Master Series - Chapter 1
Memandangi anak muda yang secantik bunga, yang muncul entah dari mana, dengan bersungguh-sungguh aku menolaknya, “Aku tak menerima murid.”
Dia mendongakkan kepalanya dan juga menjawab jujur, “Tidak apa-apa kalau Anda tak menerima murid, Anda bisa menerima saya.”
Mungkin itu karena aku terlalu tua dan tak mampu mengimbangi jalan pikiran anak muda, tetapi selama sesaat aku merasa kehabisan napas. “Anak muda, aku sudah berlatih selama puluhan ribu tahun, terlalu tua untuk bermain dengan semua akal bulusmu.”
“Tidak masalah,” dia sangat pengertian, “saya bisa menjadi orang yang memainkan semua akal bulus itu.”
“….”
Aku tak mampu mengalahkan kata-katanya, tetapi aku tetap mengusir dia keluar dari halaman. Dia berdiri di luar halaman, matanya yang mengibakan terpaku padaku, menampakkan jejak terluka. Menatap dia membuatku gugup. Betapa aku berharap bisa melemparkan setan kecil ini dari Pegunungan Kabut dengan dua tamparan!
Tetapi aku adalah manusia abadi yang punya akal sehat, dia tak melewati batasan apapun dan di Pegunungan Kabut, selain rumahku, tak ada hal lain yang merupakan kepunyaanku. Mengusir dia pergi akan menjadi tidak beralasan. Karenanya, aku memilih untuk menutup pintu, meninggalkan dia untuk melakukan semacam refleksi diri sementara masih tampak terluka.
Aku kembali ke dalam rumah untuk tidur dan idur selama tiga hari penuh. Saat aku bangun, kukira anak muda itu pasti sudah pergi. Tetapi begitu aku membuka pintu, aku langsung menghirup udara dingin.
Dia sedang bersandar di ambang pintu dan ketika aku membuka pintu, dia pun berbalik untuk menatapku dan kulihat suatu kilauan berkelebat di pupil matanya.
“Anda sudah bangun,” dia tersenyum, “apa Anda akan keluar?”
Seperti kata pepatah, tidak ada yang mengulurkan tangan untuk menampar orang yang sedang tersenyum…. Pepatah ini sungguh telah menyelamatkan dia….
Aku mengabaikan dia dan berbalik untuk turun gunung. Dia juga tak mengatakan hal lainnya selain tanpa suara memilih mengikuti di belakangku.
Di bawah Pengunungan Kabut, ada sebuah danau di mana aku telah meninggalkan sebuah tongkat pancing sehingga aku bisa memancing kapan pun aku merasa bosan. Saat aku duduk, anak muda itu tak bergerak melainkan berdiri di samping selama sesaat sebelum berpaling menuju ke hutan.
Aku mengira kalau dia merasa bahwa aku membosankan dan akhirnya memutuskan untuk pergi. Namun, dia kembali lagi setelah beberapa saat, setelah mematahkan sebatang bambu yang lentur. Dia mencabut sehelai rumput yang panjang dan duduk beberapa meter jauhnya dariku sebelum mulai memancing.
Beberapa saat kemudian, matahari keluar dan angin sepoi bertiup. pada tanah di dekat kakiku, ada suara berketepuk terus-menerus yang membuatku amat gugup….
Sementara itu, di sebelahku, ada suara seekor ikan lainnya yang tertangkap.
Tetapi satu riapk pun tak ada di pihakku. Ini tidak adil! Aku berpaling padanya dan terbatuk dua ali. “Apa kau itu cacing tanah? Kau bahkan tak memakai umpan apapun… sebenarnya apa yang kau pakai untuk menangkap ikan?”
Dia memandangi kolam dan menjawab kalem, “Wajahku.”
“….”
Betapa tak tahu malunya….
Dia terdiam selama sesaat, kemudian, seakan dia telah memikirkan sebuah ide bagus, menoleh dan melontarkan seulas senyum kepadaku, “Kalau aku memancingmu, apa kau akan mengambil umpannya?”
Aku menjadi kaku seakan tersambar petir. Meski aku mungkin terlihat seperti seorang gadis muda berusia dua puluhan, tetapi aku telah melewati banyak cobaan dan mengalami banyak kejadian di dunia dalam kurun waktu ribuan tahun…. Bocah ini sungguh berani bersikap seenaknya denganku!
Serta merta aku punya sebuah perasaan absurd tentang menjadi seorang nenek delapan puluh tahun yang dilecehkan oleh seorang bocah delapan belas tahun….
Aku berdeham dan meraasa bahwa pada usia ini, tak seharusnya aku bertengkar dengan anak-anak. Karena aku tak berhasil menangkap seekor ikan pun hari ini, aku pun menyimpan tongkatku dan mulai berjalan pulang. Siapa yang tahu bahwa ketika pemuda itu melihatku pergi, dia juga akan menyimpan tongkatnya dan setelah mengumpulkan ikan yang dia tnagkap, mengikuti di belakangku.
Saat kami sampai di halaman, pemuda itu dengan sangat alamiah membuka mulutnya untuk bertanya, “Apa kau ingin ikannya dikukus atau ditumis?”
Aku mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh selama sesaat sebelum menjawab, “Dikukus, rasanya lebih segar.”
“Baiklah.”
Setelah dia menjawab, tiba-tiba aku merasa bahwa ada sesuatu yang salah tapi sebelum aku bisa mengucapkan kata-kata lain, dia telah mengambil ikannya dan memasuki rumahku. Aku mengikuti dia masuk dan melihat bahwa dia tangkas dan santai ketika menyiapkan api serta ikan dan berkesimpulan bahwa dia seorang ahli.
Aku terus menjilati bibirku hingga ikan kukusnya disajikan di atas meja dan tak berani mengucapkan sepatah kata pun tentang mengusirnya keluar karena ikan itu ditangkap olehnya, makanannya dimasak olehnya… aku tak bisa membunuh ayam setelah mengambil ikannya….
Bagaimanapun juga, aku tetap manusia abadi yang bermoral.
Pemuda itu juga tidak sopan dan mengambil mangkuknya sendiri sebelum duduk di seberangku. Aku berkonsentrasi untuk makan dan tak mengangkat kepalaku. Di sisi lain, pemuda itu sudah makan kira-kira setengah mangkuk sebelum meletakkan sumpitnya untuk menatapku, “Kamu cantik sekali.”
Aku tersedak tulang ikan.
setelah terbatuk keras-keras selama sesaat dan menyelamatkan nyawa tuaku, aku berpaling padanya, tampak seperti baru saja makan kotoran. Tetapi dia sudah mengubah topiknya.
“Kenapa kamu tak menerima murid?”
Sebenarnya, dia telah menanyakan sebuah pertanyaan yang bagus. Kenapa aku tak menerima murid?
Karena aku takut.
Takut mengambil risiko lagi.