Ashes of Love - Chapter 13
Sekarang adalah puncak tengah hari dan berkas-berkas cahaya mentari teramat panas dan membakar, namun Phoenix tanpa bersuara mengangkat kepalanya dan menatap cahaya mentari yang menyilaukan dalam waktu lama. Hal itu membuatku khawatir kalau dia terus menatapnya, dia akan membutakan dirinya sendiri.
Aku berdiri bersamanya dalam waktu satu bakaran dupa hingga aku tak tahan lagi dan berkata, “Sebenarnya, matahari yang tenggelam di pegunungan jauh lebih indah untuk dilihat, begitu cerah dan kuning seperti telur asin. Kalau Phoenix ingin melihat matahari, kenapa kau tak melihatnya lagi nanti sore?”
Phoenix tampaknya telah mendapatkan kembali kesadarannya dan mengalihkan tatapannya padaku. Sinat matahari pastilah sangat beracun dan kejam, aku bisa melihat urat-urat darah di mata Phoenix saat dia menatapku. Saat dia sedang menatap matahari, dia bahkan tak memicingkan matanya, tetapi kini dia memicingkan mata genitnya yang sipit seakan aku ini lebih tidak nyaman dilihat ketimbang cahaya matahari yang membakar. “Ternyata kau juga akan peduli padaku.”
Aku membelai bulu pendek di belakang leher Yan Shou dan menggumamkan balasan, “Tentu saja! Phoenix dan aku akan segera menjadi keluarga. Meski sekarang kita belum menjadi keluarga, kita bisa dianggap separuh keluarga. Tentu saja harus saling memedulikan.”
Nanti, bila aku menikahi Xiao Yu Xian Guan, aku akan menjadi kakak ipar Phoenix. Pada kenyatannya aku akan menjadi lebih senior daripada dia. Kudengar para manusia berkata bahwa kaka ipar itu seperti ibu, jadi tentu saja aku ingin memberikan aura seorang senior yang penuh kasih. Menjaga paman kecil dari seseorang akan dimulai dari masalah kecil seperti ini.
(T/N: dalam budaya Tiongkok kuno, seorang istri sering menyebut adik laki-laki dari suaminya sebagai paman kecil. Mungkin karena adik dari sang suami akan menjadi paman bagi anak-anaknya?)
“Satu keluarga…?” Phoenix mengulang perkataanku. Meski tak ada angin, jubahnya tersentak ke atas. Mendadak, dia tertawa, suaranya begitu jernih dan ringan hingga kata-katanya jadi bagaikan kaca tembus pandang yang bisa pecah dengan mudah, “Jin Mi, kau benar-benar tahu cara menghancurkanku sepenuhnya.”
Sungguh deh, Paman kecil ini, Phoenix memang tidak mudah untuk disenangkan. Aku memikirkan lagi bahwa aku tak mengatakan sesuatu yang salah, jadi kenapa dia menuduhku menghancurkan dia?
Phoenix mengarahkan matanya pada Yan Shou, matanya yang seperti poeselen begitu hitam sampai terlihat seakan air sudah akan menetes keluar. Yan Shou ini tak bisa mengalahkanku, dia tak pernah ditatap oleh Phoenix dengan aura sekuat ini. Punggungnya mendadak jadi gelisah dan dengan ragu dia bergerak mundur beberapa langkah.
“Satu keluarga… keluarga yang mana? Kau dan dia? Dia bahkan bersedia memberimu seekor Yan Shou…. Kau dan aku takkan pernah menjadi keluarga, dulu tidak pernah, sekarang tidak, dan kelak, lebih tak mungkin lagi.” Phoenix segera enghadapkan punggungnya padaku. Mentari yang menggoda menyatukan punggungnya yang kesepian ke dalam dekapan hangatnya. “Tetapi, aku tak menyalahkanmu. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri. Sejak saat ini, semua ini hanya kesalahanku, monologku seorang diri. Kapan kau bahkan pernah memberiku setengah helai hasrat pun?”
Phoenix menaikkan kepalanya dan memberiku tawa mengejek, “Ini hanya perasaanku yang bertepuk sebelah tangan….”
Aku maju satu langkah, matahari menyinarkan bayanganku ke punggungnya, membuatnya tampak seakan kami saling bersandar. Dari belakang, kuraih tangannya. Sekujur tubuh Phoenix bergetar.
Kubelai garis-garis di telapak tangannya dan berkata ringan, “Aku tak tahu kenapa kau tidak bahagia, dan aku tak tahu kenapa kau tak mau menjadi satu keluarga denganku. Tapi, aku tahu, sebenarnya kit abisa dianggap sebagai musuh, tetapi kapan pembalasan akan berakhir? Akan lebih baik bila kita menjadi keluarga dan mengakhiri kebencian. Hidup damai adalah yang terbaik.” Ketidaksediaan Phoenix untuk menjadi satuekluarga denganku pasti berakar dari fakta bahwa kebencian di antara ayahnya dan ibuku takkan pernah bisa diuraikan, jadi kuputuskan untuk bermurah hati dan melepaskannya.
Phoenix tiba-tiba berbalik dan tanpa alasan yang jelas, bayanganku pun jatuh ke dalam pelukannya, “Apa yang kau katakan? Musuh? Memangnya apa yang kau ketahui?”
Kugenggam tangannya dan berusaha menenangkan dia. “Harap tenanglah. Meski ibumu telah membunuh ibuku, tapi aku takkan membalas dendam. Pikirkanlah, ibumu telah membunh ibuku, bila aku membunuh ibumu, kau akan membunuhku. Kelak anak-anakku akan membunuhmu, anak-anakmu akan merasa tidak senang dan berusaha membunuh anak-anakku… siklus balas dendam takkan pernah berakhir, bukankah itu akan menghisap pergi semua kebahagiaan dalam hidup?”
Mengamati ekspresi labil Phoenix, aku menyimpulkan, “Kehidupan itu sendiri tak memiliki kekhawatiran, tetapi bila kau bersikeras melangkah menuju jalan buntu, merupakan suatu kebodohan karena telah menciptakan kekhawatirannya sendiri.”
Alis Phoenix melengkung dan dia pun meraih kedua tanganku ke dalam genggamannya. “Siapa yang bilang padamu bahwa Permaisuri Langit telah membunuh Dewi Bunga!” Aura kakunya menekanku.
Jadi ternyata kesanku bahwa sebelumnya Phoenix sedikit lemah itu adalah kesan yang salah. Hanya dua tau tiga baris ucapan dan aura mengintimidasi serta menuntutnya telah terbangkitkan.
Dengan tatapan curiga, Phoenix mendekat padaku. Ujarnya dengan suara rendah, “Apakah kedua puluh empat Pemimpin Bunga yang mengatakan hal ini? Tapi mana buktinya? Tidak heran Dewa Air kelihatan punya sesuatu yang ingin dia katakan kemarin….”
“Bukan para Pemimpin Bunga, Lao Hu lah yang mengatakan ini,” aku mengoreksinya. Namun aku bisa merasakan bahwa kedua puluh empat Pemimpin Bunga juga sudah tahu tentang hal ini, tetapi mereka tak pernah mengatakan apa-apa padaku karena suatu sumpah yang pernah disebut-sebut oleh Lao Hu.
Alis Phoenix bertaut dan dia menundukkan kepalanya dalam pemikiran mendalam. Dia tampak cemas dan khawatir, tetapi saat dia mengangkat kepalanya lagi, ketenangannya telah kembali, “Apa kau pernah mengungkapkan masalah ini pada siapapun?”
“Tak pernah,” aku menggelengkan kepalaku. Di dunia ini, ada berapa banyak orang yang bisa semurah hati kami para buah? Aku tahu setidaknya sampai di sini, tetapi bahkan aku juga tak tahu kenapa aku telah mengungkapkannya kepada Phoenix hari ini.
“Kau harus ingat agar tidak mengungkapkan ini! Juga, jangan pernah hanya berdua saja dengan Permaisuri Langit!” kedua tangan Phoenix mencengkeram pundakku. Wajah tampannya hanya berjarak beberapa inci dariku, pupil matanya yang gelap dan dalam sarat dengan tatapanku sendiri.
“Ya,” dengan serius aku menganggukkan kepalaku.
Meski dia telah menerima kepastian dariku, Phoenix tetap tak melepasku. Telapak tangan yang mencengkeramku sebenarnya malah mengerat alih-alih melonggar, matanya tampak memiliki pusaran bagai cacing-cacing berbisa yang berpusing semakin kuat dan semakin kuat, seakan hendak menelannya bulat-bulat. Semakin dia condong, semakin dekat dia jadinya, begitu dekat hingga hidungnya mengenai ujung hidungku sendiri. Pada saat ini, aku tak tahu dari mana liur hangat yang tiba-tiba muncul di mulutku. Menatap bibir lembab dan penuh Phoenix, tiba-tiba aku merasa sedikit haus, jadi secara alamiah aku menjulurkan lidahku dan menjilat bibirku.
Mendadak suatu cahaya baru memancar dari mata Phoenix. Tepat saat dia akan menempelkan bibirnya pada bibirku, dia menutup matanya, pipinya menyapu wajahku dan dia pun menghembuskan napas dengan berat di sebelah telingaku. Ilusi itu pun terpatahkan dengan suara ini. Phoenix melepaskan kedua bahuku.
Yan Shou di kakiku mendadak bangkit, sorot matanya sarat dengan kebahagiaan. Dengan riang dia menggoyangkan ekor mungilnya. Aku mengamati ketika wajah Phoenix mulai kehilangan warnanya. Kuulurkan tanganku untuk menyentuh bahunya, ternyata entah kenapa terasa panas, “jangan-jangan, Phoenix sakit?”
“Mi’er.” Seseorang memanggilku lembut dari arah belakang.
Aku berbalik, di tengah-tengah pepohonan dedalu, Xiao Yu Xian Guan berjalan ke arahku, pembawaannya yang tenang membuat dirinya mencolok bila dibandingkan dengan kabut dedalu. Aku tersenyum padanya. Xiao Yu Xian Guan berjalan padaku dan bahunya sampai ke sebelah bahuku, tangannya yang panjang meraih tanganku dalam kecepatan yang tidak cepat maupun lambat. Dia menggenggamnya erat-erat.
Ujung mata Phoenix berkilau, matanya menyipit saat dia mengawasi Xiao Yu Xian Guan.
“Mi’er, apa kau sudah makan siang?” Xiao Yu Xian Guan mengulurkan tangannya untuk membelai rambutku. Dia melepaskan beberapa helai daun dedalu yang telah jatuh ke rambutku tanpa kusadari.
“Belum.” Aku bangun kesiangan pagi ini dan pergi dengan terburu-buru, jadi aku tak sempat sarapan. Aku tak menyadari bahwa sekarang adalah waktu unutk makan siang, namun sekarang saat hal ini diungkit, perutnya jadi merasa lapar.
Xiao Yu Xian Guan menundukkan kepalanya dan meremas tanganku. Dia berkata, “Lain kali kau tak boleh ceroboh.”
Bibir Phoenix mengatup dingin, “Memakai ‘perut kosong’ untuk mengekspresikan ‘apa yang ada di perutmu’, siapa yang tahu bahwa ternyata hati Pangeran Pertama akan menghangat dengan begitu tiba-tiba.”
Dengan kalem Xiao Yu Xian Guan mengangkat kepalanya, “Apa maksud Dewa Api? Saya tidak mengerti.” Dia berpaling padaku dan berkata, “Dewa Air barusan datang untuk mencari Mi’er, pasti itu adalah masalah yang mendesak. Kenapa aku tak menemani Mi’er kembali ke Wisma Luo Xiang? Jangan sampai membuat Dewa Air cemas.”
Aku tak tahu kenapa ayah mencariku, jadi tentu saja aku menjawab, “Kedengarannya bagus.”
“Jadi, kami akan meninggalkanmu,” Xiao Yu Xian Guan mengangguk pada Phoenix dan menarik tanganku pergi. Sebelum kami sempat berjalan dua langkah, Xiao Yu Xian Guan mendadak berhenti dan berkata tanpa menolehkan kepalanya, “Dalam seratus tahun terakhir ini, Mi’er telah mempelajari banyak teknik meditasi hati dari Dewa Api, kalian berdua bisa disebut sebagai guru dan murid, tetapi kelak Mi’er akan memasuki Istana Xuan Ji dan kalian akan menjadi paman dan kakak ipar. tak peduli baik itu guru dan murid ataupun paman dan kakak ipar, ada tata krama dan tingkat senioritas yang harus dihormati. Harap Pangeran Kedua mengingat hal ini dalam kata-kata dan tindakannya.”
Setelah mengucapkan hal ini, dia pun membimbingku pergi.
Saat aku menoleh ke belakang, daun-daun dedalu berayun-ayun di udara, dan sosok Phoenix perlahan-lahan menjadi samar.