Ashes of Love - Chapter 17
Di tengah-tengah telapak tangan Permaisuri Langit, api teratai merah mengamuk. Dia mengangkat tangan kanannya dan sudah akan memukul puncak kepalaku.
Pada saat-saat terakhir itu, kudengar sebuah jeritan tajam, “Jin Mi!”
Kuangkat kepalaku namun hanya melihat seseorang memelesat melalui dinding api seakan itu bukan apa-apa baginya. Aku kehilangan kelima indraku dan hanya bisa menatap samar pada satu sosok yang tampak mencolok. Dia menangis untukku dengan begitu kehilangan dan cemas seakan dia telah kehilangan jiwanya sendiri.
Permaisuri Langit buru-buru mundur. “Phoe….” Sebelum dia selesai berkata, secercah cahaya melintas dan menghantamnya tepat di punggung. Terdengar suara kesakitan, seperti bila dia dihantam oleh suatu kekuatan besar, dan dia memegangi dadanya sambil memuntahkan darah segar.
Saat Permaisuri Langit secara instingtif memegangi telapak tangannya untuk melindungi nadinya sendiri, api teratai merah yang menekan ke kepalaku pun menghilang – akhirnya aku bisa menarik napas lagi. Kupicingkan mataku dan melihat sepasang mata sipit dan panjang menatap balik padaku. Sedikit demi sedikit aku mengenali orang itu dan detak jantungku yang sudah tenang kembali meningkat lagi. Orang ini telah berkata padaku pagi ini, “Jin Mi, kupikir, akan datang hari di mana aku akhirnya akan membunuhmu.”
Sepertinya memang sudah merupakan takdirku untuk mati di tangan sepasang ibu dan anak ini… aku menahan rasa sakit di dadaku dan menyegel meridianku, menghentikan pernapasanku sendiri. Dengan paksa kugigit lidahku, dan dalam sekejap, darah yang hangat dan panas mengalir keluar dari mulutku. Kukerutkan alisku, tanganku yang sedang berpegangan pada lantai kehilangan kekuatannya, dan tubuhku akhirnya roboh sepenuhnya untuk memenuhi harapan mereka berdua.
Mati.
Dalam waktu yang begitu lama, kesunyiannya terasa menakutkan.
“Jin Mi?” Phoenix bertanya pelan – seakan napasnya tersekat di tenggorokannya, begitu ringan dan melayang, seakan nadinya telah ditutup, jantungnya telah berhenti, bergelantungan pada seutas benang. Setelah sunyi sesaat, kudengar dia berkata dalam sikap yang tak bisa lebih tenang dan sederhana lagi, “Kau sudah membunuhnya.”
Dia bicara dalam sikap yang tak mengandung kegarangan maupun kekuatan, namun berisi hawa dingin yang mampu menyelusup ke dalam sumsum tulangmu dan membekukan seluruh organ dalammu. Bahkan aku, yang sedang pura-pura mati, mulai sedikit bergidik.
Permaisuri Langit terbatuk, tidak jelas apakah itu karena lukanya atau sedikit perasaan bersalah, namun suaranya tidak stabil. Sesaat kemudian, dia mendapatkan kembali kesadarannya dan menegur, “Untuk siluman betina ini, kau memukul ibundamu sendiri?!”
Aku merasakan angin dingin menyapuku. Aku tak tahu apakah itu karena apinya telah padam, tetapi kesadaranku perlahan-lahan menjadi lebih jernih. Tiba-tiba aku menyadari bahwa yang telah menghantam punggung Permaisuri Langit memang adalah bulu Phoenix. Jadi Phoenix lah yang telah menyelamatkanku… dan bahkan melukai Permaisuri Langit…. Aku tak mampu memahami semua ini….
“Ya, aku telah memukulmu karena dia, tapi, pukulanku itu hanya untuk menghentikanmu.” Suara itu mengalir dengan mulusnya bagai aliran air, namun terasa hampa dan kosong, “Tetapi Ibunda, kenapa Ibunda dengan begitu kejamnya tega mengirim Jin Mi pada kematiannya?”
“Minggir,” nada suara Phoenix begitu dingin hingga terasa menakutkan.
“Kau!….” Permaisuri Langit menarik napas, dia begitu marah hingga ke ubun-ubun, “Sikap macam apa ini?! Kau bicara pada ibundamu dengan cara seperti ini?! Terlebih lagi perempuan ini licik, siapa yang tahu apakah dia hanya pura-pura mati?”
Aku menjadi was-was, kukira aku bisa memalsukan kematianku untuk lolos dari bencana ini. bila Permaisuri Langit yang kejam dan sadis ini mengirimkan satu tapak lagi ke arahku karena berpikir bahwa aku telah memalsukan kematianku, maka aku akan mati sungguhan. Permaisuri Langit mendengus, “Karena dia sudah mati, apa guna dari mayatnya?” Aku merasakan suatu gelombang api yang membara lembali menekanku.
Phoenix tak menjawab. Aku hanya merasa bahwa udara di sekelilingku mulai berubah. Awalnya hanya sedikit pasir yang mulai melayang, lalu bebatuan, dan mendadak terbentuklah angin ribut yang liar. Aku tak membuka mataku, namun aku bisa merasakan Phoenix sedang berdiri di pusat angin dengan jubahnya mengepak naik, wajahnya dingin, matanya merunduk, tangannya bertaut, bibirnya mengatup rapat saat dia menggumamkan sebuah mantra – mendadak ada kilasan cahaya keemasan yang membutakan, bagai berkas cahaya pertama yang lolos dari malam gelap dan langsung menyerang ke arah Permaisuri Langit.
Permaisuri Langit tak mengira kalau Phoenix akan benar-benar menyerang dirinya. Dia segera mempertahankan api dan menciptakan pembatas untuk melindungi dirinya sendiri, dan pada saat bersamaan, tidak jelas apakah itu karena istingnya atau karena telah dibangkitkan oleh putranya sendiri, namun dia benar-benar mengeluarkan serangannya sendiri untuk menerima serangan Phoenix.
Meski aku merasakan bahwa kekuatan dari serangannya takkan cukup untuk melukai Phoenix, jantungku merosot, ada rasa sakit seperti terpotong yang aneh di bahu kiriku, dan benakku pun menjadi kosong.
“Tu Yao!” Phoenix dan Permaisuri Langit sedang bertarung dan di tengah-tengah pertarungan mereka, sebuah suara dalam yang kuat dan sarat oleh lingli menembus semuanya. Suara itu bicara dengan nada tak percaya dan kekecewaan yang mendalam. Tak lain tak bukan, itu adalah suara Kaisar Langit.
Permaisuri Langit teralihkan perhatiannya dan aku mendengar suara ‘Peng!’. Tidak jelas dia dihantam oleh kekuatan berat yang mana, namun tubuhnya melayang mundur di udara. Aku merasakan adanya selapis uap.
Pada saat ini, tubuhku yang berpura-pura mati dibawa ke dalam dekapan hangat. Sebuah tangan yang dingin dengan perlahan dan sangat hati-hati membelai wajahku, seakan sedang terbuai dalam mimpi, “Jin Mi… Jin Mi….”
Ah, ternyata adalah ayah Dewa Air. Sepertinya Phoenix juga berada dalam jarak dekat, namun napasnya kacau berantakan. Dia tak bicara.
Sepertinya juga ada orang lain di sekeliling, namun nadanya terdengar tenang dan dingin, aku menerka-nerka dengan siapa dia bicara. “Dewa Agung jangan terburu-buru, tubuhnya tak terluka, jiwanya mungkin belum melayang, apalagi… saya tahu bahwa Jin Mi…,” dia ragu-ragu seakan sedang memutuskan apa yang akan dikatakan, namun kesunyian akhirnya menggantikan sisa perkataannya. Ternyata itu adalah Xiao Yu Xian Guan. Tapi bagaimana bisa mendadak semua orang ada di sini?
Setetes, dua tetes, tiga tetes, tiga mutiara air yang dingin meluncur turun di pipiku, dan satu mendarat di bibirku, menyelusup pada celah di antara bibir. Rasanya sedikit asin…. Aku tak tahu siapa yang telah meneteskan air mata untukku, meski jumlahnya hanya ada tiga tetes, suatu rasa gembira pun tumbuh di hatiku, meski aku tak mengerti apa sebabnya.
Saat aku sedang memutuskan apakah aku harus terus berpura-pura mati, kesunyiannya dipecahkan oleh suara dalam Kaisar Langit, “Selama bertahun-tahun ini, aku terus mengatakan pada diriku sendiri bahwa perangaimu hanya sedikit gegabah, perkataanmu sedikit galak, kau sebenarnya tidak jahat… tetapi hari ini, bila bukan karena Run Yu yang telah menerima kabar bahwa ada kekacauan di bawah dan bergegas memanggilku untuk kembali, bila aku tak meliaht dengan mataku sendiri… aku takkan pernah bisa membayangkan bahwa kau ternyata begitu kejam! Tu Yao, kau sudah berada di puncak Dunia Kahyangan, apa lagi yang tidak kau miliki, kenapa kau harus melakukan hal ini…?!”
Permaisuri Langit yang telah terkena hantaman dari ayah, luka-lukanya tidak ringan. Aku bisa mencium bahwa dia telah memuntahkan darah segar. Dia tertawa, “Yang Mulia bertanya padaku kenapa… aku juga ingin tahu kenapa…. Permaisuri Langit, lalu apa? Apa aku pernah memiliki bobot dalam hatimu? Meski aku adalah seorang dewi, aku tak ada bedanya dengan gadis manusia, yang kuinginkan hanyalah hati yang setia… tetapi Yang Mulia… selain orang itu, apa kau pernah memandang orang lain?” Permaisuri Langit menertawai dirinya sendiri, “Peri karper merah rendahan yang menyedihkan itu, hanya karena dia menyerupai siluet dari orang itu, Yang Mulia bersedia menyukai dia selama setahun! … Apa kau pernah memikirkan tentang aku? Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaanku sebagai istrimu… apa kau pernah mengalami kesedihan karena memakai tatapanmu sendiri untuk mengejar sepasang mata yang takkan pernah memandangmu?”
“Ibunda….” Itu adalah suara Phoenix, sarat dengan kesedihan.
Permaisuri Langit mendadak gelisah oleh tangisan Phoenix ini, “Jin Mi, siluman betina kecil ini! dia adalah tiruan tepat dari orang itu! Aku harus menyingkirkan dia! Aku tak boleh membiarkan dia menggoda dan mengacaukan hati semua orang lagi seperti Zi Fen!”
Ayah menggunakan tenaga dalamnya untuk melindungi nadi jantung di tubuhku. Mendadak dia meletakkan tubuhku dalam pelukan Xiao Yu Xian Guan dan memerintahkan, “Bantu Jin Mi melindungi jiwanya.”
“Baik.” Xiao Yu Xian Guan menerima tubuhku dan memakai tenaga dalamnya untuk melindungi nadiku. Tenaganya begitu hangat dan melegakan. Dalam sekejap, dadaku tak lagi terasa sakit.
“Kau telah membunuh orang yang kucintai, kau telah membunuh putriku! Dendam pembunuhan di antara kita… aku tak bisa hidup di bawah langit yang sama dengan musuhku.” Suara ayah begitu pekat oleh kebekuan dan sarat dengan niatan membunuh. Dalam sekejap, udara di sekeliling kami menjadi dingin dan salju dalam jumlah besar mulai melayang turun dari langit. Aku terpana karena tak pernah melihat ayah yang welas asih serta mencintai dan mengasihani semua makhluk hidup di seluruh dunia tampak begitu marah.
Ayah melontarkan tiga buah tapak, selain jerit kesakitan Permaisuri Langit, aku juga sempat mendengar Phoenix melenguh.
Kurasakan kegelisahan di dadaku dan mataku pun terbuka. Aku melihat di dada Phoenix terhujam dua kristal bunga salju yang tajam, dan bunga-bunga itu dimerahkan oleh darahnya… bibir putihnya berkata dengan penuh tekad, “Yang Agung… Xu Feng bersedia menggantikan tempat ibunya… mohon ampuni nyawanya.”
“Jin Mi….” Kudengar Xiao Yu Xian Guan mengatakan sesuatu di telingaku tetapi aku tak bisa mendengarnya dengan jelas.
“Xu Feng!” Kaisar Langit memakai lingli-nya untuk mencabut kedua bunga salju yang berlumuran darah itu. Dipeluknya Phoenix yang pingsan setelah memakai kekuatan terakhirnya. Dengan marah dia memelototi Permaisuri Langit, “Zi Fen dicelakai olehmu?” Terdapat getaran yang tak terkatakan pada suara rendahnya yang dalam, “Pengawal! Bawa Permaisuri Langit ke penjara! Singkirkan gelarnya, selamanya dia takkan lagi menjadi bagian dari para dewa!”
***
“Jin Mi….”
“Jin Mi….”
“Jin Mi?”
“Jin Mi!”
Seperti tinta pada kuas yang tercelup ke dalam air, gumpalan hitam pekat itu tak bisa terlarut, selalu akan ada satu sosok siluet yang tak mau hilang dari pandanganku – begitu banyak perubahan ekspresi bagai bayang-bayang yang terus berputar pada lampu. Terkadang dingin dan pongah, terkadang di antara tangisan dan tawa, terkadang menggertakkan gigi dalam kebencian, terkadang sedih serta jauh. Meski nada suaranya berubah-ubah, kata itu tak pernah berganti, sejak awal hingga akhir hanya menyebut namaku, Jin Mi. Setiap kali saat aku berusaha melihat wajah orang ini dengan jelas, gambaran-gambaran berbayang itu akan segera menghilang tanpa jejak….
“Jin Mi, Jin Mi.” Seseorang menepuk ringan pipiku dan perlahan aku membuka mata. Aku terbangun berkeringat karena panas, punggungku terasa lengket, dan dadaku naik turun, napasku tidak stabil.
“Mimpi buruk lagi?” Tangan Ayah Dewa Air yang menyejukkan menyapu dahiku dan membawa sekilas angin sepoi, perasaan gerah dan lengket yang tadi kurasakan pun menghilang.
“Jangan khawatir, ayah ada di sisimu.” Ayah duduk di samping ranjangku dan memeluk bahu serta punggungku, seperti sedang menimang anak berusia tiga tahun. Dia menepuk-nepuk ringan punggungku, perlakuannya sederhana, namun menenangkan kegelisahanku.
Sejak Permaisuri Langit memakai apinya untuk melukai organ dalamku dan aku berpura-pura mati, ayah telah berada di sisiku untuk merawatku – merebus obatku dengan tangannya sendiri… kapanpun aku terbangun di tengah-tengah mimpiku, ayahlah yang menenangkanku dan tak pernah merasa lelah ataupun kesal. Saat tenagaku sedikit membaik, ayah mengijinkan Xiao Yu Xian Guan untuk menemaniku. Kapanpun Xiao Yu Xian Guan datang, dia akan menggenggam lembut tanganku dan mengalirkan lingli-nya padaku. Dia tak mampu menyembunyikan rasa sakit di matanya, dan kapanpun dia pergi, dia akan berbalik dengan penuh damba setiap tiga langkah. Kedua puluh empat Pemimpin Bunga juga mengunjungiku beberapa kali, ekspresi mereka amat buruk. Bahkan pernah sekali waktu seorang xian pelayan mengumumkan bahwa Kaisar Langit dan Yue Xia Xian Ren ingin menjengukku, tetapi ayah menolak dengan berkata bahwa aku kekurangan tenaga.
Semua ini terasa amat berbeda dan merupakan pengalaman asing bagiku. Di Shui Jing, terkadang aku akan jatuh sakit selama beberapa hari saat aku melatih tenagaku secara berlebihan. Lao Hu juga hanya akan menyadari bahwa aku jatuh sakit dari wajah pucat kekuninganku beberapa hari setelah aku pulih lalu mengirimkan beberapa tanaman obat penenang untukku. Dan saat terakhir ini aku berlebihan melatih tenagaku, itu adalah ketika aku tinggal di kediaman xian rubah. Saat xian rubah melihat kantong mataku yang gelap dan tebal, dia malah kegirangan, “Jin Mi tidak tidur nyenyak kemarin? Apakah hatimu terganggu oleh gambar-gambar ‘Istana Musim Semi’ yang telah kuberikan padamu?” Xian rubah tersenyum lebar dan memberitahuku, “Mengalami mimpi basah itu bagus untuk memperpanjang hidup.” Pada saat itu, aku belum membaca koleksi gambarnya yang berharga, tapi aku tak mau menghentikan kesenangannya, jadi aku tak meralatnya dan hanya mengiyakan dalam diam.
Karenanya, aku telah tumbuh sendirian dalam empat ribu tahun lebih ini – bertahan hidup sendirian, mati sendirian. Aku sudah terbiasa, tapi mendadak aku punya ayah Dewa Air, aku juga punya tunangan, yang dengan begitu saja menaruhku dalam telapak tangan mereka untuk dilindungi. Perasaan menyegarkan ini membuatku berpikir kalau mati itu tidak buruk juga, aku tak keberatan mati demi untuk mengalami perasaan ini beberapa kali lagi.
Meski tubuhku membaik hari demi hari, mimpi burukku tetap tak berhenti. Kapanpun aku tertidur, aku akan melihat siluet itu yang tak bisa kutatap dengan jelas –aku tak tahu apa alasannya.
Hari ini, saat ayah menyuapiku dengan obat, dia memberiku sebuah senjata tajam – bentuknya seperti daun pohon dedalu, panjang, tipis dan tajam. Senjata itu sarat dengan energi yang membekukan, dan saat kau melihatnya lekat-lekat, senjata itu tampak sejernih kristal.
“Ini dibuat dengan es abadi dan aku telah menempanya dengan separuh dari kekuatan dewaku. Kalau kau membawa ini bersamamu, kau akan punya sesuatu untuk melindungimu saat kau bertemu dengan orang-orang jahat.”
Separuh dari kekuatan dewanya?!
Ayah mengatakan hal itu dengan begitu ringan, tapi aku jadi tak bisa berkata-kata. Demi untuk melindungiku, ayah telah mengorbankan separuh dari kekuatan dewanya! Tak heran, wajah ayah beberapa hari ini menjadi begitu putih pucat, rona hangat yang biasanya ada di wajahnya telah menghilang. Kehilangan begitu banyak kekuatan dewa sekaligus akan membuat ayah mengalami luka dalam, dia mungkin bahkan telah melukai inti pusatnya….
“Ayah, kelak, Jin Mi akan berbakti padamu,” kataku canggung. Seakan aku tak tahu apa yang harus kukatakan, aku hanya bisa berharap untuk membalas jasa ayah Dewa Air saat akhirnya aku berhasi berlatih menjadi dewa.
“Anak bodoh.” Ayah membelai dahiku dan memberikan seuals senyum elegan dan damai.
Malamnya, akhirnya aku berhasil meyakinkan ayah supaya pergi dan bermeditasi untuk menyeimbangkan energinya. Aku membolak-balikkan tubuh du ranjangku. Setelah aku menyimpan pedang es dedalu di balik jubahku, kukeluarkan benda yang bersinar keemasan dari bawah bantalku yang juga dibilang mampu melindungiku. Setelah memandanginya selama setengah harian, ha, ini adalah Pusaka Bulu Phoenix Agung yang berharga. Aku tak tahu bagaimana keadaan burung itu, orang-orang yang datang berkunjung tak pernah sekalipun menyebut-nyebut soal dia, jadi aku tak bertanya. Kediaman ayah juga sebagian besarnya penuh oleh pelayan pria dan tak ada pelayan wanita yang suka bergosip, jadi sampai sekarang aku tak tahu apakah Phoenix telah pulih dari lukanya.
Setelah memikirkannya selama beberapa saat, kuputuskan bahwa bisa dibenarkan secara semosional serta logis bagiku untuk mengunjungi dia.
Setelah berdiri di depan Istana Qi Wu selama sesaat, kuputuskan untuk tidak mengumumkan kedatanganku pada xian pelayan yang menjaga di pintu. Tenggorokanku terluka dan bicara terasa menyakitkan, jadi daripada mengumumkan kedatanganku, akan lebih mudah bila aku melompati dinding saja. Karena aku dulu pernah menjadi shutong selama seratus tahun di Istana Qi Wu, aku paling mengenal susunannya dan dengan cepat menemukan sebuah tempat di mana pembatasnya cukup lemah untuk dilewati. Aku segera mengambil jalan pintas menuju tempat peristirahatan Phoenix.
Aku mengintip lewat jendela dan dari sedikit berkas cahaya yang ada, kulihat Phoenis sedang beristirahat di ranjang dengan mata terpejam, kedua tangannya terlipat di atas perut. Ujung-ujung jarinya begitu putih dan ujung jari itu sedikit terangkat seakan ingin meraih sesuatu. Seluruh wajahnya telah menyusut seputaran, dia telah kehilangan cukup banyak berat badan – sebenarnya, dia kini menampakkan kesan dari seorang cendekiawan lemah yang tak berdaya dan hal itu membuat orang salah sangka hingga ingin melindunginya.
Tepat saat aku hendak memasuki kamar, kulihat ada seorang lain yang sedang duduk di samping ranjang. Aku pun menghentikan langkahku.
Punggung orang itu mengarah padaku, sosoknya berlekuk, dia memegang sebuah sapu tangan sutra dan sedang menyeka ringan dahi Phoenix, menepuk-nepukkan saputangan itu pada titik-titik kecil keringat di dahinya.
Dia tak lain adalah Putri Sui He dari Klan Burung.
Seakan cemas bila Phoenix akan terkena flu, dengan hati-hati dia memasukkan tangan Phoenix yang tersingkap ke dalam selimut. Setelahnya, dia menutul-nutul sisi wajah Phoenix, dia tak mungkin menjadi lebih perhatian dan pengertian daripada ini.
Mendadak, Phoenix yang sedang larut dalam mimpi mengulurkan tangannya. Dicengkeramnya tangan kanan Sui He, kekuatannya begitu mengejutkan dan aku bahkan mendengar Sui He menggumam kesakitan. Bibir Phoenix bergerak pelan dan tidak jelas apa yang dia katakan, namun punggung Sui He menjadi kaku, seakan sedang terkejut. Tetapi sesaat kemudian, dia kembali pulih dan membiarkan Phoenix menggenggam tangannya. Dia bahkan memakai tangannya yang lain untuk mengusap ringan punggung tangan Phoenix. Berkat usapan lembut itu, alis Phoenix yang bertaut pun menjadi santai.
Sesaat kemudian, Sui He mengatakan sesuatu dan kemudian mencondongkan tubuh ke depan….
Dua bibir saling menempel.
Dalam waktu lama….
Kugosok mataku. Aku melihatnya dengan begitu jelas hingga menjadi buram. Phoenix bergerak sedikit, seakan dia terbangun.
Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang Sui He katakan sebelum dia menunduk. Dia bilang, “Aku juga menyukaimu, Xu Feng.”
Aku mengikuti jalur yang tadi kupakai masuk untuk keluar – di luar gerbang depan Istana Qi Wu terdapat undakan berkelok tanpa akhir. Aku duduk di sana dalam waktu lama, menatap rembulan. Kupikir malam ini terlalu gelap sehingga sinar rembulan jadi sedikit terlalu menyilaukan.
Aku masih belum mengantuk. Aku tak tahu siapa lagi yang masih bangun pada saat ini, tetapi aku jelas mengenal seseorang yang tidak mungkin tidur pada saat ini.
Dalam kegelapan malam, di Istana Xuan Ji, Xiao Yu Xian Guan sedang setengah berbaring di atas ranjang bambu. Tangan kanannya menyangga sisi dahinya dan tangan kirinya memegang sehelai perkamen. Hanya ada cahaya kunang-kunang, dan mereka menari ringan di sekeliling.
“Jin Mi?” Xiao Yu Xian Guan bangkit, “Kenapa kau kemari? Udara malam begitu dingin, kenapa kau keluar dengan bertelanjang kaki padahal kau belum pulih sepenuhnya?” Dia melemparkan perkamennya ke samping dan menghampiriku, nada suaranya tegas.
Kutundukkan kepalaku dan melihat bahwa jari kakiku telah memerah, baru sekarang aku menyadari bahwa aku tak mengenakan sepatu. Aku tak tahu apakah aku lupa mengenakannya atau menjatuhkannya di tengah jalan. Sebelum aku bisa memastikannya, aku merasakan tubuhku menjadi ringan saat Xiao Yu Xian Guan membopongku. Aku terkejut saat dia meletakkanku di atas ranjang bambu.
Aku duduk di sana, mengerjap nanar selama sesaat, membiarkan Xiao Yu Xian Guan memijat kakiku. Akhirnya, dia menempatkan jari kakiku ke dadanya, tak memedulikan kotoran yang telah disentuhnya di sepanjang perjalanan.
“Ada apa?” Xiao Yu Xian Guan menatapku.
Kakiku telah jauh lebih hangat. Aku membersihkan tenggorokanku yang terasa agak sakit, dan menjawab, “Ada berapa banyak dewi yang sudah melakukan hubungan fisik dengan Xiao Yu Xian Guan?”