Buku Panduan Neraka - Chapter 363
Ketika cahaya putih itu menyambar mereka, kelompok itu merasa seakan tubuh mereka akan meledak, kemudian mereka pun jatuh dari langit. Natasha dipaksa berubah kembali ke wujud manusia.
Mereka berlima jatuh dan mendarat di tempat berbeda-beda. Su Jin sudah menerima serangan berat sebelumnya, dan terjun bebas ini hanya membuat semuanya jadi lebih buruk. Dia sempat berpikir untuk memakai psikokinesisnya untuk membantunya mengambang, tapi ketika dia mencobanya, suatu kekuatan luar biasa besar menindihnya, seolah cahaya putih itu mampu memberangus semua pemakaian Kekuatan Jiwa. Tekanan dan benturan ketika dirinya mendarat ke tanah membuatnya pingsan seketika.
Ada yang melihat kemalangan mereka. Wanita bercadar dan rekan-rekannya yang masih membunuhi raksasa-raksasa lava satu-persatu di lantai tiga melihatnya. Kemudian lagi, cahaya putih benderang yang menyambar kelompok itu di tengah udara memang terlalu terang untuk dilewatkan. Terlebih lagi, Natasha dalam wujud naga ukurannya amat sangat besar, jadi sosoknya masih bisa terlihat tak peduli mau sebesar apa pun ukuran gunung berapinya.
“Apa yang barusan terjadi itu?” Jing Hua mengernyit seraya menatap ke kejauhan. Keributan tadi jelas mengganggunya ketika dia meletakkan satu tangan ke sabuk di mana dia menyimpan pedangnya.
“Gunung Sepuluh Ribu Tahun punya satu aturan khusus – semua yang ingin mendaki ke puncaknya harus berjalan memanjatnya. Kalau ada yang coba-coba memakai jalan pintas, seperti memakai kemampuan mereka untuk terbang atau teleportasi, gunung itu akan menurunkan sambaran petir dewa untuk menghukum mereka,” si wanita bercadar menjelaskan.
“Apa petir itu akan membunuh orang tersebut?” tanya pria berkepala anjing.
Si wanita bercadar menggelengkan kepalanya dan berkata, “Petir itu tidak akan membunuhmu di kali pertama, karena itu hanya sebuah peringatan dan hukuman. Tapi kalau kau mencobanya lagi, maka kau pasti akan mati, kecuali kau adalah dewa.”
“Itu kan cuma sambaran petir dewa. Tentunya ada banyak Kekuatan Jiwa yang bisa mengelak dari serangan itu, kan?” tanya Phoenix penasaran.
Namun si wanita bercadar kembali menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, sambaran petir langit yang itu sebutan aslinya adala Sambaran Petir Pemadam Jiwa. Tak peduli sehebat apa pun Kekuatan Jiwamu, Kekuatan Jiwamu itu sama sekali tidak akan bekerja menghadapi sambaran petir itu. Jadi, saat kita nanti mendaki gunung itu, pastikan kalian tidak melakukan apa pun yang bisa melanggar aturan tersebut. Kalau tidak… kalian bertanggungjawab atas kematian kalian sendiri.”
Sembari bicara, si wanita bercadar membunuh raksasa lava terakhir yang bisa dia temukan. Tangan-tanan bayangan dari punggungnya menarik raksasa itu ke dalam lipatannya dan lenyap sepenuhnya. Si wanita menyeka air mata di wajahnya dan berkata kepada yang lain, “Ayo, kita juga akan memanjat Gunung Sepuluh Ribu Tahun.”
Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di kaki gunung. Tak satu pun dari mereka yang berani melawan instruksi si wanita bercadar memakai kekuatan apa pun, jadi mereka tak punya pilihan selain hanya terus berjalan kaki. Bagian bagusnya adalah, mereka semua merupakan para elit di kalanan pemilik dan luar biasa kuat. Kalau perlu, mereka mampu memanjat sepuluh gunung seperti ini tanpa kesulitan. Hanya akan butuh waktu sedikit lebih lama daripada jika mereka diperbolehkan memakai metode lain.
“Itu kan Bunga Api Phoenix!” Phoenix menatap kaget pada salah satu bunga di situ. Bunga itu adalah barang berharga baginya. Dirinya dinamai Phoenix persis karena dia memiliki darah phoenix yang mengalir di nadinya. Tanaman-tanaman ini sangat cocok dengannya.
Si wanita bercadar ikut menoleh untuk melihatnya, kemudian menggelengkan kepala pada Phoenix seraya berkata, “Tak usah repot-repot, bunga itu bukan milikmu, dan kau toh takkan bisa mengambilnya.
”Kenapa tidak?” Phoenix tidak akan menyerah semudah itu. Tanaman-tanaman ini memiliki kekuatan untuk mengubah dirinya sepenuhnya. Dia mengulurkan tangan untuk meraih tanaman tersebut, namun sebelum dia bisa menyentuhnya, bunga itu berubah menjadi pancaran cahaya bagai api yang terbang langsung menuju ke dalam gunung berapi.
“Seperti yang sudah kubilang, ini bukan milikmu dan kau tak bisa mengambilnya.” Si wanita bercadar menghela napas seraya menggelengkan kepala, lalu menjelaskan, “Seseorang sudah secara khusus menanam tanaman-tanaman ini di sini dan juga sudah menandainya dengan lingkaran sihir. Kalau ada orang selain orang ini yang berusaha memetik tanaman-tanamannya, tanaman ini akan langsung terbang ke dalam gunung berapi.”
“Lingkaran sihir? Itu kan bukan sesuatu yang bisa dibuat dan dipakai oleh orang biasa,” ujar Jing Hua kaget.
Si wanita bercadar mengangguk samar dan berkata, “Tentu saja. Lagipula… Dewa Dosa juga adalah dewa!”
“Dewa Dosa?” Semua orang agak penasaran tentang ini, termasuk orang kelima dalam kelompok yang selama ini tetap membisu. Dirinya adalah sesosok gnome yang tingginya separuh tinggi tubuh manusia dan tampak sangat penakut karena dia terus menggenggam tangan pria berkepala anjing di sepanjang perjalanan.
Namun si wanita bercadar sepertinya tidak berniat menjelaskan hal ini pada mreka, dan mereka juga tak bisa memaksanya, jadi mereka pun melanjutkan perjalanan saja menuju puncak gunung.
Mereka sudah berjalan dalam waktu lama ketika si gnome tiba-tiba menunjuk ke arah rerumputan di dekat mereka dan mengucapkan sesuatu kepada pria berkepala anjing. Si wanita bercadar menatapnya dan dia pun menjawab, “Kecil bilang ada seseorang di sebelah sana. Orang hidup.”
“Orang hidup? Mungkinkah salah seorang idiot yang barusan tadi tersambar petir?” Jing Hua melongok ke arah rerumputan dengan penasaran lalu berkata pada si gnome, “Antar aku ke sana untuk memeriksanya!”
Namun si gnome kelihatan sangat takut pada Jing Hua dan langsung bersembunyi di belakang pria berkepala anjing. Jing Hua menggerutu, “Hei! Memangnya aku seseram itu?”
Phoenix menarik Jing Hua menjauh dan berkata, “Hei, sudah cukup! Kecil itu memang sangat penakut dan dia takut pada semua orang selain Dewa Anjing. Kau kan sudah tahu itu!”
Si Dewa Anjing memelototi Jing Hua, membuat Jing Hua menggaruk kepalanya dengan kikuk ketika berkata, “Aku mengatakan ini bukan untuk mengganggu dia. Tapi dia itu sungguh terlalu penakut untuk kebaikannya sendiri. Kalau seperti itu, bagaimana dia bisa jadi dewa?”
“Humph! Begitu Kecil berada dalam mode bertarung, bahkan orang sepertimu juga mungkin takkan mampu mengalahkan dia. Dia itu cuma butuh kesempatan yang tepat dan dia pasti akan jadi dewa,” bentak Dewa Anjing.
Sementara itu, si wanita bercadar sudah berjalan sendiri ke arah petak rerumputan yang tadi ditunjukkan Kecil. Segera dia melihat orang yang terbaring tak sadarkan diri di tengah rerumputan dan dia pun membeku ketika melihat siapa orang itu.
Orang yang terbaring di rerumputan tak lain adalah Su Jin. Matanya terpejam rapat, dan sekujur tubuhnya lunglai, tapi lukanya tidak parah dan dia akan segera kembali sadar.
Tubuh si wanita bercadar sedikit bergetar dan air mata pun kembali bergulir turun di pipinya, lalu dia mengulurkan tangan untuk menyeka abu di wajah Su Jin.
“Aku tak menyangka kita akan… bertemu lagi secepat ini. Tapi tak seharusnya kau datang kemari. Orang sepertimu… semestinya akan dapat jalan lebih mudah untuk menjadi dewa. Bahkan jika siklus yang baru tiba, kau takkan mengalami kesulitan… kita pasti akan bertemu kembali di siklus yang baru.” Matanya merah ketika dia menggumam dengan suara bernada mencela diri, “Sepertinya hari ini aku sudah kebanyakan menangis dan akhirnya sudah kehabisan air mata. Atau apakah ini karena… melihatmu memberiku lebih banyak sukacita ketimbang duka? Lebih banyak dibanding semua duka dari tak terhitung banyaknya siklus yang telah kulalui?”
“Su Jin! Su Jin, apa kau masih hidup?”
“Tuan Su, kalau kau bisa mendengarku, tolong jawab!”
“Tuan Su, kau ada di mana?”
“Su Jin! Apa kau sudah mati? Kau pasti sudah mati! Bagus sekali!”
Persis pada saat itulah, beberapa suara terdengar dari kejauhan.
Ketika si wanita bercadar mendengar suara-suara ini, dia pun bangkit perlahan dan tersenyum seraya berkata pada Su Jin, “Pertemuan kembali kita sangat singkat, tapi… terima kasih… ini mungkin merupakan hal terbaik yang terjadi sejak aku terlahir kembali!”
Dia membungkuk samar ke arah Su Jin, kemudian berjalan pergi persis sebelum Shen Wu dan anggota tim lainnya sampai di tempat Su Jin. Su Jin bisa mendengar suara-suara para anggota tim dan sudah mulai sadarkan diri. Matanya terbuka perlahan, dan samar-samar dia melihat suatu punggung yang terasa akrab berjalan menjauh.
“Mai….” Su Jin menggumam parau.
Si wanita bercadar bergidik pelan, tapi dia tak berbalik dan terus berjalan, dengan cepat menghilang ke kejauhan seolah Su Jin hanya sedang berhalusinasi.
Su Jin menampar pipinya sendiri, dan rasa sakit itu membantu pikirannya yang kabur kembali jernih. Namun si wanita bercadar tak terlihat di mana pun, dan dia tak bisa menemukan wanita itu tak peduli bagaimanapun dia berusaha mencarinya.
“Apa itu tadi cuma halusinasi….” Su Jin terbengong-bengong seraya menatap ke arah dia terakhir melihat sosok tersebut.
“Sial, dia masih hidup! Mengecewakan sekali,” suara Shen Wu bergema dari kejauhan. Dia menatap Su Jin dengan raut wajah kesal, seolah dia benar-benarr kecewa karena Su Jin tidak mati gara-gara jatuh tadi.
Namun Su Jin masih bengong, jadi Oscar berkata, “Apa kepalanya terluka atau semacamnya?”
“Aku tak apa-apa!” Su Jin menggelengkan kepala dan berpaling menatap mereka. “Apa semuanya baik-baik saja?”
“Terang saja kami baik-baik saja! Kalau kami tak harus mencarimu, sekarang ini kami mungkin sudah mencapai puncak gunung,” Shen Wu menggerutu. Dia punya permusuhan yang pada akhirnya harus dituntaskan dengan Su Jin, jadi dia tak merasa perlu terlalu bersopan santun pada Su Jin.
Su Jin tak peduli pada sikap buruk Shen Wu kepadanya dan berkata, “Syukurlah semuanya baik-baik saja. Ayo lanjutkan perjalanan.”
Ketika kelompok itu melanjutkan perjalanan mereka menuju puncak, si wanita bercadar menutupi timnya di dalam sayap-sayap yang terbuat dari tangan-tangan bayangan di punggung. Jing Hua bertanya penasaran, “Kau kenal dia?”
“Dia cuma… teman,” ujar si wanita bercadar lirih.