Ashes of Love - Chapter 0
Shuang Jiang (dari tanggal 23 Oktober hingga 6 November), Bulan Dingin, larut malam.
Di Istana Seratus Bunga, dua puluh empat Peri Bunga berlutut di atas ubin lantai Aula Besar yang berwarna cerah, satu demi satu. Napas mereka tertahan, penuh perhatian. Sehembus angin malam bertiup, bayang-bayang pepohonan di luar aula berayun, memencarkan cahaya bulan. Di tengah-tengah aula, sehelai kelambu kasa sewarna air melambai ringan, seperti napas lemah dari orang di balik kelambu itu.
Orang itu berbaring menyamping, tertutup oleh selimut awan aneka warna di atas ranjangnya. Jepit rambutnya adalah cabang plum hitam, matanya bergerak-gerak pelan, setengah terbuka dan setengah tertutup. Fitur wajahnya tak tertandingi, meski dirinya pucat dan tampak merana, ekspresi dan pembawaannya begitu halus, membuat orang lain takkan mampu melepaskan pandangan mata mereka. Kabut putih dari cahaya bulan menyebar di atas alisnya yang sedikit berkerut.
Tiba-tiba, napasnya menjadi tergesa, aroma yang mengambang di Aula Besar sedikit demi sedikit menjadi semakin kuat seiring dengan napasnya, aroma gabungan dari ribuan bunga dan ratusan wewangian. Aroma itu menjadi semakin kuat dan semakin kuat, dan kedua puluh empat Peri Bunga, yang tengah berlutut, mengabaikan etika dan mengangkat kepala mereka, satu demi satu. Mereka menatap ke arah kelambu, tak mampu menyembunyikan kekhawatiran di wajah mereka, namun tetap tak berani untuk bersuara.
Magnolia, bunga aprikot, melati, cassia, mawar kapas, kamelia, teratai, dan mawar…. Di balik kelambu kasa, beragam bunga merekah, namun segera layu, kelopak-kelopak bunga berserak seperti telah terjadi hujan badai, luar biasa banyaknya kelopak yang gugur. Dalam sekejap, ubin aneka warna di Aula Besar pun ditutupi oleh lautan bunga, indah dan luas, namun begitu sepi.
Setelah bunga narcissus gugur, menandakan akhir sebelum wintersweet yang mekar dengan bangga di musim dingin, sesaat kemudian, semua bunga pun melayang jatuh. Setelah plum merah terakhir dengan disayangkannya mendarat di tengah-tengah lautan bunga, semuanya menggumpal membentuk setetes air ungu yang jernih. Ujung-ujung jemari orang itu membelai ringan untuk menangkap tetesan air yang jatuh ini, memeluknya di dada, dan dalam sekejap, bunga tetesan air ini berubah menjadi seorang bayi berwajah segar.
“Nyonya!” Mu Dan (peony) menyibakkan kelambu kasa, merangkak ke samping ranjang dan mengulurkan tangan untuk mengambil bayi perempuan itu, yang kini sedang tidur nyenyak dengan mata tertutup. Ditatapnya orang yang berbaring di ranjang, yang wajahnya dengan cepat kehilangan semua warna, dan tak lagi mampu menahan air matanya.
“Ikuti perintahku. Setelah hari ini, kisah kelahiran anakku akan mengikutiku ke kuburan. Siapapun yang mengungkapkan hal ini akan binasa!” Napas orang di atas ranjang itu begitu lemah, suaranya tidak lantang, tetapi masih mengandung suatu kekuatan dan martabat.
“Kami akan mematuhi! Bawahan-bawahan Anda akan selalu mengikuti perintah Anda. kalau kami mengingkari sedikit saja, kami akan membinasakan diri kami seutuhnya!” Kedua puluh empat Peri Bunga, termasuk Mu Dan, yang masih menggendong si bayi perempuan, membungkuk penuh hormat.
Orang di atas ranjang menatap orang-orang yang baru saja mengeluarkan sumpah semacam itu dengan air mata berkilauan di bawah kelopak matanya, seakan telah merasa lega. “Sekarang aku bisa beristirahat dengan tenang. Semuanya bisa berdiri. Mu Dan, kemarilah.” Wanita itu mengangkat tangannya dan melambai lemah, kelopak bunga berpusar mengikuti gerakannya.
“Nyonya!” Mu Dan memeluk sang bayi dan bergerak mendekati ranjang.
“Biat dia menelan ini.” Orang di atas ranjang memberikan sebutir pil merah ke tangan Mu Dan. Mu Dan mematuhinya dan memasukkan pil itu ke dalam mulut sang bayi, memakai embun untuk memaksa bayi itu menelan mutiara tersebut.
Wajah kurus orang di atas ranjang menampakkan seulas senyum lega, begitu samar sampai sulit untuk dibedakan. “Itu adalah Pil Tanpa Perasaan. Siapapun yang memakan pil itu akan terhindar dari perasaan kasih dan cinta.”
“Nyonya, Anda melakukan ini…?” Mu Dan mendengar sebuah suara yang tersekat.
“Tanpa perasaan, dia akan menjadi kuat, dan tanpa cinta, hidupnya akan bebas dan mudah. Ini adalah berkah terbesar yang bisa kuberikan kepadanya. Anakku tak boleh menjadi sepertiku….” Berpikir demikian, dengan tabah dia menahan rasa sakit yang luar biasa, namun begitu orang di atas ranjang kembali tenang, alisnya tiba-tiba berkerut lagi, tangannya yang pucat dan lemah menutupi jantungnya.
“Nyonya!”
Orang di atas ranjang menghembuskan napas perlahan. “Aku tak apa-apa.” Dia membuka kembali matanya: “Apakah hari ini Shuang Jiang?”
“Ya,” Ding Xiang (lilac) menjawab dari ujung tempat tidur.
Ekspresi di mata orang di atas ranjang meredup, seolah dia terlarut dalam kenangan yang mendalam. Setelah terdiam sesaat, dibelainya pipi si bayi yang bagaikan kelopak bunga dan dengan lemah membuka mulutnya, “Panggil dia ‘Jin Mi’.”
“Baik! Bawahan memberi selamat kepada Dewi Muda Jin Mi karena telah terlahir di dunia ini!” KEdua puluh empat Peri Bunga kembali membungkuk anggun.
“Tak usah. Takkan ada dewi muda apapun, dan setelah aku musnah, jangan angkat dia sebagai dewi bunga yang baru.” Dia melambaikan tangannya, gelang kumala di tangannya berdenting, seperti suara gemericik hujan, ringan dan bebas. Dia pun tersenyum pilu dan berkata, “Akan lebih baik bila menjadi makhluk abadi yang tanpa beban.”
“Nyonya, harap pertimbangkan kembali. Bagaimana bisa Dunia Bunga kita tak punya penguasa?” di bawah panggung, Xing Hua (bunga aprikot) dengan cemas menaikkan kepalanya.
“Aku sudah memutuskan. Setelah aku pergi, kalian berdua puluh empat akan mengatur bunga-bunga secara bergiliran, dan bergantian mengurus keempat musim.” Napas orang di atas ranjang begitu tipis dan lemah, namun ketetapan dalam suaranya tak memberi ruang bagi argument. Mendengar kata ‘pergi’ keluar dari mulutnya, orang-orang dalam aula tak sanggup lagi menatap majikan mereka itu. Jawaban ‘baik!’ mereka sarat dengan isakan dan sedu sedan.
“Tahan Jin Mi di dalam Shui Jing, dan jangan biarkan dia melangkah keluar dari Dunia Bunga selama sepuluh ribu tahun.” Dia memeprhitungkan dengan penuh perhatian, takut kalau-kalau bencana akan terjadi dalam kurun sepuluh ribu tahun ini. Meski Jin Mi telah menelan Pil Tanpa Perasaan, wanita itu masih tak melepaskan kegelisahannya. Shu Jing memiliki tembok pembatas, kalau Jin Mi dikurung di sana selama sepuluh ribu tahun, tentunya dia bisa mencegah bencana apapun yang akan membuat putrinya itu sakit hati. Berpikir sampai di sini, sudut bibirnya merekah membentuk seulas senyum yang bagaikan teratai segar, dan sepasang matanya yang berbinar mengandung sekilas senyum saat perlahan-lahan menutup….
***
Shuang Jiang, tahun 208.612 Tian Yuan, Dewi Bunga Zi Fen meninggal, dan ratusan bunga pun layu dan berguguran. Pada malam itu juga, berlangsung sebuah acara yang riang dan membahagiakan di Istana Khayangan. Semua dewa menghadiri perjamuan untuk menyelamati Dewa Air Luo Lin dan Dewi Angin Lin Xiu demi pernikahan bahagia ratusan tahun.
Dunia Bunga berkabung untuk Dewi Bunga dan selama sepuluh tahun, ratusan bunga pun berduka, tak mampu berkembang. Selama sepuluh tahun ini, tak satu pun bunga yang mekar, dan khayangan serta bumi kehilangan seluruh warnanya. Sepuluh tahun kemudian, ketika masa berkabung usai, semuanya pun kembali menjadi normal, berlomba-lomba untuk kembali mekar dengan indahnya.
Setiap tahun, ladang-ladang penuh dengan rumput musim gugur, setiap hari kisah-kisah menantikan terbitnya mentari. Awan-awan berarak dan air mengalir, dan tanpa terasa, empat ratus tahun telah berlalu.
Lautan biru telah berubah menjadi ladang mulberi, aldang mulberi menjadi lautan biru, berubah di sini dan berubah di sana, namun tak ada hal yang baru. Setiap hari, seribu dewa menghadiri Sidang Khayangan pada waktu mao (antara pukul 5-7 pagi), mengurus berbagai masalah kecil sehari-hari, dan menghabiskan waktu senggang mereka dengan berdebat tentang puisi, mencicipi arak dan mengindang teman. Hari-hari berlalu dengan monoton, tanpa ada masalah, hampir agak hambar.
Semua orang menantikan gelombang-belombang tragis namun kuat yang akan mengguncangkan khayangan. Berharap, berharap, dan memang, mereka tak dikecewakan saat berhasil menunggu sampai putra kesayangan Kaisar Khayangan menghilang. Tahun ke 212.612 Tuan Yuan, putra Kaisar Khayangan, Feng Huang, sedang berendam dalam lava, ketika cabang-cabang pohon parasol terbakar selama empat puluh sembilan hari. Setelah apinya padam, tak nampak jejak Feng Huang sang Dewa Api, dn Kaisar Khayangan pun murka.