Ashes of Love - Chapter 24
Apa yang disebut dengan kebahagiaan? Kebahagiaan adalah melihat arak dan makanan menunggumu untuk dinikmati begitu kau terbangun dari tidur.
Aku dibangunkan dari sebuah mimpi yang sangat panjang oleh aroma daging yang menggoda. Menghadapi hidangan ini, kuhitung beragam makanan dan menyadari bahwa totalnya ada delapan puluh satu macam!
Mewah sekali! Sebeanrnya delapan puluh macam saja sudah cukup. Orang-orang kaya pada masa sekarang tak tahu cara menghemat dan mengurus rumah tangga!
Di samping meja ada seorang gadis muda yang menarik. Dia meletakkan sebuah mangkuk dan sumpit di hadapanku, dan kemudian juga meletakkan sebuah mangkuk dan sepasang sumpit lain di sebelah. Dia kemudian menundukkan kepalanya dan menyapa penuh hormat, “Yang Agung, semua makanannya sudah dihidangkan.”
Yang Agung? Apa dia memanggiku? Saat aku sedang memutuskan apakah aku seharusnya menjawab, kudengar sebuah suara di bawahku berkata, “Kau bisa pergi.”
Hal ini sungguh membuatku syok! Buru-buru kuulurkan tanganku untuk menepuk dadaku tetapi kusadari kalau aku tak bisa mengulurkan tanganku. Saat aku menundukkan kepalaku, aku tak bisa melihat tubuhku. Pada saat itu, aku sungguh-sungguh ketakutan dan sudah akan menangis, tapi bagaimanapun juga, aku tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun.
Karenanya, aku pun pingsan dengan ngeri.
Bagaimana bisa aku tidak pingsan? Bisa melihat tetapi tak bisa makan sungguh merupakan tragedi terburuk dalam hidup. Karena aku tak memiliki raga, itu artinya aku tak bisa makan. Sungguh menakutkan! Menakutkanku sampai mati!
Saat aku sadar kembali, terdapat semeja makanan lagi. Ssepertinya yang ini adalah sarapan karena makanannya lebih ringan dan tidak ada daging. Terdapat sebuah mangkuk dan sepasang sumpit, kelihatannya tak pernah digerakkan. Meski ada nasi dan makanan di dalam mangkuk, namun tak ada seorang pun yang duduk di depan mangkuk itu.
rasanya sedikit aneh.
Kemudian, aku melihat sepasang tangan yang panjang dan ramping memungut sumpit di depan mataku dan meletakkan sebuah kue bunga sepatu ke atas piring di seberang. Kue bunga sepatu itu tampak sangat cocok dengan seleraku, tetapi tangan itu sebenarnya lebih menarik ketimbang kuenya. Aku meragu sesaat dan akhirnya meletakkan perhatianku pada tangan itu.
Seharusnya itu adalah sepasang tangan laki-laki, putih dan panjang, struktur tulangnya tegas. Tiba-tiba timbul perasaan bahwa rasanya akan cukup enak bila menggigitnya.
“Jin Mi, bukankah kau paling suka makan kue kembang sepatu? Aku tahu kalau kau pasti masih hidup, di sisiku!” Aku merasa frustrasi karena tak bisa menggigit tangan itu saat kudengar suara yang sama berkata dingin dari bawahku, “Jin Mi, keluarlah, keluarlah dan makan kue kembang sepatunya… kalau kau tak mau menemuiku, aku akan memejamkan mataku… selama kau keluar….”
Aku tercengang. Menentukan dari nadanya – Jin Mi ini pasti adalah peliharaan berharga muliknya! Dia sedang berusaha membujuknya keluar untuk makan. Bisa makan di meja yang sama dengan si pemilik, peliharaan berharga ini pasti memiliki kehidupan yang baik.
Tetapi… Jin Mi? Nama ini sepertinya sedikit akrab. Aku terlarut dalam pemikiran mendalam dan akhirnya menyimpulkan bahwa aku tak pernah melihat seekor kucing kecil, anjing kecil, atau bahkan seekor kelinci kecil yang bernama Jin Mi.
Tiba-tiba, penglihatanmu menjadi gelap dan aku tak bisa melihat apa-apa. Aku terpana dengan apa yang terjadi ketika kudengar si pria berkata, “Aku sudah menutup mataku, bisakah kau keluar?”
Aku seperti tersamabr petir! Tiba-tiba aku menyadari sesuatu – ternyata aku adalah sebuah jiwa tanpa bentuk yang tinggal di dalam mata pria ini!
Maka, aku pun pingsan lagi.
Inangku, si pemilik mata tersebut, sungguh orang yang aneh. Ini adalah kesimpulanku setelah mengamatinya selama beberapa hari.
Dia suka memandangi anggur – anggur asli, lukisan anggur, selama itu anggur, atau benda bulat ungu yang seperti anggur – semua itu akan menarik perhatiannya. Sebenarnya, tidak apa-apa kalau suka melihat anggur, semua orang memiliki kesukaan mereka sendiri dan aku tak bisa memaksa dia untuk suka melihat kaki babi atau kue kembang sepatu sepertiku. Tetapi, karena aku tinggal di dalam matanya, apapun yang dia lihat, aku jadi dipaksa untuk melihatnya juga – hal ini membuatku sangat menderita. Setiap hari menghadapi lautan ungu, aku takut bahwa suatu hari nanti aku akan jadi buta warna atau menjadi sebutir anggur yang melompat keluar dari matanya.
Dia amat suka memandangi anggur sehingga kukira dia sangat suka makan anggur. Namun dia hanya memandanginya saja, tak pernah memakannya tak pernah melihat dia menggapai bahkan sebutir anggur kumala.
Kupikir dia pasti seperti Tuan Muda Ye yang dibicarakan oleh orang-orang yang mengaku suka pada naga tetapi sebenarnya takut pada mereka.
Aku tak tahu siapa dia, tetapi para iblis di sekitarnya akan dengan penuh hormat memanggilnya sebagai ‘Yang Agung’. Dia pasti adalah orang berperingkat tinggi. Aku tak tahu bawagimana penampilannya karena dia tak pernah menatap pada cermin. Kalau dia tak menatap cermin, bagaimana aku bisa melihat wajahnya? Jadi, aku hanya bisa membayangkan – melihat bagaimana para iblis akan segera menundukkan kepala mereka di hadapannya, tampak begitu ketakutan dan ngeri, kutebak orang ini pasti luar biasa jelek! Begitu jelek sampai-sampai para iblis pun tak berani menatapnya – aku penasaran hingga tingkat mana kejelekannya itu?
Karenanya, dia tak pernah menatap cermin sehingga tak menakuti dirinya sendiri.
Untung saja, dia tak pernah melihat cermin karena takutnya dia akan menakutiku.
Karena aku adalah jiwa yang menumpang, aku hanya bisa hidup selama dia hidup – saat dia menutup matanya, aku tak bisa melihat apa-apa. Maka, hal penting pertama adalah menyesuaikan napasku dengannya, berusaha sebaik mungkin untuk tidur dan bangun bersamanya. Bila dia tidur saat aku terbangun, maka aku takkan bisa melihat cahaya siang hari. Tetapi, perlahan aku menyadari bahwa tak peduli kapanpun waktunya, selama aku terbangun, matanya selalu terbuka lebar. Belakangan, aku berusaha untuk tidak tidur selama sehari semalam, dan menyadari bahwa dia tak pernah memejamkan matanya sekali pun.
Orang ini memiliki kebiasaan yang aneh. Setiap waktu makan, dia akan memerintahkan untuk disiapkan semeja penuh makanan dan arak, dan akan ada satu set mangkuk dan sumpit di sebelahnya, namun tempat itu akan selalu kosong. Aku tak pernah melihat siapapun duduk di situ. Saat waktu makan, inangku selalu akan mengambilkan makanan untuk mangkuk di sebelah, semua yang dia ambilkan adalah kesukaanku. Hal itu membuatku jadi begitu lapar dan berharap bahwa akulah orang yang duduk di sana!
Mulanya, aku curiga kalau orang itu adalah seseorang yang tak bisa dilihat orang lain. Contohnya saja, sebuah jiwa tak berbentuk sepertiku, tetapi seseorang yang bisa bergerak bebas di luaran. Namun setelah beberapa saat, kulihat bahwa bahkan tak ada jejak energi di sana. Tak peduli betapa penuh mangkuk itu, tak ada seorang pun yang memakannya. Sungguh sangat mubazir. Tetapi, inangku hanya suka mengisi mangkuk itu dengan makanan tetapi dia sendiri hampir tidak makan. Kadang-kadang, dia akan mengambi satu atau dua makanan lalu meletakkan sumpitnya. Si koki pasti pandai dalam membuat makanan yang kelihatan bagus tetapi rasanya semestilah tidak enak dan tak sesuai dengan seleranya karena dia memakannya dengan begitu enggan.
Maka, aku menyimpulkan bahwa inangku ini adalah seorang monster besar buruk rupa yang tidak makan, tidak tidur, tetapi masih bisa hidup. Oh, dan dia juga suka memandangi anggur tetapi tak berani memakan anggur. Juga, dia merawat seekor peliharaan berharga yang tak terlihat bernama Jin Mi.
Perasaannya untuk peliharaan berharga itu… hmm, bagaimana aku harus menggambarkannya? Pasti spesial. Tentu saja, peliharaan berharga ini tampaknya juga spesial, bahkan hingga saat ini, aku tak tahu apa itu.
Terkadang, dia akan menatap pada pelangi dan menggumam, “Jin Mi.” Terkadang, dia akan menatap sekuntum bunga yang setengah mengembang dan berkata, “Jin Mi.” Terkadang, dia akan menatap sebutir anggur bulat segar dan menggumam, “Jin Mi.” Dan terkadang, dia akan menatap setetes embun biasa dan menyebut, “jin Mi.”
Yang lebih aneh lagi, saat dia memanggil, aku akan merasa seakan di hatiku tersembunyi sebutir anggur yang masih mentah, asam dan keras.
Aku berpikir dengan agak ketakutan, mungkin suatu hari nanti, aku akan benar-benar terjatuh keluar sebagai sebutir anggur.
Hari ini saat baru saja membuka mataku, kulihat semuanya bersinar-sinar. Begitu menyilaukan hingga terlihat bintang-bintang emas di mataku. Saat akhirnya aku menenangkan kesadaranku dan melihat dengan seksama, aku jadi amat tercengang.
Bukankah orang yang ada di depan itu adalah Kakek Buddha? Bagaimana bisa dia begitu mudahnya terlihat. Inangku ini pasti berasal dari latar belakang yang besar.
“Xu Feng memberi salam kepada Sang Buddha.” Xu Feng? Jadi nama dia yang sebenarnya adalah Xu Feng.
Sang Buddha duduk bersila di atas tatakan teratai, matanya yang diturunkan menatap ringan pada Xu Feng. Dalam satu lirikan, seakan beliau sudah melihat semuanya. “Kau tak perlu bertanya, apa yang bisa dilakukan, bahkan tanpa perlu diminta akan dilakukan, bahkan bila kau meminta seratus kali, juga akan berakhir dengan kekosongan.”
Aku merasa bahwa tubuh inangku terdiam, napasnya membeku selama sesaat lalu kudengar dia berkata pelan, “Xu Feng mengerti logika ini. Saya akan harus menghadapi konsekuensi dari apa yang telah saya timbulkan, tetapi….” Dia terdiam dalam waktu lama sebelum meneruskan, “Saya hanya ingin bertemu lagi dengannya, bahkan sekejap juga tidak apa-apa… bilapun tidak melihat, bahkan mendengar satu kata darinya….”
Meski tampangnya jelek, suaranya enak untuk didengar. Aku tak tahu kenapa tetapi hari ini suaranya serak dan pecah, seperti seorang anak yang patah hati dengan isakan tersekat.
Beberapa saat kemudian, dia meneruskan, “Jiwanya belum memudar sepenuhnya, saya masih bisa merasakan keberadaannya tetapi saya tak tahu dia ada di mana. Saya tak meminta hal lainnya, saya hanya meminta bimbingan.”
Kakek Buddha mendesah dan berkata, “Di depan matamu, di pusat matamu, hanya hatimu yang bisa melihatnya.”
Sungguh kata-kata yang mendalam. Sebuah jiwa yang begitu cerdas sepertiku saja tak bisa mengerti, aku tak tahu apakah mengerti.
“Berterima kasih atas bimbingan Sang Buddha….” Mendengar nadanya, sudah jelas bahwa dia juga tak mengerti. Dia menahan napasnya dalam waktu lama seakan memikirkan hendak mengatakan sesuatu yang penting, dan akhirnya dia membuka mulut, “Saya tak tahu apakah masih ada seutas benang harapan?”
Sang Buddha menjawab, “Sebuah pemikiran yang bodoh akan membawa pada akhir, namun pemikiran yang cerdas memiliki kesempatan untuk kebangkitan.”
Kakek Buddha begitu tulus dan hangat, menjawab apapun yang dia tanyakan, namun jawabannya bukan sesuatu yang bisa dipahami semua orang. Inilah kenapa Sang Buddha adalah Sang Buddha, dan aku hanya sebuah jiwa kecil.
Setelah berpikir dalam-dalam selama sessaat, aku pun tertidur.
Ketika aku bangun, kulihat inangku sudah kembali ke kediamannya. Tetapi di hadapannya berdiri seorang tuan muda berjubah biru muda yang tak pernah kulihat sebelumnya. Jubahnya longgar seperti seorang dewa yang elegan.
“Aku pernah mengira kalau kita adalah rival yang setara dengan kebanggaan dan posisi kita. Selama kita terus saling berhadapan, salah satu dari kita akan menang. Namun sekarang, akhirnya aku mengerti, untuk beberapa hal takkan pernah ada kekalahan ataupun kemenangan, tak pernah ada benar dan salah, hanya ada yang terlewatkan… aku telah memperhitungkan awalnya dengan salah, kau memperhitungkan akhirnya dengan salah… penuh dengan penyesalan, namun tak mampu kembali ke awal….” Tuan muda berbaju biru muda berkata dengan sangat ringan, sangat lembut, namun area di antara alisnya memiliki kesedihan dan penyesalan yang tak bisa dilepaskan, bagai hembusan sedih angin musim semi yang telah melewatkan waktunya.
“Salah?” Inangku perlahan membuka mulutnya, “Tidak, kau tak memperhitungkan dengan salah, hanya saja aku tak pernah memperhitungkan. Kecuali bila hingga sekarang kau tetap tak mengerti bahwa yang harus dihindari dalam cinta adalah ‘perhitungan’? Aku tak pernah memperhitungkan, aku tak percaya bahwa aku telah melewatkan. Aku hanya mempercayai yang salah.”
Tuan muda berbaju biru itu tampak telah ditusuk pada titik sensitifnya dan ta menjawab. Sesaat kemudian dia berkata, “Sui He telah dipenjarakan olehku.”
Mendengar ini, inangku hanya memberikan sebuah suara mengiyakan ringan yang menunjukkan bahwa dia sudah tahu tetapi hatinya tidak berada di sana. Aku mengikuti matanya dan melihat sebuah perkamen dari lengan baju tuan muda berbaju biru itu.
Sebelum dia pergi, dia memberikan potongan-potongan kertasnya kepada inangku, “Kupikir ada beberapa barang yang ingin dia berikan padamu. Meski aku sepuluh ribu kali tak bersedia dan sungguh ingin menyimpannya, tetapi… yang bukan milikku takkan pernah menjadi milikku….”
Inangku menerima kertas yang sudah menguning itu, menatap pada punggung jubah biru yang semakin menjauh dan mengucapkan empat patah kata, “Jangan pernah berperang lagi.”
Si tuan muda berbaju biru mengangguk dan berkata sembari menatap tepat pada inangku, “Jangan pernah berperang lagi.” Setelah itu, dia pun pergi.
Empat kata untuk mengakhiri semua kebencian.
Tetapi kenapa aku mendapati bawha kertas yang menguning itu kelihatan agak familier? Melihat kertas-kertas itu dibolak-balik satu demi satu, mereka menjadi semakin dan semakin familier.
Setiap lembarnya memiliki sebuah lukisan, namun keahlian si pelukis sungguh payah. Tak usah bicara tentang yang lainnya tetapi gambar yang di depan, setelah melihat setengah harian barulah aku menyadari bahwa itu adalah seekor burung. Tetapi, burung jenis apa itu sulit untuk disebutkan…. Seekor gagak berbentuk ganjil dengan ekor panjang, namun juga tampak seperti seekor phoenix yang telah menjatuhkan semua bulunya. Sungguh sulit untuk disebutkan, sanagt sulit untuk disebutkan.
Aku sedang menggelengkan kepalaku pada semua keahlian menggambar yang mengerikan ini saat kulihat sebuah bayangan pada salah satu kertas. Sangat sedikir goresan, namun seorang lelaki yang luar biasa pongah bangkit dari kertas itu; mata phoenix, bibir tipis, kelihatan tanpa emosi tetapi sarat dengan perasaan, membuat orang mulai berkhayal, membuat orang ingin melangkah ke dalam lukisan untuk menemukan dirinya yang sebenarnya.
Setelah inangku selesai membolak-balik kertas-kertas itu, kusadari bahwa sebagian besar gambarnya adalah si tuan muda arogan itu – duduk atau berdiri, mencela atau marah, meski selalu dari sisi samping atau belakang, namun penggambarannya sungguh menggerakkan hati. Satu senyuman, satu rengutan, rasanya seakan orang itu ada di depan mata.
Mau tak mau aku jadi bingung. Orang ini telah menggambar bunga dan burung dengan begitu buruk, tetapi kenapa hanya tuan muda ini yang digambar dengan begitu spektakuler nyatanya hingga kelihatan hidup?
“Jin Mi….”
Kenapa dia mendadak memanggil nama ini sambil memandangi gambar-gambar itu?
Kulihat jemari panjang lentiknya meremas ujung kertas, perlahan mengencangkan cengkeramannya, kekuatannya begitu besar hingga ujung jarinya memutih, seakan dia ingin menangkap sesuatu yang berada di luar jangkauannya, seakan dia sedang neahan rasa sakit yang mendalam.
“Kenapa kau begitu bodoh… begitu bodoh… kukira aku saja sudah bodoh… tetapi siapa yang akan menyangka kalau kau bahkan lebih bodoh lagi dariku!”
“Kenapa kau begitu bodoh? Aku sudah mengajarimu selama seratus tahun, kau tak belajar apa-apa, tapi hanya mempelajari kebodohan idiot ini? Tolol!”
“Sudah cukup kalau aku saja yang bodoh, tetapi kenapa kau juga begitu bodoh? … Apa kau tahu… aku tak tahan….”
Aku sungguh dipusingkan oleh monolog kebodohannya. Namun penghinaannya atas kebodohan membuatku marah. Apa yang salah dengan menjadi bodoh? Tidakkah dia pernah mendengar kalau orang-orang bodoh memiliki kebahagiaan bodoh mereka sendiri?
“Sejak awal, aku sudah tahu kalau kau lah yang telah menyelamatkanku… kelinci itu, sejak kali pertama aku melihatnya, aku tahu kalau itu kau, tapi aku berpura-pura tidak tahu… karena aku tahu bila kita saling bertemu kembali, akan terjadi pembantaian, namun aku tak sanggup untuk melakukannya. Meski kau telah berbohong padaku, kau telah membunuhku, meski aku telah mengingatkan diriku sendiri setiap saat bahwa aku harus membencimu, aku harus membunuhmu dengan tanganku sendiri, tetapi begitu aku menghadapimu, pertahanan dan rencana terbaik pun akan hancur tanpa perkelahian, bahkan tak pantas untuk dibicarakan. Bukan hanya aku tak mampu melakukannya, diam-diam aku bahkan menantikan untuk melihatmu, seakan aku sudah keracunan, aku bahkan memandang hina pada diriku sendiri….”
“Malam itu, aku tidak mabuk… tetapi berpura-pura sedang mabuk. Memelukmu, memelukmu erat, memilikimu, kau sungguh membuatku mabuk. Diam-diam aku merasa puas dan berharap bahwa hal ini akan bertahan selamanya. Seolah kebencian apapun yang ada di antara kita hanyalah awan yang berarak, pemikiran semacam itu membuatku ketakutan, membuatku membenci diriku sendiri, membenci bahwa untukmu aku telah melunakkan hatiku hingga aku bisa menyerahkan hidup dan kebanggaanku.”
“Dengan sengaja aku menyebut nama Sui He, hanya untuk mengingatkan diriku sendiri agar jangan sampai tergoda olehmu. Tetapi, begitu aku melihat ekspresi kesepianmu, melihat betapa kacaunya langkahmu saat kau pergi, hatiku terasa sakit, bahkan bernapas juga menyakitkan. Aku ingin mengejarmu dan mengatakan keapdamu bahwa semua ini tak seperti yang kau pikirkan.”
“Hari itu, saat kau datang ke Dunia Iblis, saat kau sungguh-sungguh mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku. Jantungku berhenti berdetak pada saat itu. Meski bahkan rambutku pun tahun bahwa itu adalah kebohongan, namun aku memercayainya. Aku tak bisa menjadi diriku sendiri. Mulutku penuh dengan celaanku terhadapmu, tetapi hatiku telah menghangat oleh kata-katamu.”
“Kupaksa diriku sendiri untuk mengucapkan kata-kata kejam itu kepadamu. Kubilang padamu, ‘Kalau kau mengucapkan bahwa kau mencintaiku lagi, aku akan langsung membunuhmu. Bilang satu kali, bunuh satu kali!’ Tetapi aku tahu kalau saja kau mengatakannya sekali lagi, aku akan menyerahkan semuanya, tak memedulikan apa-apa, dengan mati-matian menjagamu di sisiku, membuang pembalasan terdalam ke belakang kepalaku… tetapi, kau pergi, bagaimana bisa kau pergi begitu saja seperti ini?”
“Melihatmu berubah menjadi sehelai bunga es yang menguap pergi… kukira aku sudah mati. Bahkan belatimu yang telah menusuk pusat diriku juga tak semenyakitkan itu… tetapi, aku tak mati… kenapa kau selalu begitu kejam?”
Mendengar gumamannya pada diri sendiri itu, aku tak tahu harus merasa bagaimana. Aku hanya membenci bahwa aku tak bisa langsung berubah menjadi sebutir anggur untnuk membuat dia senang.
Tetapi bagaimana aku bisa berubah. Tepat saat aku sedang kebingungan dan tak tahu harus bagaimana, kurasakan sekelilingku mulai berubah. Ada uap-uap air yang mengumpul di sekitarku dan memadat pada diriku, dan akhirnya membekukanku di tempat.
Sebuah pemikiran melintas di hatiku – gawat!
Namun sudha terlambat. Kulihat diriku bagaikan resin yang membekukan negngat. Aku menggelincir keluar dari matanya dengan uap air mengelilingiku.
Ternyata aku adalah salah satu tetesan air mata yang ada di matanya. Sejak awal, kami ditakdirkan untuk berpisah….
Pada saat ini, sebuah perasaan enggan sungguh muncul dalam diriku. Begitu terjatuh, aku berbalik untuk menatapnya. Dia sama sekali bukan iblis buruk rupa, dia adalah seorang tuan muda yang amat sangat tampan.
Tidak disangka-sangka, dan sekaligus juga sudah diperkirakan.
Sudah ditakdirkan dalam hidup… aku mengesah dan meluncur turun.
Final Chapter: Bunga Yang Merekah dan Bulan Purnama
Musim semi telah datang kembali. Bunga-bunga persik mekar penuh.
Iring-iringan dari Ibukota dengan megahnya telah menerima putri tertua dari Keluarga Jin untuk menikah dan sedang kembali ke Utara menuju Ibukota.
Meski wilayah itu kecil, jalanannya tak mudah untuk ditempuh. Ketika iring-iringan itu baru meninggalkan perbatasan wilayah, matahari sudah terbenam. Melihat terbenamnya matahari dan naiknya rembulan, iring-iringan itu pun menurunkan tandunya untuk berisitirahat. Namun siapa yang akan menyangka bahwa setelah matahari terbenam, segumpal bola awan merah berapi-api akan datang mendekat, dan dalam sekejap, langit pun membara. Melihat hal ini, semua orang tercengang hingga tak mampu bicara seperti ayam-ayaman kayu.
Mendadak, sebuah pekikan burung yang nyaring terdengar dari dalam awan merah itu. seekor burung aneka-warna mengembangkan sayapnya di udara, ekornya sepanjang delapan ‘chi’, berkilau dengan cemerlang, begitu megah hingga tak seorang pun yang mampu menatapnya secara langsung.
“Phoenix! Itu seekor phoenix!” Orang yang paling pintar dari iring-iringan itu bereaksi dan terus menjerit keras. Yang lainnya pun mendapatkan kesadaran mereka kembali berkat jeritannya itu. mereka semua begitu syok. Beberapa bahkan benar-benar berpikir dalam hati mereka, “Sungguh menakjubkan! Seekor phoenix telah tiba! Bila seekor burung suci semacam itu sampai muncul, jangan-jangan… jangan-jangan… Jin Huangfei akan benar-benar menjadi Permaisuri?!”
(T/N: Huangfei / Imperial Concubine adalah gelar untuk selir Kaisar)
Bagaimanapun juga, tak peduli bagaimanapun iringan di luar memekik gelisah, gadis di dalam tandu tetap tak bergerak. Rumbai yang menggantung pada penutup kepalanya tak bergoyang sedikit pun, seakan semua ini sudah diperkirakan. Dia duduk tenang seperti gunung, bahkan tanpa separuh pun keingintahuan dari orang biasa.
Phoenix api itu terbang di atas iringan, semua orang menjadi penuh hormat sekaligus ketakutan, mereka bahkan tak tahu cara untuk bernapas.
Phoenix itu membawa ekor panjangnya yang megah dan bergulung sekali di atas kepala orang-orang. Sebuah jembatan burung merah yang besar muncul dan mulai menyebar di bawah tatapan kaget semua orang….
“Gawat! Phoenix itu datang untuk menculik mempelai wanita!”
DI bawah kilauan rembulan, di sisi pegunungan curam dengan banyak puncak, terdapat bentangan tanpa akhir bunga-bunga kanola yang merekah. Dalam lautan bunga-bunga kuning keemasan itu, terdapat sebuah tandu pengantin merah cerah yang luar biasa memukau namun sekaligus penuh kedamaian, seakan tandu itu telah menunggu di sana dalam waktu yang sangat, sangat lama….
Lima ribu tahun telah berlalu…
Ternyata yang dinantikan tandu itu adalah penculikan pengantin yang sungguh meriah ini!
Nun jauh di sana, bebatuan hijau di bawah jembatan lengkung, terdapat mata air berkelok.
Seorang pria tampan berjalan dari kedalam lautan bunga. Bunga-bunga kanola kuning keemasan serta merta menyingkir dari jalannya untuk menampakkan sebuah jalur lurus.
Sehembus angin bertiup, membawa bersamanya hujan kelopak bunga serta meniup tirai tandu merah membara hingga terbuka, meniup penutup kepala sang mempelai wanita….
Pria tampan itu membuka sebuah payung kertas untuk melindungi dari langit yang sarat dengan hujan bunga. Dia mencondongkan tubuh ke depan dengan tangan terjulur, “Jin Mi, aku sudah datang.”
Gadis di dalam tandu tersenyum tipis, dan meletakkan tangannya ke dalam telapak tangan pria itu. dia mengerjap dan berkata, “Tapi, aku sudah menerima hadiah pernikahan si Kaisar kecil.”
Telapak tangan gadis itu dicubit kuat-kuat. Si pria berkata, “Ah, sungguh menyia-nyiakan lingli enam ribu tahun yang telah kupersiapkan.”
Setelah mendengar hal ini, mulut gadis itu melengkung membentuk sudut licik. Dicengkeramnya tangan si pria erat-erat dan bergegas bangkit dari tandu, “Kalau begitu, maka kurasa aku harus melakukannya.”
***
Semuanya sunyi kecuali suara burung-burung dan lebah.
Di bawah cahaya rembulan, semuanya sempurna.