Ashes of Love - Epilogue 4
Sejak kali sebelumnya saat aku gagal pergi menguji pil, Phoenix telah mengurungku sepenuhnya. Sudah setengah bulan sejak hari yang menentukan itu. bukan! Aku seharusnya menyebut sudah lima belas hari, lima belas hari penuh, dia itu sungguh mendominasi dan aku sungguh terlalu menyedihkan. Mereka yang bisa melihat akan merasa sedih, mereka yang bisa mendengar akan meratap.
Aku sedang berada di ruang belajar dan menggosok hingga wajahku sudah akan terjatuh ke dalam batu tinta ketika kudengar seorang iblis kecil mengumumkan dari luar, “Yue Xia Xian Ren meminta bertemu dengan Nyonya Yang Agung. Harap Yang Agung memberikan pengarahannya.”
Satu kalimat dan aku menjadi marah. Kenapa Yue Xia Xian Ren mencari ‘Nyonya Yang Agung’, kenapa para iblis meminta ‘pengarahan dari Yang Agung’? Hal ini sungguh mengabaikan keberadaanku! Tentu saja, aku hanya bisa marah di dalam hatiku… kebiasaan memang adalah suatu makhluk yang menakutkan.
“Tak diizinkan,” Yang Agung dengan jelas melontarkan kedua kata itu. Kepalanya bahkan tak dinaikkan dan dia terus saja menulis.
“Baik,” si iblis kecil mengundurkan diri. Dengan cepat, dia kembali, “Melapor kepada Yang Agung, Yue Xia Xian Ren berkata… berkata… butuh alasan untuk tidak bisa bertemu….”
Phoenix menghentikan kausnya dengan tenang, dia masih tak mengangkat kepalanya dan berkata, “Nyonya sedang hamil dan butuh istirahat.” Si iblis kecil menerima perintahnya dan pergi.
Aku sebenarnya sedang terkantuk-kantuk saat mendadak berdiri dengan kaget, “Memangnya kapan aku punya bayi?”
Phoenix mengangkat kepalanya, menatap mataku dengan santai dan menjawab, “Segera.” Mendadak aku merasa kalau dahiku menjadi hitam.
Sekejap kemudian, Phoenix menyelesaikan tulisannya, lalu dia dengan hati-hati menempelkannya pada sebuah perkamen, lalu menggantungnya dengan tangannya sendiri ke tengah-tengah kamar tidur, menghadap kepala ranjang.
Aku menatap tulisan itu. Di atas kertas terdapat empat kata yang ditulis dengan mencolok – ‘Langit Mengupahi Sesuai Upaya’. Karenanya, bukan hanya dahiku yang menjadi hitam, wajahku juga menjadi hitam.
Memang, frekuensi pertapaan berpasangan kami pun meningkat tajam. Aku tak tahu apa makna sebenarnya dari pertapaan berpasangan, tetapi aku tahu bahwa konsekuensi dari pertapaan berpasangan adalah seorang bayi yang akan menangis siang dan malam. Karenanya, aku menjadi murung – murung siang dan malam, murung saat bertapa, murung saat tidak bertapa.
Belakangan, tidak jelas sebabnya tetapi Phoenix juga mulai menjadi murung, dan akhirnya dia jadi depresi, sedikit makan dan tidak benar-benar tidur. Melihat dia bersedih, aku menjadi lebih sedih lagi, sungguh kemurungan yang menambah kemurungan tanpa akhir….
Akhirnya, ada hari saat kami tak melakukan pertapaan berpasangan. Dia duduk di atas ranjang dan menatapku dengan serius. Dia menatap dalam waktu lama, menatap sampai seluruh rambut halus di punggungku berdiri tegak, lalu akhirnya dia pun membuka mulutnya, “Jin Mi, aku akan bertanya sesuatu padamu, kau harus menjawabku dengan jujur.”
Serta merta aku mengiyakan dengan patuh. Aku nyaris ingin bersumpah kepada Langit bahwa selama dia berhenti menjadi begitu labil, aku akan mengatakan padanya semua yang dia inginkan.
Siapa yang tahu bahwa dia tak bisa membuka mulutnya selama setengah harian… aku belum pernah melihat dia begitu peragu. Aku sungguh terkejut, aku tak tahu apakah dia sedang bersiap-siap untuk menceraikanku atau bersiap-siap untuk menikahi seorang selir, pemikiran semacam itu melintas dalam diriku dan benar-benar membuatku terguncang. Pada saat ini, dia akhirnya membuka mulutnya, “Jin Mi, apa kau tak mau melahirkan anakku?”
Ah, jadi ini bukan tentang selir. Maka aku pun menjadi santai dan menjawab, “Tidak.”
Mendengar hal ini, ekspresi Phoenix menjadi jauh lebih baik dan tubuhnya yang tegang tampaknya menjadi santai. Buru-buru dia menambahkan, “kalau begitu kenapa kau tampak begitu murung sejak hari aku berkata bahwa kau akan segera punya bayi?”
Oh, jadi ternyata soal ini. dengan jujur aku menjawab, “Aku terkena depresi pra-kehamilan.”
Sekarang giliran Phoenix yang wajahnya menggelap, “Memangnya apa yang perlu didepresikan oleh buah sepertimu?”
Kenapa buah tak bisa depresi? Aku merasa marah.
Barulah setelah aku menekan amarah di dalam hati aku berkata, “Aku sungguh galau – aku tak yakin makhluk apa yang akan kulahirkan.”
Saat kata ‘makhluk’ keluar dari mulutku, rasanya seakan aku melihat ledakan api teratai merah memancar keluar dari kepala Phoenix, dan buru-buru aku menambahkan, “begini, ayahku adalah air, ibuku adalah bunga, dan karenanya melahirkan bunga es sepertiku. Kaisar Langit yang sebelumnya adalah naga, Permaisuri Langit adalah phoenix betina, dan melahirkan phoenix jantan sepertimu. Ibu Xiao Yu Xian Guan adalah ikan koi, tetapi Xiao Yu Xian Guan adalah ikan naga. Yue Xia Xian Ren dan Kaisar Langit berasal dari ayah yang sama tetapi Yue Xia Xian Ren adalah seekor rubah… karenanya, aku jadi tidak terlalu yakin, aku adalah bunga es, kau adalah phoenix jantan, buah macam apa yang akan terlahir? Jadi, aku sungguh sungguh sungguh galau!”
(T/N: rasanya kok jadi curiga, jangan-jangan Kaisar Langit yang sebelumnya dan Yue Xia Xian Ren adalah keturunan dari Ye Hua dan Bai Qian… XD)
Phoenix jadi tak tertawa habis-habisan dan aku bisa melihat lesung pipitnya muncul. Diangkatnya tangan untuk menyentil dahiku, “Kecemasan yang tidak perlu! Tentunya kau akan tahu saat waktunya tiba.” Maka, Phoenix pun benar-benar telah menyingkirkan semua kekhawatirannya.
Dan karenanya, hari-hariku yang penuh kesukaran pun kembali, pinggangku yang malang….
Langit memang mengupahi sesuai dengan upaya. Dalam kurun waktu setengah bulan, aku pun hamil. Dari depresi pra-kehamilan menjadi depresi pra-kelahiran, aku khawatir setiap hari, sungguh takut kalau aku akan melahirkan sesuatu yang aneh, contohnya Yue Xia Xian Rena tau Pu Chi Jun… mereka ini adalah beberapa contoh dari tingginya keanehan.
Lima tahun kemudian, akhirnya aku berkembang dari depresi pra-kelahiran menjadi depresi paska-kelahiran. Bukan karena apa-apa, tetapi hanya karena aku melahirkan seorang bayi yang wujud aslinya adalah seekor kuntul putih.
Apa itu kuntul putih? Kuntul putih adalah sejenis burung air – burung air! Sungguh sebuah spesies burung yang kekurangan tenaga – bahkan seekor phoenix masih lebih baik ketimbang seekor burung air! Aku ingin memasukkannya kembali ke dalam perutku dan melahirkan sekali lagi.
Tetapi Phoenix amat gembira, dan aku tak pernah melihat dia tersenyum sedemikian lebar sebelumnya. Bahkan pada hari pernikahan kami, dia hanya menampakkan rasa senang yang tertahan, bukan senang yang begitu ekspresif seperti ini.
Dia selalu mengetahui hatiku dengan baik jadi dia merangkulkan kengannya padaku dan menenangkanku, “Anak-anak dan cucu kita akan memiliki kebahagiaan mereka sendiri.” Cucu? Aku sudah begitu susah hanya dengan satu orang putra, bagaimana aku berani memikirkan tentang cucu!
Tetapi, setiap kali saat aku menatap wajah kecil putraku yang putih dan lembut seperti beras ketan, saat dia memakai tangan mungilnya untuk menggenggam jariku, saat aku mendengar tawa tak berdosanya, hatiku menjadi tenang – aku merasa bahwa kuntul putih adalah burung yang paling cantik dan murni di dunia. Bahkan seribu atau sepuluh ribu elang takkan mampu menandingi satu helai bulu dari sayap seputih saljunya.
Terlebih lagi di Dunia Iblis yang hitam dan berlumuran darah ini, melahirkan kuntul putih yang begitu murni dan suci seperti ini, bukankah bisa dianggap sebagai terlahir dari lumpur namun tetap tak ternoda?
Phoenix memberi dia nama ‘Tang Yue’. Kedengarannya cukup akrab di telingaku dan belakangan aku baru ingat bahwa itu adalah nama toko keluarga tempatku terlahir saat aku menjadi manusia.
Barulah saat itu aku menyadari bahwa Phoenix lebih pemalas daripada aku.