The Oath of Love vol. 1 [Bahasa Indonesia] - Chapter 22
- Home
- The Oath of Love vol. 1 [Bahasa Indonesia]
- Chapter 22 - Yang Dinamakan Dengan Lonjakan
“Dokter …”
“Hmm.”
“Saat ini … Haruskah aku jujur atau tetap menyimpannya untuk saat ini?”
“Apakah saat ini kamu baru mulai memikirkan mengenai masalah ini?”
“=_= …” Apakah ini artinya dokter Gu marah?
“Apapun yang ingin kamu lakukan, pikirkan sendiri dengan jelas.” Dokter Gu menghela nafas dengan lembut, “Aku akan bekerjasama denganmu.”
Oleh karena itu, menghadapi musuh yang sangat kuat di depan, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah memerangi api revolusi.
Maka, dokter Gu memperlakukan semua orang dengan sikap yang sama. Bagaimana dokter Gu memperlakukan kami sebelumnya, dia tetap melakukan hal yang sama sampai sekarang …
Bahkan sejak dokter Gu secara samar-samar mengetahui bahwa Ibuku tidak setuju jika aku berkencan dengan seorang dokter, dokter Gu terlihat sedikit – dingin dan pendiam. (aku sungguh tidak tahu bagaimana menggambarkannya.)
Setiap kali aku menyaksikan Gu Wei dan Ibuku berbicara dalam ‘obrolan yang bermartabat’ dari sebelah; ekspresi Gu Wei yang tenang, semakin aku melihatnya, semakin hal itu terasa kaku.
Kemudian, ketika aku sesekali menemukan adanya emosi yang menyapu sudut mata Gu Wei, dan perasaan bersalahkupun berubah menjadi kacau.
Namun, mempertimbangkan situasi saat ini antara aku dan dokter Gu, tidaklah tepat untuk mengambil bagian dalam drama antara ‘ibu mertua dan putra menantu’ ini.
(Pemikiran Pengarang: Sebenarnya, anda berencana untuk melahirkan bayi terlebih dulu sebelum secara langsung memaksa raja untuk turun tahta.)
Pada siang hari, aku baru saja menyaksikan Guru Lin tertidur setelah beliau selesai makan siang, dan ponselku berbunyi.
“Lin Zhixiao~” terdengar suara seseorang yang baru saja bangun tidur, “Apakah kamu menginginkanku untuk menyimpan kursi untukmu sore ini?”
“Sore ini? Untuk apa?” Tidak ada kelas hari ini karena hari ini adalah hari Jumat.
“Kuliah Umum.”
Perhimpunan yang jahat ini!
Yang dinamakan dengan ‘Kuliah Umum’ adalah kegiatan yang dilakukan oleh kampus terhadap ‘keberagaman pendidikan politik”. Topik diskusi adalah mengenai peristiwa yang paling aktual dan paling panas di dalam dan di luar negeri, dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswa dari setiap jurusan, dan menggunakan peralatan multimedia. Ulasan dari kegiatan ini biasanya menghabiskan waktu selama 30 menit. Kelas yang berpartisipasi dalam kegiatan ini akan dipilih secara acak dari masing-masing jurusan.
Acara ini selalu menjadi ajang kompetisi diantara para mahasiswa-mahasiswa sarjana. Tetapi pada saat sekarang ini, pihak kampus sepertinya menyadari bahwa ‘hubungan para junior dan senior di kampus tidak dekat’, maka pihak kampuspun mengatur orang-orang muda itu bersama dengan para mahasiswa pascasarjana menurut fakultas mereka untuk berpartisipasi dalam kompetisi yang membosankan ini.
Ini sangat menyedihkan. Ada begitu banyak talenta berbakat dari departemen sejarah dan kesusastraan yang lebih memperhatikan situasi politiik pada saat ini, apa perlunya melibatkan setiap fakultas …
Xiao Cao: “Mahasiswa Pascasarjana juga merupakan bagian dari kampus! Kamu harus datang! Jika kamu tidak datang, tim kita akan kalah!”
Pada akhirnya, lebih dari 1/3 finalis ditempati oleh mahasiswa pascasarjana. Mungkinkah para mahasiswa yang lebih berpengalaman yang berdiri di podium memiliki penampilan yang lebih meyakinkan?
Pada awalnya, kami ingin bermain dengan saus kedelai. Tetapi para mahasiswa sarjana itu terlihat bermain dengan saus kedelai yang lebih serius daripada yang kami lakukan. Sebagai hasilnya, kami cukup sial untuk jatuh ke dalam jebakan mereka.
(Bermain dengan saus kedelai artinya adalah seperti berpura-pura mereka tidak peduli.)
Ketika aku sampai di aula perkuliahan, hampir semua orang sudah berkumpul di sana. Penonton di aula ini mengingatkanku pada formasi persegi dalam kompetisi olahraga, yang jelas terlihat kubu-kubunya.
Xiao Cao cukup baik untuk duduk di baris ketiga … Aku tidak punya pilihan selain dengan pasrah melewati desakan banyak orang untuk sampai ke tempat Xiao Cao duduk.
“Yo, kemarilah Tangan Tuhan.” Orang yang lewat, yang sedang berbicara dengan sangat antusias dengan mahasiswa perempuan junior, melambai kepadaku.
Yu Gong, dia adalah ketua tim. Yu Gong juga merupakan seorang sampah yang suka mempermalukan orang lain, maka aku mencoba untuk tetap menjaga jarak dengannya.
Keberuntunganku selama beberapa tahun pecah ketika aku mengambil undian. Tanpa diduga, aku mengambil nomor 15 dari 16 kontestan. Menurut semua pakar, posisi ini adalah yang terbaik untuk mengenal kemampuan diri sendiri dan memahami kemampuan musuh. Maka kita bisa membunuh semua musuh kita dengan menggunakan pisau yang tumpul. Tetapi bagi kami, hal ini sangat berlawanan.
Hari ini adalah pertama kalinya kami tampil sebagai suatu tim. Diskusi ini secara keseluruhan akan berakhir dalam sekejap, dan kami harus menggunakan bahasa Inggris.
Disamping dosen asing, wajah semua hadirin menunjukkan ekspresi campuran antara kagum dan bingung di wajah mereka.
Xiao Cao: “Aku rasa nilai CET-6 ku palsu.”
Orang yang lewat bernama B: “Aku sedang ijin sakit pada hari itu …”
Orang yang lewat bernama A: “Tangan Tuhan, aku rasa kamu seharusnya memodifikasi PPTnya …”
Aku: “…” Apa artinya semua itu dengan menghadapi musuh yang tidak takut bertemu dengan Tuhan, rekan setimku terlihat begitu ketakutan meskipun mereka hanya menghadapi seekor babi.
Pada waktu istirahat, aku membalik-balik SMS baru yang masuk ke ponselku sambil meminum air.
Ibu: “Ada dokter yang menyukaimu. Bagaimana menurutmu?”
Aku terkejut. Tetapi tentu saja, aku tidak terbatuk-batuk maupun tersedak. Tetapi aku rasa sekujur tubuhku dipenuhi dengan aura kengerian, dan mahasiswa asing yang berada di barisan depan menolehkan kepala mereka, “Apa ada yang salah?”
Aku mengangkat botol yang ada di tanganku dan berkata, “Hanya terlalu panas.”
Yang lainnya mengangkat bahu dan berbalik. Baru kemudian, aku menyadari bahwa aku memegang botol air mineral Spring Nongfu.
Dalam situasi yang tidak jelas seperti itu, kita seharusnya tidak langsung berkonfrontasi dengan musuh kita. Aku dengan cepat meneruskan SMS yang dikirimkan Ibuku itu kepada Ayahku.
Dalam sekejap –
Guru Lin: “Itu adalah dokter Gao.”
Aku: “Dokter yang … ‘Lumpur, Lumpur, Lumpur itu baik?’”
Guru Lin: “Pria muda itu sangat jujur dan tulus.”
Setelah memahami situasinya, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perdebatan dengan orang yang EQnya rendah. Akupun membalas SMS ibuku, “Tidak ada.”
“Kamu mengatakan tidak tanpa bertanya kepadaku siapa dia?”
Punggungku terasa dingin. Ada sesuatu yang tersembunyi dalam percakapan ini.
Aku membalas: “Aku belum menyelesaikan kuliahku, jadi aku masih belum memiliki keinginan untuk menikah. Aku akan kembali ke kelas.” Aku tidak bereaksi sampai aku mengirimkan SMS itu kepada Ibuku, dan kalimat terakhir yang kutuliskan terlalu omong kosong.
Setelah kompetisi berakhir, aku kembali ke Rumah Sakit. Ketika aku memasuki bangsal, dokter Gu sedang melakukan gilirannya melakukan pemeriksaan rutin pada petang hari. Direktur B mengikuti dokter Gu dan dokter Gao berada di sebelah direktur B.
Dokter Gao berkata: “Ah, putrimu sudah kembali.”
Ibuku menatapku. Aku menunda keinginan untuk menghela nafas. Aku tersenyum sopan kepada dokte Gao dan terus menatap Gu Wei – yang sedang menekan daerah perut Guru Lin, “Pemulihannya bagus.”
Direktur B mengangguk, beliau tersenyum dan menatap dokter Gao, kemudian pergi keluar dari bangsal.
Gu Wei menundukkan kepalanya dengan sopan, dan ketika dia berjalan melewatiku, Gu Wei keluar dari bangsal tanpa mengedipkan matanya kepadaku.
Yang tinggal di dalam bangsal adalah dokter Gao, yang tersenyum dengan malu-malu.
Kepalaku berdengung dengan kemarahan, dan ada lima kata di dalam kepalaku, “Gu Wei, kamu sungguh kejam!”
“Turunlah dan beli beberapa buah untuk Ayahmu.” Benar-benar ada ikatan antara Ibu dengan putrinya. Aku mengambil dompet yang dilemparkan oleh Ibuku, berbalik, dan pergi.
Di koridor, lima atau enam keluarga pasien mengelilingi direktur B dan Gu Wei. Aku melewati punggung Gu Wei dan berkata, “Permisi.”
Gu Wei menoleh, sedikit mengangkat alisnya, dan gantian menatapku.
Aku menekan keinginanku untuk kembali menatap mata Gu Wei dan berkata dengan suara yang lirih, “Tolong beri jalan!”
Gu Wei memberiku jalan, dan aku tidak melihat ke belakang lagi.
Malam itu aku tidak dapat tidur dengan nyenyak, dan aku dalam kondisi setengah sadar ketika aku berpikir ada seorang suster perawat yang datang untuk memeriksa kamar. Ketika aku membuka mataku, Gu Wei sedang berdiri di ujung tempat tidurku.
Aku melirik jam, dan saat itu jam 12:05.
Aku mengangkat lenganku untuk menutupi mataku dan membalikkan badanku untuk kembali tidur.
Keesokkan paginya, aku pergi membeli sarapan.
Segera setelah pintu lift terbuka, aku bertemu dengan Gu Wei dan dokter Gao.
Dokter Gao dengan cepat menatap Gu Wei dan menunjuk ke arahku – dokter Gao berjalan pergi tanpa mengatakan apapun.
Aku memperhatikan punggung dokter Gao yang dengan cepat menghilang di dalam bangsal. Gu Wei menolehkan kepalanya dengan mencurigakan, Gu Wei berjalan dengan kakinya yang panjang ke arahku, “Pagi.”
Aku membalas dengan jawaban yang bermartabat dan tidak ramah, “Selamat pagi, dokter Gu.”
Aku menunggu lift tanpa menatap Gu Wei. Ketika lift yang kutunggu akhirnya tiba, akupun masuk ke dalam lift. Setelah pintu lift tertutup, aku melihat Gu Wei tertawa di luar lift.
Kemudian, ketika Gu Wei melakukan pemeriksaan rutin di pagi hari, aku sendirian di bangsal.
Guru Lin menyeret istrinya keluar untuk membelikannya pangsit.
Direktur B: “Hasil pemeriksaan Ayahmu akan keluar dua hari mendatang. Kamu bisa membawa Ayahmu berjalan-jalan di luar secara rutin untuk mendapatkan udara segar.” Direktur B keluar setelah menyelesaikan kalimatnya.
Dokter Gao dengan cepat menyusul direktur B.
Gu Wei berdiri di tempatnya, menatapku, dan tersenyum, “Aku akan pergi melanjutkan pemeriksaan rutinku.”
Aku mengabaikan Gu Wei. Mengapa aku harus peduli dengan pemeriksaan rutinmu?
Setelah itu, masalah inipun berakhir. Bulan depan, dokter Gao menyelesaikan magangnya dan pindah ke departemen yang lain.
===
Dialog Spesial:
Dokter Gu: Aku tidak mengetahui segala sesuatunya hingga Direktur mengatakannya sebelum pemeriksaan rutin. Aku tidak dapat berdiam diri dan melihat dokter Gao ditolak olehmu.
(Apakah hal itu lebih baik daripada ditolak olehmu? Setelah itu, ketika dokter Gao melihatku, dia terlihat seperti sedang melihat hantu.)
Dokter Gu: Itu adalah reaksi yang normal.
(Apakah kamu menyeret dokter Gao ke dalam ruangan yang gelap kemudian mengancamnya?)
Dokter Gu: Tidak. Direktur melihat wallpaper yang ada di ponselku.
(… kamu pasti melakukannya dengan suatu maksud.)
Dokter Gu: Bagaimana bisa, aku kan orang yang sangat ramah ~
(…)