Ashes of Love - Chapter 15
Langit fajar baru saja meninggalkan kegelapan malam, cahayanya bersih dan murni. Aku mengendarai segumpal awan putih lembut dan dengan nyaman pergi menuju Istana Xuan Ji.
Aku menuju pintu belakang dan mengulurkan tanganku untuk mengetuknya pelan-pelan, tetapi pintunya membuka dengan patuh bahkan sebelum aku mendorongnya. Dua atau tiga ekor rusa sika di kolam menoleh untuk menatapku. Saat mereka menyadari kalau itu adalah aku, mereka kehilangan minat dan mengembalikan perhatian mereka pada orang berbaju biru di dekatnya.
Orang berbaju biru itu duduk dengan punggung menghadap ke arahku. Meski punggungnya memiliki warna biru seperti danau, punggung itu membuat orang berpikir tentang cahaya bulan yang hilang dalam lukisan, jernih namun sepi, tampak menyelimuti dan lembab. Pada saat ini, lengan bajunya setengah terangkat saat saat dia menangkup air dari kolam, seperti sedang ingin memandikan rusa sika kecil yang berkerumun di sisiku.
Saat rusa sika kecil itu melihatku, dia langsung memutar matanya hingga hanya putihnya yang terlihat, lehernya menjadi kaku, lidahnya terjulur, lalu dia pun terbalik di lantai seakan sudah mati.
Orang berbaju biru itu terkejut, gerakan tangannya berhenti, dan dia lalu menoleh ke arahku. Tatapannya lebih jernih daripada air, lebih lemah daripada awan. Dia adalah Xiao Yu Xian Guan.
“Mi’er….”
Aku buru-buru berjalan dua langkah ke sisi Xiao Yu Xian Guan. Kuulurkan tanganku untuk menyentuh bagian bawah hidung rusa sika itu, tak ada napas sama sekali. Kudorong kaki-kakinya, terasa keras, kaku, dan tak bisa digerakkan. Kutolehkan kepalaku pada Xiao Yu Xian Guan, “Dia mati! Apa kau membunuhnya? Kenapa kau membunuhnya?”
Xiao Yu Xian Guan terpana, wajahnya sarat dengan kebingungan, tanpa sadar dia berusaha menjelaskan, “Bukan aku….” Saat dia mendapatkan kembali kesadarannya, dia pun berkata, “Mi’er, jangan cemas, aku akan memeriksanya.” Begitu dia selesai bicara, diulurkannya tangan dan ada kilauan keperakan di sekeliling leher rusa sika itu.
Aku buru-buru berdiri di belakang punggungnya dan menyilangkan tanganku. Telinga rusa sika kecil itu langsung mulai bergerak, nyawanya yang tadi kelihatan telah lenyap melayang kini sepertinya sudah kembali. Dengan riang dia melompat-lompat. Xiao Yu Xian Guan tidak siaga. Dia dibuat begitu syok oleh mayat yang mendadak melimpat hidup hingga dia terjajar ke belakang.
Kutundukkan kepalaku dan menepuk-nepuk rusa sika yang sedang menggosokkan dirinya di kakiku. Aku memujinya, “Tidak buruk tidak buruk, kau sudah mendapatkan kira-kira separuh keahlianku! Besok aku akan mengganti makananmu, aku penasaran makanan enak apa yang harus kuberikan padamu….” Aku terdiam untuk berpikir, “Mungkin, beberapa kubis.” Cahaya yang menyala di mata rusa sika kecil itu langsung menghilang.
Xiao Yu Xian Guan dibuat tercengang sampai tak bisa bicara. “Jadi itu ulah Mi’er, kau…!” Tawanya pun pecah. Tawa yang sepenuh hati dan langsung mencerahkan perasaan semua orang. Meski Xiao Yu Xian Guan adalah seseorang yang selalu tersenyum, dan seringkali dia tersenyum dahulu sebelum bicara, dia orang yang lembut dan elegan, tetapi aku selalu merasa kalau senyumnya kekurangan sesuatu. Hari ini, senyum dan tawanya amat memuaskanku.
“Membaca sepuluh ribu buku tidak lebih baik daripada memiliki satu keahlian pada dirimu. Aku melihat bahwa rusa sika kecil itu lemah dan dia mungkin akan diganggu oleh makhluk lain nantinya, jadi kuberikan keahlian khususku untuk melindunginya. Di kahyangan maupun di neraka, ada ratusan keahlian aneh, tetapi tak ada yang bisa mengalahkan gaya ‘pura-pura mati’-ku. Ini mudah dipelajari dan mudah dilakukan, kau hanya perlu berbaring dengan kaku dan lurus,” dengan sabar aku menjelaskan detil tentang apa yang terjadi pada Xiao Yu Xian Guan. Aku bahkan bertanya padanya, “Xiao Yu Xian Guan, apa kau mau mempelajarinya?”
Xiao Yu Xian Guan menatapku lembut, ujung-ujung mulutnya terangkat, dia tersenyum dengan kehangatan angin musim semi. Beberapa helai rambutnya terlepas dari tusuk rambut sulur anggur dan melambai di dahinya. Di bawah berkas lembut cahaya mentari, dia mengulurkan tangannya dan membelai pipiku, “Aku tak mau mempelajarinya, dan takkan membiarkanmu memakainya. Selama satu hari kau berada bersamaku, aku akan melindungimu agar selalu aman dan bahagia selama satu hari, aku takkan pernah memberimu kesempatan untuk memakai… ah, keahlian perlindungan diri khususmu itu.”
Aku mendengarkan kata-kata baik dari Xiao Yu Xian Guan dengan senang hati, tetapi entah kenapa meski Xiao Yu Xian Guan kelihatan seperti seekor naga yang hangat, telapak tangannya sedingin es. Phoenix tampak sedingin es tetapi telapak tangannya selalu hangat dan panas.
Pikiranku berkelana hanya selama sesaat dan ketika aku mendapatkan kembali kesadaranku, kulihat Xiao Yu Xian Guan sedang memegangi wajahku. Kedua matanya menatapku dalam-dalam, seakan dia sedang mabuk setelah meminum sepuluh kendi arak osmanthus. Aku tak pernah melihat Xiao Yu Xian Guan menatapku seperti ini sebelumnya, tetapi aku pernah melihat Phoenix menatapku seperti ini sebelumnya. Aku tak yakin mantra macam apa yang sedang mempengaruhi Xiao Yu Xian Guan.
Aku mendengar seseorang terbatuk pelan dari luar pintu. Aku menolehkan kepalaku dan melihat ayah yang mengenakan jubah panjang berwarna putih. Dia datang dari luar dengan membawa aroma samar bunga krisan.
Xiao Yu Xian Guan segera menjauhkan tangannya dari wajahku, pipinya merona merah samar. Dia tampak sedikit malu dan tak memiliki keanggunannya yang biasa. Ditundukkannya kepala, mengibaskan jubahnya, lalu dengan hormat memberi salam pada ayah, “Salam kepada Dewa Agung.”
Ayah mengangguk pada Xiao Yu Xian Guan, mengambil sebuah bangku batu, dan duduk. Ditatapnya kebun bambu, rusa-rusa sika yang berkeliaran, kemudian berpaling padaku, “Ke mana kau pergi semalam?”
“Saya mendengar bahwa belakangan ini Paman menyukai opera buklet dan kemarin di Wisma Kebahagian Pernikahan, dia telah menata cermin supaya bisa menonton operanya. Jin Mi selalu dekat dengan Paman, jadi apakah mungkin dia diundang untuk menonton opera?” Xiao Yu Xian Guan berkata lembut, bahkan sebelum aku bisa mengoreksinya, dan dengan gerakan yang nyaris tak disadari dia menyentuh bagian punggung bajuku.
(T/N: opera buklet adalah jenis opera yang hanya terdiri dari bagian yang penting / klimaksnya saja)
Ayah menatap kami berdua dan mengibaskan tangannya, “Aku menyukai ketenangan. Aku takkan bisa menerima keributan dari suara simbal dan alat-alat musik. Kalau kau menyukainya, kau boleh pergi mendengarkannya sendiri.” Jembatan pelangi di langit memudar, ayah tiba-tiba bertanya, “Pagi ini tak ada hujan di dunia kahyangan, kenapa bisa ada pelangi?”
Xiao Yu Xian Guan menggenggam tanganku, “Jin Mi suka bermain. Dunia kahyangan sangat besar dan luas, saya cemas kalau-kalau dia akan lupa jalan pulang, jadi saya memakai kabut untuk membuat jembatan pelangi.” DIa terdiam selama sesaat dan jemarinya yang panjang dan ramping mengerat di telapak tanganku, “Jadi kapan saja, di mana saja, selama Jin Mi menaikkan kepalanya, dia akan bisa menemukan jalan untuk pulang. Dia akan ingat bahwa di ujung jembatan pelangi, ada sebuah kediaman sederhana bertembok putih dan berubin hitam, dan di halamannya dengan tenang menunggu seorang….”
Tiba-tiba dia merenggangkan genggamannya pada tanganku dan membelai rusa kecil di sekitarnya. Lama kemudian, dia berkata, “Seekor Yan Shou menjaganya dalam kesunyian.”
Aku punya sedikit kecurigaan, kupikir aku tadi mendengar dia berkata ‘seorang’, kenapa bisa jadi ‘seekor’? Mau tak mau aku menjadi curiga bahwa karena aku tak tidur semalaman, telingaku jadi mulai mendengar hal-hal yang sebenarnya tidak ada.
Ayah mengeluarkan desahan pelan yang dengan cepat memudar dihembus angin.
Setelah menyajikan sarapan untuk kami, Xiao Yu Xian Guan pun mengantar kami ke jemabtan pelangi. Yan Shou melompat-lompat riang di sisiku, aku hanya tak bisa melihat bagaimana dia punya peluang untuk menjadi Yan Shou yang ‘menjaga dalam kesunyian’.
Di jalan lebar yang kami tempuh selain kadang-kadang memakai awan yang terbang rendah, tampak tak terhitung banyaknya bunga-bunga dan buah-buahan yang unik. Ayah yang berjalan dia langkah di depanku, mendadak menghentikan langkahnya. Dengan tangan di belakang punggungnya, dia menatap bunga-bunga dan rerumputan. Di tengah-tengah sorot mata jernihnya tengalir kerinduan yang sedih.
“Mi’er, mulanya aku tak mau kau menikah dengan Dewa Malam.” Lama kemudian, ayah mendapatkan kembali kewaspadaannya dan berbalik menghadapku, kata-kata pertamanya membuatku bingung.
“Kau harus tahu kalau kematian ibumu disebabkan oleh keluarga kahyangan. Betapa aku membenci kebodohanku dan bagaimana aku telah mendengarkan instruksi Kaisar Langit untuk menikahi Dewi Agin, dan bahkan setuju untuk menikahkan anak pertama kami masing-masing. Setelah mengetahui kebenarannya dari kedua puluh empat Pemimpin Bunga dan Lao Hu Xian, pemikiran pertamaku adalah untuk membatalkan pengaturan pernikahan ini. Tetapi siapa yang menyangka kalau di luar Gerbang Langit Selatan, aku akan mendengar kalian berdua menyatakan perasaan kalian yang mendalam….”
Ayah berjalan mendekatiku, dengan penuh kasih dia menepuk-nepuk puncak kepalaku, “MEski aku membenci keluarga kahyangan, aku tak bisa membuatmu mengikuti langkah ibumu. Satu-satunya harapanku adalah supaya kau hidup bahagia dengan orang yang kau cintai, dan sejak saat ini, menjalani kehidupan harmonis yang indah. Yang sungguh langka dan tak ternilai adalah cinta sejati. Aku telah mengamati Run Yu selama beberapa hari terakhir ini dan melihat bahwa perasaannya padamu adalah tulus, karenanya aku pun harus melepaskan kecemasan di hatiku.”
“Kau suka mendengarkan opera buklet, tetapi apa kau tahu kenapa opera buklet enak untuk didengar?” Ayah menyangkutkan helaian rambut liarku ke belakang telinga, dan bertanya ringan padaku.
Kutatap ayah dengan sorot pertanya-tanya. Tentu saja, orang suka menonton opera buklet karena kehidupan tokoh-tokoh di opera itu begitu penuh warna dan menarik. Mereka menyanyi begitu keras dan penuh penjiwaan. Apa ada alasan lain?
Ayah tersenyum dan berkata, “Karena tak ada awal maupun akhir di opera buklet. Pertunjukan itu hanya mengambil bagian puncak dari keseluruhan opera, menyingkirkan semua kebencian, penyesalan serta ketidaksenangan, dan hanya mengambil bagian yang paling bersinar dan memukau untuk dipertontonkan. Hidup itu seperti opera, memiliki kebahagiaan dan kesedihan, tetapi aku hanya berharap kalau kehidupan wanita-wanita yang kucintai akan seperti opera buklet, yang hanya memiliki kesenangan yang berkilauan, tanpa penderitaannya yang gelap.”
“Aku telah mengamati bahwa sifat Run Yu itu lembut dan tenang, dia akan menjadi pasangan yang sesuai untukmu. Dia adalah seseorang yang bisa kau hormati dan hargai. Bila hatimu adalah miliknya, maka hatimu takkan lagi bisa digoyahkan, inilah cara perasaan bisa mempertahankan keawetannya. Meski kekuatan Xu Feng hebat, sifat dan tingkah lakunya pongah dan arogan. Dia selalu berada di puncak dan tak pernah menunduk kepada siapapun atau demi siapapun. Matanya takkan pernah bisa menerima kekuarangan apapun. Apalagi ibunya luar biasa beracun dan keji. Mi’er harus menghindarkan diri dari pergi ke istana milik Xu Feng, dan jangan menyakiti perasaan Run Yu.” Ayah mengambil Pusaka Bulu Phoenix Agung dari puncak kepalaku dan meletakkannya di telapak tanganku. “Sejak saat ini, jangan pernah membawa-bawa ini bersamamu. Kau harus mengingat hal ini, ingatlah hal ini.”
***
Ada banyak sekali aturan di Dunia Kahyangan. Salah satunya adalah bahwa setiap empat puluh sembilan hari, semua dewa harus berkumpul di Istana Sembilan Awan Kabut dan mendiskusikan tentang urusan-urusan penting di Enam Dunia. Ada juga aturan tambahan – hewan-hewan langit dan para xian burung tak boleh dibawa ke dalam aula Istana Sembilan Awan Kabut dan harus tetap berada di luar undakan awan.
Aku menatap para makhluk yang beterbangan di angkasa. Semua hewan abadi ini kelihatan ganas dan kejam, dan sama sekali tak mudah untuk didekati. Setelah menimbang-nimbang, kuletakkan Yan Shou di sebelah Anjing Langit milik Dewa Er Lang. Setidaknya aku tahu bahwa Anjing Langit hanya suka makan bulan dan tak berminat pada daging rusa.
Meski itu adalah pertemuan para dewa, aku tak tahu kenapa dalam beberapa hari sebelum pertemuan, Kaisar Langit mengirim enam belas xian pelayan laki-laki dan enam belas xian pelayan wanita ke Wisma Luo Xiang milik ayah. Mereka membawakan sebuah undangan keemasan yang bersinar-sinar untuk mengundangku, seorang peri kecil, untuk menghadiri pertemuan ini. saat prosesi besarnya tiba, ayah sedang melatih kaligrafi di ruang belajarnya. Dia hanya mengangkat sedikit kepalanya untuk melihat undangan ini. Meski tidak membacanya, kelihatannya ayah sudah menyadari apa isinya.
Setelah aku menempatkan Yan Shou, kuikuti seorang xiantong menuju aula utama dan duduk di samping ayah. Di seberangku ada Xiao Yu Xian Guan, yang duduk di kursi tepat di depan Kaisar Langit. Xiao Yu Xian Guan memberiku seulas senyum hangat. Aku melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa Phoenix si burung api itu sedang tidak di tempat hari ini. Punggungku jadi terasa santai dan mulutku pun mengeluarkan desahan nyaman ke udara.
Kaisar Langit dan Permaisuri Langit duduk dengan agungnya di posisi tertinggi di aula. Hari ini, dengan tidak biasanya, Permaisuri Langit tak memberiku tatapan kesal. Dengan elegan Ayah duduk di sampingku, dan tak memberi salam pada Kaisar Langit dan Permaisuri Langit. Sesaat kemudian, aula pun dipenuhi oleh para dewa yang datang dari keempat samudera dan keenam dunia. Kaisar Langit dengan kaku mengangkat tangannya dan para dewa yang sedang saling berbisik pun langsung berhenti. Dengan tenang Kaisar Langit lalu mengumumkan, “Semua dewa yang ada di sini sudah tahu bahwa aku punya kesepakatan dengan Dewa Air bahwa putra tertuaku akan menikah dengan putri tertuanya. Sekarang karena putri Dewa Air yang berharga telah kembali, tentu saja pernikahan ini akan berlangsung bagai air yang mengalir menuju sungai. Hari ini aku mengundang semua orang ke pertemuan ini untuk mendiskusikan dengan Dewa Air sebuah tanggal baik bagi Dewa Malam untuk menikah dengan Jin Mi Xian Zi. Harap semua dewa menjadi saksinya.”
Meski aku selalu tahu bahwa pada akhirnya aku akan menikahi Xiao Yu Xian Guan, saat aku mendengar Kaisar Langit mengumumkan hal ini dengan begitu tenang, hal itu memberiku suatu perasaan tidak nyata yang aneh di hatiku. Kuangkat kepalaku dan melihat bahwa sorot mata Xiao Yu Xian Guan menyapuku dan kemudian menatap ke tempat jauh. Garis-garis nadi hijau samar di lehernya perubah menjadi merah muda, seakan semua bintang di langit malam telah jatuh ke dalam pupil matanya yang gelap dan membuatnya berkelip-kelip.
“Tanggal delapan bulan depan adalah hari yang baik,” sebuah suara jernih memotong jalur pikiranku. Tatapanku mengikuti ke arah suara itu dan aku melihat bahwa itu adalah dewa agung dari laut, Nezha, dan Hong Hai’er murid Guanyin dari Laut Selatan juga mengangguk setuju. Aku jadi sedikit terkejut. Meski mereka berdua adalah dewa, mereka masih kelihatan seperti anak-anak kecil yang belum tumbuh besar. Rasanya agak tak bisa dipercaya. Para dewa lain semuanya mengangguk setuju, “Benar, tanggal delapan bulan depan adalah tanggal baik.”
(T/N: Seperti komentar Jin Mi, baik Nezha maupun anak merah / Hong Hai’er (putra dari Siluman Kerbau dan Putri Kipas dalam kisah Perjalanan ke Barat yang pada akhirnya dijadikan murid Guanyin) sama-sama memiliki wujud anak-anak yang takkan pernah bisa besar)
Kaisar Langit memalingkan kepalanya dan dengan hormat bertanya pada ayah, “Bagaimana menurut Dewa Air tentang pengaturan tanggal pada tanggal kedelapan bulan depan ini?”
Ayah menatapku, menganggukkan ringan kepalanya dan berkata, “Baik.” Maka semuanya pun diputuskan dalam satu kata.
Xian rubah yang duduk di sebelah kiriku langsung berkata, “Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin? Lalu apa yang akan terjadi pada Feng Wa-ku?” Dia lalu berpaling padaku, “Mi’er, bagaimana kau bisa membuang Feng Wa-ku?”
Tepat saat aku hendak bertanya tentang apa hubungan Phoenix dengan tanggal delapan bulan depan, terdengar suara berdebum keras ketika pintu aula didorong hingga terbuka. Kedengarannya seperti guntur besar dan semua dewa pun terlompat kaget. Aku melihat satu orang datang dari dalam cahaya, dia menghunus sebilah pedang panjang, sosoknya tegak dan pongah. Dia dilingkupi oleh bayang-bayang dan satu-satunya cahaya yang ada berasal dari kilauan bilah pedangnya, yang hanya menambah aura mengintimidasinya.
Begitu mataku sudah terbiasa dengan cahaya yang menusuk itu, kulihat wajah yang orang yang datang tersebut. Dia adalah Phoenix.
*
Para pengiring kecil di aula pun dengan pengecut melapor kepada Kaisar Langit, “Yang Mulia, Dewa Api… Dewa Api….”
Kaisar Langit mendesah dan melambaikan tangannya. Para pengiring aula pun langsung pergi seakan telah terlepas dari beban berat.
“Melapor pada Ayahanda Kaisar, Phoenix telah menakhlukkan pemberontakan di Barat Laut dan secara khusus datang kemari untuk melaporkan selesainya misi!” Phoenix menaikkan pedangnya dan mengangkat kedua tangannya untuk membentuk gestur penuh hormat. Setetes cairan merah menggelincir jatuh dari bilah tajam pedangnya ke lantai. Aku terkejut, dan menyadari bahwa yang ada di bilah pedang yang dingin tersebut adalah darah segar.
Kaisar Langit diam-diam terbatuk dan berkata dengan nada memuji, “Kemampuan Pangeran Kedua beanr-beanr telah meningkat. Pagi ini aku baru memberimu perintah dan kau berhasil kembali siang ini juga. Kau pasti sudah lelah, kau boleh kembali ke istanamu untuk beristirahat.”
Alih-alih mengundurkan diri, Phoenix malah menyerang. Dengan paksa dia melangkah ke tengah-tengah aula. Dia mengenakan jubah putih, warna putih suci tanpa debu maupun kotoran, memberikan kontras yang mengejutkan dengan darah segar di pedangnya. “Ananda berterima kasih kepada Ayahanda Kaisar, tetapi Xu Feng tidak merasa lelah. Saya ingin tahu apa yang sedang dibicarakan pada pertemuan hari ini? Xu Feng telah datang secara khusus untuk mendengarkannya.”
Permaisuri Langit mengerutkan alisnya dan menatapku seakan dia sedang menatap iblis dengan penuh kebencian. Kaisar Langit tak tahu bagaimana menjawabnya dan mulai terbatuk.
Aku melihat sebuah kilasan warna merah dan menyadari bahwa itu adalah xian rubah berbaju merah yang tak bisa menunggu lagi untuk angkat bicara. “Hari ini adalah hari di mana Kaisar Langit dan Dewa Air mendiskusikan tanggal pernikahan untuk Dewa Malam dan Jin Mi Xian Zi.”
“Ah? Tanggal berapa yang telah ditetapkan?” Mata Phoenix menyapuku. Ada hawa dingin yang mau tak mau membuatku menundukkan kepala.
Tampaknya tak seorang pun di aula itu yang bisa menahan aura kuat Phoenix. Kesunyain pun terjadi. “Tanggal delapan bulan depan.” Hanya Xiao Yu Xian Guan yang tak terpengaruh dengan tekanan Phoenix yang terasa mencekik, dia tersenyum ringan dan dengan hangat menjawab.
“Tanggal delapan,” Phoenix mengulang pelan, senyum di bibirnya bisa mendirikan bulu kuduk. Seakan hal itu adalah topik yang menarik, dia terus mengulanginya, “Tanggal delapan….”
Semua dewa di aula memiliki kekompakan yang bagus saat mereka semua menahan napas, namun Phoenix hanya menaikkan alisnya dan berbalik untuk pergi, “Kalau begitu, Xu Feng akan menunggu dan menyaksikannya!”
Xiao Yu Xian Guan tersenyum dan menganggukkan terima kasihnya, “Banyak terima kasih kepada Dewa Api.”
Kaisar Langit dan Permaisuri Langit akhirnya tampak lega. Sesaat kemudian, suara-suara menyelamati memenuhi seluruh aula. Aku mengikuti Xiao Yu Xian Guan dan tersenyum kepada orang-orang yang datang menghamoiri dan menerima ucapan selamat dari mereka.
Malamnya, kedua puluh empat Pemimpin Bunga mengunjungi Wisma Luo Xiang. Ayah keluar untuk menyambut mereka. Dari kejauhan, aku melihat sangguan rambut yang rumit di kepala Pemimpin Bunga Pertama dan merasakan sebuah rasa sakit yang samar di kepalaku. Kugunakan kesempatan itu untuk kabur lewat pintu belakang ketika tak seorang pun menyadari kekeberadaanku.
Mulanya aku berencana akan pergi ke Wisma Kebahagiaan Pernikahan milik xian rubah untuk mengobrol, saat kulihat dua orang xian pelayan bermain di undakan batu di luar Kuil Pan Gu. Aku menghampiri mereka dan saat melihatku, mereka pun menarik napas keras-keras karena kaget.
Mereka memukul dada mereka dan berkata, “Kau menakutiku! Jin Mi, kau benar-benar tidak baik. Kami baru saja dibuat ketakutan oleh Pangeran Kedua dan sekarang kau juga datang untuk menakuti kami!”
Aku mengerjapkan mataku. Aku tak tahu bagaimana mungkin aku bisa menakuti mereka. “Kenapa Dewa Api bisa menakuti kalian?”
“Mana kutahu? Tetapi saat Pangeran Kedua kembali dari Istana Sembilan Awan Kabut, wajahnya sama sekali tidak menyenangkan. Di tengah malam, dia mengusir pergi semua pelayan di istana Qi Wu.” Dia lalu menatapku dalam-dalam, “Tapi, ini pasti ada hubungannya denganmu. Pangeran Kedua itu baik hati, kapan dia pernah mengamuk seperti itu? Kapanpun dia mengamuk, pasti bermula gara-gara kamu.”
Aku tak bisa berkata-kata. Para pelayan di Istana Qi Wu memuja Pangeran Kedua mereka sampai pada tahap ketaatan membuta. Bahkan bila Phoenix menusukku dengan pedang di hadapan mereka, mereka akan merasa bahwa fakta kalau Phoenix tidak memotongku hingga menjadi serpihan telah menunjukkan betapa ‘baik’nya dia.
Lagipula, Phoenix itu bersifat labil dengan suasana hati yang aneh. Apa hubungan perangai buruknya itu denganku?
Kuputuskan untuk tidak membuat perhitungan dengan para pelayan. Sebuah perasaan yang aneh tumbuh di hatiku saat aku berpikir, apakah Phoenix terluka karena menakhukkan pemberontakan hari ini ataukah perangainya yang berapi-api itu adalah akibat terlalu banyaknya ‘qi’ gara-gara memakan terlalu banyak ling zhi xian cao beberapa hari yang lalu?
Setelah menimbang-nimbang, aku pun berputar untuk pergi menuju Istana Qi Wu. Benar saja, pintu-pintunya terbuka lebar dan tak ada seorang pun di istana itu. aku berjalan seputaran dan tak melihat Phoenix. Tepat saat aku akan pergi, dadaku berdesir.
Angin yang datang dari angin berhembus bertiup melewati bahuku, air yang datang dari air berkumpul bersama. Rasanya seakan aku tak bisa mendengar angin di dalam angin, aku tak bisa melihat air di dalam air, tetapi samar-samar aku bisa merasakan keberadaan mereka. Meski aku telah berjalan mengelilingi Kolam Liu Zi sebanyak satu putaran dan tak bisa menemukan bayangan pongah Phoenix, tetapi instingku mengatakan bahwa dia ada di sini.
Aku tertarik oleh riak-riak di Kolam Liu Zi. Aku membungkuk dan menciduk air untuk membersihkan wajahku. Tepat saat aku menutup mata, pinggangku ditarik turun ke dalam air oleh suatu kekuatan yang tak terhentikan.
Jantungku melompat kaget. Sebelum aku bisa bereaksi, aku sudah terbenam di dalam kolam. Air mulai mengalir ke arahku dan mendorongku ke bawah. Mantra yang biasanya kurapalkan… semua rapalan itu lenyap dari kepalaku saat aku berusaha membuka mulutku untuk bernapas.
Sebelum bibirku bisa menghirup udara,s esuatu dengan aroma osmanthus yang kuat menekan diriku. Rasanya lembut dan lembab, wanginya tak tertahankan, hingga membuat orang terlena dan kehilangan akal sehat. Saat aku kehilangan kesadaranku, seseorang telah mengulurkan tangan di dalam kegelapan dan menekan ujung hidungku. Kekuatannya tidak besar, namun hal itu menghentikan pernapasanku.
Kupakai seluruh kekuatanku untuk menjauhkan tekanan ini, tetapi cengkeramannya hanya menjadi lebih kuat. Pergelangan tanganku ditahan erat oleh sebuah tangan yang panjang, saat tanganku bergerak, dalam kebingungan kusadari bahwa tanganku ditahan di depan sebuah dada, dan yang menekan mulutku adalah sepasang bibir tipis.
Karena aku tak bisa melepaskan diri, sesuai insting, kubuka muutku untuk berusaha menarik udara dari mulut orang itu. Kuhisap udara kuat-kuat dari bibir tipis tersebut. Tidak jelas apakah si pemilik bibir tipis itu punya masalah dalam bernapas, tetapi setiap kali aku mengisap udara, dia akan dengan kasar membuka mulutnya dan memangsa mulutku dengan gila-gilaan. Dia bahkan dengan arogannya menjulurkan lidahnya dan mencicipi gigiku dalam kekacauan yang penuh kekalutan. Tentu saja, aku tak bisa menunjukkan kelemahan. Demi bertahan hidup, aku segera belajar dan juga menjulurkan lidahku untuk mendapatkan sedikit udara yang tersisa.
Setelah berjuang keras mati-matian, meski aku telah berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan udara yang ada, udara yang semakin menipis itu perlahan membuat tubuhku melemas dan kesadaranku pun memudar. Tepat saat kupikir aku akan sesak napas sampai mati di dalam kolam, orang itu meraih kedua bahuku dan dengan ringan mengangkatku keluar dari air.
Terpaan udara segar yang mendadak itu membuat bagian dalam dadaku melemas. Aku terus terbatuk dan dengan menyedihkan mengangkat tanganku untuk menaikkan rambut yang berantakan di dahiku, sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Diam-diam aku merasa girang karena tidak mati tenggelam, lagipula bila putri dari Dewa Air mati karena air, hal itu sungguh akan menjadi lelucon yang legendaris.
Orang di depanku luar biasa basah, tetapi masih bisa dikenali. Dia menatapku dengan matanya yang seakan bisa mengait jiwa seseorang. Aku merasa ada api merambat hingga ke puncak kepalaku. Aku tak bisa menerima hal ini. Aku benar-benar menyesal dulu karena aku tak mematahkan tulang-tulangnya dan mengulitinya untuk dimasak dan dimakan. Padahal dengan demikian aku bisa menyelamatkan diriku sendiri dari begitu banyak masalah. Dalam empat ribu tahun lebih kehidupanku, aku tak pernah merasa semarah ini.
“Kau… kau… kau….” Jariku bergetar saat aku menuding Phoenix, tetapi aku tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk memakinya.
Akhirnya, aku menuding pada tubuh bagian bawahnya, teringat kalau xian rubah pernah berkata bahwa itu adalah titik yang paling penting bagi lelaki. Kugertakkan gigi dan kugigit bibirku dengan marah dan berkata, “Kalau kau memperlakukanku dengan begini jahat lagi, aku akan membuatmu takkan pernah bisa memakai bagian itu lagi!”
Begitu selesai bicara, aku pun berputar dengan marah, dan lupa merapalkan mantra air untuk menyingkirkan butir-butir air dari tubuhku yang basah kuyup. Tetapi tepat saat aku maju selangkah, lengan atasku dicengkeram kembali kuat-kuat secara mendadak, kekuatan besar itu menarikku ke belakang dan tubuhku pun ditekan pada dahan Pohon Phoenix di samping kolam.
Karena guncangan kuat yang mendadak pada Pohon Phoenix itu, semua bunga di di pohon tersebut mulai berguguran ke lantai. Kelopak-kelopak merah cerah tersebut berjatuhan tanpa suara ke tanah. Di tengah-tengah hujan kelopak bunga, Phoenix berdiri menjulang dalam jubah putihnya. Jubahnya itu setengah terbuka, alis dan rambutnya basah dan tetes-tetes air berjatuhan dari kepalanya. Setetes demi setetes, kristal-kristal air tersebut menggelincir turun di dadanya dan memasuki jubahnya, menuju ke suatu tempat yang jauh, suatu tempat yang tak lagi bisa ditemukan oleh siapapun.
Dengan punggungku bersandar pada kulit kasar pohon tersebut, pakaianku yang basah membuat tubuhku menjadi lebih sensitif, dan aku hanya bisa merasakan rasa sakit yang panas membakar menyengat punggungku. Aku berusaha meronta tetapi dibuat membeku di bawah sorot serta aura membunuh Phoenix.
“Kau… kau… apa maumu…?” Akhirnya aku berhasil memaksakan beberapa patah kata keluar dari tenggorokanku tetapi kata-kata itu terputus oleh sentuhan tangan dingin Phoenix.
“Apa mauku? Tentu saja, aku ingin mencari tahu bagaimana kau akan membuat sehingga aku takkan lagi bisa memakai bagian ini? hmmm…?” Nada suaranya yang menaik di bagian akhir bagaikan bilah tajam pedang yang memotong senar tegang di otakku, aku bisa menahan diri untuk bergidik. Dia tetap tak bergerak. Dilepaskannya lengan atasku yang tadi telah dia tekan dengan begitu kuat hingga mati rasa,. Inci demi inci, tangannya bergerak menuju leherku. Pergerakannya nyaris terasa lembut, namun ekspresinya sama sekali berlawanan. Hal itu membuat orang memikirkan tentang predator sebelum menyerang mangsanya, haus darah dan kejam.
Rembulan berada di angkasa, angin petang begitu dingin. Cahaya bulan yang terang nan jernih menyorot ke bawah dan jatuh ke kolam, menyinarinya dengan pancaran keperakan. Air memantulkan angkasa, begitu jernih dan terang sehingga tak ada tempat di manapun untuk bersembunyi.
Di bawah cahaya rembulan, Phoenix perlahan bergerak mendekat. Jemarinya yang lembut namun kuat perlahan mengencang di leherku. Aku tak punya kekuatan dan berusaha untuk meronta, namun napasku menjadi lebih lemah dan lebih lemah lagi, lebih pendek dan lebih pendek lagi. Akhirnya aku menyadari bahwa aku telah menjadi Tuan Dong Guo, dengan baik hati menyelamatkan seseorang, tetapi kini dia ingin memberiku hukuman mati. Tepat saat aku akan tercekik, kuputuskan untuk menarik jejak napas terakhirku dan berkata dengan suara tersekat, “Ph… Pho… Phoenix.”
(T/N: Tuan Dong Guo adalah nama tokoh di sebuah cerita yang telah menyelamatkan seekor serigala, tetapi serigala itu tetap ingin memakannya. Jadi ini seperti pepatah: air susu dibalas dengan air tuba.)
Phoenix tiba-tiba melepaskan jemarinya dari leherku, dan memberiku seulas senyum memikat yang akan membuat siapapun terpesona. Aku menatapnya dengan kebingungan saat dadaku bergerak naik turun. Angin berhembus lewat, awan-awan berarak pelan di malam yang gelap dan menutupi rembulan. Dalam sekejap, semuanya menggelap.
Dalam suasana yang damai dan sunyi ini, aku hanya merasakan dia menundukkan kepalanya. Sepasang bibir yang lembab menekan bibirku yang sama lembabnya, kedua bibir itu saling tekan di segala sisi tanpa meninggalkan sedikitpun tempat kosong. Bibir tipis yang sedikit dingin ini bagaikan air sungai yang menerpa bebatuan, basah dan berkilauan, menggoda perasaan. Dia mengulurkan tangannya dan memegangi bagian belakang kepalaku, tubuhnya menekanku, tak ada jarah di antara kami. Engahanku untuk menarik napas disapu oleh gangguan dari ujung lidahnya. Saat aku baru saja lolos dari ancaman akan nyawaku, jantungku mau tak mau jadi tenang, dan perlahan aku menjadi penasaran dan balas menciumnya. Sekujur tubuh Phoenix bergetar, seakan tubuhnya itu tiba-tiba dipenuhi oleh hawa panas yang membakar. Punggungku telah tergesek oleh kasarnya kulit pohon dan aku tak tahu apakah rasanya sakit atau panas, digencet dari depan maupun belakang aku hanya merasa seperti pangsit yang sedang direbus, dan merasakan anggota tubuhku kehilangan kekuatannya.
Dalam sekejap, punggungku tiba-tiba terasa dingin dan kosong. Phoenix membaringkanku di sisi kolam, entah sejak kapan pakaiannya telah dilepaskan. Aku memberanikan diri untuk menatap dadanya yang kuat. Dalam kesunyian dan ketenangan inilah, rasanya seakan sejumlah energi sedang disimpan.
Ketika tatapanku bergerak ke bawah, aku melihat sesuatu yang aneh. Jantungku berdesir. Mau tak mau aku merasa penasaran, kali pertama saat aku melihatnya di Shui Jing, itunya tak kelihatan seperti ini….
Suara terengah Phoenix menjadi lebih dalam. Kuangkat kepalaku, mataku bersirobok dengan sorot mata berhasratnya yang penuh dengan ketetapan. Aku merasa seperti berada dalam kondisi tidak sadar – berada di bawah pengaruh mantra karena kontur halus dari struktur tulangnya. Tanganku terulur untuk menyentuh tulang selangkanya, dan mendadak aku merasa bahwa aku tak takut pada apapun.
Dia menangkap kedua tanganku, dan perlahan menempatkan masing-masing jari ke mulutnya dan menciumnya. Aku tak tahan untuk bergetar, sepuluh jari terhubung pada hati, dalam sekejap, rasanya hatiku menjadi penuh hingga meluap.
Di bawah cahaya samar bulan merah ungu, aroma osmanthus melingkupi tubuhku, dan mendadak aku menyadari bahwa ini adalah aroma manis dari arak. Setelah selesai dengan jemariku, dia menjilat daun telingaku dan mulai bergerak turun. Aku kaku menyadari bahwa bukan hanya dia, tetapi pakaanku pun telah tersibak tanpa sepengetahuanku. Hanya ada cahaya bintang di tubuhku.
Kelopak-kelopak bunga indah yang mengambang di air dangkal naik turun bersama dengan tubuhku, tetapi yang jauh lebih intim daripada aliran air adalah kecupan-kecupan Phoenix. Dari belakang telingaku menuju leherku, dari sisi dadaku menuju puncak, pria yang biasanya pongah dan arogan ini berputar-putar di sekelilingku, seolah dia adalah tanah yang telah mengalami kekeringan dan pada akhirnya mendapatkan hujan, dengan penuh hasrat dia menyentuh seluruh inci dari permukaan kulitku.
Meski benakku terasa kacau, tubuhku begitu sensitif dan sadar sepenuhnya. Aku hanya merasakan suatu sensasi membara, seolah seluruh tubuhku akan terbakar dalam hawa panas ini. dalam kesadaranku yang berkabut, aku berpikir bahwa api pembakaran nirvana Phoenix takkan mungkin bisa sepanas ini.
Dia tak menguasaiku, dan aku lupa untuk melarikan diri.
Dentum jantungku bagaikan guntur, seakan sesuatu sedang mengisiku. Aku membuka mulut dan suara-suara robek yang asing terdengar sepatah demi sepatah. Aku tak tahu apa itu tetapi aku merasa bahwa sesuatu menusuk ke dalam tubuhku. Rasa sakit yang mengejutkan itu, kekagetan yang seperti suara guntur pertama di musim semi, yang membelah angkasa. lalu tiba-tiba, setelah momen kejernihan tersebut, aku terjatuh dalam kondisi seperti berada dalam angan-angan dengan awan dan kabut mengelilingiku.
Meski aku berpikir kalau aku seharusnya mendorong pergi orang yang telah membawa rasa sakit padaku ini, mulutku justru menggigit bahunya dan tak mau melepaskan. Deru napas orang itu pun menjadi semakin cepat.
Pada saat itu, angin tak bergerak, air tak bergerak, awan tak bergerak, waktu telah berhenti. Hanya ada satu orang yang naik dan turun.
Saat berjalan, terlihat seakan ada kesempatan akan datangnya hujan musim semi, namun setelah tertidur, rasanya begitu santai bagai awan di puncak gunung tinggi.
Bunga-bunga phoenix merah mengambang mengikuti riak-riak air, setetes berwarna merah yang lembut keluar dari tubuh, mengikuti riak air dan menghilang.
“Ph… Phoenix….” Aku tak tahu apakah itu sakit, apakah itu hangat, apakah itu kacau, aku hanya bersandar di dadanya dan terus mengulang-ulang namanya. Bahkan aku tak tahu apakah aku memintanya untuk tidak berhenti, untuk berhenti atau untuk melanjutkan.
Rambut gelap kami terjalin di dalam air, lengan telanjang kami bertaut di bawah cahaya bulan. Setelah riak-riak di air memudar, dia menarikku ke dadanya, jantungnya berdetak dengan luar biasa kencang. Rasanya terlalu penuh terlalu penuh, dia tak bisa berpura-pura lebih lama lagi, dan dia pun melebarkan bibirnya.
“Jin Mi… Jin Mi… Jin Mi….” Dia terus menatapku, terus memanggil namaku, terus memegangi daguku. Panas di matanya begitu membakar, seakan bila aku mengulurkan tangan ke sana, aku akan bisa menangkap bintang-bintang di dalam matanya.
Langit sebagai selimut kami, air sebagai pondok kami.
Pada malam ini, di bawah pohon bunga merah yangmembara, di dalam kolam yang jernih, lagi dan lagi, aku bertautan dengan orang ini yang baru sesaat yang lalu ingin mencekikku hingga mati.
Jadi, inilah pertapaan bersama yang telah disebut-sebut oleh xian rubah. Sungguh sebuah pertapaan bersama yang menyakitkan.
Hari ini adalah tanggal delapan bulan kedua, suatu hari yang baik untuk menikah, hari baik untuk membuat persekutuan, baik untuk pindah rumah, baik untuk melakukan perjalanan, baik untuk penguburan….
Dalam segala hal, sekarang adalah hari baik untuk melakukan semuanya tanpa ada tabu!