A Match Made in Heaven - Chapter 2
Selama beberapa hari berikutnya, hutan-hutan di pegunungan terus berperan sebagai tempat bermalam dadakan untuk Xin Mei setelah pertemuan supernaturalnya berakhir.
Dia pernah mendengar bahwa di suatu tempat di Gunung Wanlan, beberapa bidang tanah telah disisihkan sebagai Huang Ling (T/N: Makam Kekaisaran). Pada beberapa generasi terakhir keluarga kerajaan, ada begitu banyak tubuh keluarga istana yang dikubur, menghasilkan makam-makam yang semakin lama jadi sangat gelap dan menakutkan. Dalam beberapa tahun terakhir, rumor-rumor tentang hantu juga telah bertumbuh. Yang Mulia Kaisar saat ini tak lagi membuat persembahan untuk menjaga agar kuburan keluarga istana tetap murni dan terlindung, dan situs kuburan tersebut telah menjadi tempat berkumpulnya kemalangan yang menarik banyak siluman dan hantu. Siluman burung dan pria aneh itu sepertinya adalah para siluman di kuburan kekaisaran.
Bisa datang melintasi Huang Ling di tengah-tengah Pegunungan Wanlan yang luas dan tak berbatas – dan apalagi sampai menjumpai makhluk supernatural! Bisa dibilang, keberuntungan Xin Mei memang lain daripada yang lain! Perjalanannya tentu saja akan berhasil, dan dia pasti akan bisa membeli seorang suami yang rupawan dan berguna untuk dibawa pulang demi menyenangkan ayahnya.
Perjalanan lewat udara dari Lembah Chongling telah terjadi empat hari yang lalu. Saat mereka melihat burung pelikan raksasa itu terjatuh dari langit, para siswa yang menjaga gerbang Lembah Chongling begitu terperanjat hingga mulut mereka menganga.
Binatang ajaib ini… benar-benar mencolok. Para siswa tak pernah melihat siapa pun yang punya cukup keberanian untuk memakai binatang ajaib sebesar dan sejelek itu.
Xin Mei melompat turun dari punggung Qiuyue, dan mulut para siswa menganga lebih lebar lagi. Sungguh seorang… sungguh seorang gadis yang cantik. Meski pakaiannya polos untuk mengakomodasi perjalanannya, pakaian tersebut tak berhasil menutupi kecantikannya. Sambil tersenyum, gadis itu menghampiri mereka. Pipinya tirus dan sejernih porselen, dengan lesung pipit yang tampak naif dan tanpa kelicikan, serba bebas. Begitu melihat dia tersenyum, rasanya seakan tak ada hal yang menyusahkan di dunia.
Mulanya Xin Mei ingin mendekat untuk memberi salam singkat, dan selagi dirinya ada di sana, juga menyerahkan kekang binatang ajaibnya untuk dijaga. Namun kedua siswa di gerbang terus menatap dirinya dengan wajah-wajah memerah. Dan hei, setelah menatap mereka dengan lebih seksama, dua orang itu sebenarnya tidak jelek!
Xin Mei menatap yang ada di kiri dan kemudian yang ada di kanan, menyimpulkan bahwa yang ada di sebelah kanan sedikit lebih jantan, sedikit lebih tangguh. Dia menyukai pria sejati, dan berkata ‘tidak terima kasih’ kepada pria-pria cantik. Merabai dompetnya, yang berisi cek senilai tiga ribu tael emas untuk tujuan membeli orang, dia berpikir pada dirinya sendiri bahwa yang ini tentunya bisa memuatnya pulang ke rumah!
Xin Mei membersihkan tenggorokannya, “Xiao Ge (T/N: Kakak Kecil), apakah kebetulan kau mau….”
“Apakah itu Bos Xin dari Wisma Xinxie?” Di belakang gerbang, seseorang menyela kata-katanya.
Ya.”
Ah, bisnis lebih penting; urusan suami bisa menunggu. Xin Mei membiarkan dirinya disela dan menyuarakan pengiyaannya sambil melontarkan seulas senyum pada si pria ganteng kecil itu, menatap plakat nama pada pinggangnya. “Oh, jadi kau bernama Dahu (T/N: Harimau Besar). Yah, aku akan ingat itu. Aku akan mencarimu nanti, dan kemudian kita mungkin bisa bertanding sedikit.”
Sekedar enak dilihat tidaklah berguna. Untuk menguji seberapa bergunanya pria itu, Xin Mei akan perlu menguji keahliannya. Wajah Dahu merona dan kemudian memucat. Dia berpikir: jadi ini yang mereka sebut-sebut tentang ‘waspada sekaligus gembira’?
Dengan suasana hati yang semakin baik, Xi Mei memimpin di depan beberapa orang pengurus wanita dan memasuki gerbang.
Lembah Chongling adalah klien penting bagi Wisma Xinxie, membuat pesanan binatang ajaib dalam jumlah besar hampir setiap tahun. Pada tahun-tahun yang lalu, selalu ayahnya lah yang melakukan perjalanan panjang ke lembah itu. Ini adalah kali pertama Xin Mei datang kemari. Tempat tinggal para makhluk abadi ini jelas lain dari yang lain: bersih dan luas dan indah. Yang sama adalah ruangan-ruangan ubin dan bata yang umum, kaca berwarna kumala, dan bunga-bunga merah cerah. Kediaman ini jelas telah diatur dengan baik. Di sepanjang jalan, dia melewati murid-murid Lembah tersebut, masing-masing dari mereka rapi dan rupawan, menyapanya dengan penuh hormat dan menundukkan kepala untuk memberi salam.
Akhirnya Xin Mei tiba di sebuah paviliun yang megah. Seorang wanita pengurus rumah masuk untuk mengumumkan kedatangannya dan kembali untuk berkata, “Bos Xin, Pemilik Lembah berkata bahwa suasana hatinya tidak buruk hari ini, dan Beliau mau menemui Anda. Juga, karena Anda telah datang jauh-jauh kemari, Beliau ingin membiarkan Anda tinggal di sini selama beberapa hari.”
Xin Mei telah mendengar ayahnya berkata bahwa Pemilik Lembah dari Lembah Chongling adalah seorang xian (T/N: makhluk abadi; makhluk yang telah berlatih Taoisme, melakukan pertapaan dan mendapatkan keabadian) rubah dengan pertapaan beberapa ribu tahun. Dia adalah karakter yang sangat bersahabat dan bahkan takkan tersinggung saat generasi yang lebih muda (T/N: peri, siluman, dll dengan pertapaan yang lebih sedikit) bersikap santai dan bercanda dengannya. Bahwa dia akan membiarkan Xin Mei tinggal di sini sungguh terlalu baik. Nanti, Xin Mei bisa mencari Dahu untuk mendiskusikan urusan tentang membeli pemuda itu.
Mengangkat kakinya untuk memasuki pintu, mendadak dia mendengar lenguhan seekor sapi dari atas kepalanya, yang langsung diikuti oleh derak kereta lembu yang tiba-tiba terjatuh dari angkasa untuk mendarat tepat di sampingnya. Pintu kereta itu terbuka dan satu sosok seputih pangsit bergegas keluar.
Sosok itu berlari mati-matian menuju paviliun sambil berteriak, “Minggir! Minggir! Zhen Hongsheng! Kau rubah terkutuk! Cepat keluarlah!”
Dia memelesat dengan sangat cepat, dan Xin Mei bahkan tak sempat melihat seperti apa dirinya. Berpaling pada wanita pengurus yang sudah tua, Xin Mei melihat seraut wajah yang tenang dan terkendali seakan wanita itu sudah sangat terbiasa dengan tontonan itu.
“Bos Xin, silakan.” Si pengurus meneruskan undangannya dengan sebuah gestur untuk naik ke loteng. Dan melihat wanita itu begitu tenang dan terkendali, Xin Mei merasa terlalu malu untuk meributkannya dan mengajukan pertanyaan apa pun, jadi dia langsung naik ke loteng.
Bangunan itu tampak dibangun secara normal dari luar, namun bagian dalamnya begitu terang seperti bila disinari oleh matahari. Setiap tingkat paviliun ditandai oleh sebuah musim, dengan total empat musim dan empat lantai. Setelah melewati pemandangan-pemandangan indah dari tiga tingkat pertama yang terdiri dari musim semi, musim panas, dan musim gugur, Xin Mei berdiri diam di lantai teratas di depan beberapa langkah terakhir. Lantai teratas dipenuhi oleh salju putih cemerlang, dan hembusan angin membekukan bertiup di seluruh ruangan persis seperti angin dingin menggigit tulang dari musim salju yang sesungguhnya.
Meski merupakan bagian puncak paviliun, terdapat sebuah halaman kecil di samping dengan sebuah kolam yang membeku, dikelilingi oleh pepohonan musim dingin yang penuh dengan beri-beri merah kecil. Bahkan terdapat sebuah paviliun kecil yang berselimut salju di mana dia mendapati dua orang lelaki sedang terlibat dalam pergulatan, dengan yang satu menindih yang lainnya.
“Berikan padaku!” Pria di atas menuntut marah.
“Kalau begitu memohonlah kepadaku. Memohon kepadaku dan aku akan memberikannya padamu,” yang ditindih di bawah lainnya menjawab, matanya anggun dan karismatik.
“Kau mau mati ya!” Wajah pria pertama menggelap di atas wajah pria kedua.
“Tentu saja aku tak mau mati. Kenapa aku mau mati saat aku bisa hidup selamanya?” yang ada di bawah siap menjalankan kata-katanya sendiri.
“Kau…!”
Yang ada di atas terkejut dan tiba-tiba mengangkat kepalanya untuk melihat ke ambang pintu di mana Xin Mei berdiri melongo seperti ayam kayu. Dia pun terdiam.
“Oh, apa kau adalah Xin Mei?” Pria yang sedang ditindih menolehkan kepalanya, tersenyum pada Xin Mei, “Saat aku pertama kali meliahtmu, kau masih seorang bayi yang terbungkus rapat dalam bedongan. Sekarang kau sudah tumbuh begitu besr. Kemarilah dan biarkan aku melihatmu dengan seksama.”
Xin Mei berdiri selama sesaat, berpikir bahwa dia lebih baik berbalik dan turun dari paviliun itu. “Maaf mengganggu. Saya akan naik kembali nanti.”
“Berhenti di situ!” seseorang berteriak, dan Xin Mei berbalik lagi untuk melihat bahwa pria yang telah menindih yang lainnya sekarang sedang berdiri di tengah salju. Dia mengenakan jubah besar yang longgar dan sedikit usang yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang kurus seperti tulang berbalut kulit. Pada saat itu, wajahnya menampakkan ekspresi marah dan agak sedih.
Menghujam Xin Mei dengan tatapan yang tajam, dengan serius dia berkata, “Kau salah paham!”
Kalimat klasik itu sering ditemukan pada drama-drama. Sebagai contoh, seorang pria yang tidak berhati-hati dan sambil memegang tangan atau pinggang seorang wanita yang bukan istrinya, secara kebetulan dan apesnya berpapasan dengan istrinya, dan kalimat pertama yang muncul di kepalanya persis adalah kalimat ini. Atau contohnya, seorang wanita yang jatuh ke dalam perangkap yang dipasang oleh seorang saingan cinta, menyebabkan suaminya memperlakukan dirinya secara dingin (yang lebih buruk daripada penyiksaan). Dia harus berusaha menahan seteguk darah di mulutnya dan kemudian memuntahkannya bersamaan dengan kalimat ini yang bobotnya sama berat dengan jajaran pegunungan.
Xin Mei sangat pengertian dengan kerangka pikiran seperti ini, dan karena dia jelas tak mau kedua orang ini merasa lebih bersalah dan muram lagi, dia pun langsung menganggukkan kepalanya, berkata, “Yap, aku mengerti.”
Bagaimanapun, sebagai tanggapannya, si pria malah kelihatan lebih marah saat dia berseru, “Apa yang perlu dimengerti! Kau jelas-jelas tak mengerti!”
Merasa tertekan, Xin Mei memutar otaknya sementara pria di dalam paviliun kecil itu berdiri seraya tertawa. Dengan satu kibasan dari lengan bajunya, sebuah buku yang setengah usang terbang ke dalam tangannya.
“Mei Shan, perangaimu telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Kau adalah seorang Xian, pergilah minum Pil Penenang Hati. Aku akan memberikannya kepadamu, tapi sebuah buku pembuatan arak? Kau sudah sinting.”
Mei Shan menggenggam buku yang setengah usang itu erat-erat dan dengan hati-hati menyelipkannya ke dalam pakaiannya seakan buku itu adalah harta karun. Sekarang saat menatap Xin Mei lagi, dia jadi agak canggung. Dia lebih baik pergi saja. Sebuah suara dari dasar paviliun terdengar, “Kau punya banyak tanaman obat di sini! Biarkan aku tinggal selama beberapa hari untuk memetik beberapa di antaranya untuk membuat arak!”
“Xiao Mei (T/N: Mei Kecil, menyebut Xin Mei), kemarilah,” pria di dalam paviliun kecil dengan santai memberi isyarat untuk memanggilnya.
Di sekitar lehernya terdapat seekor rubah putih hidup, tak bergerak. Bila bukan karena matanya yang berkedip, Xin Mei benar-benar akan mengiranya sebuah syal. Di atas bulu si rubah putih yang berkilauan dan lebat terdapat sebentuk wajah menyeringai serta lembut yang tampak… tampak sungguh cantik seperti bunga! Wuah.
“Haha, lama tak berjumpa. Kamu sudah tumbuh sedemikian tinggi.” Dia mengangkat tangannya untuk dengan lembut menangkup pipi sehalus porselen milik Xin Mei, telapak tangannya hangat dan baunya enak. “Juga sangat cantik.”
Xin Mei jadi merasa tidak nyaman karena sentuhannya, hingga dia teringat bahwa ayahnya pernah berkata bahwa tuan xian rubah ini bukan jenis orang yang mengikuti kepatutan berdasarkan usia. Entah itu pria ataupun wanita, dia menikmati semua sentuhan fisik untuk mengekspresikan rasa kasihnya, jadi saat waktunya tiba, Xin Mei harus membiarkan saja pria itu sedikit menyentuhnya dan semua akan baik-baik saja. Akan tetapi… kenapa orang itu masih belum melepaskannya?
Pria itu meraih kembali tangannya, membaliknya untuk dengan penuh perhatian mempelajari telapak tangannya selama sesaat. Kemudian, tanpa berkata-kata, pria itu membaliknya lagi, mengangkat tangan Xin Mei dan memperlakukannya seakan itu adalah mainan untuk digenggam di antara tangannya. Memijit-mijit ringan tangan Xin Mei, dia berkata, “Kudengar ayahmu belakangan ini sangat mengkhawatirkan soal pernikahanmu. Melihat kalau kau akan tinggal di Lembah selama beberapa hari, di mana kami punya banyak murid yang muda dan tampan, cukup beri tahu aku saat salah satu dari mereka menarik perhatianmu.”
Kedua mata Xin Mei berbinar. Tiba-tiba, tangannya dirabai oleh pria itu tak lagi terasa tidak nyaman.
“Benarkah? Sebenarnya, barusan tadi aku sudah memperhatikan Zhang Dahu yang menjaga gerbang!”
Zhen Hongsheng terdiam, mendongakkan matanya yang tertawa-namun-tidak-tertawa untuk menatap Xin Mei, membuat suara menggumam, “Bagaimana bisa dia menarik perhatianmu? Dia baru berada di sini selama beberapa bulan. Dia tak berbakat, dan dia bertampang biasa.”
“Yah, menurutku dia tampak lumayan.”
Zhen Hongsheng tertawa pelan. Tiba-tiba ingin berbuat iseng, tatapannya yang kuat dan mencolok memiliki niatan untuk memikat saat dia memegang dagu Xin Mei dan sedikit mendongakkannya untuk menaikkan mata Xin Mei pada wajahnya. “Apakah dia serupawan aku? Saat melihatku, kau masih menginginkan dia, kau adalah seorang nona muda yang tak punya selera.”
Pria itu tampak jelas di mata Xin Mei, dan mata Xin Mei berpaling padanya dua kali, merasa malu dan berada dalam situasi yang sulit. “kau… uh, Tuan Xian Rubah, Anda… bagaimana saya harus mengatakannya….”
“Katakan saja.” Zhen Hongsheng, melihat Xin Mei ingin mengatakan sesuatu namun tidak bisa, dengan cepat mengisyaratkan agar gadis itu mengucapkan yang sesungguhnya dengan berani. Dia selalu sangat perhatian pada penampilannya sendiri, dan menajamkan matanya untuk mendengar evaluasi Xin Mei.
Dengan sangat serius, Xin Mei berkata, “Anda terlihat seperti wanita. Saya tidak suka jenis yang cantik.”
“.…”
Wuush, jiwa pria itu terluka parah. Pemandangan musim salju di lantai puncak pun retak, tiba-tiba berubah dalam cahaya-cahaya yang seperti kunang-kunang kecil, menghilang ke angkasa. Bangunan itu pun kembali ke bentuk asalnya yang terdiri dari dinding dengan kolom-kolom berlukis.
Zhen Hongsheng, xian rubah yang tampak lemah dan halus ini segera menegakkan dirinya sendiri, dengan nelangsa berjalan pergi ke kejauhan selangkah demi selangkah.
Seperti wanita seperti wanita seperti wanita… hanya dua kata ini yang terus berputar-putar tanpa henti di hatinya, hanya frase ini yang menghujamnya dengan begitu telak. Pada dasarnya ini adalah pukulan penghabisan, dan dia tak bisa pulih lagi.
“Eh, Tuan Xian Rubah?” Xin Mei memanggilnya. “Jadi tentang urusan Zhang Dahu…?”
Mendadak Zhen Hongsheng berbalik, “Ini namanya tampan! Apa kau bahkan mengerti konsep tentang ketampanan? Kau tak mengerti apa-apa, kau gadis budak sialan! Aku pasti takkan menyerahkan murid manapun kepadamu! Tidak satu pun! Tidak separuh pun! Tidak akan sama sekali!”
Dia mengatakan hal ini sambil menutupi wajahnya dan berlari pergi.