Ashes of Love - Epilogue 1
Titik waktu: dalam seratus tahun ketika Jin Mi pertama kali pergi ke Dunia Kahyangan dan menjadi Shutong Phoenix.
“Apa itu?”
“Ah?” Aku sudah ketiduran saat menggosok batu tinta ketika aku langsung membuka mataku lebar-lebar pada pertanyaan mendadak Phoenix. Aku memberikan kesan penuh energi saat aku menatapnya namun kulihat alisnya agak berkerut saat melihat sisi kanan bawah. Mengikuti arah tatapannya, aku melihat sebuah buku kecil tergencet oleh salah satu kaki meja, penampilan lemah dan kurusnya menguarkan perasaan mengibakan. Tentu saja, buku itu agak familier.
Tiba-tiba aku teringat bahwa aku sudah berusaha mengubah meja baca pagi ini dan mulanya ingin mengubahnya menjadi seekor kura-kura… tapi siapa yang tahu kalau setelah aku merapalkan mantra, bukan hanya meja baca itu gagal berubah, dia malah miring ke satu sisi dan satu kakinya memendek! Untung saja kepincangannya itu tak terlalu parah, jadi aku pun meletakkan beberapa buah buku di bawah kakinya sehingga meja itu langsung kembali ke dirinya yang tegak dan stabil kembali. Siapa yang tahu kalau mata Phoenic akan jadi begitu tajam dan dia akan langsung menemukannya dalam sekali lihat….
Seorang pencuri tak membutuhkan hati yang bersalah. Sebuah hati yang bersalah belum tentu seorang pencuri. Jadi, dengan sangat tebal muka aku berkata, “Tentu saja, itu adalah buku. Mejanya jadi lebih stabil dengannya.”
Phoenix menatapku dengan alis terangkat dan dengan sekali mengangkat jari, buku-buku itu pun terbang dari bawah meja ke dalam tangannya. Aku melihat kuas-kuas serta batu tinta langsung jatuh dari meja baca ketika meja itu miring ke satu sisi – untungnya mata dan tanganku begitu cepat dan aku segera menangkap mejanya untuk menstabilkannya.
Meski melihat bahwa meja baca yang berat ini sudah akan mematahkan pinggangku yang ramping, Phoenix si burung beracun itu tak peduli. Dia membolak-balik salah satu buku dan membaca keras-keras, “Satu Griya Penuh dengan Arwah Pencinta?” Wajahnya menggelap dan diangkatnya kepala untuk menatapku, membolak-balik beberapa halaman lagi dalam buku tersebut, ekspresinya terus menajdi semakin berat…. Pada akhirnya, dia membanting buku itu ke atas meja dan berdiri, “Kau memakai buku semacam itu untuk menopang mejaku?”
Ah? Apa yang salah dengan bukunya? Kuangkat kepalaku dan melihat halaman terbuka dari buku yang terabaikan itu, ah, itu kan cuma gambar. Kenapa kau mengamuk seperti itu? Kecuali… dia kesal pada fakta bahwa gambar-gambar musim seminya tidak cukup mendetil? Untuk menyerah terhadapnya, aku menambahkan, “Pangeran Kedua, kalau Anda tak menyukai buku ini, di kamar saya punya mebih banyak lagi untuk Anda pilih.”
“Jin MI!” Phoenix menyipitkan matanya padaku dan benar-benar mengangkat tangannya untuk memukul meja – sama seperti menambahkan bunga es pada salju, aku merasakan sentakan rasa sakit pada pergelangan tanganku dan akhirnya tak mampu memegangi mejanya. Aku mendengar suara-suara menggemuruh dan tubuhku pun ikut tertarik, dan akhirnya terjatuh dengan linglung ke dalam pelukan Phoenix.
Aku bergerak dan berusaha merayap naik, tetapi siapa yang tahu kalau pengikat sabuk pada pakaianku malah tersangkut pada sesuatu di tubuhku dan dengan satu tarikan, kudengar suara kain yang sobek. Aku telah menyobek sebuah lubang di bagian pinggang bajuku.
“Ah….” Kudengar sebuah suara dari arah belakang. Aku pun berbalik dengan menyedihkannya – seorang pelayan telah mengantar seorang dewa tua berjenggot seputih salju ke pintu dan mereka berdua pun menatap nanar padaku dan Phoenix, lalu pada kekacauan di lantai. Sebuah ekspresi ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa melakukannya dengan kaki mereka setengah terangkat di atas ambang pintu.
“Jangan bergerak,” Phoenix memerintahkan ke dalam telingaku ketika tangannya menopang pinggangku dan menekanku ke dalam pelukannya.
Kumis si dewa tua berkedut lalu berkedut lagi, dan akhirnya, berubah merah. Menengadahkan kepalanya untuk menatap angkasa, menundukkan kepalanya untuk melihat buku-buku musim semi di lantai, dia berkata, “Musim semi telah tiba… telah tiba….” Bicara tidak nyambung saat dia memutar kepalanya dan berjalan pergi.
Di tengah-tengah hembusan angin musim semi, lembar-lembar penuh dengan gambar-gambar mesum beterbangan.
Phoenix dan aku saling bertatapan – mata kecil pada mata besar untuk waktu yang singkat. Bila lawan tak bergerak, aku takkan bergerak. Angin membawa helai-helai rambut yang yang terjatuh dari sisinya melewati hidungku, dan mendadak, aku mendapatkan firasat tidak enak.
Saat aku melihat wajah gelap Phoenix semakin lama semakin mendekatiku, rasanya begitu mengerikan hingga aku tak mampu bergerak… siapa yang tahu, akhirnya, dia mengangkat tangannya untuk menjumput rambutku dan berkata dingin, “Untuk erapa lama kau berencana akan menyandar padaku?”
Kata-kata itu mengagetkanku hingga punggungku jadi merinding. Dengan terburu-buru dan sembarangan aku menekankan telapak tanganku sebagai penopang dan berdiri. Setelah aku berdiri tegak, kulihat alis Phoenix berkerut dan rona wajahnya jadi sedikit pucat, “Kau…!”
Aku? Apa lagi yang sudah kulakukan? Aku memberinya tatapan bingung namun melihat bahwa wajahnya menjadi begitu hitam ketika dia menatap tanganku. Dia meludahkan satu demi satu kata, “Kau – Keluar!”
Tentu saja, aku tak mengharapkan bahwa seekor burung seperti dia akan menjadi sebaik dan semurah hati kami para buah, namun aku tak pernah menyangka bahwa dia akan menjadi begitu murka hingga tahap ini….
Pada hari kedua, dia mengubahku menjadi sepasang sumpit. Digunakan untuk mengambil makanan tapi tak bisa memakannya – rasanya ingin menangis tapi tak punya air mata.
Pada hari ketiga, Chang E dari Istana Bulan membawa kelinci kumalanya untuk berkunjung. Dengan sekali tunjuk dari jarinya, dia mengubahku menjadi sebuah lobak besar yang gemuk! Saat kelinci kumala melihatku, dia langsung ingin melompat menghampiri. Untung saja, Chang E memeluknya dengan erat atau aku pasti akan kehilangan nyawaku pada seekor kelinci. Setelah melakukan perang pelototan melawan kelinci kumala selama dua jam, akhirnya aku menyadari kenapa Lao Hu begitu takut pada kelinci. Kelinci itu sungguh adalah hewan paling ganas di dunia ini!
Pada hari keempat, si Phoenix terkutuk itu mengubahku lagi menjadi genderang. Dipegang di tangannya, dia memukulku hingga aku nyaris pingsan baru kemudian dia melepaskanku.
Pada hari kelima, hari keenam, hari ketujuh, hari kedelapan… barulah pada hari kedelapan dia membebaskanku. Bertingkah begitu konyolnya, kuputuskan kalau aku takkan berurusan dengan burung ini lagi.
Belakangan, saat aku kebetulan menyeberangi jembatan langit, kudengar seorang xian pelayan diam-diam berbisik kepada yang lainnya, “Kudengar beberapa hari yang lalu, Pangeran kedua dan shutong-nya di atas meja bacanya… melakukan pertapaan berpasangan… dan benar-benar mematahkan salah satu kaki meja baca itu….”
Xian pelayan lainnya begitu syok sampai-sampai matanya menjadi begitu lebar dan mulutnya menganga. Dia megap-megap, “Sungguh berani dan kasar!”
Kutengadahkan kepalaku ke angkasa, dengan matahari cerah membara, memang sangat berani.