sadar bahwa pada hari itu Qian Gu telah dibius oleh seorang wanita sesama anggota sekte, yang telah mengagumi dirinya dalam waktu lama.
Dia terburu-buru pulang untuk membersihkan dirinya dari racun itu, hanya untuk menemukan diriku terbaring mabuk di samping kolam arak.
Tak mampu lagi menahan diri dari perasaan yang telah disimpannya selama sepuluh tahun, dia menghampiriku dan menciumku.
Pada saat itu, aku sedang terkantuk-kantuk, tetapi masih sangat waspada dengan sekelilingku dan kecupan ini serta merta menghapus bersih sisa alkohol dalam tubuhku.
Untung saja, dia tak melakukan hal lain yang di luar batas dan aku, dengan mempertimbangkan hubungan guru dan murid kami, tak membongkar kedoknya pada saat itu di tempat itu.
Alih-alih, aku terus berpura-pura tidur.
Pada akhirnya Qian Gu memakai kekuatan kemauannya untuk menekan dorongan perasaannya dan pergi.
Barulah kemudian aku membuka mataku, menatap langit luas penuh bintang-bintang di puncak Gunung Kong Ling, dan menekuri diri sendiri.
Aku sebenarnya adalah seorang guru yang sangat kradisional, masih tak cukup berpikiran terbuka untuk menerima situasi seperti ini.
Mengikuti aturan sekte, bila sesuatu yang seperti ini terjadi, aku harus memusnahkan hasil pelatihan murid itu dan mengusirnya pergi – menghukumnya atas perilaku yang memalukan ini.
Tetapi Qian Gu adalah satu-satunya muridku, dia juga adalah seorang anak yang telah kubesarkan sendiri dan kulindungi selama bertahun-tahun.
Bila ada yang menindas dia, aku selalu akan muncul dan berdiri di sisinya. Jadi bagaimana mungkin aku sanggup memusnahkan hasil pelatihannya?
Setelah menimbang-nimbang selama semalam, aku menyadari kalau aku pasti telah membuat kesalahan selama masa pendidikannya. Sekarang kesalahan ini sudah mengakar dan memakai kekerasan mungkin takkan bisa memperbaikinya.
Aku hanya bisa memakai cara lain.
Jadi aku pergi mengurung diri dan mengingatkan Qian Gu supaya tak membiarkan siapapun menggangguku bila tak ada masalah yang mengancam nyawa.
Maka, aku pun menghindarinya selama lima tahun.
***
Setelah keluar dari tempat mengurung diri dan melihat Qian Gu untuk pertama kalinya, aku menyadari kalau aku sudah rindu ingin bertemu dengannya.
Dia, tentu saja, merindukanku lebih besar lagi. wajahnya yang biasa tenang dan serius menampakkan seulas senyum samar, memberi orang perasaan nyaman.
Dengan ekspresi taat, menyerupai seekor anjing besar yang menanti untuk dipuji, dia berkata:
“Guru, lima tahun ini aku telah merawat Puncak Kong Ling dengan rajin.”
Ya, kau telah mengurusnya dengan baik.
“Guru, setiap hari aku telah belajar keras untuk mengembangkan pelatihanku. Tak berani bermalas-malasan sesaatpun.”
Aku bisa melihatnya, kemajuannya memang cukup banyak.
“Guru….” Dia menundukkan kepalanya, menahan seulas senyum samar.
“Aku selalu menunggumu, berharap Guru bisa keluar dari tempat pengasingan lebih awal.”
Aku terdiam.
Dia tak mengeluh saat aku pergi ke tempat pengasingan, tak merasa disalahi saat aku mengabaikannya selama lima tahun. Dalam diam, dia mengurus semuanya, menungguku sedikit memujinya setelah bertemu kembali dengannya. Sama seperti bagaimana dia mendambakan aku memberinya permen sebagai hadiah karena telah melatih ilmunya saat dia masih kecil.
Dia tak menginginkan banyak, dia jelas-jelas tahu bahwa perasaan yang dia miliki itu tidak diperbolehkan. Jadi, dia menutupi semua perasaan itu dan hanya secara samar menunjukkan harapannya untuk dipuji.
Tetapi bila aku memenuhi harapannya, sulit untuk mengatakan bahwa dia akan berhenti mengembangkan harapan yang lebih besar.
Jadi, aku menahan diriku dan tidak memujinya.
Qian Gu menjadi diam.
Aku bisa melihat bahwa dia merasa terluka oleh pe sikap acuh tak acuhku, tapi sesaat kemudian dia kembali menjadi dirinya yang lama.
Pada hari-hari berikutnya terkadang aku akan melihat sorot matanya diam-diam terarah pada tubuhku. Lima tahun tak saling bertemu, sepertinya tak ada yang berubah.
Dia lebih berkeras daripada yang kukira.
jadi, aku mengubah caraku.
Aku menerima murid keduaku.
Dia, seperti Qian Gu, memiliki bakat alami untuk melatih diri, tetapi pada saat itu dia sudah berusia delapan belas tahun. Dia sama sekali telah melewatkan tahun-tahun terbaik untuk pelatihan.
Jadi, tanpa mempertimbangkan pendapat Qian Gu, aku memberikan kepada murid keduaku hasil pertapaanku sendiri sebanyak seratus tahun. Karenanya, mengisi celahnya dalam pelatihan.
Sama seperti waktu itu ketika aku menerima Qian Gu, aku juga menerima kowtow dari murid baruku di puncak Gunung Kong Ling.
Di sana aku menganugerahi dia sebuah pedang dewa dan memberi dia nama ‘Qian Zhi’.
Aku tak lagi menginginkan muridku meninggalkan tanda bagi generasi yang akan datang. Aku hanya ingin dia mengenal akal sehat dan perilaku yang sepantasnya, mengetahui sopan santun dan integritas moral, mengetahui kapan harus maju dan kapan harus berhenti.
Selama upacara penerimaan Qian Zhi, aku tak menatap Qian Gu bahkan sekali pun.
Tapi aku tahu bahwa dia berdiri di belakangku, dalam diam.
Qian Zhi adalah kebalikan dari Qian Gu; karakternya flamboyant, dia suka bertingkah dan tak suka berdiam diri.
Setelah Qian Zhi masuk, Qian Gu jadi lebih pendiam lagi. Percakapa di antara mereka berdua serongkali hanya terdiri dari ocehan Qian Zhi.
“Kakak Seperguruan Pertama, apakah ada sihir yang telah diterapkan pada wajahmu dan itulah sebabnya kau tak bisa menggerakkannya lagi? Dalam sepuluh tahun ini aku tak pernah melihatmu tersenyum.”
“Kakak Seperguruan Pertama, bagaimana perasaanmu saat kau dipanggil sebagai Kakek Paman Seperguruan saat kau turun gunung? Tidakkah kau merasa agak sombong? Apa menurutmu aku akan dipukul kalau aku sedikit pamer?”
“Kakak Seperguruan Pertama, kalau aku dipukul karena sembarangan bicara, apakah kau dan Guru akan datang menolongku?”
Di dalam kamarku aku tertawa setelah mendengarkan pertanyaan-pertanyaannya. Tapi mendadak, terdengar suara teriakan:
“Kakak Seperguruan Pertama! Kakak Seperguruan Pertama! Aku takkan bicara sembarangan! Jangan pukul…. Aiyo!”
Setelah Qian Zhi datang kemari, Qian Gu beanr-benar suka memukulinya; dia tak berlatih dengan baik – akan dipukul, mengatakan sesuatu yang menjengkelkan – akan dipukul, melakukan hal-hal dengan terlalu lamabt – juga akan dipukul.
Meski Qian Gu selalu bisa menemukan alasan bagus untuk memukul Qian Zhi, tetapi kukira dia memendam suatu dendam pribadi. Terkadang dia akan menangani Qian Zhi dengan tenaga begitu besar hingga bahkan pintuku sampai berguncang.
Mungkin, setelah menerima QIan Gu aku tak memukulnya cukup banyak, karenanya membuat dia mengembangkan perasaan-perasaan salahnya itu.
Jadi, Qian Zhi dipukuli saat ini mungkin adalah hal bagus.
Mulanya kukira menerima murid yang begitu ramai seperti itu akan menceriakan suasana dan mengembalikan hubungan Guru – Murid menjadi normal.
Tetapi aku tak pernah menyangka kalau Qian Zhi akan membuatku bahkan lebih cemas lagi daripada Kakak Seperguruan Pertamanya….
Qian Zhi, selama pelatihannya, sangat tidak sabaran. Dia paling suka turun gunung setelah berlatih dan memamerkannya di depan anggota sesama sektenya.
Dia hanya suka sedikit membual, sifat alaminya tidak jahat. Sifatnya yang kadang dangkal itu bahkan akan membuatnya jadi lebih termotivasi selama pertapaannya dan itulah sebabnya aku tak berusaha menghentikan ataupun mengubahnya.
Tapi siapa yang tahu kalau dia akan berani memakai ilmunya yang hanya dua puluh tahun itu untuk turun dari Gunung Kong Ling dan memancing roh-roh jahat serta monster yang terkurung di dalam kolam iblis?
Kolam iblis itu adalah kolam air hitam yang dalam; yang terkunci di dalamnya adalah para iblis yang telah ditangkap oleh para anggota sekte pada ekspedisi mereka. Para monster itu telah menyimpan dendam karena dikurung dan karena Qian Zhi mengantarkan dirinya snediri ke pintu masuk mereka, tentu saja dia akan diseret ke dalam kolam oleh mereka.
DIa berakhir seperti ini, meski teman-teman sesama anggota sektenya memainkan peranan dalam menghasut dirinya, tapi kesalah terbesar berada pada arogansinya sendiri.
Setelah menerima dia sebagai murid, aku tak berusaha mengendalikan temperamennya dan membiarkan dia menjadi sombong.
Bila dibicarakan, ini juga merupakan kesalahanku.
Sebagai Gurunya, tentu saja aku tak bisa menghindar dari tanggungjawab untuk menyelamatkannya.
Tetapi juga ada masalah ini, yang mendorong Kakak Seperguruan Pertamanya yang pada akhirnya telah meluruskan kondisi benaknya….
Secara menyeluruh masuk ke jalan menuju kehancuran….