Ashes of Love - Chapter 1
Kucubit perbatasan mata air indigo, tapi perbatasan itu masih sama elastik seperti sebelumnya. Licinnya melebihi kulit anggur, tapi tak peduli seberapa kuatpun aku menusuknya dengan pisau, atau memanggangnya dengan api, tetap saja tak mau pecah. Aku dengar Dewi Bunga yang sebelumnya lah yang mengaturnya, dan kupikir kalau ini dipakai untuk membuat baju, pelindung ini akan menyenangkan baik untuk dilihat dan sekaligus praktis.
“Oh! Bukankah ini Xiao (kecil) Tao Tao? Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya aku melihatmu, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihatmu. Kita belum bertemu dalam waktu lama, apa kau sehat?”
Lao Hu tiba-tiba menyembul keluar dari tanah dan bergerak ke arahku. Hasilnya tak bisa dianggap bagus.
Kututupi mulutku, dan jantungku langsung jumpalitan beberapa kali sebelum terpasang kembali ke tempatnya semula. Kutepuk-tepuk dahi berkilauan pria tua kecil itu, dan mengingatkan padanya, “Kita kan baru saja bertemu pagi ini.”
Mata kecil Lao Hu berkilau, dan kerutan di seluruh wajahnya semakin dalam: “Apa Tao Tao menertawaiku karena aku menua, dan ingatanku tak bekerja dengan baik?”
“He-eh.” Dengan jujur kuanggukkan kepalaku.
“Tao Tao masih sama seperti sebelumnya, melukai perasaan orang lain. Aku merasa sangat lega, merasa sangat lega.” Pria tua kecil itu menggelengkan kepalanya, “Itu mengingatkanku, Tao Tao mau ke mana?”
“Kudengar di luar Dunia Bunga itu sangat menarik. Aku ingin sedikit melihatnya.”
“Tao Tao ingin meminta kepada Pemimpin Bunga Pertama untuk melepaskanmu dari pembatas ini?” Tiba-tiba Lao Hu kelihatan sangat kaget.
Aku menatap melalui pembatas Shui Jing, yang dipisahkan dariku oleh lautan bunga, berharap akan ada satu atau dua iblis serangga terbang yang lewat yang bisa mengajukan permintaan kepada Pemimpin
Bunga Pertama untukku. Aku merasa kalau Lai Hu itu sangat bawel.
“Aiayaya, Xiao Tao Tao sekarang benar-benar bertingkah gila. Dunia luar itu tidak menarik, dan sebenarnya cukup berbahaya, sungguh berbahaya. Para peri dan makhluk abadi dari buah seperti kita itu langka. Kalau kita keluar, kita akan dimakan.”
Lao Hu adalah wortel yang telah menjadi makhluk abadi. Dia jelas-jelas sayuran, tapi selalu suka pura-pura menjadi buah, dan sangat bangga tentangnya. Dikatakan kalau ada sangat sedikit peri buah dan sayuran yang mencari keabadian di dunia ini, dan hal ini terjadi di Dunia Bunga para makhluk abadi bunga yang cantik, jadi kami adalah perkecualian. Setidaknya Lao Hu sudah menjadi makhluk abadi, tapi aku sudah berlatih selama empat ribu tahun dan masih menjadi sekedar peri. Aku bahkan belum menjadi makhluk abadi, jadi hal itu membuatku merasa sedih. Selain aku dan Lao Hu, ada juga beberapa peri bunga tak berguna di Shui Jing.
Shui Jing ini memiliki pembatas yang kuat sehingga orang-orang dari luar tak bisa masuk, yang dipasang oleh Dewi Bunga terdahulu untuk melindungi kami para peri lemah ini. Tapi aku merasa kalau semua ini sungguh tak masuk akal, kalau sebuah pintu tak bisa didorong terbuka, maka mungkin akan bisa ditarik terbuka. Setidaknya, satu pihak seharusnya bisa membukanya, tapi nyatanya memang tak bisa didorong maupun ditarik terbuka; maka bukankah akan menjadi tembok? Pembatas ini seperti itu, tidak hanya menjaga agar orang luar tak bisa masuk, tapi juga mencegah kami para peri ini keluar dari Shui Jing. Ini aneh sekali. Pemimpin Bunga Pertama datang untuk memeriksa Shui Jing setiap tahun, dan mendesah dalam-dalam setiap kali dia melihat kemajuan yang telah kubuat dengan sihirku. Dia bilang padaku kalau mungkin saat aku telah cukup belajar untuk menjadi makhluk abadi setelah sepuluh ribu tahun, dan mampu melindungi diriku sendiri, dia akan mengijinkanku meninggalkan pembatas Shui Jing.
Tapi aku tak punya kesabaran untuk menunggu enam ribu tahun lagi.
“Kau tak pernah mengalami betapa menakutkannya dunia luar itu. Saat aku masih muda, aku bertemu dengan seekor kelinci yang punya sepasang mata semerah darah. Dia membuka mulutnya dan menampakkan taringnya, berniat menggigitku. Kalau saja aku belum menggali begitu banyak lubang dan segera melompat ke dalam salah satunya, aku pasti sudah akan menjadi potongan dan serpihan, mana bisa aku hidup sampai saat ini? Lihat, lihat, inilah bekas luka yang telah ditinggalkan kelinci itu saat dia menggigitku!”
Lao Hu mengatakan ini padaku sambil menggulung lengan bajunya untuk menunjukkan pergelangan tangannya padaku. Kujulurkan kepalaku untuk melihat, tapi tak bisa membedakan bercak-bercak coklatnya dengan jelas. Yang mana yang merupakan bercak usia dan yang mana yang bekas luka? Jadi aku mengabaikannya saja. Lagipula, kelinci selalu menjadi hewan buas paling mengerikan dan paling kejam dalam cerita-cerita Lao Hu.
“Kalau nektar segar sepertimu pergi ke luar, kau akan langsung dimakan dalam satu gigitan.” Lao Hu membelai perutnya yang bulat dan mendecakkan bibirnya.
“Aku ini anggur, bukan nectarine.” Meski pikiranku teralihkan, aku tetap harus membenarkannya pada pertanyaan mengenai jenis buah apa aku ini.
“Anggur, nektar, bukankah sama-sama tao (dalam bahasa mandarin, anggur (pu tao) dan nectarine (mi tao) sama-sama mengandung kata tao)? Kamu, gadis kecil, masih begitu muda tapi sudah sangat meributkan tentang pemakaian kata. Ini tidak bagus.” Kumis Lao Hu miring ke bawah, sebagian besarnya karena dia merasa malu, dan ekspresinya tampak tersinggung. Aku menunggu cukup lama tapi tak melihat ada satu peri pun yang lewat, jadi aku pun menyerah, berpikir kalau aku masih bisa kembali besok. Saat aku pulang, matahari sudah terbenam, dan ada bau hangus tercium dari kamarku. Aku membuka pintu dan melihat kalau Lian Qiao sedang memegang sesuatu yang hitam kelam di tangannya untuk ditunjukkan padaku. Setelah dia melihat bahwa aku sudah pulang, dia jadi kelihatan sangat bersemangat.
“Tao Tao, Kau sudah pulang. Lihat apa yang kutemukan di halamanmu!” Dia menyorongkan benda itu di depanku bahkan sebelum selesai bicara.
Bau hangus memaksaku mundur beberapa langkah sebelum aku bisa mengambil napas. Kupaksakan diriku melirik benda itu dan berkata membantu: “Hitam! Hitam sekali!”
Tapi Lian Qiao tidak senang. “Aku bertanya padamu benda apa ini, apa kau bisa mengatakan padaku sesuatu selain warnanya?”
Lian Qiao adalah seorang peri bunga yang mencari keabadian, dan biasanya suka mengumpulkan segala macam benda, selama dia memberikan apa saja yang dia kumpulkan kepadaku. Benda hari ini tak bisa dianggap yang terbesar, tapi jelas-jelas bisa dianggap sebagai benda terbau yang pernah dia kumpulkan.
“Itu cuma seekor gagak yang hampir mati, jadikan pupuk saja.” Aku cepat-cepat melirik bulu milik benda hitam itu, menebak kalau itu adalah seekor gagak.
“Gagak?!” Lian Qiao meninggikan suaranya, “Tao Tao, apa kau berkata kalau ini adalah seekor burung?! Oh, seekor burung! Dalam kehidupan ini, akhirnya aku bisa melihat seekor burung!” Setelah mengatakan ini, dia jadi begitu riang sampai berputar-putar ke sekeliling, tak tahu harus bagaimana.
Aku tak bisa menyalahkannya karena terlalu bersemangat. Di Shui Jing ini, selain bunga-bunga kecil, rumput-rumput kecil, dan serangga-serangga kecil, tak pernah ada burung yang terbang masuk sebelumnya. Sebelumnya aku hanya pernah melihat mereka saat aku membolak-balik Ensiklopedia Makhluk Hidup dalam Enam Dunia milik Lao Hu, dak berkat ini, aku jadi punya kesan tentang apa makhluk itu sebenarnya.
“Hampir mati? Bukankah itu artinya dia masih belum mati? Bisa kita menyelamatkannya? Kalau kita berhasil menyelamatkannya, nanti kita besarkan dia, ya?” Lian Qiao menarik-narik lengan bajuku, memohon padaku.
Kutatap telapak tangan Lian Qiao yang kehitaman, dan kemudian melihat lengan bajuku, senang karena aku mengenakan jubah ungu kemerahan ini. Kalau aku mencuci dan menganji, mencuci dan menganji baju-baju ini, aku masih bisa memakainya. Dengan sabar kukatakan padanya, “Kapan kehidupan itu pernah hidup, kapan kematian itu pernah mati? Hidup dan mati sepenuhnya tergantung pada keberuntungan, semuanya memiliki samsara. Kalau dia punya keberuntungan, bila kita menaruhnya di halaman tanpa memberinya makan, dia akan bisa tetap hidup; tapi kalau dia tak punya keberuntungan, bahkan bila kita menolongnya, semuanya akan sia-sia.”
“Kapanpun Tao Tao mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti ini, aku jadi bingung. Aku hanya tahu kalau Sang Buddha berkata bahwa memiliki belas kasihan itu baik. Bagaimana Tao Tao bisa melihat saja seseorang mati di depanmu?”
“Bagaimana kau tahu kalau menyelamatkannya merupakan belas kasihan? Kalau seseorang harus hidup sendirian seumur hidupnya, lebih baik dia mati saja, menyeberang ke tepian dan terlahir kembali di surga. Kalau hidup itu sulit, kematian bisa dianggap sebagai sejenis kebahagiaan.”
Lian Qiao membuka mulutnya, dan membuka mulutnya lagi, dan akhirnya berkata, kebingungan: “Pegang dulu ini sebentar dan biarkan aku berpikir sedikit.” Dia pun berjalan keluar pintu, terus menimbang-nimbang perkataanku.
Dengan gembira kubawa si gagak ke halaman dalam. Setahun sebelumnya, aku sudah menanam sebatang pohon pisang tapi entah kenapa pohon itu tak tumbuh dengan baik. Kupikir itu karena tanahnya tidak cukup bernutrisi, tapi kalau aku memakai gagak ini sebagai pupuk, cabang-cabangnya pasti akan tumbuh lebat dan menumbuhkan daun-daun yang rimbun musim panas ini.
Gagak itu pun terkubur dalam dua atau tiga detik kemudian. Kubersihkan diriku sendiri dan kembali ke kamarku untuk tidur.
Pada tengah malam, tiba-tiba aku terpikirkan tentang bagaimana gagak itu telah berhasil menerobos masuk ke dalam Dunia Shui Jing. Setelah ragu-ragu dalam waktu lama, aku pun bangkit dan pergi ke halaman dalam untuk menggali si gagak.
Saat aku sedang melakukannya, kupetik beberapa daun anggur untuk menarik kunang-kunang, mempersiapkan lampu kunang-kunang. Dalam cahaya ini, kusibak sayap-sayapnya dan melihat sekilas cahaya keemasan yang lemah bersinar dari sayapnya. Seperti yang telah kuduga, ini bukan gagak biasa, ini pasti adalah gagak abadi. Akan sayang sekali kalau aku memakainya sebagai pupuk. Kalau aku merebusnya di Shui Jing dengan kekuatan roh dan memakannya, aku bisa meningkatkan jingli (pengalaman/ kecerdasan)-ku, daripada harus belajar susah payah selama bertahun-tahun.
Saat aku sedang memikirkan hal ini, aku terdiam, berpikir kalau keputusanku ini luar biasa cerdas. Satu-satunya masalah adalah bahwa napasnya perlahan-lahan telah jadi semakin samar, dan sepertinya sudah akan mati. Efek dari merebusnya harus sedikit ditingkatkan, karena menyerap jingli itu sangat rumit dan dia juga harus masih hidup. Jadi aku hanya bisa memulihkannya terlebih dahulu, agar dia tak mati di tanganku.
Aku menggertakkan gigiku dan menahan rasa pedih saat mengeluarkan sebotol madu yang telah kubuat selama lima ratus tahun dari bawah ranjangku. Kuberikan setetes madu ke dalam paruhnya, dan memberinya napas lagi. Setelah aku melakukan ini tanpa berhenti, sayap gagak itu langsung kelihatan sedikit lebih hangat. Merasa sangat senang, kutepukkan tanganku dan berbalik menuju ke dapur untuk mengambil kuali.
Aku tak berpikir kalau setelah aku mengambil kuali tanah liat, lampu kunang-kunang yang telah kukumpulkan sudah dibuat ketakutan oleh sesuatu, dan menyebar, beterbangan kacau di seluruh ruangan.
Ternyata itu hanya karena si gagak telah berubah wujudnya menjadi manusia berkat madu buatanku, dan saat ini sedang setengah terbaring lemah di atas meja. Sambil memegangi kuali, aku memutarinya, merasa sedikit tertekan. Kalau dia berada dalam wujud manusia seperti ini, mana mungkin cukup untuk dimasukkan ke dalam kualiku yang lebarnya cuma dua telapak tangan? Dan kalau tidak bisa masuk, jelas aku tak bisa merebusnya.
Setelah berpikir dalam-dalam selama sesaat, aku teringat kalau semua makhluk abadi memiliki Nei Dan Jing Yuan (semacam mutiara yang merupakan inti dari kekuatan makhluk abadi) di tubuh mereka, dengan semua jingli yang mereka miliki terkumpul di dalamnya. Asalkan aku bisa mendapatkan Nei Dan Jing Yuan ini. Sebelumnya aku ini bodoh sekali, aku bahkan berusaha merebus si gagak secara keseluruhan.
Tapi aku tak tahu di mana gagak ini menyembunyikan Nei Dan Jing Yuan-nya, jadi dengan susah payah, aku mendorongnya ke ranjang dan mencari di seluruh pakaian hitamnya yang compang-camping. Aku juga menyadari kalau standar estetika gagak ini melampaui makhluk-makhluk di enam dunia dan samsara, bahkan meski dia mengenakan pakaian yang berlubang-lubang. Bagaimanapun, aku masih tak menemukan apa-apa yang kelihatan seperti Nei Dan Jing Yuan. Setelah memikirkannya, kutebak kalau benda itu pasti disembunyikan di dalam tubuhnya.
Dengan lebih banyak upaya lagi, aku menyingkirkan pakaian hitamnya, yang penuh dengan lubang. Setelah meraba-raba dalam waktu lama, aku mendapatkan penemuan yang menggembirakan.
Di bawah perut bagian bawah gagak ini terdapat suatu benda yang sangat aneh. Aku sedikit meremasnya, dan benda itu terasa agak lunak sekaligus agak keras. Aku mengingat kembali struktur tubuhku sendiri, dan benar-benar tak memiliki benda ini, jadi kupikir Nei Dan Jing Yuan-nya pasti telah disembunyikan di dalamnya. Aku ini memang pintar.
Kuubah sebatang sulur anggur menjadi pisau tajam dan memakai dua helai rambutku untuk menguji mata pisaunya. Aku sangat puas saat rambut itu langsung terbelah menjadi dua. Mengangkat pisau, aku pun duduk di atas perut bawah si gagak dengan punggungku menghadapnya. Kucengkeram benda itu dan bersiap untuk memotong saat tiba-tiba kudengar sebuah teriakan marah bagaikan halilintar yang bahkan bisa mengguncang bumi, datang dari arah belakang: “Beraninya kau!”
Sebuah suara yang tak begitu merdu yang meledak dalam kesunyian malam itu amat sangat menakutkan.
Gemetaran, aku terjatuh ke lantai, pisaunya nyaris mengiris tanganku.
Aku hanya melihat seorang gagak yang telanjang bulat duduk di atas ranjangku, sepasang matanya yang terang melontarkan belati ke arahku. Dipelototi oleh seseorang seperti ini langsung membuatku kehilangan semangat, jadi kusingkirkan pisaunya dan berdiri, menatap langsung padanya dengan susah payah. Dalam hati, aku mendesahkan penyesalan: dia pasti adalah seekor gagak abadi, bahkan sosoknya seperti tebu di aula Lao Hu.
Bagaimanapun, aku jadi memikirkan tentang kemajuanku sendiri setelah belajar selama empat ribu tahun. Bahkan sekarang, aku memiliki penampilan seperti anak manusia berusia sepuluh tahun, dan masih kelihatan jauh lebih muda ketimbang Lian Qiao, yang baru belajar selama seribu tahun. Pada saat itu, aku belum tahu kalau aku bukan peri anggur biasa.
Aku merasa amat malu dengan perawakanku sendiri sementara gagak itu menilaiku dari atas ke bawah dengan cepat dan galak. Dia lalu membuka mulutnya untuk bertanya padaku, “Kau ini siluman kecil macam apa?” Meski dia tak bergerak sedikit pun, posturnya yang kuat dan bermartabat sepertinya menekan yang lain. Itu adalah kali pertama aku menyadari kalau sikap yang mengesankan itu tak ada hubungannya dengan pakaian.
Meski aku ini dangkal, aku masih merupakan seorang peri pencari keabadian yang bermartabat dengan sasaran tinggi. Dipanggil sebagai ‘siluman’ oleh gagak ini membuatku sangat sedih dan kesal.
Pemikiran lain muncul di benakku. Gagak ini baru saja berada di ambang kematian, dan kini telah pulih pada keadaan asalnya setelah mendapatkan setetes madu buatanku. Manfaat madu yang kubuat ternyata cukup hebat hingga bisa menolong gagak ini. Kalau aku bertarung melawannya, aku pasti akan kalah habis-habisan, jadi aku tak menyebut-nyebut bahwa aku ingin mendapatkan Nei Dan Jing Yuan-nya. Kalau kuberi tahu dia tentang ini, takutnya akan menjadi giliranku untuk diubah menjadi lumpur dan dijadikan pupuk bunga.
Dengan sengaja kutunjukkan ekspresi lembut dan sopan, “Teman, kau bisa memanggilku ‘tuan penolong’. Merupakan kebiasaanku, seorang peri dalam Shui Jing, untuk melakukan perbuatan baik tanpa meninggalkan nama.”
Kata-kata ini adalah untuk memastikan kalau aku telah menyelamatkan nyawanya, dan um, meski niatku semula adalah untuk memakannya setelah diselamatkan, tapi toh hasil akhirnya sama saja, aku memang menyelamatkannya. Dia tak bisa menghancurkan penolongnya. Kedua, untuk mengingatkan padanya, bahwa aku seorang peri, bukan siluman kecil yang dia sebut-sebut.
“Tuan penolong?” Gagak itu tersenyum samar dan menatapku dengan sorot dingin.
Tatapannya membuatku jadi penuh kekhawatiran, dan aku jadi berpikir kalau niatku sudah terbongkar, tapi aku tetap berpura-pura tenang dan menjawab, “Tentu saja. Teman, kau sudah jatuh di halamanku hari ini dan terluka parah. Demi meningkatkan jangka hidup Teman, aku telah memberimu satu botol penuh madu bunga, dibuat dari resep rahasiaku, kepada Teman dan kemudian membangkitkan Teman sampai Teman mulai pulih.” Langit biru sebagai saksiku, selain kata-kata ‘satu botol penuh’, setiap patah kata yang telah kuucapkan itu benar.
Si gagak tiba-tiba memberiku sebuah senyuman cerah. Meski kemilaunya seperti berisi satu kebun penuh bunga persik, pada saat itu, senyum tersebut kelihatan memiliki suatu niat menakutkan. Dia lalu membuka mulutnya dengan lemah, “Barusan Teman sedang menghunuskan pisau, apakah itu juga untuk menyelamatkan nyawaku?”
Aku mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh selama sesaat, lalu menunjukkan ekspresi mengasihani yang terarah pada tubuhnya: “Aku melihat bahwa Teman mengenakan baju compang-camping, dan ingin membantumu mengganti baju, tapi aku tak mengira kalau akan melihat bahwa ternyata Teman memiliki tumor yang tumbuh di bawah perutmu. Meski ada dibilang bahwa keinginan yang kuat pada tubuh yang cacat adalah hal yang bagus, hal tersebut masih berbeda dengan apa yang dimiliki orang normal. Karena aku sudah menolong Teman, sudah seharusnya aku menyelesaikan perbuatan baiknya, jadi aku ingin memotongkan tumor itu untuk Teman.”
Begitu aku selesai bicara, gagak itu memasang ekspresi aneh di wajahnya, berubah-ubah dari hijau ke putih, aneh sekali. Dia menatapku ke atas dan ke bawah lalu bertanya, “Kau wanita?” Kemudian dia lanjut berkata, “Karena kau adalah wanita, apa kau tak tahu kalau pria dan wanita itu berbeda? Kecerobohan semacam itu sungguh tidak pantas!” Kata-kata ini dikatakan dengan nada marah.
Aku tak tahu bagaimana harus menanggapi ini. Aku hanya tahu kalau bunga-bunga, rerumputan, pepohonan, kayu, manusia, ikan, burung-burung, serta binatang itu berbeda; tapi aku tak pernah mendengar apa-apa tentang pria dan wanita itu berbeda, jadi aku sangat tidak yakin. Satu hari sesudahnya, setelah Lao Hu mendengarku mengatakan ini, dan dia menjadi geram, air mata mengalir dari matanya dan menuduhku, “Aku adalah pria. Bagaimana bisa Xiao Tao Tao berkata bahwa kau tak pernah melihat pria?”
Dengan penuh perhatian aku menenangkannya, “Kukira semua wortel tampak sepertimu.”
Lao Hu pun memukuli dadanya dan menjejak-jejakkan kakinya.
Itu adalah kali pertama dalam empat ribu tahun saat aku dengan bingung dan kaget mendengar bahwa aku adalah wanita, dan ada jenis kelompok lain yang disebut ‘pria’. Si gagak yang menyebut dirinya seorang pria menyodok sanggul di atas kepalaku dan berkata, “Melihat bahwa kau masih muda, dan lahir di alam liar di luar Khayangan, aku takkan bedebat denganmu.”
Merasa tak terima, aku sudah akan membalasnya, tetapi gagak itu lalu membacakan sebuah kalimat yang membuatku kembali ke wujud asalku. Aku tak bisa berdiri tegak jadi aku pun berguling sampai ke ujung tempat tidur. Gagak itu memotong pandanganku ke langit dan memungutku, mengamatiku dengan minat yang besar. “Aku penasaran sebenarnya apa ini, jadi ternyata seorang peri anggur kecil.”
Melihat bibirnya membuka dan menutup di depanku, tiba-tiba aku terpikirkan tentang perkataan Lao Hu: ‘Para peri buah dan makhluk abadi buah seperti kita itu sangat langka. Kalau kita keluar, kita akan dimakan.’ Dengan gemetaran kututup mataku. Lao Hu, oh Lao Hu, aku pasti mati sebelum berhasil menyelesaikan pembelajaranku. Bahkan sebelum aku melangkah keluar dari Shui Jing, aku akan dimasukkan ke dalam perut gagak, mohon ijinkan aku pergi lebih dulu.
Hasil dari aku menutup mataku adalah, menutupnya, menutupnya, dan tanpa sengaja malah ketiduran.
Saat aku terbangun, aku hanya melihat kegelapan yang luas. Bagaimana mungkin mataharinya belum terbit? Tapi kemudian aku merasa seolah Gunung Tai sedang menindihku, dan berkata pada diri sendiri: mungkin aku sudah memasuki lima organ penting gagak itu, dan bila aku kembali ke wujud manusiaku, mungkin aku akan bisa menjebol lambungnya.
Aku berubah seperti yang barusan kukatakan.
Setelah aku kembali ke wujud manusia, suatu cahaya mengenai mataku, tapi aku tak menjebol lambung gagak itu. Sepertinya si gagak telah kembali ke wujud gagaknya beberapa saat sebelumnya. Dia telah membentangkan sayapnya dan jatuh tertidur di ranjangku, dan saat ini sayapnya sedang menindihku.
Jadi tampaknya gagak tidak makan anggur. Aku lega sekali.
Aku teringat kalau aku tak mengajukan permohonanku kepada Pemimpin Bunga Pertama kemarin, jadi aku pun bersiap-siap untuk pergi ke perbatasan lagi.
Tepat saat aku berjalan ke pintu, kudengar sebuah suara yang seperti aliran air dari arah belakang berkata, “Untuk saat ini, siapkan saja sarapannya.” Si gagak ternyata sudah bangun dan berubah kembali ke wujud manusianya, dan dengan malas berbaring di ranjang. Mendengar nadanya, kupikir dia sudah sangat terbiasa menyuruh-nyuruh orang, tapi sayangnya aku tak terbiasa disuruh-suruh seperti ini.
Tapi, kata ‘tapi’ ini adalah yang paling menyusahkan. Dia jauh lebih kuat dariku, dan semalam dia bisa memaksaku kembali ke wujud semulaku hanya dengan membacakan satu kalimat, jadi menyinggungnya takkan membawa hal baik bagiku.
Jadi kemudian, aku, sambil menahan air mata, dengan kesal berjalan keluar lewat pintu. Aku mendengar suara lain di belakangku, “Cepat kembali.”
Tapi, ada ‘tapi’nya lagi. Saat akhirnya aku berhasil menemukan makanan dan membawakannya kepada si gagak, seperti kemarin, wajah gagak itu berubah-ubah dari hijau menjadi putih beberapa kali. Dia mendorongnya jauh-jauh dengan tampang jijik. “Kau makan saja sendiri.”
Kutundukkan kepalaku dan menatap pada piring berisi cacing tanah yang mengggeliat-geliut, tapi tak merasa ada yang salah. “Bukankah semua gagak makan cacing?” Sungguh menyia-nyiakan upayaku dalam menggali di seantero halaman dalam untuk menemukan beberapa ekor cacing ini dan mengumpulkannya di piring.
Kali ini, wajah si gagak bahkan menjadi lebih rumit lagi, dan setelah berubah dari merah ke jingga ke kuning ke hijau ke biru ke ungu, dia akhirnya membuka mulutnya untuk berkata, “Kau siluman kecil, siapa yang mengatakan padamu kalau aku adalah gagak?”
Aku menatapnya dalam waktu lama, terbengong-bengong, lalu perlahan berkata, “Kecuali, kecuali kau adalah murai?”
Burung itu menatapku dengan marah, tapi tak menanggapi. Secara rahasia aku mengira kalau dia diam-diam mengakuinya. Dalam hati, kudapati kalau aku telah memperlakukannya sebagai gagak dan dia memperlakukanku sebagai siluman, jadi kami sudah impas.
Dia menjulurkan lengannya yang panjang, dan dengan gerakan cepat, dia berdiri, dengan ditambah sebuah jubah brokat keemasan di tubuhnya, dia jadi semenyilaukan mentari terbit. Aku menatapnya dengan seksama, dan berpikir kalau alisnya sedikit lebih tebal daripada alisku, hidungnya sedikit lebih mancung daripada hidungku, sosoknya sedikit lebih tinggi daripada aku, dan dia memiliki benda tambahan yang tak dikenal itu. Selain daripada itu, aku tak melihat adanya ‘perbedaan di antara pria dan wanita’.
“Apa ada sumber mata air?” Matanya yang tajam menyapu sekeliling, akhirnya berhenti di wajahku.
“Teman, harap ikuti aku.” Meski temperamen burung ini tidak terlalu bagus, kami para buah tentu saja takkan bisa berselisih dengan burung, jadi aku pun mengikuti nasihat baik itu dan memimpin jalan.
Di aula terdapat sumber mata air yang selalu penuh sepanjang tahun. Lao Hu selalu berkata, “Tempat Tao Tao takkan bisa dibandingkan dengan surga di Istana Khayangan.” Meski aku memiliki keraguan tentang apakah Lao Hu pernah pergi ke Istana Khayangan, aku merasa sangat puas dengan kolamku.
Saat murai itu melihat mata air, ekspresi wajahnya menjadi sedikit lebih baik. Dia mengayunkan tangan dan sebuah cangkir kumala putih pun muncul. Dia menciduk setengah cangkir air dari mata air, memeriksa dan mengendusnya seperti sedang menilai teh sebelum akhirnya mencicipinya. Sesaat kemudian, dia berkata, “Air dari mata air ini segar, dan lumayan bisa diminum.”
Aku tak memerhatikan apa yang dia katakan, tapi hanya merasa sangat iri saat melihat betapa mudahnya dia memanggil cangkir indah semacam itu. Meski aku memahami keahlian perubahan, aku selalu harus mengandalkan rumput atau daun, dan tak bisa menciptakan sesuatu dari udara kosong. Lao Hu juga tak bisa, tapi Pemimpin Bunga Pertama bisa. Hal ini cukup untuk menunjukkan bahwa murai ini bukan sekedar dewa biasa, tetapi merupakan dewa tingkat tinggi. Sungguh disayangkan bahwa pergerakanku tak cukup cepat, kalau tidak, seandainya aku bisa memanfaatkan kesempatan saat dia tidak sadar dan mengambil Nei Dan Jing Yuan-nya, mungkin aku akan sudah menjadi makhluk abadi saat ini. Tetapi muslihatku tak berjalan mulus dan aku bahkan harus menderita untuk melayaninya.
Oh, satu penyesalan dan tiga desahan!
Aku merasa bahwa ada sesuatu yang berbeda di kepalaku, jadi kunaikkan pandanganku dan melihat bahwa murai itu sedang menarik-narik dan memainkan sanggulanku. Sejujurnya saja, apakah sanggulanku ini begitu menyenangkan untuk dimainkan? Apa ini yang disebut dengan ‘fetish’?
“Kamu siluman kecil, kenapa kau mendesah?”
Daya ingat murai ini sepertinya tidak lebih baik dari Lao Hu, kapanpun dia membuka atau menutup mulutnya, dia akan memanggilku siluman kecil.
Aku duduk di pinggir sumber mata air, melepaskan sepatu dan kaus kakiku, dan mencelupkan kakiku ke dalam airnya, senang dengan kesejukannya yang nyaman. Tepat saat aku sedang menendang-nendang air dengan riang, kulihat wajah si murai telah menggelap. “Air dari mata air ini dipakai untuk apa?”
Sangat terkejut, aku menjawab, “Air dari mata air ini tentu saja untuk mencuci kaki, mandi, atau mencuci pakaian.”
“Kau!….” wajah murai itu menjadi lebih gelap lagi dan menyala merah. Dia membekap mulutnya dan mulai muntah-muntah. Sesaat kemudian, dengan marah dia berkata padaku, “Siluman kecil liar, jorok sekali!”
Aku tak mengerti, dialah yang barusan tadi berkata ‘terasa segar’, dan sekarang, orang yang berkata ‘jorok’ juga adalah dia. Murai ini benar-benar menderita penyakit suasana hati yang labil. Dia sungguh bisa membuat orang jadi merasa tidak penting.
Si murai memijit pelipisnya, mencubit dahinya, dan berkata, “Sudahlah.” Dia lalu melihat ke sekeliling dan bertanya, “Apakah tempat ini adalah Dunia Bunga?”
“Ya.” Pada saat ini, aku sudah menyimpulkan kalau murai adalah burung yang punya watak aneh, ingatan payah, dia materialistis, suasana hatinya sering berubah-ubah, dan reaksinya lamban.
Dia melirikku, lalu menjulurkan tangannya untuk memanggil awan tujuh warna. Tepat saat dia sudah akan menaiki awan itu, aku menyadari kalau dia hendak meninggalkan Dunia Bunga, jadi aku pun mencengkeram lengan bajunya, merasa terabaikan. “Teman belum membayarku karena telah menyelamatkan nyawamu.”
Dia menarik kembali tangannya sambil tersenyum samar dan bertanya padaku, “Oh? Tuan penolong ingin aku bagaimana untuk membalasnya?”
Aku memuntir-muntir jariku dan berpikir sesaat, “Kalau kau membawaku keluar dari dunia ini ke Istana Khayangan, aku akan menganggap kalau hutang ini sudah dilunasi.” Sebelum suara dari kata-kataku menghilang, dia telah memaksaku kembali ke wujud asalku. Aku merasa kesal, tapi murai itu hanya melontar-lontarkanku di telapak tangannya dan berkata, “Takkan ada bedanya kalau aku membawamu seperti ini.” Dia meletakkanku ke dalam kantong di lengan bajunya dan mulai terbang pergi dengan menunggangi awan.
Aku tak tahu sudah berapa jauh dia terbang, aku hanya tahu kalau aku terus berguling-guling dalam lengan bajunya, dari kiri ke kanan, lalu dari kanan ke kiri, dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas. Aku begelindingan sampai kepalaku jadi benar-benar pusing, yang rasanya tak terlalu enak.
Begitu kami berhenti, aku mendengar sebuah suara terkejut yang berkata, “Paduka Kedua sudah kembali! Paduka Kedua sudah kembali! Cepat laporkan hal ini kepada Yang Mulia Kaisar Langit!”
Segera mengikuti hal ini, lima keharuman bunga yang berbeda melandanya, dan beberapa suara berkata bersahutan, “Tuan Phoenix, dari mana saja Anda? Anda benar-benar membuat kami para gadis pelayan ini khawatir!”
“Aku hanya pergi berkeliaran ke dunia luar selama beberapa hari. Aku telah membuat nona-nona cantik ini khawatir.” Aku mengenali suara murai itu.
Sebuah suara kembali menegurnya dengan lembut, “Tuan Phoenix jahat sekali. Anda sungguh membuat kami hampir mati ketakutan.”
Kemudian, aku mendengar sebuah suara tua, “Selamat kepada Paduka Kedua karena telah terlahir dari Nirvana. Dewa tua ini gagal melindungi Tuanku, harap tetapkan hukuman untukku!”
Nirvana? Meski aku telah dipaksa untuk tinggal di dalam Shui Jing dan belum melihat banyak hal, aku sudah cukup banyak membaca buku-buku dan catatan kuno. Aku tahu kalau hanya phoenix yang mendapat ungkapan ‘terlahir kembali dari Nirvana’. Tak bisa dipungkiri, aku jadi syok, karena ini berarti burung itu sebenarnya adalah phoenix!
Jadi sepertinya bulu hitam itu bukanlah seekor gagak, mungkin sebenarnya dia adalah phoenix gosong.
Kesunyian pun terjadi, keharuman bunga-bunga itu perlahan-lahan memudar, dan aku pun mendengar Phoenix berkata dari kejauhan: “Masalah ini tak bisa disalahkan kepada beragam dewa bawahan Liao
Yuan Jun (Jun = lord, tuan). Hanya ada orang-orang yang menjadi pencuri selama seratus tahun, tetapi tak ada orang yang berjaga terhadap para pencuri selama seratus tahun. Kupikir pepatah manusia fana ini cukup masuk akal.”
“Maksud Tuanku….”
Sebelum aku bisa mendengar apa yang akan dia katakan, aku terpeleset dan bergulir jatuh dari kantong di lengan bajunya, aku berubah ke dalam wujud manusiaku dan terduduk di lantai, pantatku teramat sakit sampai-sampai mataku berair saat aku mengangkat kepalaku. Aku melihat si dewa tua berjenggot putih itu terdiam kaget saat melihatku. Lama kemudian, akhirnya dia berkata, “Dari mana, dari mana bocah ini berasal?”
Si burung Phoenix itu melirikku seenaknya, “Dia hanya seorang siluman kecil yang ingin membalas budi.”
Si dewa tua membelai jenggot panjangnya, “Paduka sangat baik hati. Meski Anda sendiri dalam bahaya, Anda masih tidak lupa untuk memberikan bantuan ke seluruh dunia.”
Merasa kesal, aku benar-benar ingin mencongkel mata burung itu. Kenapa dia tak membuat kata-katanya jadi lebih jelas? Sekarang pak tua itu jadi salah paham dan berpikir kalau aku ingin balas budi kepadanya. Tepat saat aku hendak membuka mulutku dan menjelaskan, seorang petugas dewa melayang masuk lewat pintu, dan dengan menyeret-nyeret suaranya, dia pun mengumumkan secara metodis,
“Yang Mulia Kaisar Langit memerintahkan agar Dewa Api segera pergi menghadapnya.”
“Xu Feng mematuhi perintah Yang Mulia.” Phoenix itu membungkuk dan memberi salam dengan kepalan tangannya. Dia kemudian berputar dan berkata kepada si dewa tua, “Liao Yuan Jun sebaiknya menemaniku ke sana.” Lalu dia berkata pada si petugas dewa, “Harap Anda bersedia menunjukkan jalan.”
Sekelompok orang-orang itu menghilang dalam sekejap, dan meninggalkanku duduk di tengah aula besar ini sendirian. Semakin aku melihat pada dua kata ‘Qi Wu’ yang terukir pada papan nama aula, semakin aku membenci kata-kata itu.(*T/N: Qi Wu secara literal berarti tenggeran burung dari pohon parasol China)
Kutepuk-tepuk diriku sendiri lalu berdiri, dan saat aku berjalan ke luar, aku pun melirik ke kiri dan kemudian melirik ke kanan. Apakah ini Istana Khayangan? Aku tak melihat ada yang aneh baik di kiri maupun di kanan, karena yang tampak hanya lapis demi lapis kabut yang melayang, menutupi permukaan tanah hingga segalanya kelihatan samar. Aku tak bisa melihat jalan dengan jelas, jadi aku pun berkeliaran dengan sembarangan, yang ternyata cukup sulit.
Pada saat itu, aku masih tak tahu bahwa semua dewa akan terbang saat mereka ingin bepergian, dan bahwa berjalan itu cukup tidak umum.
Hal itu mengingatkanku, halaman milik Phoenix itu ternyata cukup besar, tetapi bunga-bunga dan rerumputan tampak agak suram dan monoton. Aku menghitung di sini dan menghitung di sana, tetapi totalnya hanya ada tiga jenis bunga: bunga balsam, bunga phoenix, dan bunga phoenix kumala. Sama sekali tak ada yang mengesankan.
Aku berputar-putar, dan melihat sebuah tonjolan dari sesuatu yang naik dan turun di antara beberapa bunga phoenix merah-api yang gugur. Aku tak bisa melihatnya dengan jelas dari kejauhan, jadi aku pun bergerak mendekat dan menyibakkan lapisan kelopak-kelopak bunga. Aku hanya melihat seekor hewan kecil dengan bulu merah-api, bergulung membentuk bola dan tidur mendengkur di sana, hanya menampakkan separuh telinganya yang runcing dan sebuah kaki berbulu. Ini menarik sekali.
Kuulurkan tanganku untuk memijit kaki itu, di tengah-tengahnya terdapat bantalan sehalus beludru.
Oh, sepertinya rasanya akan sangat lezat.
Jadi, aku memijitnya lagi.