A Love So Beautiful - Special 13.4
- Home
- A Love So Beautiful
- Special 13.4 - Kisah Setelah Menikah – Menjadi Ayah dan Ibu [4]
Jiang Ke Kecil baru saja belajar merangkak, saat Chen Xiaoxi memutuskan untuk mengirimnya belajar piano saat anak itu tumbuh sedikit lebih besar. Saat Jiang Chen masih kecil, dia dipaksa belajar piano dan mendapati kalau hal itu luar biasa menyakitkan. Begitu menyakitkan dari tahun ke tahun, ditambah lagi pada tiap Tahun Baru Imlek dirinya ditarik keluar oleh orangtuanya untuk bermain, jadi dia merasa bahwa sudah cukup bagi putrinya untuk sekedar memainkannya saja dengan santai untuk bersenang-senang saat anak itu bertumbuh.
Sungguh langka bahwa Chen Xiaoxi begitu bertekad. Dia bahkan mulai menabung uang untuk membeli piano.
Jiang Chen mengekspresikan, sebelum kau menabung uang untuk beli piano, tidakkah kau seharusnya mempertimbangkan apakah rumah kita cocok untuk piano? Chen Xiaoxi mengekspresikan, kau kosongkan saja tempat di ruang belajarmu untuk pianonya!
Mulanya ini hanya diskusi, namun pada suatu hari Jiang Chen pulang untuk mendapati bahwa Chen Xiaoxi sedang memegangi pita ukur saat dia menggerakkan tangan ke sini dan ke sana di dalam ruang belajar, dan kedua meja mereka telah dipindahkan ke pintu.
Jiang Chen berusaha berdebat dengannya. Contohnya saja, Jiang Ke belum tentu tertarik pada piano. Contohnya saja, Jiang Ke masih kecil, tak perlu begitu gelisah. Contohnya saja, jemari Jiang Ke begitu pendek…. Namun Chen Xiaoxi begitu bersikeras tentang membeli piano!
Lalu tentang mengapa Chen Xiaoxi begitu bersikeras untuk membeli piano demi putrinya, hal itu kembali pada hubungan cinta dan benci antara dirinya dengan Li Wei. Sebenarnya, tidak ada hubungan cinta dan benci apa pun untuk dibicarakan, itu hanyalah kebencian yang dia rasakan terhadap putri-putri orang lain pada saat dia tumbuh dewasa.
Dahulu, saat mereka baru saja memulai sekolah dasar, Chen Xiaoxi akan melihat Li Wei dengan sekepala rambut panjang lurus duduk di depan piano, jemari rampingnya bagaikan terbang, mengikuti gerakan berayun dari tubuhnya. Rambutnya membentuk garis-garis elegan di udara. Chen Xiaoxi menyentuh rambut pendeknya sendiri yang sampai ke bahunya, dan memikirkan tentang apa yang ibunya katakan, “Belajar alat musik, terlalu mahal! Menumbuhkan rambut panjang, merepotkan, buang-buang air, dan boros shampoo!” Dahulu, Chen Xiaoxi belum tahu seperti apa rasanya menyukai seseorang, namun dia sudah mulai belajar bagaimana cara membenci seseorang, dan hal itu adalah karena rasa iri.
Impian alat musiknya pun dimulai sejak saat itu. Dia akan membentangkan karet gelang yang terikat di antara dua sumpit, kemudian memancangkan sumpit-sumpit itu pada papan kayu, dan meniru apa yang orang-orang di televisi lakukan, mencuatkan jemarinya membentuk ‘jari anggrek’ untuk bermain ‘guzheng’. Kemudian, dia juga bermain piano. Dia akan menggambar tuts-tuts piano secara acak pada meja sekolahnya, melabelinya ‘1,2,3,4,5,6,7’, dan bermain, kepala kecilnya bergoyang dan berayun. Belakangan kemampuan menggambarnya menjadi hebat, dia akan menggambar tuts-tuts piano sesuai dengan piano di ruang musik pada buku gambarnya, dan bahkan hingga SMU, ketika dia sedang tak ada hal yang dikerjakan, dia masih akan memainkannya untuk bersenang-senang.
(T/N: jari anggrek – sebuah gestur tanan yang mengindikasikan keanggunan di mana orang menekankan ibu jari dan jari tengah lalu menjulurkan sisanya, sering tampak di tarian tradisional Tiongkok kuno, opera, dan semacamnya).
Setelah Jiang Chen mendengarkan kisahnya, barulah kemudian pria itu tiba-tiba mendapat pencerahan. Ketika mereka masih kecil, dia sering melihat saat dirinya melongok lewat jendela, Chen Xiaoxi duduk tegak di depan mejanya, dengan kedua tangannya, yang satu naik dan satunya lagi turun, kepalanya bergoyang ke depan dan ke belakang, mulutnya tampak menggumamkan sesuatu. Selama sesaat Jiang Chen bahkan merasakan hawa dingin merayap di punggungnya. Orang ini tak mungkin sedang melakukan suatu sihir guna-guna aneh padanya, kan?
Belakangan, Chen Xiaoxi tidak berakhir dengan membeli pianonya, karena dia teringat bahwa rumah Jiang Chen memiliki sebuah piano yang dipakai pria itu saat masih kecil, dan Jiang Chen bisa mewariskannya pda putrinya. Mari kita tak usah menyebut-nyebut kisah memilukan tentang bagaimana si kecil Jiang Ke kemudian berakhir mewarnai tuts-tuts piano itu dengan warna pelangi. Bagaimanapun juga, memaksa orang lain melengkapi impianmu sendiri memang memiliki risikonya.