Ashes of Love - Chapter 22
Xiao Yu Xian Guan duduk di pinggir ranjang. Ditundukkannya kepala dan menerapkan obat pada pergelangan tanganku. Mendadak, dia menggenggam tanganku dan menggulung lengan bajuku hingga ke pangkalnya. Seluruh lenganku terpampang di depan matanya. Aku terperanjat dan ingin menarik kembali lengan baju itu tapi dia memeganginya kuat-kuat hingga aku tak bisa bergerak.
Dicengkeram dengan begitu kuat olehnya, lenganku mulai terasa semakin sakit lagi dan aku pun menarik napas dalam-dalam, “Ah….”
Aku tak pernah tahu bahwa Xiao Yu Xian Guan memiliki sisi ganas sehingga aku jadi membeku ketakutan. Tetapi, dia tak mengangkat kepalanya, matanya terpaku pada luka-luka bakar yang kuderita akibat api Samadhi. Kerutan alisnya semakin dalam, ujung mulutnya mengerat, dan dia tak menerapkan obatnya selembut sebelumnya. Rasanya seakan dia sedang membalas dendam dan memakai krim obat itu untuk menggosok luka bakarnya secara kasar. Rasa sakit itu membuat air mata menggenang di mataku namun aku tak berani bersuara sedikit pun.
Setelah dis selesai mengoleskan obat, ekspresinya tampaknya menjadi semakin buruk. Dia membuka mulutnya beberapa kali seakan hendak mengatakan sesuatu, namun tak bisa. Akhirnya, dia memalingkan kepalanya dan berjalan pergi.
Saat aku menyadari hal ini, aku segera mengulurkan tanganku dan mencengkeram lengan bajunya. “Xiao Yu Xian Guan…,” aku memanggilnya tapi tak tahu bagaimana harus melanjutkan. Aku sudah tak tahu apa yang ingin kukatakan saat aku menarik dirinya.
Dia tak menolehkan kepalanya sama sekali. Dengan punggung tegak dan kepala tak menoleh, dia berkata dingin, “Jangan bicara. Jangan katakan apa-apa padaku.” Seketika, dia menghembuskan napas pelan, begitu pelan hingga seperti awan yang berarak lewat, “Beberapa hal… lebih baik tak diketahui. Semakin jelas hal itu, akan jadi semakin menyakitkan.”
Diturunkannya pandangan pada cengkeramku di lengan bajunya. Dia tampak ragu-ragu tetapi akhirnya berkata dengan nada tenang, “Lepaskan aku.”
Aku tak tahu perasaan apa yang ada di hatiku ini, tapi aku menurut dan melepaskan lengan bajunya. Lama waktu berlalu tapi dia tidak pergi. tanpa bersuara, aku bebalik kembali ke kamarku. Hanya dengan dua langkah, kudengar hembusan angin yang ringan di belakangku. Xiao Yu Xian Guan telah berbalik untuk memelukku. “Mi’er.”
Aku membeku saat mendengar detak kencang jantungnya. “Mi’er, bisakah kau tak membiarkanku melihat punggungmu lagi? Aku menunggumu untuk berbalik kembali, aku selalu menunggumu untuk berbalik kembali. Apa kau tahu ini? Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku memanjakanmu, membiarkanmu melakukan apapun yang inginkan. Bila saja aku menjalani setiap harinya dengan menutup satu mata dan menipu diriku sendiri, bila semua ini bisa membuatmu bahagia, membuatmu sehat kembali, suatu hari nanti kau akan melihat segala kebaikan di dalam diriku, melihat perasaanku untukmu. Tetapi, kenapa… kenapa kau tak eprnah berbalik kembali? Kenapa kau bersedia membiarkan dia membakarmu dengan api Samadhi namun tak bersedia mencari dekapanku?”
Dia meantapku – sorot matanya sama sekali tak bercahaya seolah dia tinggal dalam jurang kegelapan, “Hingga hari ini, apa kau masih mencintai dia?”
Dengan panik aku mendorongnya pergi, “Apa yang kau katakan? Cinta? Aku tak pernah mencintai dia. Aku membencinya, aku membencinya!” mendadak aku merasakan suatu hawa dingin di sekujur tubuhku, suatu hawa dingin yang lahir dari tulang-tulangku. Kupeluk lenganku erat-erat untuk memberi kehangatan pada diriku sendiri, “Aku hanya terkena mantra kutukan. Kenapa kau tak memahami hal ini?”
“Mantra kutukan? Mantra kutukan… aku juga telah terkena mantra kutukanmu, kenapa kau tak melepaskanku?” Dia menundukkan kepalanya sambil tersenyum pasrah, “Kau bisa melepaskanku, tetapi aku takkan pernah melepaskanmu….”
Aku mengamati saat kain yang menutupi jendela tersibak lalu jatuh kembali, kemudian tersibak lagi karena tertiup angin, sama seperti hatiku yang terasa begitu hampa seakan seseorang telah mengeluarkannya.
Aku tak mengerti apa-apa….
Setelah lolos dari api yang waktu itu, dalam waktu sangat lama, aku tak pergi lagi ke Dunia Iblis. Aku takut bila melihat dia dan juga takut bila dia melihatku. Aku juga selalu menghindari Xiao Yu Xian Guan, aku tak tahan melihat dia, juga tak tahan dia melihatku.
Setiap hari, aku memberi makan Yan Shou, aku menanam bunga dan tetumbuhan dan menghitung harapan akan turunnya hujan yang diberikan padaku oleh Xiao Yu Xian Guan dari doa-doa yang ditulis oleh manusia. Terkadang aku berpikir, manusia bisa membuat harapan kepada para dewa untuk masalah mereka, tetapi kepada siapa para dewa bisa berdoa saat mereka memiliki masalah mereka sendiri?
“Tentunya, bisa membuat harapan kepada Kaisar Langit! Bila Dewa Air memiliki harapan, Kaisar Langit pasti akan membautnya jadi kenyataan!” Li Zhu bicara dengan wajah penuh kekaguman untuk Xiao Yu Xian Guan.
Aku memelototinya.
“Dewa Agung, tolong jangan pelototi saya. Li Zhu hanya menyatakan kebenarannya. Selama bertahun-tahun ini, bagaimana Kaisar Langit telah memerlakukan Anda? Bahkan bila orang lain tidak tahu, Dewa Agung tak mungkin tidak tahu, kan?” Melihat sikapnya yang berusaha memekikkan ketidakadilan dari orang yang difitnah, aku berusaha mengubah topiknya. Tetapi aku mendengar dia berkata, “Saya dengar belakangan ini Kepala Klan Burung akan bertunangan. Kapan Dewa Agung akan menikahi Kaisar Langit?”
Jantungku merosot. “Dengan siapa?” Meski aku sudah tahu jawabannya, aku tak tahu kenapa tetapi aku masih menggenggam setitik harapan….
Li Zhu terbatuk malu, “Kali terakhir, Putri Sui He juga memiliki hubungan dengan Tuan Muda Yan You. Saya juga mendengar bahwa karena Putri Sui He lah Tuan Muda Yan You disingkirkan dari status dewanya dan diasingkan menjadi sekedar peri….”
Melihat bagaimana Li Zhu berusaha menghidari pertanyaan itu, aku jadit ak punya minat lagi untuk mendengarkan gosip. Aku merasa jantungku seperti telah ditekan dan diremas, amat sangat tidak nyaman.
Pemimpin Bunga Pertama pernah bertanya, “Jin Mi, jangan bilang padaku kalau kau telah jatuh cinta kepada Dewa Api?”
Pu Chi Jun pernah bertanya, “Cantik, apa kau telah terhubung dengan benang merah yang salah dan jatuh cinta kepadanya?”
Xiao Yu Xian Guan bertanya, “Hingga hari ini, apa kau masih mencintainya?”
… ….
Bagaimana? Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin aku jatuh cinta dengan pembunuh ayahku? Bagaimana mungkin ini terjadi! Rasa takut di hatiku telah mencapai batasannya… tidak, aku harus menemui dia lagi! Aku harus memastikan ini, aku harus membuktikan hal ini pada diriku sendiri!
Malam itu, saat Xiao Yu Xian Guan pergi ke Barat untuk mendiskusikan naskah Buddhis, sekai lagi aku pergi ke Dunia Iblis.
Saat aku melihat Phoenix, dia kelihatan seperti agak mabuk, langkahnya tidak stabil saat dia kembali ke kediamannya. Dua orang iblis wanita maju untuk memapahnya tetapi dia mendorong mereka pergi. Dia menggenggam sebuah guci kumala. Setelah satu sesapan, dia kelihatan tidak senang dan melemparkannya ke lantai. Guci kumala itu pecah saat menghantam tanah dan mengeluarkan suara nyaring, menakuti seluruh pengikut di sekelilingnya hingga berlutut ke tanah.
“Bukankah sudah kubilang kalau aku mau arak bunga osmanthus?” Dia menatap semua pengikut di tanah, “Semua berdiri dan ambilkan aku arak bunga osmanthus!”
“Ya… ya… tetapi Yang Agung, yang tadi itu memang adalah arak bunga osmanthus, arak bunga osmanthus terbaik yang ada di Dunia Iblis…,” seorang iblis wanita mengumpulkan keberaniannya dan bertanya bingung.
“Ah?” Phoenix menatap iblis wanita itu dan mengulur bagian akhir pekikannya. Si iblis wanita tak berani membantah dan hanya berkata, “Saya akan segera pergi dan mengambilkan arak bunga osmanthus!”
Phoenix kembali ke kamarnya dalam beberapa langkah. Aku segera berubah menajdi uap air dan mengikuti dia ke dalam.
Di dalam kamarnya, dia telah melonggarkan jubahnya dan berbaring dengan mata tertutup di atas ranjangnya yang memiliki tirai sutra berat. Sebuah tusuk rambut kumala dan emas terjatuh ke lantai dan rambut panjang hitamnya terurai ke ranjang. Salah satu tangannya menjuntai keluar ranjang, menggelantung sendirian… seakan ingin memegang sesuatu tetapi selalu gagal dan terjatuh kembali tanpa tenaga. Ujung-ujung jemarinya begitu putih.
Aku ingin menggenggam tangan itu… saat aku baru mulai berubah kembali ke wujud manusiaku, kudengar suara gemerisik pelan jubah dari luar pintu dan buru-buru berubah menjadi sesuatu untuk bersembunyi di dalam mangkuk buah.
Dua orang iblis wanita membawa seguci arak ke dalam. Itu pastilah arak osmanthus yang baru disiapkan. Mereka meletakkan perlahan ke atas meja. Melihat bahwa Phoenix sedang berbaring sembarangan di atas ranjang, mereka kelihatan ingin menyelimuti dia, tetapi setelah meragu dalam waktu lama, pada akhirnya mereka tak berani melakukannya.
Tepat saat mereka keluar, salah seorang siblis wanita melihatku bersembunyi di dalam mangkuk buah dan ekspresi wajahnya langsung berubah. Ditarik-tariknya lemban baju iblis wanita yang satunya lagi.
Si iblis wanita yang lain segera berbalik dan wajahnya serta merta memucat. Buru-buru dia mengulurkan tangannya. Menatap ke arahnya… apa dia sedang mengarah apdaku?
Pada saat ini, Phoenix berbalik di ranjangnya dan kedua iblis wanita itu menjadi begitu terperanjat hingga tangan mereka membeku dan mereka pun segera meninggalkan kamar.
Aku bisa mendengar si iblis wanita berkata pelan pada yang lain, “Itu anggur… siapa yang tak lagi menginginkan nyawa mereka dan berani menaruh anggur di kamar Yang Agung! Siapa di dunia ini yang tak mungkin tahu bahwa buah yang paling dibenci oleh Yang Agung adalah anggur… besok, saat orang itu menegrti akan menjadi waktu ketika nyawanya meniggalkan dunia ini….”
Aku menatap pantulan sebutir anggur plum ungu di dalam mangkuk buah kristal dan menyadari bahwa dalam ketergesaanku, aku telah berubah menjadi wujud yang sudah lama tak kupakai lagi – sebutir anggur.
Buah yang paling dia benci adalah anggur….
Aku tak tahu kenapa tetapi mendadak aku merasa seakan diriku adalah lentera kertas yang telah terkoyak dan ditinggalkan melayang tertiup angin.
Dia bergerak lagi dan tangannya terulur tidak sabar untuk meleapskan jubahnya. Dia tampak kepanasan dan sepertinya sedang menggumamkan sesuatu. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku tahu kalau dia biasanya tidak sadarkan diri setelah mabuk oleh arak dan takkan menemukan diriku, jadi aku pun berubah kembali ke wujudku sendiri dan berjalan menuju kepala ranjangnya.
Cahaya lilin di dalam kamar memancarkan kemilau redup dan berkelip-kelip di wajahnya, membuat separuh wajahnya tersinari dan separuhnya lagi dalam kegelapan. Karena dia sedang mabuk, bibirnya lembab, dan ada selapis rasa lelah di alisnya. Tempat di antara alisnya yang sebelumnya telah kugigit – tak ada lagi bekas yang tampak di sana.
Kutudukkan kepalaku dan memeriksanya dengan sungguh-sungguh. Membencinya? Mencintainya?
Bila aku tak membencinya, kenapa aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri? Tetapi, kenapa aku begitu kesakitan setelah membunuhnya – sebuah penderitaan yang tak tertahankan yang lebih buruk daripada kematian? Apakah ini karena mantra kutukannya? Tetapi, bila aku mencintai dia seperti yang telah dikatakan oleh yang lainnya, kenapa aku membunuhnya? Kami telah saling menemani siang dan malam selama seratus tahun tetapi aku tak pernah merasakan adanya perasaan yang lain. Dalam seratus tahun setelahnya saat dia mengucapkan kata-kata kerinduan mendalam padaku, hatiku juga tak tergerak. Dia telah menciumku, dia menciumku berkali-kali, saat itu saat dia beanr-benar mabuk, kami bahkan telah melakukan pertapaan berpasangan… tetapi, aku tak pernah menempatkan dia di dalam hatiku.
Bagaimana aku bisa jatuh cinta kepadanya tepat setelah kematiannya? Apalagi dia sudah bertunangan dengan Sui He….
Mendadak dia membuka matanya, pupil mata gelap itu menatapku. Tak setitik pun cahaya di dalam ruangan yang terpantul dalam tatapannya. Aku begitu terkejut oleh gerakannya yang tiba-tiba sehingga aku tak mampu bergerak. Tetapi, dia hanya menatapku dan setelahnya memejamkan matanya. Mendadak, aku teringat bahwa dia dulu juga pernah bertingkah seperti ini saat mabuk di Dunia Fana, dia hanya berkedip tanpa sadar dan tidak benar-benar terbangun.
Bibirnya bergerak dan sedikit membuka, seolah sedang menguapkan sesuatu. Aku jadi penasaran dan mendekatkan telingaku untuk mendengar kata-katanya. Sesaat kemudian dan setelah mengamati gerakan mulutnya dengan seksama, kupikir dia sedang berusaha membuat dua patah kata…. “Air… Minum….” Dia pasti haus setelah meminum begitu banyak arak.
Sebelum aku menyadari apa yang kulakukan, aku telah mengubah secangkir teh di tanganku. Dengan satu tangan, aku memegangi bagian belakang lehernya, dan dengan tangan yang lainnya kuangsurkan cangkir teh itu ke arah bibirnya dan perlahan mencondongkan cangkir itu padanya.
Tetapi siapa yang tahu bahwa bibir tipisnya akan mengatup dan teh itu pun menetes turun dari bibirnya. Aku mengulang prosesnya selama beberapa kali tetapi tak ada yang berhasil masuk. Aku menjadi agak gugup dan akhirnya memasukkan teh itu ke mulutku, mencondongkan diri ke bibirnya dan memindahkan air itu, setetes demi setetes….
Saat aku meninggalkan bibirnya, kulihat kelopak matanya yang tertutup bergetar. Ketika kuletakkan cangkir tehnya, kudengar dia membuka kembali mulutnya dan berusaha membentuk kata-kata, “Air…. Minum….”
Jadi, lagi-lagi aku mengulum seteguk teh untuk dipindahkan padanya. Tepat saat aku mulai memakai ujung lidahku untuk menggoda agar giginya membuka, kurasakan diriku dikait oleh lidah yang lain. Aku begitu terkejut tetapi sebelum aku bisa mundur – semuanya sudah terlambat.
Lidah itu membawa rasa bunga osmanthus, dan menusuk lidahku seakan memiliki duri demi duri, mengait, menjalin, bagaikan bayang-bayang yang mengikuti raga. Aku tak bisa melarikan diri, aku tak bisa bersembunyi, teh seteguk penuhku perlahan berubah menjadi arak pekat yang kuat, aku dibuat mabuk hingga tak mampu berpikir jernih.
Kurasakan sebuah tangan memegang sisi leherku, telapaknya sedingin es seolah terbuat dari logam. Tiba-tiba aku bergidik dan hawa dingin itu pun menyadarkanku. Kudorong dadanya dan berusaha bangkit, tetapi punggungku telah dipeluk erat oleh lengan yang lainnya. Tak peduli bagaimanapun aku meronta, aku hanya membuat kedua pakaian kami tersingkap lebih jauh.
Pakaiannya terbuka, menampakkan sebentuk dada yang kokoh. Rasa dari otot-ototnya membuat wajahku membara. Segera, kututup mataku tetapi pada celah sebelum aku menutupnya rapat-rapat – kulihat sebuah tanda beku samar di bagian tengah dadanya, seperti menutup sesuatu… hatiku tersentak dan aku pun mengulurkan tanganku untuk menyentuh bekas luka samar itu.
Dia memejamkan matanya dan alisnya berkerut tanpa sadar, sebuah hawa membunuh pekat menyapuku dan aku tak tahan untuk membeku ketakutan. Namun detik selanjutnya, dia melepaskan bagian belakang kepalaku dan mulai menjelajah ke bagian dalam pakaianku… kurasakan kancing-kancing surta berjatuhan ke lantai satu demi satu.
Dia membelai ringan pinggangku, ujung jemarinya perlahan merayap naik pada tulang punggungku, menyapu bahuku. Kudengar jantungku berdetak cepat di dalam telapak tangannya.
Napasnya yang beraroma alkohol menyapu dahiku, di sana bahkan ada sebuah jejak rasa manis yang kejam. Kutahan napasku begitu lama hingga kukira aku akan sesak napas, bahkan ujung jari kakiku juga menegang. Mendadak, dunia berputar dan dia pun menekan di atasku.
Kujilat bibirku, mengulurkan tanganku untuk mengait bagian belakang kepalanya dan mencium bibirnya… dia menciumku dari ujung lidah hingga pangkalnya, inci demi inci, hati-hati tapi tidak lembut. Ciuman-ciumannya terasa bagaikan api dan memesonakan hatiku. Aku berpegangan pada bahunya, membungkuskan diriku sendiri pada kakinya, seakan hatiku ingin menemukan penopang yang hangat. Dalam sekejap, napas kami bertautan membentuk jaring, seolah kami selalu terhubung, kami tak pernah saling meninggalkan, tak ada perpisahan hidup dan mati, tak ada ketidakjelasan antara cinta dan benci, hanya dua hati yang terjalin rapat, dengan debar berbeda namun berdampingan erat bersama-sama….
Dia memasukiku dengan kekuatan yang akan mengguncangkan hati dan menggerakkan jiwa. Pada momen itu, semuanya hampa, sunyi, dan lagunya telah menjadi senyap – namun mendadak, musiknya mulai meningkat, kuda-kudanya mulai berpacu, peperangan pecah, sangkakala, jeritan perang… semuanya meluap dan kurasakan diriku ditelan….
Aku tak tahu berapa lama waktu telah berlalu namun bermandikan keringat, aku berbaring di atas dadanya. Kupandangi dia tidur dengan kedua mata terpejam, begitu cantik dalam cara yang tak terukur.
Kuturunkan kembali kepalaku ke arah tanda beku samar di dadanya, kuulurkan tangan untuk membelainya – rasanya seakan hatiku tenggelam dan aku tak mampu bernapas.
Dia menggerakkan mulutnya, bentuknya masih sama, “Air… Minum….”
Aku terperanjat, apa dia mau minum teh lagi? Mungkin dia sedang panas dalam setelah meminum begitu banyak arak dan tentu saja merasa haus. Tetapi, saat aku berusaha memasukkan teh ke dalam mulutnya, dengan tidak sabar dia memalingkan wajah. Mulutnya membuka lagi, namun kali ini aku mendengarnya dengan jelas dan tak perlu lagi menebak apa yang dia katakan lewat bentuk mulutnya.
“Sui… He….” (T/N: Air bahasa Mandarinnya adalah ‘Sui’, dan minum bahasa Mandarinnya adalah ‘He’.)
Kurasakan kesadaranku seakan tersambar petir. Sesaat kemudian, kuletakkan kedua tanganku ke telinga sehingga aku tak bisa mendengar apa-apa.
“Beberapa hal… lebih baik tak diketahui. Semakin jelas hal itu, akan jadi semakin menyakitkan….” Kata-kata Xiao Yu Xian Guan mendadak menyerbu ke dalam hatiku, rasanya hatiku seperti meneteskan darah.
Tak pernah ada “Air… Minum…!” Itu semua hanya terkaan bodohku, sejak awal hingga akhir, dia memanggil-manggil Sui He….
Demi Sui He, dia menjadi mabuk, dia menjadi sedih, dan lebih parah lagi, dia memelukku, dia menciumku, berpikir kalau aku adalah….
Dengan canggung aku bangkit dan tangan-tangan yang mengikat pakaianku bergetar tak terkendali. Aku berusaha sebaik mungkin untuk mengenakan pakaian dengan benar, tapi aku tak bisa berkonsentrasi – aku hanya bisa melihat gumpalan-gumpalan awan kabut. Akhirnya, aku tak tahu sudah berapa banyak daya yang harus kukerahkan untuk mengenakan pakaianku dengan benar.
Jalannya terasa panjang, tanpa akhir, aku berlari di sepanjangnya. Namun, aku terus merasakan bahwa ada hantu ganas sedang mengejarku, hendak memangsaku, memakan kulit dan dagingku, bahkan tak menyisakan tulang-tulangku.
Aku berlari dan berlari, aku terus berlari, aku lupa bahwa aku tahu cara untuk terbang, aku lupa bahwa aku adalah dewa, aku lupa bahwa hantu sekalipun takkan mampu melukaiku….
Namun, mendadak aku melihat satu hal dengan jelas.
Tak pernah ada yang namanya mantra kutukan….
Aku mencintai dia, aku telah jatuh cinta pada musuh yang telah membunuh ayahku….
Kejernihan itu, kejelasan semacam itu, membuatku telanjang sepenuhnya.
***
Berlari dengan liar, akhirnya aku mendarat di rerumputan yang tumbuh lebat.
Saat bangkit kembali, aku sedang terbaring di atas sebuah nisan batu yang dingin. Kuangkat kepalaku dan melihat makam ayahku. Tak ada setitik pun debu, sama seperti jubahnya ketika dia masih hidup. Ternyata semalam aku telah terjatuh kembali ke Shui Jing.
Aku berlutut di depan makan ayah dalam kesunyian hingga bayang-bayang mentari setinggi balok kayu ketiga di ambang jendela.
“Tao Tao?” sebuah warna merah cerah melompat ke dalam penglihatanku. Aku menengadah dan melihat Lao Hu membelai berut gendutnya dan bersusah payah membungkuk untuk melihatku. Saat dia menatap wajahku, dia terkejut, “Xiao Tao Tao, apa yang terjadi padamu? Kau… kau… apa kau menangis?”
Dia mengulurkan tangannya untuk menangkap air mata yang terjatuh dari wajahku. Diletakkannya tetes-tetes air itu di bawah matanya dan mengamatinya dengan teliti. Katanya kegirangan, “Beruntung sekali aku datang untuk memberi penghormatan kepada Dewa Air hari ini! kalau tidak, aku takkan pernah bisa melihat air mata yang paling langka dari yang paling langka!” Dia terdiam untuk berpikir selama sesaat dan mendadak menengadah dengan kaget, “Oh tidak! Oh tidak! Aku harus segera pulang dan mengemasi barang-barangku. Xiao Tao Tao bisa menangis, Dunia Bunga akan hancur!”
“Hong Hong, kau juga harus segera pergi! Pulanglah ke Dunia Kahyanganmu. Memangnya dendam apa yang bisa kau punya saat Kaisar Langit yang sekarang juga adalah keponakanmu? takutnya kau takkan bisa lagi tinggal di Dunia Bunga,” Lao Hu berputar dan mendorong pemuda berjubah merah.
“Hmph!” Pemuda itu mendengus kesal, “Sial sekali! Melihat orang yang paling tidak punya terima kasih dari semua dunia yang ada hari ini, bahkan bila kau tak mendorongku, aku juga akan pergi!” Setelah selesai bicara, dia mengibaskan lengan jubahnya dengan marah dan memelototiku. Kusadari kalau ternyata dia adalah Yue Xia Xian Ren yang telah meninggalkan Dunia Kahyangan selama dua belas tahun.
Kutundukkan kepalaku.
Lao Hu yang sedang berjalan pergi mendadak berbalik kembali. Dia membungkuk kembali dengan susah payah untuk menatapku dan bertanya kaku, “Xiao Tao Tao, apakah seseorang telah mencuri lingli-mu?”
Aku diam.
Ekspresinya menggelap, “Apakah Kaisar Langit tak membiarkanmu menjadi seorang dewi?”
Aku tetap diam.
Wajah Lao Hu berubah pucat pasi, “Jangan bilang padaku kalau Kaisar Langit akan kehilangan tahtanya dan kau telah kehilangan penyokongmu? Ah ah ah! Kalau itu benar, kau ada dalam masalah besar! Kau mungkin tidak tahu, tapi Xu Feng sekarang memerintah Dunia Iblis… kalau kau kehilangan penyokongmu, dia pasti akan menyeretmu ke neraka! Ada delapan belas tingkat neraka… bahkan sebelum kau diletakkan di dalam minyak yang mendidih, kau pasti akan sudah dibuat mati ketakutan oleh kejelekan para hantu! Aku penasaran bagaimana keponakan Hong Hong yang tampan itu bahkan bisa berteman dengan mereka….”
“Kau tak diperbolehkan bicara jelek tentang Xu Feng-ku!” Yue Xia Xian Ren dengan marah memotong perkataan Lao Hu.
“Sebenarnya, kau tak harus begitu melindungi si burung itu. Dari yang bisa kulihat, Kaisar Langit naga kecil itu jauh lebih baik daripada burung itu….”
“Kau itu penuh dengan omong kosong! Aku akan memanggil Kelinci Kumala besok!”
… …
Phoenix, Phoenix, aku menggumam di dalam hatiku. Hatiku terasa kosong, dan semua yang bisa kulihat hanyalah keputusasaan tanpa dasar.
“Xiao Tao Tao, apa kau berdarah?” Lao Hu meraih tanganku dan membuka kepalan kencangku jari demi jari. Di setiap telapak tanganku terdapat sepuluh jejak darah yang begitu dalam hingga tulang-tulangku bisa terlihat. “Xiao Tao Tao, apa yang terjadi padamu?”
Aku menatap darah itu dan tiba-tiba merasa lebih tak berdaya lagi, dan diikuti oleh perasaan benci pada diri sendiri yang begitu dalam, “Lao Hu, aku sudah jatuh cinta kepadanya, aku sudah jatuh cinta kepada pembunuh ayahku.”
Lao Hu menjatuhkan tanganku dengan syok dan terjajar mundur dua langkah seolah telah melihat hantu. “Itu mustahil! Kau adalah Xiao Tao Tao, mustahil bagimu untuk mencintai seseorang!”
“Kau mencintai Xu Feng? Lelucon apa ini? Bila kau bahkan punya sedikit saja perasaan di hatimu untuknya, bagaimana bisa kau dengan begitu kejam membunuhnya? Kau telah mengkhianati penolakannya untuk mematuhi perintah Permaisuri Langit agar menikahi Sui He, kau telah mengkhianati rencana rahasianya selama tiga tahun untuk melawan Run Yu demi kamu, bagaimana dia pada akhirnya menangkap kelemahan Run Yu dan berencana untuk memperjuangkan semuanya pada hari pernikahan itu. Dia dengan sepenuh hati memercayaimu, mencintaimu, tetapi siapa yang akan mengira kalau kau akan menusukkan belati pada dirinya dan membunuhnya? Bahkan bila Dewa Air benar-benar dibunuh oleh Xu Feng…. Kalau kau mencintainya, bagaimana bisa kau tak menunjukkan belas kasihan? Terlebih lagi aku sama sekali tak percaya kalau Phoenix akan menyakiti Dewa Air, apalagi membunuhnya!” Xian rubah memelototiku seakan meski dia telah memakiku ribuan kali, tetap takkan cukup.
“Aku melihatnya sendiri… aku mendengarnya sendiri… aku tak tahu… aku begitu menderita,” aku meratap dengan suara rendah dan bicara dengan susah payah. Aku tak tahu kenapawaktu itu hatiku tak melunak, aku tak tahu kenapa aku sampai bisa menusukkan belati itu…?
“Xu Feng sudah gila sampai jatuh cinta padamu. Sekarang karena aku dengar dia telah bertunangan dengan Sui He, aku jadi begitu senang. Betapa aku teah membuang-buang tenaga karena berusaha menjodohkan kalian berdua! Aku tak pernah menyangka kalau kau akan mencelakainya!”
“Mustahil. Bagaimana bisa kau jatuh cinta padanya? Kau sudah memakan Pil Tanpa Perasaan!” Lao Hu mencerocos dalam kebingungan dan ketakutannya.
“Pil Tanpa Perasaan? Pil Tanpa Perasaan apa?” xian rubah bertanya bingung.
Tiba-tiba, aku memiliki suatu perasaan aneh.
“Bu… bukan apa-apa… aku tak pernah bilang apa-apa…. Hong Hong, kau sudah tua dan telingamu sudah salah dengar,” Lao Hu berkata sambil menghindari kontak mata.
“Dari kerasnya suaramu saat kau bicara, aku bisa mendengarnya dengan jelas bahkan bila aku tuli. Apa itu Pil Tanpa Perasaan?” Xian rubah berjalan ke arah Lao Hu dengan sikap mengancam.
Lao Hu terjajar mundur, dia memeluk perutnya dan berusaha melarikan diri.
Aku berlutut di depan makam, dengan hampa menatap ke kejauhan dan bicara dengan suara pelan, “Itu adalah sebutir mutiara cendana… seukuran tasbih doa….”
“Kau… kau sudah tahu?” Lao Hu membeku dan berbalik, menatapku dengan raut tak percaya, “Pemimpin Bunga mana yang memberitahumu?”
Kutundukkan kepalaku dengan pedih dan tersenyum, jadi ternyata….
“Aku melihatnya, aku memuntahkannya sendiri. Dia mati, hatiku hilang, apa lagi yang tak bisa kumuntahkan….”
“Sungguh takdir yang kejam!” Lao Hu memukuli dadanya, “Semua upaya Dewi Bunga ternyata sia-sia!”
“Cepat katakan padaku tentang apa semua ini! Atau aku akan melepaskan kelinci dan membunuhmu!” xian rubah segera mengancam Lao Hu.
“Baiklah, baiklah, aku akan bicara. Tetapi, waktu itu aku hanya mengintip….” Lao Hu berusaha menjauh, tetapi saat melihat mata merahku yang membengkak, dia tahu kalau dia tak bisa menyembunyikannya lagi jadi dia pun bicara dengan ragu-ragu, “Karena Xiao Tao Tao sudah melihatnya… sebenarnya, kedua puluh empat Pemimpin Bunga mengetahui tentang ini namun mereka telah bersumpah bahwa mereka takkan mengungkapkan hal ini dengan menggunakan nyawa mereka.”
Lao Hu menggelengkan kepalanya dengan sedih, “Tahun itu, Dewi Bunga telah jatuh cinta kepada Kaisar Langit tetapi beliau melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Kaisar Langit memeluk dewi-dewi lain. Belakangan, Dewi Bunga jatuh cinta kepada Dewa Air dan ingin mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Dewa Air, tetapi siapa yang tahu bahwa Dewa Air akan diperintahkan untuk menikahi Dewi Angin. Pada malam pernikahan mereka, Dewi Bunga melahirkan Xiao Tao Tao. Pada saat bersamaan ketika ada perayaan di Dunia Kahyangan, Dunia Bunga berada dalam badai angin dan hujan yang kacau balau. Dewi Bunga meyakini kalau perasaan tak bisa dipercaya dan jatuh cinta itu sama bagusnya dengan neraka… terlebih lagi penampilan seorang gadis tak seharusnya terlalu menarik, atau bencana pasti akan mengikuti. Jadi, dia memberi makan Pil Tanpa Perasaan kepada Xiao Tao Tao.”
“Dewi Bunga pernah berkata bahwa orang yang memakan Pil Tanpa Perasaan akan kehilangan semua perasaan tentang emosi dan cinta. Beliau tak mau Xiao Tao Tao mengikuti langkahnya dan ingin Xiao Tao Tao tak memiliki perasaan dan kuat… bebas dalam menjalani hidupnya. Dia juga memerintahkan kedua puluh empat Pemimpin Bunga untuk mengurungmu di dalam Shui Jing selama sepuluh ribu tahun untuk menghindari bencana. Siapa yang tahu… siapa yang tahu bahwa bahkan Pil Tanpa Perasaan takkan mampu menahan ribuan racun dari benang-benang perasaan, tak mampu menanggung getaran dari hati yang tergerak. Xiao Tao Tao, kau tetap jatuh cinta kepadanya, begitu mencintainya hingga kau bahkan memuntahkan Pil Tanpa Perasaan… semua orang memiliki takdir mereka sendiri-sendiri, bahkan para dewa… semua ini sudah ditakdirkan….”
Jadi ternyata… aku tertawa, lalu tertawa lagi.
Apa gunanya mengetahui semua hal ini sekarang? Dia telah membunuh ayahku, aku telah membunuhnya. Dia mati, aku memuntahkan Pil Tanpa Perasaan dan menyadari bahwa aku mencintainya. Dia hidup kembali tetapi tak lagi mencintaiku. Sebenarnya, dia begitu membenciku hingga dia ingin menghisap darahku dan meremukkan tulang-tulangku. Sekarang, dia mencintai Sui He, dan Sui He mencintai dia.
Hanya ada aku – tak mampu mencintai, tak mampu membenci, terjebak di antara keduanya, dan menjadi bukan siapa-siapa.
“Pil Tanpa Perasaan? Aku telah mengatur takdir pernikahan dan urusan hati selama ratusan ribu tahun dan tak pernah mendengar soal pil semacam itu,” xian rubah tampak seperti tersamabr petir dan terus menggelengkan kepalanya dengan tak percaya.
Aku merayap naik dan dengan kikuk mulai berjalan pergi.
“Xiao Tao Tao! Kau mau pergi ke mana?” Lao Hu memekik kaget dari arah belakang.
Ke mana? Ke mana lagi aku bisa pergi? Aku tak sanggup lagi menghadapi makam ayahku.
Enam dunia mungkin luas, tetapi hanya ke Dunia Kahyanganlah aku bisa kembali….
Hari itu, seorang pembawa pesan mengirimkan sebuah undangan yang indah kepadaku. Undangan itu merah cerah dengan burung-burung cantik mengelilingi pepohonan yang saling bertautan. Dua buah nama yang tertulis dengan tinta emas bersinar-sinar. Tanggal lima belas bulan depan? Terburu-buru sekali…. Kugunakan jemariku untuk menyusuri nama Phoenix. Kuangkat jariku dan tampak debu emas menempel di ujung jariku – aku menggosoknya pelan dan debu itu pun menghilang tertiup angin.
Keesokan harinya, Xiao Yu Xian Guan menjemputku dari Sungai Langit. Aku telah menatap bintang-bintang semalaman. Dia memelukku dan mengesah, alisnya berkerut. Lama kemudian, dia berkata, “Mi’er kau masih memiliki diriku. Apa aku masih punya kesempatan untuk menukarkan hatimu denganku?” Suaranya begitu ringan hingga aku nyaris tak bisa mendengarnya.
Kutengadahkan kepalaku untuk menatap Xiao Yu Xian Guan. Mendadak aku merasa agak sedih… meski dia terlihat lembut di permukaan, dia sebenarnya sangat keras kepala. Dengan keras kepala dia berdiri di samping dan berdiri sangat lama, tetapi dia masih tak bersedia berbalik.
“Mi’er, salju hampir meleleh di Dunia Fana. Mari kita menikah pada musim semi tahun depan, bagaimana?”
“Baiklah.”
Napasnya mendadak berhenti dan dia pun memelukku lebih erat lagi.
Bunga telah berkembang, jendela telah terbuka, namun kenapa aku tak bisa melihatmu?
Melihatmu, mendengarmu, tetapi tak mampu berkata bahwa aku mencintaimu.
***
Pagi-pagi sekali, aku pergi ke ruang belajar untuk mencari Xiao Yu Xian Guan dan melihat beberapa orang xian pelayan yang biasanya berada di sekitar Istana Xuan Ji milik Xiao Yu Xian Guan. Para xian pelayan wanita ini selalu sangat sopan dan akan menundukkan kepala mereka untuk memberi salam padaku, “Salam kepada Dewa Air yang Agung.” Aku akan menganggukkan kepalaku sebagai balasannya.
Saat aku menatap orang-orang, biasanya aku hannya akan menatap wajah mereka secara umum. Tetapi, hari ini aku dikejutkan oleh rasa familier atas wajahnya dan menghentikan langkahku, “Siapa namamu?”
“Dewa Agung, nama saya Huan Kuang Lu.”
Aku berpikir sesaat tetapi nama itu tetap tak kukenal. Melihat tampang bingungku, dia menambahkan, “Dewa Tai Si adalah ayah saya.” Xian pelayan wanita itu bicara dengan suatu kesan kebanggaan atas ayahnya yang hampir mengorbankan dirinya sendiri saat membantu Xiao Yu Xian Guan naik ke Tahta Langit.
Putri dari Dewa Tai Si? Mendadak samar-samar aku teringat pada siluetnya dan mengangguk, “Aku ingat pernah melihatmu sebeumnya. Kau adalah si prajurit langit kecil yang pernah bertanya apakah Kaisar Langit akan mengambil selir?”
Wajahnya memerah dan dia perlahan menganggukkan kepalanya. Dia begitu malu hingga tampak seperti ingin melompat dengan kepala duluan ke awan.
Aku menatapnya dan berkata, “Aku ingat. Kau bisa kembali lebih dahulu.”
Dia memberiku tatapan tak percaya dan mendapati bahwa aku tidak sedang menghinanya, dia pun merona lagi dengan senang, menghaturkan terima kasihnya, dan dengan penuh hormat mengantarku ke dalam Istana Xuan Ji sebelum kemudian pergi.
Saat Xiao Yu Xian Guan melihatku memasuki ruang belajar, dia langsung melemparkan kuasnya ke samping di atas meja dan dan bangkit untuk meraih tanganku. Secara instingtif tanganku sedikit mundur, tetapi aku tak menariknya menjauh dan membiarkan dia menggenggamnya dalam telapak tangannya.
“Mi’er, kau datang pada saat yang tepat. Mereka baru saja mengirimkan sepiring kue delima kemari. Aku sudah sarapan dan merasa kenyang, jadi kenapa kau tak mencicipinya saja untukku?” Sambil bicara, dia meletakkan piring merah indah berisi manisan itu ke hadapanku.
Aku mengambil sepotong dan menggigitinya. Belakangan ini, aku selalu memakan sesuatu dengan pikiran hampa tetapi Xiao Yu Xian Guan tak pernah berusaha mencari tahu alasan atas hal ini. Kecuali, kapanpun aku mengunjungi dia di ruang belajarnya, dia akan selalu sudah menyiapkan beberapa camilan untuk kumakan bersamanya.
Dia memperlakukanku dengan sangat baik, begitu baik hingga tak mungkin jadi lebih baik lagi. Hal itu membuatku merasa lebih tidak nyaman dan bersalah, tak sanggup menerima sorot matanya yang lemah lembut dan baik. Kubilang, “Aku sudah mendengar doa-doa tentang kekeringan di Dunia Fana. Bagaimanapun juga, saat aku mengunjungi daratan-daratan yang kering, aku menyadari kalau ini bukanlah sesuatu yang bisa disembuhkan oleh hujan… itu adalah Huo Do (T/N: makhluk mitos Tiongkok yang memakan api) dan perbuatan jahat beberapa makhluk lainnya….”
Dia meremas tanganku dan dengan kesulitan di bawah tatapan lembutnya, akhirnya aku berkata, “Run Yu….” Dia suka mendengar aku memanggil namanya dan bila aku memakai nama yang salah, dia akan menatapku hingga aku mengubahnya.
Mendengar hal ini, dia tersenyum puas – seakan satu panggilan dariku ini telah membuatnya gembira dari dasar hatinya, seakan dia baru saja mendapatkan lingli sepuluh ribu tahun.
“Aku sudah melihat putri Dewa Tai Si di luar,” kuputuskan akan lebih baik bila mengucapkannya keras-keras.
“Ah?” Xiao Yu Xian Guan menolehkan wajahnya ke arahku, ada secercah cahaya yang melintas di sorot matanya dan dia menatapku dengan ekspresi penasaran.
“Sebenarnya, aku tak keberatan bila kau mengambil lebih banyak selir. Kalau kau punya orang yang kau sukai, kau juga boleh menikahi mereka.” Dia telah memperlakukanku dengan begitu baik, tetapi yang dia inginkan, aku tak bisa memberikannya… aku hanya bisa berharap kalau seseorang yang lain bisa memberi padanya apa yang tak bisa kuberikan.
Dia langsung terdiam dan menatapku dengan serius tepat di mata. Aku membalas tatapannya dengan tulus dan jujur. Ujung bibirnya tertekuk turun, diletakkannya piring cemilan itu ke atas meja, melepaskan tanganku, lalu berdiri. Ditautkannya kedua tangan saat punggungnya dihadapkan padaku, “Pasti sangat sulit bagimu untuk berpikir tentang keuntunganku,” nada suaranya tak pernah sedingin itu sebelumnya, “Mi’er, aku tak takut kalau kau tak punya hati, yang kutakutkan adalah bila kau akan memiliki hati semacam ini!”
Apakah ini adalah penolakan? Merasakan bahwa Xiao Yu Xian Guan telah menolak, kuputuskan kalau lebih baik aku pergi saja. Aku segera melayang pergi dalam kabut air tanpa tujuan… dan melihat dari kejauhan suatu sosok hijau licin mondar-mandir di Gerbang Langit Timur sedang berusaha meyakinkan para prajurit untuk membiarkan dia masuk. Kuturunkan kabut airnya ke sana.
“Pu Chi Jun, kau….”
Sorot mata Pu Chi Jun berkilau seolah dia telah bertemu dengan keluarganya, “Cantik, apa ini kamu?” Dengan cepat, wajahnya berkerut dalam ekspresi menangis, “Kedua balok kayu itu tak membiarkanku masuk!” Dia mengangkat kakinya dan mengambil kesempatan itu untuk bergegas ke sisiku.
Kedua penjaga itu segera menghentikan dia, “Jangan berpikiran untuk bersikap tidak sopan kepada Dewa Agung!”
“Cantik, karena mereka tak mau membiarkanku masuk, kenapa bukan kamu saja yang keluar?” Melihat ekspresi berkilau-kilau Pu Chi Jun yang berkilap seolah dia akan kena stroke, dengan baik hati aku pun melangkah keluar.
Pu Chi Jun menarik pakaianku dan pergi, tetapi sebelum dia berjalan pergi dia tak lupa untuk berbalik dan melontarkan tatapan pongah kepada para menjaga.
“Cantik, kudengar kau sudah menyerah dan berencana untuk menjadi Permaisuri Langit?” Ini adalah pertanyaan pertama Pu Chi Jun setelah membawaku ke tempat sunyi. Dia menambahkan, “Membutuhkan kemampuan luar biasa untuk menjadi Permaisuri Langit… bukannya aku meremehkanmu, namun watak alamimu itu biasa, maksudku, agak lemah.”
“Watakku biasa? Apa kau mengisyaratkan bahwa lingli-ku lemah?”
“Aku tak bicara soal lingli,” Pu Chi Jun berkata dengan ekspresi frustrasi, “Semua Permaisuri Langit yang sebelumnya itu selalu cerdik, culas, keji, kejam, mereka menyembunyikan belati di balik senyum mereka dan pedang di dalam perut…. Cantik, kau tak punya satu pun ciri-ciri ini….” Saat mencapai puncaknya, mendadak dia berhenti.
Aku mengikuti arah tatapannya dan melihat seorang gadis cantik melayang memasuki Gerbang Langit Timur. Mendadak jantungku terasa sakit.
“Tak usah bicara tentang Permaisuri Langit yang sebelumnya. Bahkan Sui He… Cantik, keahlianmu juga berada di belakang dia.”
Kutundukkan kepalaku. Kebenaran dari kata-katanya memukul tepat di titik lemahku dan aku merasa mataku berair.
“Cantik, jangan! Jangan! Jangan sedih. Aku tak bermaksud seperti itu,” Pu Chi Jun menatapku tanpa daya, “Aku bilang kau tak seculas dia! Kau tak tahu cara memanipulasi hati. Saat aku masih muda dan polos, aku juga pernah ditipu sekali olehnya….”
Aku menatap Pu Chi Jun dengan syok dan mendengar dia berkata, “Saat aku masih menjadi salah satu dari Dua Belas Dewa Shio, aku masih begitu murni dan imut… aku bebas dan kadang-kadang hanya menggoda xian pelayan wanita kecil. Meski Sui He berasal dari klan Permaisuri Langit, dia adalah keluarga jauh, dan ada beberapa orang di dalam klan itu, jadi kenapa dia akan mendapatkan perhatian khusus? Demi untuk mendapatkan kekuasaan, dia memancingku. Pada Perjamuan Persik Kahyangan, dia membius arakku dan memfitnahku dengan meletakkan salah satu selir Kaisar Langit di dalam pelukanku… akhirnya, dia membawa sekelompok xian untuk menangkap basah kami! Dalam kemarahannya, Kaisar Langit mendepakku dari jajaran dewa dan mengasingkanku sebagai peri. Selir itu dibuang ke Dunia Fana. Permaisuri Langit begitu pencemburu hingga dia bahkan tak bisa menerima setitik pasir pun, sudah lama dia tak menyukai selir itu. Sui He yang mengetahui hal ini pun menjalankan rencana ini… dan menjadi Kepala Klan Burung.”
Aku tak bisa berkata-kata saat mendengar keseluruhan cerita ini. Siapa yang tahu bahwa alasan Pu Chi Jun diasingkan dari dunia ini ternyata begitu kasar… menghabiskan uapayaku sebelumnya dalam memikirkan kisah yang benar-benar menakjubkan di balik pengasingannya. Contohnya, Kaisar Langit yang genit itu telah jatuh cinta pada Pu Chi Jun, tetapi Kaisar Langit dipaksa untuk menikahi Permaisuri Langit. Permaisuri Langit karena tak bisa mendapatkan cinta dari Kaisar Langit, jadi membenci Pu Chi Jun hingga ke tulang… dari kebencian hingga cinta, akhirnya Permaisuri Langit dan Pu Chi Jun jadi seperti sekarang ini. Pu Chi Jun terjebak di antara Kaisar Langit dan Permaisuri Langit… dan akhirnya Kaisar Langit mengetahui semuanya dan masih mencintai Pu Chi Jun, dia tak mau membunuh Pu Chi Jun dan hanya membuang dia menjadi peri, mengasingkannya dari Dunia Kahyangan… tak pernah berjumpa kembali….
Ternyata aku memang telah berpikir terlalu berlebihan.
“Jadi Cantik, kenapa hanya demi seekor burung, kau menyerah pada semua ular di daratan dan pergi menuju ke dalam pelukan seekor naga? Kau akan menderita saat kau harus bertarung dengan Kaisar Langit dan selir-selir lainnya…. Cantik, aku tak tahan melihatmu menderita dan lenyap dalam awan dan abu…,” Pu Chi Jun mendesah dai menggelengkan kepalanya.
Wajahku menggelap atas pemikiran Pu Chi Jun tentang kematianku. “Kau memujiku.”
Pu Chi Jun berkata dengan hati-hati, “Lautan penderitaan itu tak berbatas, akan lebih baik bila kau kembali ke tepi. Meski, beberapa wanita itu menakutkan, ada pria yang lebih menakutkan lagi….”
Mendengar hal ini, aku mengikuti dengan lancar, “Jadi hanya orang yang bukan wanita maupun pria yang tidak menakutkan?”
“Cantik, kau seharusnya kabur dari pernikahan! Aku mencarimu hari ini adalah untuk bicara tentang hal ini!” Pu Chi Jun dengan penuh perasaan mengundangku untuk kawin lari dengannya. Bagaimanapun, hatiku sudah terpancang pada orang lain, jadi aku tak mendengarkan omong kosongnya dan berjalan pergi.
Dunia Iblis dan Dunia Kahyangan bermusuhan seperti air dan api… sekarang Sui He yang akan menikah ke dalam Dunia Iblis, kenapa hari ini dia kemari?
Yang lebih aneh lagi, saat dia memasuki Gerbang Langit Timur, dia pergi menuju… Istana Xuan Ji.