Ashes of Love - Chapter 14
Di Kahyangan, ada begitu banyak dewa. Di Langit Barat, ada begitu banyak Buddha.
Di Kuil Halilintar Besar, kedelapan belas arahat emas duduk, berbaring, ataupun berdiri tegak; mereka diatur di sisi kiri dan kanan kuil. Di tengah-tengah terdapat pendupaan yang membakar satu aroma, pusaran tipis asap menguarkan aroma harum yang perlahan menghilang dalam perapalan.
Dengan kedua tanganku dirangkapkan secara hormat, aku mengikuti ayah ke dalam aula utama kuil tersebut. Di bawah tatapan kaku para arahat yang bersinar, aku mengamati sepintas, menjadi kehilangan minat dan mengembalikan tatapanku pada aula utama.
Di puncak panggung batu persegi panjang yang agung dan megah, terdapat tiga sosok yang masing-masing duduk bersila di atas sekuntum bunga teratai. Mereka pastilah Buddha dari Tiga Kehidupan, yang mewakili masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kedua tangan ayah dirangkapkan saat dia menundukkan kepalanya dan merapal. Para Buddha Tiga Kehidupan mengangguk samar kepada ayah. Buddha yang berada di tengah dengan alis penuh welas asih dan mata baik hati berkata, “Hari ini bukanlah hari di mana kami membuka diri pada khalayak umum untuk mendiskusikan naskah suci. Kenapa Dewa Air datang hari ini?”
“Luo Lin telah datang hari ini dengan sembarangan untuk meminta Buddha Suci Rulai melepaskan segel Jin Mi.” Suara ayah bagaikan air dari mata air, mengalir perlahan, tidak terlalu cepat maupun lambat.
(T/N: Buddha Rulai mengacu pada Buddha yang kita kenal sekarang, yaitu Buddha Gautama / Sakyamuni)
“Apakah yang ada di belakangmu ini adalah putri dari Zi Fen?” Buddha di sebelah kiri menatapku, sorot matanya yang suci menampakkan sedikit simpati. Sungguh mereka adalah Buddha dari Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan, dalam sekali lihat mereka bisa memastikan asal usulku.
“Benar,” ayah bergeser untuk menampakkan wajahku, “Hamba memohon kepada ketiga Yang Agung untuk mengijinkan kami bertemu dengan Sang Buddha Agung.”
Di sisi kanan, Buddha Masa Depan menatap ringan padaku, sikapnya yang tenang perlahan menampakkan riak-riak samar. Alisnya berkerut dan dia pun menutup matanya, lalu mengesah pelan.
Melihat hal ini, tubuh ayah pun mengejang, “Bolehkan saya bertanya mengapa Yang Agung mengesah?”
Buddha Masa Depan berkata, “Kesempatan yang ditakdirkan adalah nasib, tak bisa diucapkan, tak bisa diungkapkan.”
Ayah berpaling untuk menatapku, sorot matanya mengandung kecemasan. Jantungku mencelos. Buddha Masa Depan tak mengetahui masa lalu, namun matanya mampu melihat masa depan. Melihat pada deskripsinya, mungkinkah aku takkan bisa berlatih untuk menjadi dewa? Saat memikirkan hal ini, mau tak mau aku jadi merasa tertekan.
“Pintu selalu terbuka, tetapi perjalanan Dewa Air takkan membawa hasil, takkan ada gunanya.” Buddha Masa Depan melambaikan tangannya, pintu di belakang kami terbuka, dan di belakangnya terdapat banyak rute. Bintang-bintang di langit diatur seperti bidak-bidak catur dan menyilaukan mata. Bagaimanapun, pada saat ini, sebuah jalan setapak dari bunga-bunga lili yang menakjubkan mulai menyala, tak terlihat akhirnya. Ini sungguh, tak ada yang tahu seberapa dalam awan-awan, namun ini adalah jalan menuju Buddha, “Lili-lili air itu bisa menunjukkan jalan bagi Dewa Air. Orang harus berhati-hati supaya tidak tersesat atau para hantu akan menjebakmu dan menenggelamkanmu ke neraka, aku hanya bisa berkata sampai di sini saha, Amitabha.”
Ayah merangkapkan tangannya dengan penuh hormat dan mengucapkan terima kasih kepada Buddha Tiga Kehidupan. Dia lalu meraih tanganku dan membimbingku menyusuri jalan kecil menuju Kakek Buddha. Semua jalan lain sarat dengan aroma bunga, rata dan lebar, hanya jalan berlumpur ini yang luar biasa tidak rata, berkelok dan sulit dijalani. Satu kakiku akan tenggelam di lumpur, yang lainnya akan terseret-seret di atas lumpur saat kami berjalan di jalan yang berparit ini. aku memikirkan tentang apa yang tadi dikatakan – ‘tak ada gunanya’. Tak berguna? Apakah Buddha Masa Depan sudah meramalkan bahwa Kakek Buddha takkan melepaskan segelku? Kalau segelku tidak dilepaskan, lingli-ku takkan bisa meningkat, aku pasti takkan bisa menjadi dewa. Kalau aku tak bisa menjadi dewa, maka aku ditakdirkan untuk diremehkan oleh semua dewa besar, contohnya si Phoenix. Ah, takdir semacam itu sungguh membuat depresi….
Memikirkan hal ini, saat aku terlahir sebagai bayi peri, setelah beberapa ribu tahun aku adalah gadis peri, setelah sepuluh ribu tahun aku akan menjadi bibi peri, apakah pada akhirnya aku akan menjadi nenek peri?
Kehidupan sebagai seorang peri itu tidak tragis, yang tragis adalah bila bahkan saat mati aku tetap menjadi seorang peri.
Aku dengan serius mempertimbangkan isu ini, saat mendadak sesuatu terjatuh ke tanah. Benda itu jatuh di antara ayah dan aku. Dia bahkan bergetar tiga kali. Aku hampir terjatuh akibat ini tetapi berhasil menegakkan diri dengan menekan benda itu.
“Haha, aiyoyo, jangan dikelitiki, jangan dikelitiki! Geli sekali, geli sekali!”
Saat diamati lebih dekat, aku menyadari bahwa yang sedang kupegang adalah perut besar milik seseorang. Aku selalu bepikir kalau tak seorang pun di dunia ini yang bisa mengalahkan perut bulat Lao Hu, tetapi setelah dibandingkan dengan ini, akhirnya aku menyadari arti dari pepatah, ‘PErut Perdana Mentri Sanggup Menampung Sebuah Kapal’*. Perut gendut ini berguncang naik dan turun, beriak gelombang demi gelombang pada ketiga lapisan lemaknya. Aku mengendurkan tanganku dan memuji, “Perut yang bagus, perut yang bagus!”
(T/N: secara mendasar pepatah tersebut berarti seseorang yang sangat murah hati dan bertoleransi serta mampu menghadapi masalah-masalah besar. Tetapi Jin Mi mengartikannya secara literal)
“Tidak buruk, tidak buruk, dari kejauhan aku sudah melihat bahwa penampilan bayi wanita kecil ini cukup menyenangkan, saat dilihat lebih dekat, dia tak hanya terlihat cerdas, matanya juga sangat bagus.” Rahib bulat dan gemuk ini pasti sangat takut digelitiki, dia mulai tertawa selama kira-kira waktu untuk minum satu teko teh. Setelah akhirnya dia selesai tertawa, dia menatapku ke atas dan ke bawah, melambaikan kipas daun palemnya dan berkata, “Bayi kecil ini punya berkas kecerdasan dan pertalian dengan Buddha, kenapa dia tak mengikutiku ke jalan Kebuddhaan saja!”
Mendengar hal ini, entah bagaimana itu terdengar seperti ‘kenapa dia tak megikutiku’, jadi aku merasakan suatu kedekatan.
“Dewa kecil Luo Lin memberi hormat kepada Buddha Mi Le,” ayah yang berada di depan sudah lama berbalik.
(T/N: Buddha Mi Le adalah nama mandarin dari Buddha Maitreya)
Siapa yang mengira bahwa rahib bulat ini adalah Buddha Mi Le. Tetapi melihat bagaimana dia memakai kipasnya untuk menepuk bahu ayah, “Ah ya ya, bukankah ini Luo Lin Kecil! Kita sudah beberapa tahun tak bertemu.”
Ayah memberikan seulas senyum anggun, “Kita sudha tidak bertemu selama sepuluh ribu tahun, Luo Lin tidak berani berkata bahwa saya sudah tua, tetapi juga tidak berani berkata bahwa saya masih kecil. Ini adalah putri saya Jin Mi, jika dia bersikap tidak sopan kepada Yang Agung, harap maafkanlah dia.”
“Aku sedang bertanya-tanya bayi ini milik keluarga mana dan ternyata dia adalah putrimu! Ayahnya tampan dan ibunya cantik, tak heran kalau dia terlahir dengan penampilan yang begitu rupawan. Kuncup sebagus ini harus segera mengikuti Kebuddhaan!” Buddha Mi Le melambaikan kipas palem bundarnya, dan dengan tulus berkata padaku, “Memasuki pintu Kebuddhaan akan menghapus semua bencana dan menghindarkan semua kejahatan, akan menjamin keselamatanmu, tempat tinggal yang besar, tak perlu memikirkan soal makanan, semuanya akan berjalan dnegan baik! Gadis Kecil, aku yakin hatimu pasti tergerak! Kalau hatimu tergerak, cepat-cepatlah memanggilku sebagai gurumu!”
Ayah merundukkan kepalanya dan tertawa. Dia berkata pada Buddha Mi Le, “Suatu kehormatan karena Yang Agung begitu menilai tinggi pada Jin Mi, tetapi sayangnya Jin Mi telah memiliki perjanjian pernikahan, dan hal ini akan merusak tabu Kebuddhaan. Takutnya dia akan harus melewatkan niat baik Anda.”
Mendengar hal ini, Buddha Mi Le terus-menerus menggelengkan kepalanya. Ada sedikit kerutan samar di antara alisnya, “Sayang sekali, sayang sekali, dewa beruntung yang mana yang akan menjadi pasangannya?”
“Dewa Malam,” ayah berkata dengan sikap ringan dan santai.
“Oh, dewa kecil kesepian yang selalu membawa para rusa untuk memeriksa langit petang itu?” Buddha Mi Le meletakkan tangannya ke perut dan tampak berpikir mendalam. Tanpa menunggu ayah menjawab, dia memalingkan kepalanya padaku dan bergumam, “Kalau kau benar-benar bisa menikahi dia, maka itu akan bagus, tetapi takutnya….” Dia kelihatan sedang bicara padaku, tetapi juga terlihat seakan sedang bergumam pada dirinya sendiri.
Suaranya terlalu lirih, aku tak bisa mendengar apa yang dia katakan di belakang. Ayah yang berada lebih jauh tentunya lebih tak bisa mendengarnya.
“Langit akan menggelap, Luo Lin hendak pergi menghadap Buddha Suci Rulai, saya harus mengucapkan perpisahan. Mungkin lain kali saya akan pergi memberi salam kepada Yang Agung di kuilnya.” Ayah mengangkat kepalanya, melihat pelangi tujuh warna memudar dari angkasa dan berpamitan kepada Buddha Mi Le.
Buddha Mi Le mengibaskan jubahnya dan menjawab, “Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”
Ayah membimbingku melangkah maju di jalan tersebut, tetapi samar-samar aku bisa mendengar Buddha Mi Le mengesah di belakang, “Sayang sekali, sayang sekali, padahal aku ingin membantumu mengatasi ujianmu.” Saat aku ingin mendengarkan hal ini dengan lebih seksama, ternyata tak ada suara lagi, bahkan tak ada suara serangga apalagi orang, itu pasti hannya ilusiku saja.
Jalannya mulai melebar, dan di depan terdapat hutan lebat yang megah. Aku melihat lebih dekat dan menyadari bahwa itu adalah Pohon Bodhi Suci.
Di bawah pohon, Kakek Rulai sedang berbaring di bawah naungan bayangannya yang lebat, matanya tertutup seakan Beliau sedang beristirahat sejenak. Di hadapannya ada sebuah cermin yang memantulkan kemilau keemasan matahari yang terbenam, begitu menyilaukan hingga tak seorang pun yang berani melihat lebih dekat. Aku memalingkan mataku dan melihat ada sekuntum bunga lili yang tidur nyenyak di dalam cermin, begitu tenang dan elegan, tetapi kekurangan sehelai kelopaknya, yang di dalam kecantikannya membuatnya tampak berkekurangan.
Kakek Buddha tiba-tiba membuka matanya, kilauan emas ini segera menghilang.
“Luo Lin memberi salam kepada Sang Buddha,” ayah merangkapkan kedua telapak tangannya dengan penuh hormat dan membungkuk dalam-dalam di hadapan Kakek Buddha.
Aku mengikuti contoh ayah dan ikut membungkuk, “Jin Mi memberi salam kepada Sang Buddha.”
“Buddha maha-mengetahui dan pasti sudah tahu mengapa Luo Lin berada di sini hari ini, saya tidak tahu apakah Anda bisa membantu?” Dengan penuh hormat ayah menurunkan tatapannya dan hanya menlihat ujung hidungnya.
Kakek Buddha duduk bersila, kedua tangannya diletakkan di lutut. Dengan suara penuh kedamaian yang mencintai dan mengasihi semua makhluk hidup di dunia, beliau berkata, “Seseorang yang sudah akan mati, tak ada gunanya apakah melepaskan atau tidak melepaskan Segel Jia Lan.”
Ayah tiba-tiba terjajar ke belakang dan mengangkat kepalanya dengan was-was.
Aku terdiam dalam perenungan, siapa yang tahu kalau ternyata Kakek Buddha juga akan memiliki sedikit kekesalan karena dibangunkan pada usianya ini. Begitu membuka mulutnya, Beliau langsung mengatakan hal-hal sial ini. mau tak mau aku jadi merinding.
“Apakah ujian besar akan menimpa Jin Mi? saya memohon bimbingan dari Buddha.” Suara ayah yang biasanya tenang dan teratur mendadak jadi tidak sabar dan penuh dengan gelombang, “Buddha penuh welas asih dan pengampunan, bersedia menyelamatkan semua kehidupan di dunia. Luo Lin memberanikan diri untuk meminta Sang Buddha menyelamatkan nyawa putri saya!”
Kakek Buddha memungut sehelai daun yang gugur dan berkata, “Menyelamatkan satu nyawa belum tentu berwelas asih, menyelamatkan seratus nyawa juga belum tentu berwelas asih; tetapi mencerahkan semua kehidupan, itulah jalan welas asih. Bila ada harimau di atas gunung yang terluka parah dan hampir mati, selamatkan atau tidak?”
Ayah menjawab tanpa keraguan sedikit pun, “Selamatkan!”
Kakek Buddha menyunggingkan senyum penuh kedamaian, “Bila harimau itu sembuh dan kembali ke gunung, dia akan menangkap rusa dan kelinci sebagai makanannya. Dewa Air bisa menyelamatkan satu nyawa tetapi mencelakai ratusan. Kau mungkin berwelas asih tetapi mencelakai ratusan nyawa lainnya.”
Dengan egois aku berpikir bahwa tidak adil bila Kakek Buddha membandingkan sebuah tanaman anggur dengan harimau yang ganas. Ayah pasti telah memikirkan hal yang sama dan berkata, “Jin Mi murni dan baik hati, dia tak mengetahui apapun di dunia ini dan takkan mencelakai orang lain. Harap Sang Buddha memeriksa dengan seksama.” Begitu selesai, ayah mengeluarkan naskah yang selalu dia bawa di tubuhnya. Diletakkannya telapak tangan kanannya ke atas naskah itu dan bersumpah dengan sungguh-sungguh, “Sebagai pelindung dari enam dunia, saya bersumpah pada Naskah Para Pelayan Buddha Emas. Secara tulus saya meminta bantuan dari Sang Buddha untuk membantu Jin Mi mengatasi ujiannya. Luo Lin akan membayar utang ini sebanyak empat kali, dan bersedia menderita kesukaran dalam tiga masa kehidupan.”
Kakek Buddha perlahan menutup matanya dan berkata, “Semua kehidupan di dunia berhubungan, bila hati tidak bergerak, unsur-unsur tidak bergerak, bila hati tidak berubah, unsur-unsur tidak berubah.” Beliau menaikkan matanya dan memberiku tatapan penuh welas asih, sorot matanya tampak memiliki suatu kekuatan aneh. Dalam sekejap aku berada di sisinya.
Kakek Buddha menyapukan tangannya pada cermin, pantulan di dalamnya mulai beriak dan aku menyadari bahwa itu bukanlah cermin melainkan sebuah kolam air suci yang tenang. Titik-titik air pada jari Kakek Buddha langsung berubah menjadi jejak dupa wangi yang terbakar. Beluam meletakkannya pada telapak tanganku dan dengan lembut menangkupkan tanganku. Beliau memberiku seulas senyum samar, “Kekhawatiran datang dari cinta, rasa takut datang dari cinta, jika melepaskan cinta, maka takkan ada kekhawatiran ataupun rasa takut. Semoga jejak wewangian ini membantumu mengatasi ujiamnu.”
Dengan sungguh-sungguh aku menatap Kakek Buddha dan bertanya, “Bagaimana dengan segelnya? Bisakah Anda melepaskannya juga?”
Kaekek Buddha tersenyum namun tak bicara. Beliau melambaikan tangannya dan dalam sekejap, semuanya berubah dan bintang-bintang bergerak, pemandangan di sekeliling pun berubah. Ayah dan aku mendadak berdiri di luar Gerbang Langit Selatan. Ayah membungkuk dalam-dalam ke arah Barat, “Banyak terima kasih keapda Buddha Yang Agung.” Ayah lalu berbalik padaku, sorot matanya penuh dengan kesedihan dan kecemasan. Dia pasti menganggap serius apa yang telah Kakek Buddha katakan, tetapi aku tak peduli.
Malamnya, ayah turun ke Dunia Fana untuk melepaskan hujan. Aku berdiri di Gerbang Langit Selatan dan berpikir dalam-dalam. Aku agak frustrasi. Kami telah melakukan perjalanan dan terburu-buru pergi ke Langit Barat tetapi kembali tanpa hasil. Aku bahkan mendapat kutukan bahwa aku akan segea mati, aku sungguh merasa kalau itu tak sepadan. Semakin aku berpikir, semakin sakit ujung jari kakiku. Aku melihat ke bawah dan menyadari bahwa kedua kaki depan rusa sika kecil itu sedang menginjak jari kakiku dan menatapku secara menyedihkan dengan matanya yang seperti manik-matik. Dia sungguh memiliki penampilan yang tanpa dosa.
Makhluk kecil itu lumayan setia. Saat aku kembali, dia langsung menemukanku, kecuali dia membutuhkan sejumlah pelatihan tentang bagaimana dia seharusnya menyambutku. Dengan susah payah, akhirnya aku berhasil menggeser kaki besinya dari kakiku. Kulepas sepatu serta kaus kakiku dan menyadari bahwa ujung kakiku memar-memar. Aku menghela napas dalam-dalam pada udara dingin, dan memutuskan untuk duduk di atas undakan batu di Gerbang Langit Selatan lalu memijit-mijit kakiku.
Ada dua orang prajurit langit yang menjaga gerbang dan wajah mereka langsung memerah saat mereka melihat aku sedang menatap mereka. Mereka langsung menaikkan kepala mereka ke arah angkasa. aku tak bisa mengerti jadi aku pun ikut menengadahkan kepalaku untuk melihat apa yang sedang mereka lihat dengan sedemikian seriusnya. Setelah menatap selama sesaat, yang ada hanya awan gelap di sebelah kiri. Aku tak tahu bahwa warga di Dunia Kahyangan ternyata begitu murni sampai-sampai kedua prajurit langit itu bisa memandangi awan dan menjadi begitu malu serta canggung, seakan mereka adalah anak gadis perawan yang berharga dari keluarga kaya.
Aku terus menatap dan merapalkan sejumlah sihir sambil menundukkan kepala dan memijit kakiku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh di atas kepalaku dan mendongak untuk melihat, namun aku mendapati seorang perajurit langit kecil bermata lebar yang memegang sebuah tombak berumbai merah sedang menatapku dengan penasaran. Melihatku mendongak, wajah putih bersihnya menjadi sedikit malu jadi aku pun memberinya seulas senyum bersahabat.
Dengan canggung dia balas tersenyum, mengerjapkan matanya, dan menatapku malu-malu seakan dia adalah seekor rusa kecil, “Apakah Anda adalah Jin Mi Xian Zi yang itu?”
Dengan serius aku memikirkannya lalu bertanya, “Aku tak yakin apa yang dimaksud oleh kawan xian ini sebagai ‘yang itu’?” Aku tak bisa menyingkirkan kemungkinan bahwa ada seseorang yang memiliki nama sama denganku di Dunia Kahyangan dan yang paling baik adalah tidak adanya kesalahpahaman.
“Jin Mi Xian Zi yang memiliki janji pernikahan dengan Pangeran Pertama Run Yu.” Setelah perkataan ini selesai, mata prajurit langit kecil itu menggelap, dan mendadak aku mendapati kalau dia terasa familier.
“Kalau begitu, maka akulah Jin Mi yang itu,” jawabku tegas.
Begitu menerima jawabanku, prajurit langit kecil itu pun mengeluarkan sebuah desahan tertekan, alisnya yang elegan bertaut dalam pemikiran mendalam tentang suatu masalah yang tidak diketahui. Tiba-tiba ekspresinya berubah khidmat serta penuh hormat, dan dia pun bertanya dengan gaya formal, “Bolehkan saya bertanya kepada Anda tentang sesuatu?”
Untuk kali pertama dalam hidupku, seseorang mencari bimbingan dariku. Aku pun setuju dengan puas.
Prajurit langit kecil itu menimbang-nimbang selama sesaat lalu bertanya dengan terbata-bata, “Ayah saya berkata bahwa seorang pria bisa memiliki tiga istri dan empat selir. Setelah Pangeran Pertama Run Yu menikahi Anda… setelah beliau menikahi Anda, bisakah beliau menikahi dewa lainnya?”
Ah… ini menyusahkanku. Aku tak pernah mempelajari aturan-aturan di Dunia Kahyangan, jadi lebih baik tidak memberi bimbingan yang salah kepada murid kecil ini. saat aku sedang bersiap memberikan suatu jawabah samar untuk menyamarkannya, mendadak aku mendengar sebuah suara santai membantuku menjawab, “Tentu saja dia bisa.”
Aku berpaling dan melihat Pu Chi Jun yang hijau licin itu telah muncul di belakangku entah dari mana datangnya. Dia sedang menatapku dengan penuh arti dan kemudian melihat kakiku yang telanjang, “Sama seperti bagaimana bahkan setelah Jin’er menikahi Dewa Malam yang menggantungkan bintang-bintang, dia masih bisa melakukan pertapaan bersama denganku. Omong-omong,” Pu Chi Jun tiba-tiba mengangkat kepalanya dengan sedih dan nyaris menghantam daguku, “Kenapa baru lewat beberapa hari kau sekarang sudah berada di tangan Dewa Malam? Apa kau tak mau memberiku kesempatan?”
Prajurit langit kecil itu pasti tak memiliki pengalaman luas serta ketenanganku dalam berurusan dengan segala situasi. Dia begitu dikejutkan oleh Pu Chi hijau yang tiba-tiba muncul dan langsung mundur dua langkah. Mendengar apa yang telah diucapkan Pu Chi Jun, dia pun buru-buru mencondongkan tubuh lebih dekat dua langkah dan bertanya, “Apakah yang diucapkan oleh teman xian ini benar? Pangeran Pertama sungguh bisa menikah lagi?”
Pu Chi Jun memberi seulas senyum genit pada prajurit langit kecil itu dan berkata sungguh-sungguh, “Tentu saja itu benar.”
Si prajurit langit kecil sedikit memerah karena senyuman Pu Chi Jun, “Itu hebat!” Seakan ada sesuatu yan sebelumnya tak bisa diputuskan kini akhirnya telah ditetapkan, dengan riang dia pun menepukkan tangannya. Tetapi siapa yang tahu bahwa dengan tepukan itu, tombak berumbai merah yang tadi ada di tangannya kini jadi mendarat ke lantai.
Dengan suara ‘klontang’ dari jatuhnya tombak, hatiku mendadak menjadi seterang cermin Kakek Buddha. Apakah prajurit langit kecil itu jatuh cinta pada Xiao Yu Xian Guan?
Prajurit langit kecil itu perlahan memungut tombaknya dan memberiku seulas senyum kikuk, “Kalau Pangeran Pertama menikah kembali, apakah Jin Mi Xian Zi akan keberatan?”
Aku segera melambaikan tanganku dan menjawab, “Tidak! Ini adalah urusan Dewa Malam, tentu saja aku tidak keberatan!”
Si prajurit kecil tercengang, dan sesaat kemudian, dengan kikuk dia bertanya, “Apakah Jin Mi Xian Zi tahu yang seperti apa yang disukai oleh Pangeran Pertama?”
Prajurit langit kecil ini benar-benar punya banyak pertanyaan. Omong-omong, aku hanya bisa mengingat bahwa Xiao Yu Xian Guan bilang dia menyukaiku, tetapi aku tak tahu jenis xian ataupun dewa lain apa yang dia sukai. Jadi aku hanya menjawab, “Dia pasti menyukai xian yang seperti aku.”