A Match Made in Heaven - Chapter 3
“Nyonya, apakah Tuan Xian Rubah masih marah padaku?”
Pada siang hari di musim semi, Xin Mei duduk di paviliun bambu yang harum dan dan penuh bunga, makan bihun sambil bertanya kepada pengurus wanita yang sudah tua itu.
Si pengurus rumah menjawab dengan kalem, “Tenang saja, Bos Xin. Pemilik Lembah adalah seorang Xian yang lebih berlapang dada ketimbang itu.”
“Oh. Tapi kemudian kenapa dia berpakaian seperti itu hari ini? … Dan juga sering berbalik untuk memelototiku?”
Xin Mei mengangkat kepalanya untuk menatap ke seberang sungai pada Tuan Xian Rubah yang sedang duduk di tepi sungai, memancing. Hari ini dia mengenakan seperangkat zirah yang tampak luar biasa jantan termasuk juga sebilah pedang panjang di pinggangnya. Setiap beberapa menit sekali, dia akan berdiri dan mondar-mandir di depan Xin Mei, terkadang bahkan mencabut pedangnya untuk menyabet dan membabat rumput serta ranting pohon. Begitu Xin Mei menatap padanya, dia akan melontarkan tatapan dingin pada gadis itu dengan segenap kemampuannya, dan kemudian, seakan tak ada yang terjadi, akan duduk kembali pada tempat asalnya dan melanjutkan acara memancingnya.
Omong-omong soal lelaki, kemarin saat Xin Mei sibuk membantu murid-murid baru melatih binatang-binatang ajaib, dia juga keluar dari waktu ke waktu untuk melintas. Kecuali kemarin dia mengenakan jubah ksatria dengan kain hitam menutupi sebelah mata, seakan dia berdandan sebagai seorang pria bermata satu. Oh, benar, kemarin lusa dia juga sepertinya berdandan sebagai seorang Tian Shi (T/N: Guru Langit)….
“Setiap bulan dia punya hari-hari khusus seperti itu. Harap biasakan saja dengan hal ini.”
Orang yang selalu mendampingi seorang Xian benar-benar luar biasa… mereka bisa begitu tenang. Terkesan oleh sifat kalem di pengurus rumah, Xin Mei menganggukkan kepalanya dan lanjut memakan bihunnya.
“Eh? Apa yang masih gadis ini lakukan di sini?” Di luar paviliun, suara seseorang terdengar dengan cara yang sangat kasar.
Xin Mei berbalik, dan melihat Xian bernama Mei Shan itu berjalan ke arahnya dengan tangan memeluk setumpuk besar bunga-bunga dan rumput-rumput ajaib. Dengan sorot tak terkesan, pria itu melontarkan pada Xin Mei sebuah tatapan yang sarat dengan seperangkat emosi rumit termasuk rasa malu, terhina, marah, merendahkan, semuanya menjadi satu dalam lapisan kepongahan seakan dirinya berada di atas semua orang biasa.
“Binatang-binatang ajaib tidak seperti jimat…. Mereka tak bisa digunakan begitu saja langsung setelah diantarkan. Mereka perlu dilatih. Para murid baru kikuk dan tak berpengalaman, jadi aku memintanya tinggal untuk membantu mereka,” Zhen Hongsheng, Tuan Xian Rubah, menjelaskan saat dia mengangkat seember ikan yang baru saja dipancingnya dan melemparkannya kembali ke dalam sungai.
Melihat Mei Shan memasuki paviliun bambu, Xin Mei berdiri untuk memberi salam kepadanya secara formal, “Salam kepada Tuan Mei Shan.”
Mei Shan menjawab dingin dengan sebuah ‘hmph’. Dia berjengit begitu melihat Xin Mei, teringat pada pelecehan terhadap dirinya beberapa hari yang lalu. Untuk kaum Xian, penghormatan itu lebih besar daripada langit, dan sejujurnya saja dia hanya ingin gadis itu menghilang ke semesta yang lain, dengan idealnya tak perlu kembali.
Angin berhembus lewat, dan aroma berat alkohol di tubuh Mei Shan menguar. Saat kembali untuk memakan bihunnya, Xin Mei berkata, “Tuan Mei Shan, terlalu banyak alkohol menyakiti tubuh. Anda terlahir dengan tampak begitu halus dan lemah lembut, bahkan lebih kurus ketimbang tiang bambu tempat kami menggantungkan pakaian di kebun belakang kami… Anda seharusnya makan lebih banyak.”
Mei Shan memijit dahinya, merasakan urat-urat yang menyembul dan berusaha menekannya kembali ke dalam tengkoraknya….
Kata-kata semacam ‘kurus’, ‘lemah lembut’, dan ‘tiang bambu’ adalah tabu baginya. Biasanya dia menolak untuk mendengar bahkan satu pun dari kata-kata tersebut. Namun gadis ini entah bagaimana berhasil memasukkan semua kata tabunya dalam satu kalimat. Dia menundukkan kepala untuk menatap tangannya, ragu-ragu apakah dia seharusnya mencekik gadis itu sampai mati.
“Salam… salam kepada Tuan Pemilik Lembah, Tuan Mei Shan, dan Bos Xin….”
Sebuah suara malu-malu terdengar dari luar paviliun. Xin Mei mendongakkan kepalanya dan wajahnya menjadi cerah. Buru-buru dia menghabiskan sisa bihunnya dan kemudian melompat keluar, tersenyum lebar. “Kakak Dahu! Ada apa?”
Pipi Zhang Dahu merona malu-malu, dan dengan suara seperti nyamuk, dia berkata, “Saya kemari hanya untuk meminta nasihat dari Bos Xin untuk melatih binatang ajaib…. Ada binatang ajaib yang tak mau makan. Setiap kali saya mendekat, dia berusaha mencakar saya….”
“Oh, itu bukan masalah. Aku akan ke sana untuk melihatnya,” Xin Mei berkata saat dia menghampiri.
Di belakangnya, Zhen Hongsheng terbatuk beberapa kali dengan segenap kekuatannya. Dia memelototi Xin Mei dengan sorot mata sedingin es sembari berkata, “Aku takkan memberikan satu pun dari mereka kepadamu.”
Xin Mei mengesah. Baiklah, dia mengerti. Bila Tuan Xian Rubah tak mau memberikan mereka, maka dia hanya perlu menerima hal itu…. Sayang sekali karena yang satu ini mungkin saja bisa menjadi seorang suami yang lumayan baik.
Dalam sekejap mata, kedua orang itu berpisah. Seorang Mei Shan yang kebingungan bertanya, “Apa yang kau berikan?”
Zhen Hongsheng menarik seekor koi di ujung tali pancingnya dengan amarah yang belum juga memudar. “Gadis kecil itu telah menyukai murid yang menjaga gerbang, si Zhang Dahu itu. Dia bilang Dahu adalah pria yang sangat enak dilihat.”
Zhen Hongsheng sebenarnya luar biasa murka oleh penglihatan Xin Mei yang sesat dan ketidakmampuan gadis itu untuk membedakan kerupawanan dan keburukrupaan. Sementara si Zhang Dahu yang bermuka kaku itu dianggap sangat enak dilihat, penampilannya sendiri yang menakjubkan berakhir dengan disebut seperti wanita!
Mei Shan memikirkan tentang murid penjaga gerbang yang baru saja lewat itu. Dia memikirkan tentang wajah persegi yang tampak sama datar dan lurusnya seperti pintu… yeah… itu jelas sangat enak dilihat….
Dia memegangi perutnya dan tertawa hingga terjatuh ke lantai.
***
Xin Mei menghabiskan kira-kira setengah bulan di Lembah Chongling saat tiba-tiba suatu pagi, seekor skylark terjatuh dari langit di depannya.
Burung itu adalah burung ajaib pembawa pesan dari Wisma Xinxie.
Sehelai kertas terikat pada kaki skylark itu. Ayahnya telah menuliskan beberapa baris kalimat yang tampak mendesak dengan arang:
‘Bagaimana kemajuan masalah soal menantu? Masih ada satu bulan lagi hingga kau berusia enam belas tahun. Sebelum itu, kau harus menikah!’
Tiga kata terakhir dituliskan dalam tinta merah yang terbuat dari bubuk cinnabar. Karakter-karakter merah yang mencolok itu mengejutkan dalam kecerahannya.
Xin Mei mengakui bahwa belakangan ini dirinya telah menjadi malas. Nasi yang bagus dan makanan yang enak dari Lembah Chongling beserta dengan keindahan pemandangan alaminya telah memanjakan dirinya dan berhasil menyingkirkan urusan yang sangat penting ini ke belakang benaknya. Dengan rasa bersalah, dia kembali ke kamarnya untuk mengemasi beberapa barang sebelum langsung pergi untuk berpamitan pada tuan rumahnya, Zhen Hongsheng.
Masih mendendam dari setengah bulan yang lalu, Xian Rubah yang picik itu memerintahkan, “Kirim seseorang untuk memberitahu Zhang Dahu bahwa dia tidak usah menjaga gerbang hari ini. Suruh dia tinggal di dalam kamarnya untuk menghidari seseorang melihat dirinya dan berpikir terlalu banyak tentang dia.”
Xin Mei mengangkat kepalanya untuk menatap sang tuan rumah. Karena ingin menonjolkan kejantanannya, Zhen Hongsheng telah membawa-bawa pedang dan mengenakan pelat dada setiap hari sejak Xin Mei ada di sini. Hari ini Xian Rubah itu mengenakan jubah hitam lain. Dia tampak seperti akan pergi berperang kapan saja sekarang.
Xin Mei berpikir sejenak dan berkata, “Tuan Xian Rubah tampak luar biasa heroik hari ini.”
Zhen Hongsheng tiba-tiba menjadi cerah dan berbinar, “Kau akhirnya telah mendapatkan pencerahan! Bagus, bagus!”
Xin Mei melanjutkan, “Anda tampak seheroik lukisan Jenderal Peng Rong yang gagah dan terhormat.”
Jenderal Peng Rong adalah sosok pejuang legendaris yang tanpa tanding dan perkasa dalam sejarah Negara Qiong. Tentu saja, hal yang paling penting adalah bahwa sang Jenderal merupakan seorang wanita.
Zhen Hongsheng berlari pergi sambil menangis.
Suasana hati Xin Mei berubah jadi paling baik. Memegang kantongnya, dia memanjat ke atas Qiuyue dan terbang kembali ke rumah. Meski dia tak bisa menemukan suami di lembah itu, tidak masalah. Di perjalanan pulang akan ada banyak kota dengan beragam ukuran. Pada akhirya, hal-hal semacam suami pasti akan ditemukan di antara manusia fana. Kaum xian itu hanya terlalu picik dan tak masuk akal….
Meski bagian dalam Lembah Chongling cerah dan indah, bagian luar lembah mendung dan hujan. Xin Mei tak punya Jimat Penangkal Hujan, dan menunggangi Qiuyue dalam cuaca seperti ini sama saja dengan menghukum diri sendiri. Melihat sebuah hutan yang luas di depan, dia buru-buru mengarahkan pelikan itu untuk turun di atas sebuah pohon. Setelah turun ke sebuah cabang, dia memasukkan Qiuyue ke dalam sebuah Jimat untuk mengamankannya di dalam pakaian.
Melihat bahwa sekarang sudah hampir malam, tampaknya dia takkan bisa mencapai kota pada malam ini. Dia harus berkemah di luar.
Xin Mei melompat dari pohon, dengan anggun mendarat ke tanah. Sayangnya, terdapat kubangan lumpur tepat di tempat dirinya turun, dan dengan suara ‘crat’ dia pun memercikkan lumpur pada separuh tubuhnya.
Xin Mei dengan santai menepuk-nepuk lumpur dari pakaiannya. Ini adalah salah satu kelebihan dirinya, dia tidak sepemilih sebagian besar gadis lain dalam hal kebersihan. Kalau Da Shijie-nya (T/N: kakak seperguruan perempuan) dari Wisma Xinxie yang memercikkan lumpur pada tubuhnya sendiri, Da Shijie itu pasti akan langsung pingsan. Da Shijie-nya bahkan tak tahan melihat setitik debu di sudut pakaiannya – begitu melihatnya pasti akan langsung heboh.
Melepaskan pakaian luarnya, Xin Mei menggantungnya di tempat kering di bawah pepohonan. Dia ingin melepaskan pakaian dalamnya untuk digantung juga saat mendadak dia merasakan sesuatu yang aneh di belakangnya.
Memutar kepala, dia melihat seorang pria berdiri di bawah pohon di seberangnya. Sebelah tangan pria itu menggenggam sebuah pedang kayu sementara tangan lainnya menggenggam pisau. Tempat pria itu berdiri tertutup oleh serutan kayu. Xin Mei membeku.
Pria ini tidak menghindarinya sedikit pun dan lanjut memandangi dirinya seperti sebuah patung kayu. Lalu… Xin Mei menyadari bahwa ada lumpur di wajah si pria, mungkin dari waktu dia melompat ke tanah dari atas cabang. Sepercik lumpur mengalir turun dari tulang hidung orang itu.
Terbengong-bengong, Xin Mei berbalik, mengambil pakaian yang baru saja dia gantungkan dan mengenakannya kembali. Dikeluarkannya sapu tangan dan menghampiri pria itu untuk menyerahkan sapu tangan kepadanya.
“Maafkan aku, aku tak bermaksud melakukannya.” Itu adalah permintaan maaf yang sangat tulus.
Si pria menatap dirinya dan kemudian pada sapu tangannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dan tanpa mengambil sapu tangan itu, si pria hanya menyeka wajahnya dengan lengan bajunya dan kemudian melanjutkan mengukir pedang kayu.
Orang yang malang. Apakah dia tuli dan bisu?
Xin Mei menatapnya beberapa kali lagi. Kenapa… dia kelihatan agak familier? Apakah Xin Mei pernah bertemu dengan dia sebelumnya? Kepalanya ditundukkan, namun kontur menonjol dan lembut dari sosoknya berbeda dengan milik warga Qiong biasa. Tingginya bahkan lebih tinggi sekepala daripada pria kebanyakan.
Kadang-kadang pria itu akan mengangkat pedang kayunya hingga sejajar dengan matanya, menyekanya dengan sentuhan ringan dari jeamrinya, seakan menilai apakah benda itu sesuai untuk digunakan. Pada saat ini juga, bisa terlihat jelas wajahnya yang bersih dan tampan bersamaan dengan tatapannya yang kaku dan keras. Meski hanya sebuah pedang kayu yang belum selesai, di tangannya benda itu jadi seperti pusaka legendaris yang belum terhunus yang indah dengan menakjubkan serta menakutkannya.
Ehhh, semakin Xin Mei menatapnya, semakin familier pria itu jadinya.
Hampir selesai dengan pedang kayu, pria itu menyeka cairan dari tubuhnya dan tiba-tiba berkata,
“Kau tak bisa berkemah di sini. Berbahaya.”
Suaranya dingin namun halus.
Rahang Xin Mei membuk. Orang ini… orang ini – bukankah dia adalah pria yang telah memukulnya sampai bangun malam itu di Huang Ling?!