Ashes of Love - Chapter 19
Tak ada yang lebih indah daripada hari di bulan keempat. Saat bulan empat di Dunia Fana, bunga-bunga sakura bermekaran, keharuman manis bunga-bunga itu memenuhi udara, umat manusia berpikir kalau ini adalah gambaran akan keindahan. Tetapi, pemandangan semacam itu adalah biasa di Dunia Bunga. Setiap hari adalah hari di bulan empat, setiap musim adalah musim semi. Tak ada yang ingat kapan bunga-bunga itu mekar karena tak pernah layu.
Angin yang hangat membuat orang mengantuk, memenuhi dengan rasa malas. Pada hari-hari pertama ketika aku kembali ke Dunia Bunga, aku kesulitan untuk tetap terjaga… kapanpun kedua puluh empat Pemimpin Bunga berkunjung, aku pasti sedang tidur. Sore ini saat aku bermain catur dengan Xiao Yu Xian Guan, aku nyaris tak bisa bertahan hingga setengah set pertandingan ketika aku berbaring di atas meja batu dan mulai bermimpi. Setengah bermimpi dan setengah tersadar, kupikir aku mendengar Pemimpin Bunga Pertama berkata pada Xiao Yu Xian Guan.
“Anak ini, Jin Mi… ah, hidupnya begitu berat. Bolehkan saya bertanya apakah Dewa Malam tulus kepadanya – tanpa niat buruk apapun?”
“Ini adalah hati saya yang sesungguhnya, Pemimpin Bunga Pertama tak usah curiga.”
“Tetapi bila seseorang memberikan perasaannya yang sejati, maka dia tentu akan berharap bahwa perasaannya itu akan dibalas dengan perasaan sejati juga. Jin Mi itu seperti tanah yang tandus, tak peduli pupuk macam apapun yang Anda berikan, tak peduli betapa telatennya Anda menyirami dan melindunginya, Anda takkan ampu menumbuhkan sehelai kelopakpun. Membicarakan tentang cinta dengannya bagai melemparkan batu ke samudera luas, Anda takkan mendapatkan gemanya. Tidakkah Dewa Malam takut untuk membuang-buang waktu dan upaya?”
“Ah… memangnya apa yang perlu ditakuti? Bila waktu dimaksudkan untuk dihabiskan, saya bersedia menghabiskan seumur hidup saya dengannya… tetapi, untuk alasan apakah Pemimpin Bunga Pertama bicara dengan begitu pesimis mengenai Jin Mi?”
“Uhuk… Jin Mi tumbuh di dalam pengawasan saya. Sifat dasarnya itu baik, hanya saja dia selalu dingin dan tanpa ampun tehadap perasaan. Di samping ingin menjadi dewa, dia tak punya keinginan lain; tak ada seorang pun, tak ada sesuatu pun yang mendapatkan perhatiannya – apalagi menyebut-nyebut soal hatinya. Ketika Dewa Air pergi, apakah Dewa Malam pernah melihat Jin Mi menitikkan air mata setetes pun?”
“Sekarang saat Anda menyebutkannya, dia memang tidak menitikkan air mata. Namun sebuah cinta yang besar tak meninggalkan jejak, sebuah kedukaan yang besar tak memiliki air mata. Bagaimana Pemimpin Bunga Pertama akan tahu apakah Jin Mi sebenarnya berduka di dalam hati? Harap jangan bicara buruk tentang Mi’er, bila saya boleh berterus terang, saya tak suka mendengar perkataan seperti itu.”
“Ah… kalau demikian saya akan berhenti di sini. Sifat seseorang tidak mudah untuk diubah, saya hanya bisa berkarap bahwa upaya Dewa Malam bisa meretakkan logam dan batu.”
Xiao Yu Xian Guan membelai rambut yang terurai di punggungku. Dengan nyaman aku menyandar di lengannya dan tertidur nyenyak.
Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu tetapi mendadak aku menyadari kalau aku tak lagi tidur di atas sebuah lengan melainkan bantal sutra. Xiao Yu Xian Guan pasti sudah pergi dan aku hanya bisa samar-samar mendengar Pemimpin Bunga Pertama mendesah, “Aku tak tahu apakah Pil Tanpa Perasaan merupakan berkah atau beban bagimu….”
Saat aku terbangun kembali, langit sudah terang dan malam telah berlalu tanpa jejak.
Di samping makam Dewi Bunga yang sebelumnya terdapat sebuah paviliun batu. Di siang hari, aku akan membaca buku-buku yang telah diberikan xian rubah padaku. Buku-buku itu bicara tentang emosi dan keterikatan, aku tak mengerti apa yang tertulis di sana, namun aku memaksa diriku sendiri untuk membacanya dari awal hingga akhir untuk mencari tahu rahasianya.
Hari ini aku bangun kesiangan dan merasa bosan untuk membaca, jadi aku mulai menyalin beberapa baris puisi pada selembar kertas saat angin tiba-tiba bertiup dan kertas-kertas dengan tinta di atasnya mulai melayang keluar paviliun.
Kutatap kertas-kertas yang beterbangan dengan penuh minat, dan memutuskan untuk meletakkan kuas kaligrafiku. Aku mulai melipat puisi yang lain menjadi kupu-kupu dan dengan sihirku kubuat mereka terbang keluar paviliun satu demi satu dengan sayap-sayap mereka. Kupu-kupu putih bersih dengan tulisan tinta di atasnya terbang naik turun dalam cahaya mentari, sungguh merupakan suatu pemandangan yang indah, bahkan lebih cantik daripada kupu-kupu yang sebenarnya.
Mendadak, aku mendengar sebuah suara napas yang nyaris tak terdengar di paviliun dan sorot mataku pun kembali ke dalam. Kulihat Phoenix sedang menyandar dengan elegan pada salah satu pilar paviliun. Sorot matanya terpusat pada tangannya yang sedang memegang beberapa kupu-kupu kertas. Merasakan tatapanku, dia mengangkat kepalanya, “Ini tidak buruk.”
“Ya,” aku menganggukkan kepalaku, “Memang, ini tidak buruk, murni seperti kumala, berkilau tapi tidak licin… kalau Phoenix menyukai kertas ini, aku bisa memberikannya padamu.”
Phoenix mengangkat sebelah alisnya dan membolak-balik kertas itu. Dia berkata, “Aku berkata bahwa puisinya tidak buruk.” Dia memungut selembar kertas dan mulai membaca, “Baris-baris puisi tanpa akhir, kerinduan tanpa henti, kubertanya pada tuan muda apakah aku bisa bergantung padamu… meski ada perasaan, takdir dibutuhkan, sebentuk hati dari es menyembunyikan….”
Phoenix menaikkan ujung alisnya, “Kau bicara dengan begitu terang-terangan, membuat orang penasaran dewa mana yang kau rindukan?”
Kubuka mulutku dan sudah akan merespon saat mendadak aku berubah pikiran, “Aku pasti tidak cukup terang-terangan bila Phoenix tak bisa menebak siapa yang sedang kurindukan.”
Phoenix mengepalkan jemarinya dan kertas itu pun terlipat menjadi gumpalan kusut, “Apa maksudmu?”
Aku melihat keluar paviliun dan perlahan menghela napas, “Bukan hanya saputangan yang punya sutra, bila kau mengangkat kertasnya ke arah cahaya untuk dilihat, kertas itu juga akan kelihatan seperti sutra. Sayang sekali kau tak menginginkannya saat diberikan padamu.”
Ekspresi Phoenix tak berubah saat dia menatapku. Mata hitamnya tenang namun ujung jemarinya perlahan bergerak. Jari-jari itu sudah ternoda oleh tinta hitam namun dia tak menyadarinya. Angin memotong melewati benang-benang pernapasan yang kacau. Sesaat kemudian, akhirnya dia membuka mulutnya dan mengucapkan tiap kata dengan serius, “Apa katamu?”
(T/N: di sini, kata Mandarin untuk sutra maupun benang sama-sama 丝)
Kuamati ekspresinya yang tak terbaca dan tiba-tiba teringat sesuatu. Kuungkapkan hal itu dengan tenang, “Apa kau bisa tidak menikahi Putri Sui He?”
Dengan ini, wajah Phoenix akhirnya menampakkan pergerakan. Dia terperangah menatapku, api di matanya seakan telah bertemu dengan sehembus angin, “Ah? Kenapa?”
“Belakangan ini aku telah membaca beberapa buku medis, semuanya menyebutkan bahwa tidak baik bila menikahi seorang istri dari leluhur yang sama. Bayi-bayimu akan memiliki satu jari tangan atau kaki lebih sedikit. Bagaimanapun, itu tidak bagus. Karena kau dan Putri Sui He adalah sepupu dan berasal dari klan yang sama, tidak bagus bagi kalian untuk menikah,” ujarku tulus. Langka sekali aku memberi nasihat tulus kepada seseorang.
Ujung mulut Phoenix sedikit terangkat seakan dia tak tahu apakah harus menangis atau tertawa, “Aku harus berterima kasih padamu karena telah memikirkanku, tapi….” Matanya meantap lurus padaku seolah dia sedang bertekad untuk menatap ke dalam hatiku, “Tetapi bagaimana bila kukatakan padamu bahwa hal itu hanya berlaku pada manusia dan tak berlaku pada para dewa, apakah kau bersedia merelakan aku untuk menikahi Sui He?”
Dia menatapku, sang Dewa Api arogan yang tak terkalahkan ini. Pada saat ini ada kesan kerapuhan di antara alisnya, seolah dia sedang mempertaruhkan hidup dan matinya pada saat ini.
Aku berpikir sesaat dan menjawab, “Tak bersedia.”
Sebuah desahan panjang terlepas. Dengan nyaman Phoenix menutup matanya dan saat dia membuka kembali matanya itu, aku melihat sebuah lesung pipit samar-samar muncu di pipinya, “Kenapa?”
“Kenapa harus ada begitu banyak alasan di dunia ini? Kalau aku tak bersedia, maka aku tak bersedia,” kataku keras kepala.
“Kalau aku tak menikahi Sui He, apakah aku bisa menikahi Yue Bei Xing dari Istana Sembilan Bintang?” Phoenix punya banyak pertanyaan hari ini.
Aku terdiam sesaat lalu menjawab serius, “Yang itu juga sepertinya tidak benar.”
Lesung pipit Phoenix semakin dalam, “Lalu bagaimana dengan Putri Liu Ying?”
“Itu juga tidak bagus,” kugelengkan kepalaku.
Dengan itu, Phoenix terus menanyakan tentang separuh dari para dewi dan peri di enam alam. Karena aku telah begitu penuh pertimbangan untuk memikiran dirinya, aku pun membantunya untuk menolak mereka semua. Senyum Phoenix melebar dan dia jelas-jelas berbinar.
Akhirnya dia duduk di sebelahku, tangannya terangkat pada helai-helai rambut liar dari dahiku dan menempatkannya ke belakang telingaku. Matanya sarat dengan kelembutan, “Jangan khawatir, tak peduli betapa baikpun para dewi itu, mereka takkan bisa memasuki hatiku. Di dunia yang luas ini, hanya ada satu orang yang hidup di hatiku. Dalam hidupku, aku hanya akan menikahi satu orang itu saja.” Dengan perkataan itu, dia pun menarikku dalam pelukan erat.
Aku bersandar di bahunya, dan sepertinya bisa mendengar suara sungai yang naik dan turun. Kututup mataku dan dengan patuh merapikan rambutnya yang menjuntai kemudian balas memeluknya.
Bibirnya menyapu puncak kepalaku. Dia tak bicara, seakan sedang menikmati saat-saat yang tak terungkapkan.
Saat Phoenix hendak pergi, dia meragu sesaat. Pipinya memerah dan dia bertanya, “Apa masih bisa dihitung bila kau memberiku kertas-kertas itu sekarang?”
Aku memberinya beberapa lembar kertas itu dan berkata murah hati, “Tentu saja dihitung. Kau bisa mengambilnya, dan bila tidak cukup, kau bisa ambil lagi.”
Meski Phoenix mengenakan pakaian sederhana, dengan kertas-kertas di tangannya, senyum pada tatapannya, seluruh pembawaannya jadi luar biasa.
***
Xiao Yu Xian Guan perlahan-lahan menajdi semakin dan semakin sibuk. Meski dia tak mengatakan apa-apa, aku bisa mengungkapnya dari ruang di antara alisnya. Bagaimanapun, kunjungannya ke tempatku juga terus meningkat, seringkali dia akan berjaga di bagian kepala tempat tidurku semalaman.
Sebelum aku menutup mata untuk tidur, aku akan melihat dia duduk dengan elegan dan semurni cahaya bulan yang jernih di atas kursi bambu, sambil menyesap teh. Saat aku membuka mata dan terbangun dari mimpi, dia akan masih duduk di atas kursi bambu, tak ternoda, semurni cahaya rembulan, namun di tangannya tak lagi terdapat cangkir teh melainkan sebuah buku puisi. Dia mendongakkan kepalanya dan memberiku seulas senyum, senyumannya selalu begitu manis – jumlah kehangatan yang tepat untuk membuat seluruh tubuhku santai dengan nyaman.
Satu atau dua malam, aku tak bisa tidur dan kami pun bicara tentang seni sihir. Saat fajar merekah, aku merasa sekujur tubuhku lesu dan tidak nyaman, seakan aku telah meminum terlalu banyak arak. Aku begitu kagum pada bagaimana Xiao Yu Xian Guan bisa tetap terbangun sepanjang malam, selalu bergegas mengunjungiku di Dunia Bunga setelah menggantung bintang-bintang di langit. Dia memberiku seulas senyum lembut, “Kenapa aku akan menjadi lelah? Melihatmu tidur dengan manisnya adalah istirahat terbaikku, lebih efektif daripada tidur sepuluh hari.”
Tak peduli berapa banyakpun tugas yang membuat Xiao Yu Xian Guan sibuk, dia tetap bisa bersikap lembut dan penuh pertimbangan pada semuanya – setiap bunga, setiap rumput, setiap orang, setiap binatang.
Lao Hu takut pada kelinci, jadi Xiao Yu Xian Guan meminjam sebuah genderang guntur dari Dewa Halilintar. Genderang Guntur itu hanya seukuran telapak tangan dan bisa dibawa-bawa di pinggang. Saat Lao Hu bertemu dengan seekor kelinci, dia hanya perlu menepuk ringan genderang itu dan akan ada suara guntur yang menggemuruh. Para kelinci itu bukan pemberani dan akan dibuat ketakutan oleh gangguan apapun, jadi mereka akan selalu kabur ketakutan. Lao Hu begitu gembira hingga dia memuji Xiao Yu Xian Guan setinggi langit dan mendesahkan bahwa sebelumnya dia telah salah paham pada sang Dewa Malam.
Lian Qiao memiliki lingli yang rendah dan seringkali sedih karena terkurung di dalam Shui Jing. Dia selalu ingin melihat makhluk-makhluk hidup selain bunga dan rerumputan. Jadi, Xiao Yu Xian Guan memberi dia sebuah cermin yang membuatnya bisa melihat semua jenis makhluk hidup. Hal ini memuaskan keingintahuan Lian Qiao dan dia pun jadi mengejar-ngejarku untuk bertanya bila Dewa Malam ingin mengambil selir, dia hendak merekomendasikan dirinya sendiri.
Tanpa bisa dipungkiri, Pemimpin Bunga Pertama dan kedua puluh tiga Pemimpin Bunga lainnya juga berhasil dimenangkan berkat perhatian dan kemampuan Xiao Yu Xian Guan untuk secara diam-diam dan sempurna menangani semuanya. Dalam waktu singkat, semua xian rumput, peri-peri bunga, kupu-kupu serta serangga, bahkan para serangga yang seukuran bulir beras, jadi mengetahui bahwa dewa paling elegan dan sedap dipandang dalam enam dunia adalah Dewa Malam.
Xiao Yu Xian Guan segera menjadi topik panas para peri di Dunia BUnga. Contohnya, bahkan sekarang saat aku berjalan-jalan di antara batu-batu nisan, kudengar peri belalang dan peri bunga melati bergosip.
“Ah… bagaimana aku harus menggambarkan Dewa Maam? Kemarin malam, dari luar jendela, aku melihat Dewa Malam sedang menyelimuti Tao Tao, sikap itu, tatapan itu, ah… tatapan itu akan membuat siapapun memudar dengan sukarela…,” ujar si peri belalang dengan nada melamun.
Peri melati tak setuju, “Itu tak masuk hitungan. Kau belum melihat Dewa Malam bermain catur dengan Tao Tao. Keahlian catur Tao Tao begitu buruk sampai-sampai akan melawan aturan langit bila Dewa Malam tidak menang. Tetapi Dewa Malam punya kesabaran untuk bermain pelan-pelan dengannya, dan selalu kalau atau menang denagn sempurna dengan dua atau tiga keping bidak saja – membuat Tao Tao bisa mempertahankan martabatnya dan bahagia tak peduli dia menang atau kalah. Tetapi itu seperti bermain musik pada seekor sapi, dan dari pengalamanku selama bertahun-tahun, Tao Tao itu hanyalah seonggok batu yang enak dilihat, tetapi kau tak bisa menumbuhkan setangkai bunga pun dari batu. Melihat Dewa Malam sang naga sejati dihancurkan di tangannya… ah, sungguh suatu tragedi.”
Aku terdiam. Aku tak bisa mengerti bagaimana Xiao Yu Xian Guan bisa dihancurkan olehku? Tidak apa-apa, aku ini murah hati, aku takkan perhitungan tentang ini.
Peri belalang meneruskan, “Bicara tentang Dewa Malam, aku teringat pada Dewa Api yang belakangan ini juga sering mengunjungi Dunia Bunga. Kudengar dulu dia pernah mengajarkan seni sihir kepada Tao Tao dan bisa dianggap sebagai gurunya. Penampilan fisiknya sempurna tanpa ada yang perlu dikritik, sungguh cocok dengan gelar sebagai pria paling rupawan di enam dunia. Bila dibandingkan dengan Dewa Air yang dulu pernah menjadi dewa paling rupawan, dia bahkan menang sedikit dari Dewa Air. Tetapi,sorot matanya itu… merupakan sorot mata dingin yang mengintimidasi. Aku pernah mendengar dia bicara dengan dewa-dewa lain sebelumnya, kata-katanya langka seperti emas, begitu dia mengucapkan sesuatu, dia takkan pernah melakukan hal yang lainnya. Esensi dewanya juga tinggi dan kuat, semua dewa yang pernah bertarung dengannya takut padanya. Aku penasaran bagaimana dua orang dewa yang sama sekali berbeda, Dewa Malam dan Dewa Api, keduanya bisa sama-sama berasal dari Kaisar Langit.”
“Kau salah. Bagaimana kau bisa menggambarkan mereka sebagai sama sekali berbeda? Pada akhirnya, mereka berdua sama-sama merupakan sosok idaman,” Peri melati tertawa.
“Itu benar. Sebenarnya, daripada Tao Tao mengacaukan Dewa Malam, dia seharusnya bersama dengan Dewa Api saja, sebuah batu yang keras kepala melawan tembok es yang kokoh, keras melawan keras, sepertinya cocok.”
“Kau sebaiknya tak beromong-kosong, kelak Tao Tao harus memanggil Yang Mulia Dewa Api sebagai Paman Kecil!”
Para peri di Dunia Bunga perlahan-lahan menjadi seperti para xian wanita dan para dewi di Dunia Kahyangan. Kugelengkan kepalaku dan kembali ke paviliun.
Sebelum aku sampai di paviliun, aku bisa melihat dari kejauhan bahwa Phoenix, yang dilaporkan sangat cocok denganku, dengan santai bersandar pada pilar batu paviliun itu. Tangannya memegang perkamen yang setengah terbuka dan kepalanya menunduk untuk membacanya. Melihat bagian belakang lehernya, mendadak aku mendapat inspirasi dan berubah menjadi sekeping bunga es dan dengan dingin menyelusup turun ke bagian belakang lehernya, menempel beku pada kulitnya.
Siapa yang tahu bahwa Phoenix bukannya hanya tak terkejut, tetapi dia malah meledak dalam tawa yang dalam. Apakah tanpa sengaja aku telah menekan titik vital yang membuat dia merasa gatal? Hatiku merasa tidak senang dan aku pun mengancam, “Cepat serahkan lingli-mu! Kalau tidak….”
Dengan menggoda Phoenix menaikkan ujung mulutnya dan aku bisa melihat lesung pipitnya semakin dalam, “Kalau tidak?”
“Kalau tidak, aku akan menggigitmu!” kataku galak.
Phoenix meletakkan perkamennya, berbalik dan mengubahku kembali ke bentuk asliku. Dia memegang kedua lenganku erat-erat dan tertawa lebih riang lagi, “Memang itulah yang kusukai.” Segera setelah dia tertawa, dia mencondongkan tubuh dan menekan kedua bibirku. Alisnya menutupi mataku – menutupi langit kebiruan yang membuat hati terasa gatal, seakan sehelai bulu angsa telah jatuh di tengah danau, dan sekumpulan riak dengan perlahan, sangat perlahan dan lemah, sangat lemah mulai menyebar ke luar. Kututup mataku dan menggigit bibir lembutnya untuk merespon. Dia terdiam, dan mendadak bibirnya menjadi lebih panas, lebih kuat, seakan dia hendak membakarku, seperti api teratai merah yang membara… bibirnya menyelusup masuk, napasnya menjelajah langsung ke paru-paruku, tak memberiku tempat sedikit pun….
Kehabisan napas, kami berpisah, dan aku hanya merasa seolah jiwaku keluar dari dalam tubuhku, aku merasa panas dan tidak nyaman di sekujur tubuhku. Aku berusaha mengipasi diriku sendiri dengan tangan untuk meredakan hawa panas dari wajahku. Namun di bawah tatapannya yang kukuh, kupejamkan kelopak mataku dan menundukkan kepalaku, kedua pipiku mulai memanas, rasanya begitu panas sehingga bulir-bulir air bisa berubah menjadi uap di atasnya.
Phoenix mengulurkan tangannya dan membelai pipiku, seakan sedang merapikan bulu kucing. Ujung-ujung jarinya perlahan meluncur turun dan menaikkan daguku, “Aku paling menyukai ekspresi malu dan tersipumu. Jangan tundukkan kepalamu, tidakkah kau ingin membuatku melihatnya?” Selalu seperti ini. Dalam waktu nyaris tiga tahun ini, setiap kali dia melihat wajahku memerah, suasana hatinya akan menjadi sangat bagus. Semakin aku gugup, semakin senang dia jadinya.
Aku bergerak dari sisi ke sisi dan berkata, “Aku takkan membiarkanmu melihatnya, tidak akan.”
Phoenix tertawa dan menempatkanku dalam dekapannya, “Baiklah, aku takkan lihat, aku takkan lihat.” Sesaat kemudian, dia meneruskan, “Jangankan hanya tentang lingli, apapun yang kau inginkan, aku akan memberikannya padamu. Bahkan bila kau ingin agar Sungai Langit mengalir terbalik, ikan terbang dan burung berenang, aku akan membantumu meraihnya.”
Aku bersembunyi di lengannya dan tertawa dengan nyaman. Aku memujinya dengan tulus, “Patuhnya.”
Phoenix mengulurkan tangannya dan menjentik ringan dahiku, ekspresinya tenang dan arogan, “Siapa yang kau bilang patuh?”
Kataku genit, “Paman Kecil sangat patuh.”
Phoenix mencengkeram bahuku dan dengan paksa menarikku menjauh dari pelukannya, mata panjangnya menyipit dan dengan mengancam dia menaikkan sebelah alisnya. Meski dia masih tersenyum, lesung pipitnya telah menghilang. Direndahkannya suara dan berkata pelan dengan nada yang tidak dingin maupun hangat, “Paman Kecil? Siapa yang kau panggil Paman Kecil?”
Hatiku bergetar. Melihat betapa dinginnya dia tersenyum, apa aku telah mengenai titik sensitif? Kuputuskan untuk memindahkan kesalahan, “Mereka bilang aku harus menyebutmu ‘Paman Kecil’.”
“Aku tak tahu kalau kau masih dengan tanpa hatinya ingin menikahi Dewa Malam?” Phoenix melepaskanku, berdiri tegak dan menunduk menatapku. Auranya teramat luar biasa, tepat saat aku berusaha memikirkan tentang bagaimana harus merespon, Phoenix meneruskan, “Belakangan ini, kau pasti sangat senang ada Dewa malam yang menemanimu setiap malam?”
Aku menelan untuk membasahi tenggorokanku yang kering, “Kumohon jangan ucapkan kata-kata seperti itu untuk menyakiti hatiku. Apakah aku bahagia atau tidak, tidakkah kau tahu?” aku menyatakan dengan terang-terangan, “Kenapa aku ingin menikahi Dewa Malam, aku hanya ingin menikahimu.”
Wkspresi Phoenix membeku.
“Tetapi… titah pernikahan Kaisar Langit … tak bisa diubah….” Aku memberinya tatapan tertekan.
Phoenix balas tersenyum dan menjentik dahiku. “Kau tak usah cemas tentang ini. Aku punya rencanaku sendiri. Tetapi, pertama-tama kau akan harus bertahan selama upacara pernikahan dalam kurun waktu sebulan….” Dia mengepalkan tangannya erat-erat, seakan ada sesuatu yang tak bisa dia tahan tetapi memaksa dirinya sendiri untuk bertahan.
Satu demi satu, kurenggangkan jemarinya dan melihat bahwa tekanan jemari itu telah meninggalkan jejak darah. Melihat hal ini, seekor serangga mulai bergerak liar di dadaku seolah sedang menggerogoti sesuatu dan membuatku merasa tidak nyaman. Alisku mengernyit saat aku meniup-niup tangannya.
Ekspresi Phoenix melembut dan dia pun menurunkan tatapannya padaku, “Jin Mi, bila dalam keadaan bahaya, antara Run Yu dan aku, siapa yang akan kau bantu?”
Aku tak mengangkat kepalaku dan menjawab, “Tentu saja, aku akan membantumu!”
Menghembuskan napas panjang, Phoenix tampak seperti telah mendapatkan lingli sebanyak lima puluh ribu tahun. “Dengan perkataanmu hari ini, takkan sia-sia bila aku….” Bagian terakhir dari suaranya terlalu pelan, seperti kalau dia bergumam pada dirinya sendiri, tetapi wajahnya memerah.
Sebelum dia pergi, dia memberikan sebuah lukisan padaku. “Aku menggambar ini saat aku sedang senggang, kau bisa mengambilnya.”
Kubuka perkamen lukisan itu dan melihat satu sulur anggur yang berkilauan. Di hadapannya, ada punggung seorang gadis. Dia terlihat samar seolah tidak benar-benar berada di sana tetapi di rambutnya terdapat sebuah tusuk rambut yang menyilaukan. Aku memuji, “Keahlian melukismu telah meningkat. Sosok dewi ini seperti dedalu, tidak buruk tidak buruk, hanya saja dia agak sedikit kurus.”
Phoenix menekan dahinya dan berbicara seakan dia sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri, “Dewi itu adalah kamu.”
Aku membeku sesaat lalu melihatnya dengan lebih teliti lagi. Ah, aku melihat bahwa tusuk rambut itu ternyata adalah Pusaka Bulu Phoenix Agung, dan aku pun menjawab, “Ah, tak heran kelihatannya familier.”
“Terserah terserah….” Phoenix lalu mulai tertawa.
***
Tiga tahun, begitu singkat seakan terjadi dalam sekejap, tak lebih dari waktu yang dibutuhkan bagi sebutir manik untuk melewati tangan Sang Buddha.
Hari ketujuh bulan ketiga, pada malam sebelum pernikahan, Xiao Yu Xian Guan dengan mengikuti adat, tak diijinkan untuk melihatku.
Aku berlutut di depan makam Ayah. Langit malam sarat dengan kunang-kunang yang menari. Kucabut tusuk rambutnya, rambut tebalku pun jatuh tergerai. Kuubah sulur anggur menjadi sebilah pisau. Dengan cepat kuangkat pisau itu dan memotong rapi sebagian rambutku. Kubungkus rambut itu dalam kertas dan memanggil seekor burung pembawa pesan, meletakkan bungkusan tersebut pada punggungnya, lalu menyuruh si burung mengirimkan bungkusan itu kepada Dewa Api.
Burung kecil pembawa pesan itu tampaknya memahami pesanku dan dalam sekejap mata menghilang dalam kegelapan malam.
“Ayah, dulu aku pernah berkata bahwa aku akan berbakti padamu. Aku belum melupakan hal ini, entah apakah Ayah sudah lupa?” Aku berkowtow tiga kali ke arah makam, berdiri, dan mendongakkan kepalaku serta tersenyum.
Benang-benang perasaan, benang-benang perasaan, aku mendesah.
***
“Waktu yang baik telah tiba! Angkat tandunya!”
Pada hari kedelapan bulan ketiga, saat matahari terbenam dan malam tiba, kedua puluh empat Pemimpin Bunga berdiri dalam dua barisan untuk mengantarku. Para peri dan xian bunga, para serangga, cacing, semua peri berkumpul di Shui Jing, dan bahkan berkumpul pada tiga benua dan sepuluh pulau yang membentang di luar Dunia Bunga. Jalur sejauh seribu li, tiga ribu, enam ratus enam puluh enam bunga disusun membentuk karpet panjang yang terdiri dari bunga-bunga yang merekah untuk menunjukkan jalan. Keenam belas xian pendamping yang telah datang untuk menjemput mempelai wanita mengenakan pakaian penuh hiasan dan mengangkat tandu dengan penuh hormat serta upacara megah.
Aku duduk di dalam tandu besar tersebut, kepalaku tertutup oleh kerudung pernikahan merah yang terbuat dari benang-benang sutra yang dihasilkan oleh ulat sutra langit. Kerudung itu menutupi mataku namun untungnya kerudung pernikahan merah tersebut tak dirajut dalam rajutan-rajutan kecil yang rapat sehingga masih ada celah yang membuat sedikit cahaya bisa menembusnya. Samar-samar aku masih bisa melihat apa yang terjadi di luar. Semua bunga-bunga dan hewan aneh yang ada di Dunia Bunga telah berkumpul di sekitar jalur yang diambil oleh tandu tersebut dan aroma pekat semua tumbuhan dan hewan itu membuatku merasa pusing di dalam tandu.
Sesaat kemudian, kurasakan tandunya mendarat.
Kain yang menutupi tandu terangkat. Kulihat sebuah tangan yang putih dan panjang menjangkau ke dalam, auranya menakjubkan. Sebuah suara lembut berkata dalam nada rendah, “Mi’er.” Ini adalah Xiao Yu Xian Guan.
Kuletakkan tanganku pada telapak tangannya dan perlahan dibimbing keluar tandu oleh genggamannya.
Tiba-tiba, suara alat-alat musik mencapai puncaknya. Banyak kupu-kupu penuh warna mulai beterbangan, bangau-bangau mulai menari.
Aku berdiri bersisian dengan Xiao Yu Xian Guan, menatapnya melalui kerudung merah pernikahan. Dia mengenakan mahkota naga kumala dan jubah pernikahan merah yang megah. Alisnya gelap dan matanya begitu jernih, ekspresinya elegan dan menonjol, dia mengeluarkan aura yang bersinar ringan bagai mutiara. Bila dibandingkan dengan keriuhan dari kerumunan di sekeliling dengan hiasan pernikahan yang begitu mencolok, dirinya bagai embun pagi di tengah tinta gelap, selalu tak terganggu dan tak ternoda oleh sekelilingnya.
Dia tersenyum dan menatapku. Dengan sangat takzim dia meraih tanganku dan membimbingku melewati para xian yang telah berkumpul dari enam dunia untuk menonton upacaranya. Yang Shou yang sudah sangat lama tak kulihat memiliki sebuah bola bunga merahdi lehernya saat dia mengikutiku, sesekali dia akan menundukkan kepalanya dan dengan gugup mengintip padaku dari bawah kerudung merah pernikahanku. Saat dia melihatku sedang memelototinya, dia akan segera terlompat dan lanjut berjalan.
Saat kami melangkah, aku bisa melihat bahwa kedua sisi jalan menuju istana dikelilingi oleh para dewa dan xian dari semua dunia, dan bahkan Raja Neraka pun diundang dan duduk di sisi kanan Kaisar Langit.
Kaisar Langit duduk dengan penuh keagungan di atas tahtanya di bagian puncak. Dia mengenakan mahkota dan jubah emas, auranya muram dan alisnya diturunkan. Namun saat dia melihat Xiao Yu Xian Guan dan aku bergandengan tangan, dia memberikan seulas senyum ringan penuh kepuasan.
Xian rubah, yang duduk di sebelah Kaisar Langit, menundukkan kepalanya pada tangan kami yang bertautan seperti rantai yang tak terpatahkan, lalu melihat bagaimana kami berdiri bersisian, dengan nyaris tak ada ruang di antara kami. Ekspresinya ditekuk seperti labu pahit dan alisnya begitu berkerut, hingga bisa dengan mudah membunuh satu atau dua nyamuk. Aku mendengar xian rubah berkata diam-diam padaku, “Xiao Mi’er, bagaimana bisa kau mengabaikan yang lama dan mengalihkan perasaanmu kepada yang baru? Apa yang akan terjadi pada keponakanku yang malang? Kau hanya mendengarkan tawa kekasih baru, namun tak bisa mendengar tangisan kekasih lama!”
Aku juga diam-diam membalasnya dengan penuh perhatian dan berkata, “Yue Xia Xian Ren, harap jangan terlalu gelisah. Duduk dan bicaralah perlahan, Anda akan kelelahan bila berdiri.”
Xian rubah tampak galau kemudian diam-diam menanggapi, “Aku meresmikan pernikahannya. Aku tak bisa duduk.”
Aku sungguh tak bisa melihat bagaimana xian rubah akan punya aura untuk meresmikan pernikahan….
Sorot mata Kaisar Langit dengan kaku menyapu ke seluruh aula besar. Dia menolehkan kepalanya dan bertanya pada xian rubah dalam suara rendah, “Kenapa aku tak melihat Xu Feng?”
Xian rubah menatapku dan menjawab, “Ini adalah upacara penting di Dunia Kahyangan… semua orang berkumpul di sini, Xu Feng pasti sedang dalam perjalanan tetapi terhambat oleh keramaian. Tak ada salahnya menunggu sebentar lagi.”
Kaisar Langit sedikit mengerutkan alisnya seakan merasa tidak puas dengan penjelasan xian rubah dan karenanya dia langsung berkata, “Kita takkan menunggu. Ayo dimulai.”
Xian rubah tampak ingin mengatakan sesuatu lagi tetapi dihentikan oleh Kaisar Langit. Dia tak punya pilihan selain mengumumkan pernikahannya, “Musik!” Dalam sekejap, aula pun dipenuhi oleh musik perayaan dan para dewa di sekeliling menatap Xiao Yu Xian Guan dan aku sambil memuji, “Sungguh pasangan yang rupawan!”
“Mempelai pria dan mempelai wanita memberi hormat pada langit dan bumi!”
Xiao Yu Xian Guan meraih tanganku dan membungkuk kepada Kaisar Langit, lalu kami berbalik dan membungkuk pada Raja Neraka. Kaisar Langit adalah langitnya, Raja Neraka adalah buminya; ini akan selalu menjadi kebenaran yang tak terbantahkan.
“Mempelai wanita dan mempelai pria memberi hormat kepada leluhur!”
Karena ibu Xiao Yu Xian Guan sudah lama meninggal dan hanya tersisa ayahnya, sang Kaisar Langit, bungkukan kedua juga kepada Kaisar Langit. Saat aku menegakkan tubuhku, kudengar Xiao Yu Xian Guan berkata, “Bukan hanya aku berhutang padamu karena telah membesarkanku, kau juga telah mengajariku seperti seorang guru dan menganugerahkan padaku takdir pernikahan ini. Rasa terima kasih yang kurasakan takkan bisa diungkapkan hanya dnegan dua kali bungkukan. Hari ini pada pernikahan besarku, secara khusus aku memberi hormat padamu, Ayahanda Kaisar, dengan secangkir air jernih ini untuk mengekspresikan hatiku padamu.”
Kaisar Langit menerima cangkir kumala hijau yang telah dibuat oleh Xiao Yu Xian Guan dan berkata puas, “Betapa berharganya karena Run Yu memiliki perasaan seperti itu.” Dia lalu menghabiskan minumannya dalam sekali tenggak.
“Mempelai wanita dan mempelai pria saling memberi hormat!” Setelah bungkukan ini, upacaranya akan menjadi lengkap. Hatiku terasa agak gugup saat kudengar xian rubah mengulur-ulur setiap katanya, seakan enggan untuk menyelesaikannya… setiap kata menjadi lebih panjang daripada satu kalimat….
Tepat saat xian rubah akhirnya selesai mengucapkan kata terakhir, pintu istana terbuka dengan suara berdebum seolah didorong oleh angin yang kuat. Semua dewa melihat ke belakang dan aku pun ikut mengangkat kerudung merah pernikahanku.
“Tunggu!”
Phoenix melangkah memasuki aula dengan jubah biru keperakan yang sangat berkebalikan dengan aula yang menyala dengan warna merah seremonial.
“Xu Feng!” Suara Kaisar Langit terdengar semakin dalam, “Apa yang kau lakukan?”
Phoenix melemparkan orang yang sedang dia pegangi dengan tangannya ke tengah-tengah aula. Semua orang akhirnya menyadari bahwa dia telah masuk sambil membawa seseorang. Mata panjang Phoenix dengan tajam menyapu ke sekeliling, diangkatnya sebilah pedang panjang di tangan dan menunjuk pada Xiao Yu Xian Guan, “Ayahanda Kaisar, takutnya Anda telah bertanya kepada orang yang salah. Anda seharusnya bertanya kepada Dewa malam tentang apa yang sebenarnya dia lakukan!”
Xiao Yu Xian Guan menatap orang yang terikat di tengah-tengah aula ini. Ekspresinya tak berubah tetapi auranya sedikit meredup, “Apa maksud Dewa Api?”
Phoenix meliriknya lewat sudut mata tetapi tak bicara. Dia memerintahkan orang yang sedang berlutut di lantai, “Saya harus merepotkan Tai Si Xian Jun untuk mengangkat kepalanya.”
Saat para dewa mendengar nama orang itu, semuanya pun terperanjat. Orang itu mengangkat kepalanya, dan meski dia kelihatan agak berantakan dan sedikit terluka, semua orang bisa mengenali bahwa ini adalah Jenderal Langit Tai Si yang memiliki kekuatan militer yang besar.
“Pada hari pernikahan Dewa Malam yang besar-besaran, dia tak lupa untuk memerintahkan para prajuritnya. Sementara semua orang berkumpul untuk menyambut pengantin wanita, dia memerintahkan Jenderal Langit Tai Si untuk pergi mencuri segel Kaisar Langit! Sungguh sebuah taktik yang bagus – memakai upacara untuk menyembunyikan niatmu yang sebenarnya!” Dengan perkataan tersebut, semua orang terlonjak seakan disambar petir. Semua dewa di istana berpaling pada Dewa Malam dengan curiga.
Semua dewa sudah tahu bahwa para prajurit langit dan jenderal langit dipecah menjadi delapan faksi, lima di bawah kendali Phoenix dan tiga di bawah Dewa Malam. Jenderal Langit Tai Si selalu mengikuti Xiao Yu Xian Guan dengan setia. Sudah jelas siapa yang berada di belakangnya.
“Di depan istana, aku menyambut mempelai wanita; di belakang istana, kau mengatur pasukanmu. Ada seratus ribu prajurit dan jenderal langit yang menunggu untuk mengepung Istana Sembilan Kabut Awan Kaisar Langit.” Dengan setiap kata dari Phoenix, hati orang-orang pun melompat dalam teror. “Begitu upacaranya lengkap dan genderangnya ditabuh, pra prajurit akan menyerbu masuk dan menangkap Kaisar Langit, apakah kata-kataku benar, Dewa Malam?”
Akhirnya, ekspresi Xiao Yu Xian Guan menggelap dan dia mengatupkan bibirnya.
Dengan satu jentikan jari dari Phoenix, sebuah kilasan cahaya yang tak terhentikan mengenai genderang besar. Sebelum suaranya bahkan berhenti, seluruh pasukan telah mengerubungi ke dalam aula istana. Pasukan itu saat melihat orang yang terikat di tengah-tengah aula, langsung menyadari bahwa situasinya telah berbalik, dan membeku tanpa daya.
“Pengawal! Ringkus Dewa Malam!” Phoenix memerintahkan dan dua dari orangnya pun menyerbu ke dalam istana lalu meringkus Xiao Yu Xian Guan. Masing-masing dari mereka memegangi satu tangannya dan menariknya ke belakang lalu menekankannya pada bahunya.
Phoenix maju beberapa langkah dan melindungiku di belakang punggungnya.
“Run Yu, apa yang akan kau katakan?” Alis Kaisar Langit bertaut rapat saat dia menatap Xiao Yu Xian Guan, matanya sarat dengan kekagetan dan kekecewaan.
Xiao Yu Xian Guan dalam jubah merah dan mahkota kumala, meski dirinya dipegangi, tak sehelai pun dari rambutnya yang keluar dari tampatnya. Dia tersenyum ringan saat menatap lurus pada Phoenix, “Tidak ada. Siapapun yang menang akan menjadi Kaisar, kecuali kalau aku salah, sang belalang mengincar jangkrik tetapi tak tahu bahwa pipit kuning berada di belakangnya.”
Phoenix menatap tenang pada Xiao Yu Xian Guan yang kekuatannya telah diikat oleh tali emas, “Perkataanmu tentang pipit kuning itu tidak terlalu tepat. Hari ini Dewa Malam telah seperti ulat sutra yang memintal kepompongnya sendiri, terjebak dalam siasatmu sendiri.”
Xiao Yu Xian Guan tersenyum dan menggelengkan pelan kepalanya.
“Kami setia kepada Dewa Malam dan bersedia mati untuknya!” Para prajurit yang telah menyerbu masuk sudah mulai berteriak. Dalam sekejap, para prajurit menyerbu ke arah para dewa di sekeliling untuk menjadikan mereka sebagai tawanan. Sebagian besar dewa adalah tipe cendekiawan dan secara alami bisa dengan mudah dikalahkan oleh para prajurit.
Tetapi, Phoenix sudah bersiap. Dengan satu kerlingan mata dan satu perintah darinya, lebih banyak lagi prajurit yang berlari masuk dari luar untuk menghentikan para prajurit pemberontak Dewa Malam. Dalam sekejap, aula perayaan telah berubah menjadi tempat beradu pedang.
Kaisar Langit terpana. Dipukulnya lengan emas tahtanya dan sudah akan bangkit, tetapi sebelum dia bisa berdiri dengan benar, mendadak dia ambruk kembali ke tahta. Dia menatap Xiao Yu Xian Guan dengan sorot tercengang, “Air apa yang kau berikan untuk kuminum?”
Xiao Yu Xian Guan menjawab dengan tenang, “Sesuatu yang akan membuatmu kehilangan kekuatanmu selama empat jam.”
“Kau! ….” Kaisar Langit tampak begitu merana dan dibuat tak mampu berkata-kata. Xian rubah membantu Kaisar Langit dan menatap Xiao Yu Xian Guan dalam kemarahan. “Run Yu, aku selalu tahu bahwa hatimu itu dalam dan penuh perhitungan, tetapi aku tak pernah tahu bahwa kau adalah orang yang tidak setia, tidak patuh, dan tidak berbakti. Tidakkah kau takut pada hukum karma?”
Xiao Yu Xian Guan menatap tenang pada Kaisar Langit dan berkata, “Seseorang yang tidak seta, tidak patuh, dan tidak berbakti, bagaimana dia bisa punya hak untuk menuntut agar orang lain setia, patuh, dan berbakti kepadanya? Demi naik tahta, Kaisar Langit sendiri telah membunuh saudara-saudaranya, menyia-nyiakan Dewi Bunga, menikahi seorang dewi yang keji, melecehkan ibundaku, mengabaikan putranya. Kalau saja bukan demi melawan Suku Iblis, akankah dia memanggilku kembali? Dia juga dengan brutalnya memisahkan Dewi Bunga dan Dewa Air – dia telah membuat Dewi Angin menikahi Dewa Air dan menghancurkan Dewi Bunga setelah meracuninya. Kemudian, dia juga menghancurkan takdir pernikahan ibundaku dengan Raja Ikan dari Laut Timur, membuang dia, dan membiarkan ibuku terbunuh. Bila memang ada keadilan Langit, maka karmanya telah tiba.”
Rona wajah Kaisar Langit memudar.
“Run Yu tak mengharapkan bisa terbebas dari tuduhan, namun dalam hatiku, aku ingin membayar hutang kepada ibu untuk membesarkanku,” Xiao Yu Xian Guan menatapku dengan tenang dari kejauhan, bahkan jubah merah gelapnya tak bisa menutupi kedamaian yang menguar dari dalam dirinya, “aku tak punya penyesalan dalam hidup ini, hanya saja aku berhutang pada satu orang.”
Aku membalas tatapannya lalu berpaling untuk melihat para jenderal langit yang sedang bertarung satu sama lain. Prajurit-prajurit Dewa Malam lebih lemah dan tampaknya kemenangan akan diraih oleh orang-orang Phoenix. Phoenix berdiri tenang di depanku, “Jangan melihat, berhati-hatilah karena pedang tak punya mata.” Diangkatnya telapak tangan untuk menyerang beberapa orang prajurit, di tengah-tengah telapak tangannya tumbuh lidah api menyala-nyala dan para prajurit pemberontak itu pun langsung terbakar hingga mati.
Kutatap bahu dan punggungnya yang lebar, lalu mengikuti pergerakannya dan melihat dengan seksama pada telapak tangannya, pada lidah api yang membara di telapak tangan itu. Dalam kurun tiga tahun ini, aku telah berulang kali melihat kedua tangan ini, setiap garis dan lengkungan bisa kuingat dengan jelas, berkata pada diriku sendiri bahwa ini adalah tangan-tangan itu, ini adalah Lidah Api Teratai Merah yang telah mengambil satu-satunya ayahku, telah membakar jiwanya.
Aku tak menangkap apa yang dikatakan Xiao Yu Xian Guan dan hanya mendengar dia menekankan pada tiga kata, ‘Hutang untuk membesarkanku’.
Suara-suara di sekeliling mulai memudar dan aku tak lagi mampu mendengar atau melihat apapun – hanya hujan badai petir lebat pada hari itu. Aku terbangun dengan waspada oleh suara hujan, dan aku melihat Ayah tidur di samping ranjangku. Matanya membuka dengan lelah dan berkata lembut, “Tidurlah sedikit lagi, aku akan pergi mengambil obatmu.”
Tetapi, aku tak pernah berhasil menunggu semangkuk obat pahit itu, tak bisa menunggu rasa manis dingin yang datang setelah semangkuk obat pahit itu….
Xian pelayan Ayah yang selalu menemaninya berusaha sebaik mungkin untuk melarikan diri, dia telah merangkak hingga pintu kamarku. Dia tak punya tenaga lagi bahkan untuk mengeluarkan satu kata pun, tetapi menggunakan kekuatan terakhirnya dia berulang-ulang membuat gerakan mulut yang sama.
Aku mendorong mayatnya dan bergegas menuju tungku. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat abu Ayah perlahan memudar. Dengan panik kuulurkan tanganku untuk menghentikannya, namun aku hanya berhasil menangkap satu lengan jubahnya yang setengah hancur. Masih ada sedikit kehangatan yang tersisa, tetapi orangnya telah menghilang, hanya meninggalkan uap ringan dari perasaan hangat.
Akhirnya aku menyadari apa yang telah mati-matian berusaha dikatakan oleh xian pelayan itu – ‘Api’.
Semua orang sudah tahu bahwa hanya ada satu hal yang bisa menghancurkan Dewa Air – Api Teratai Merah.
Semua orang sudah tahu bahwa hanya ada dua orang yang bisa menggunakan Api Teratai Merah – Permaisuri Langit dan Dewa Api.
Karena Permaisuri Langit berada di dalam penjara, selain Phoenix, tak ada yang lainnya….
“Karena berusaha membunuh putrimu, Dewa Air ingin mencabut nyawa ibundaku. Xu Feng bersedia menerima tiga tapak demi ibundaku. Aku khawatir bahwa meski dia berada dalam penjara, Dewa Air masih ingin melukai ibuku. Lebih baik memusnahkan Dewa Air supaya tak ada lagi kekhawatiran!”
Ingatan-ingatan dalam benakku tercabik dan tersusun berulang kali. Kepalaku sakit, sakit sekali hingga membuatku memejamkan kedua mataku.
“Jin MI! Jin Mi?” Phoenix berbalik dan memanggil lembut namaku di telingaku.
“Tidak apa-apa,” balasku ringan.
“Jangan lihat lagi.” Tanpa ragu Phoenix menutupi pandanganku dan berbalik untuk menghadap ke depan lagi. Dia mengulurkan tangannya pada Xiao Yu Xian Guan, di ujung-ujung jarinya mekarlah sebuah bunga teratai yang benderang, angin di Istana Sembilan Kabut Awan mulai menguat dan membaut jubahnya beterbangan. Ujarnya pongah, “Melawan lebih banyak orang lagi hanya akan menyebabkan kematian bagi mereka yang tak berdosa. Hari ini, takutnya pemberontakan ini hanya akan berhenti dengan kehancuran Dewa Malam.”
Pada saat ini, aku tak bisa melihat wajah Phoenix. Aku hanya bisa melihat tulang punggungnya yang panjang, punggungnya yang menghadapku, bagai pintu yang terbuka. Kulihat Xiao Yu Xian Guan yang menatap melewatinya dan aku pun tersenyum. Memang, buku-buku tentang percintaan tidak mengkhianatiku.
Benang-benang perasaan, benang-benang perasaan, perasaan yang terjalin dengan benang-benang ini, yang bersedia memberikan hati mereka padaku….
Benar, dia telah meletakkan rambutku di tempat yang paling penting, membalas upayaku untuk merayunya dalam tiga tahun terakhir. Ternyata pusat dari inti dewanya tidak berada di antara alis melainkan di tengah dadanya!
Kutundukkan kepalaku dan menatap pada belati es yang berbentuk daun dedalu, tipis bagai daun, bening bagai es, tajam di kedua sisi.
Dalam sekejap, kutusukkan belati itu menembus bagian tengah punggung Phoenix.
Ayah, aku pernah berkata kalau aku akan membalas jasamu, tetapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Hari ini, sekarang, dengan tanganku sendiri aku membunuh orang yang telah membunuhmu. Apakah hal ini telah memenuhi baktiku padamu?
Aku tak ragu-ragu dan memakai segenap kekuatanku untuk menekan belati pada punggung yang tak terlindung itu.
Aku melihatnya masuk tanpa halangan… dengan mata kepalaku sendiri aku melihatnya menembus benang-benang perasaan, dan memaksanya menembus hingga bagian depan dadanya….
Pada permukaan belati, setetes darah merah perlahan muncul. Dalam satu tetes itu, sebuah bunga mungil pun berkembang, merah terang.
Empat arah di sekeliling kami menjadi sunyi, begitu sunyi hingga aku bisa mendengar mekarnya sang bunga.
Dia menyandar di dadaku dan perlahan berbalik, ujung hidungnya menyentuh ujung hidungku. Kami begitu dekat hingga aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya pada pupil hitam yang kaget di matanya, aku bisa melihat seluruh wajahku dalam sorotan itu, memandang jelas pada pengkhiatanku yang terang-terangan.
Dia bertanya, “Kenapa…?”
Aku membalas, “Kau tahu.”
Dia bertanya, “Apa kau pernah mencintaiku?”
Kubilang, “Tak pernah sekalipun.”
Saat kami bicara, kami berada sangat dekat, begitu dekat hingga bibir kami saling bersentuhan ringan… hal itu mengingatkanku pada satu siang hari, banyak siang hari, awan-awan begitu cerah, anginnya begitu jernih….
Aku kebingungan, “Cinta, apa itu?”
Tetapi, dia tak berkata-kata lagi.
Aku tak pernah memahami apa itu cinta, hanya membaca buku-buku tebal itu untuk mencoba dan memahami emosi dan perbuatan yang mereka gambarkan. Aku belajar cara untuk membuat wajahku memerah, aku belajar cara untuk tampak seperti seorang gadis yang malu-malu.
Siapa yang akan berkata padaku apakah aku telah belajar dengan baik…?
Darah hangatnya membasahi kedua tanganku dan meresap ke dalam jubah pengantinku. Darah merah pada jubah merahku memekarkan satu demi satu bunga berkelopak merah gelap.
Mata phoenixnya terpejam, bagai seorang anak yang tertidur nyenyak. Perlahan aku melihat dia menjadi tembus pandang, menipis, menghilang bagai abu yang tersapu oleh angin… akhirnya, dia menjadi sebuah lidah api. Dalam sekejap, semua yang ada di belakangku dihancurkan oleh lidah api itu. Namun aku, membawa Pusaka Bulu Phoenix Agung, tak terluka sama sekali….
“Jin Mi, kau sudah tahu hatiku. Bahkan bila kau mengutukku, membenciku, aku takkan membiarkanmu menikahi Dewa Malam!”
“Pergi ke neraka – lalu apa? Tak ada yang kutakuti di dunia ini!”
“Jin Mi, kupikir, akan datang hari di mana aku akhirnya akan membunuhmu.”
“Apa masih bisa dihitung bila kau memberiku kertas-kertas itu sekarang?”
“Kau… kau tak punya hati maupun paru-paru….”
“Jangan khawatir, tak peduli betapa baikpun para dewi itu, mereka takkan bisa memasuki hatiku. Di dunia yang luas ini, hanya ada satu orang yang hidup di hatiku. Dalam hidupku, aku hanya akan menikahi satu orang itu saja.”
….
Sebuah energi yang kuat menghujam jantungku dan aku pun roboh ke lantai, memuntahkan semulut penuh darah hitam. Sebutir mutiara cendana bergulir dalam darah itu kemudian menghilang.
Menghadapku, Xiao Yu Xian Guan melepaskan tali emasnya….