Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 11
Jiva dan Rajiva hanya tinggal di rumah selama tiga hari, dan setelahnya mereka pindah ke kuil yang baru dibangun. Kuil itu merupakan kuil istana yang terletak di sisi barat istana – jaraknya 15 menit berjalan kaki dari kediaman Guru Negara. Sebelum pergi, Rajiva telah memastikan bahwa semua pengaturan sudah pada tempatnya: sebagai guru Bahasa Han-nya, aku bisa terus tinggal di rumahnya, dan setiap hari dia akan datang setelah pembacaan mantra siangnya untuk pelajaran rutin kami.
Rencanaku untuk melakukan perjalanan ke Dataran Tengah tertunda karena saat ini musim dingin. Salju telah menutup semua jalan, memaksa karavan para pedagang menghentikan perjalanan mereka. Kalau aku ingin pergi, aku akan harus menunggu sampai musim semi tahun depan. Yah, lagipula aku toh tak terburu-buru. Aku baru saja tiba di Kucha dan bahkan belum memulai penelitianku. Terlebih lagi, keahlian Bahasa Tokharia-ku masih belum memadai. Karena seseorang bersedia memberiku kamar dan tempat tinggal, tak ada alasan bagiku untuk menolak.
Tuan rumahku, Kumarayana, sangat baik, sopan, dan penuh perhatian. Auranya yang halus mirip dengan seorang profesor universitas. Kalau kampusku punya seorang profesor seperti dia, aku yakin kalau semua anak perempuan pasti akan berlomba-lomba mendaftar ke kelasnya. Kursinya takkan cukup, dan bahkan lorong mungkin juga akan penuh. Kalau dia mengajar Bahasa Sansekerta, Profesor Ji takkan perlu cemas tentang tak ada murid yang bersedia mempelajari bahasa itu. Kumarayana memercayaiku sepenuhnya, tak pernah mempertanyakan metode pengajaranku. Dan setelah mendengarkan pujian dari Rajiva, dia bahkan menyarankan agar aku menerima seorang murid lain.
Akhirnya aku berhasil menemukan kesempatan untuk mengelilingi benteng kuno Kucha beberapa kali. Kerajaan ini memiliki tiga istana, semuanya dijaga ketat oleh garnisun. Istana utama yang ditempati keluarga kerajaan cukup menakjubkan. Keseluruhan areanya lima hingga enam kali lebih besar ketimbang istana di Wensu. Buddhisme disambut di sini. Ke mana pun aku pergi, aku selalu menjumpai kuil-kuil serta pagoda, baik yang besar maupun kecil, dibangun secara berkelompok.
Kucha menghadap bentangan Tian Shan ke arah Utara, dan dianggap sebagai sebuah kerajaan yang kaya akan air segar di Xi Yu. Karenanya, pertanian dan peternakan bisa berkembang. Tian Shan juga penuh dengan mineral seperti tembaga, besi, dan emas; cukup untuk mensuplai semua negara di sekitarnya. Terlebih lagi, Kucha terletak di Jalur Sutra, membuat perdagangan bisa berkembang seiring dengan kerajinan tangan. Karenanya Kucha menjadi kerajaan terkaya di Xi Yu.
Setiap hari, kelompok-kelompok kuda yang mengangkut sutra akan berhenti di titik jalan utama. Barang-barang diperjual-belikan secara terus-menerus di antara kerumunan pedagang dan pembeli. Seluruh kota tampak bagai pameran keberagaman: ada orang-orang Yue Zhi, Wusun, Xiongnu, Turki, Xianbei, Rouran, Mongolia, Persia, iran, india, dan bahkan orang-orang dari Eropa seperti Yunani dan Romawi; dan tentunya ada banyak sekali orang Han. Setiap kali aku menyusuri jalanan, aku selalu berhenti untuk menonton, terpukau, saat segerombolan orang dalam berbagai warna kulit serta pakaian melewatiku. Hanya ketika murid baruku, yang telah menjadi pemanduku, menatap dengan sorot mencela, barulah aku melanjutkan perjalanan dengan enggan.
Omong-omong, murid baru ini sekarang telah menjadi sumber sakit kepalaku yang paling besar.
Anak laki-laki sangat imut berkulit seputih susu ini, yang sedang sibuk memakai pensilku untuk mencorat-coret buku sketsaku, dan setelahnya ganti memakai penghapusku untuk menggosoknya, membersihkan, lalu mengulanginya. Bocah ini melihat alat tulisku sebagai mainan terbarunya, dan terus memakainya untuk menggambar sepanjang hari.
Aku berdiri di samping dan memandanginya dengan sakit hati.
“Oh Tuan Muda, Majikan Kecil, Setan Cilik! Kau kira rumahku adalah toko yang menjual alat tulis? Penghapusnya tinggal setengah potong, pensilnya tinggal setengah batang, dan tiga lembar kertas dari buku sketsaku lenyap dengan begitu tidak adil! Apa kau tahu kalau semua alat tulis ini adalah sumber daya yang tak terbarukan? Kalau kau menghabiskannya, di mana kau akan bisa menemukannya di masa ini untuk membayarku?”
Sebenarnya aku masih punya beberapa di dalam tasku, tapi karena aku tak tahu berpa lama aku akan tinggal di sini, aku harus berhemat.
Bocah badung itu mengabaikanku dan terus saja menggambar. Kemungkinan besar itu karena aku bicara dalam Bahasa Han. Tapi setelah menyaksikan lembar keempat kertasku ‘tewas’, aku sudah tak sabar lagi. Aku berteriak dalam Bahasa Tokharia: “Berhenti menggambar!”
Bahkan auman singaku tidak cukup. Dia mendongak dan mengerjapkan mata bulat besarnya padaku. Matanya begitu mirip dengan mata Rajiva, abu-abu muda yang diwarisi dari ayah mereka, serta rambut keriting coklat kemerahan dari ibu mereka. Dia menatapku dalam waktu lama, lalu menjatuhkan pensilnya, memanjat kursi, lalu melompat ke pelukanku.
“Kalau begitu kamu harus menyanyi untukku!”
Nggak lagi! Beberapa hari yang lalu, Kumarayana pergi ke Gumo untuk suatu urusan dan tak pulang selama beberapa malam, jadi berandalan ini menyelinap ke dalam kamarku pada suatu malam dan bersikeras untuk tinggal bersamaku. Untuk membuatnya jadi tak terlalu merecoki, ketimbang berteriak sia-sia, aku berakhir dengan menyanyikan lagu kanak-kanak untuknya. Kecuali setelah malam itu, dia kembali dan menuntutku untuk bukan hanya menyanyi tiap malam, tetapi juga tak boleh mengulang lagu yang pernah kunyanyikan. Jadi lagu-lagu modernku telah berubah menjadi lagu ninabobo. Menggelikan!
Aku mendesah dan bergeser untuk memberi tempat bagi bocah itu di bangkuku. Sambil menepuk-nepuk punggungnya, aku mulai menyanyian lagi ‘My Dearest Baby’ milik Wakin Chau. Manusia kecil ini memejamkan matanya, menampakkan bulu mata panjang yang hanya menambahkan tulang hidungnya yang tinggi. Suatu gambaran yang cukup menggemaskan!
Aku paham kenapa pria kecil ini menempeliku seperti lem. Baik ibu dan kakaknya telah pergi untuk melayani Sang Buddha ketika dia baru berusia enam tahun – empat tahun yang panjang tanpa pernah berhubungan. Pengasuhnya, yang telah mengurusnya sejak kecil dan merupakan orang terdekatnya, telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Meski rumah ini penuh dengan pelayan wanita dan pengasuh, mereka tak bisa memberinya cinta kasih seorang ibu yang dia butuhkan. Pada usia ini, dia butuh teman, dan meski setiap hari dia belajar di istana bersama para pangeran, begitu pulang ke rumah, tak ada seorang pun yang bermain dengannya. Kakaknya hanya tiga tahun lebih tua darinya, tapi tingkah lakunya sudah seperti orang dewasa kecil, juga ada jarak empat tahun ketika mereka terpisah. Setiap kali bocah ini melihat Rajiva, dia jadi sangat pemalu.
Keberadaanku di sini memenuhi peranan baik sebagai ibu sekaligus teman bermain – seseorang yang bisa memanjakannya. Tingkah laku nakalnya hanya dimaksudkan untuk menarik perhatianku, untuk membuatku peduli padanya. Tapi semua itu hanya membuatku menderita! Setiap hari aku harus memainkan peranan yang tak terhitung jumlahnya: Suatu kali aku adalah seorang prajurit yang harus terus melapor kepada sang komandan besar, lalu jadi seorang musuh yang bertempur melawan sang komandan, dan akhirnya jadi orang kalah yang memohon ampun dengan melambaikan bendera putih. Hari demi hari bermain dengan anak yang begitu penuh semangat, aku begitu lelah sampai ke tulang.
Ketika nada terakhir lagu itu selesai, kudapati kalau dia sudah tertidur. Aku lalu menggendongnya ke ranjang. Memijit bahuku yang pegal, aku bergumam pelan, “Pria kecil, kau itu terlalu berat, tak lama lagi aku takkan sanggup untuk menggendongmu lagi. Sudah sepuluh tahun tapi masih suka bermain-main. Aku baru menyanyikan untukmu satu lagu dan kau sudah ketiduran.”
Beberapa hari terakhir ini selalu turun salju. Aku adalah orang Jiangnan (T/N: merupakan wilayah yang ada di bagian selatan Sungai Yangtze di China), dan meski masih ada pergantian musim, aku jarang melihat salju turun selebat ini. Beberapa hari pertama, aku merasa sangat senang dan bahkan menyeret Pusydeva bersamaku untuk membuat orang-orangan salju. Tetapi setelah beberapa saat kesenangan itu pun memudar. Saljunya terlalu banyak dan aku tak terlalu bagus dalam menghadapi hawa dingin. Setelahnya, aku jarang keluar dan proyek penelitianku pun harus ditunda. Untungnya, Rajiva membawakanku banyak buku Han seperti ‘Catatan Sejarah’, ‘Komentar Zuo’, ‘Lushi Chunqiu’, ‘Negara-negara Berperang’, ‘Kitab Puisi’, dan sebagainya – buku-buku yang pernah kubaca dahulu sekali – juga buku-buku yang dianggap sudah hilang seperti ‘Katalog Perbintangan Shi’.
Ruang baca keluarga Rajiva memiliki banyak buku serta naskah klasik yang tertulis dalam berbagai bahasa: Sansekerta, Tokharia, Brahmi, Kharoṣṭhī. Isinya beragam dan berbeda-beda, menyentuh semua jenis subyek: fonologi, ilmu bahasa, kerajinan, teknologi, penanggalan, obat-obatan, logika, hukum, dan sebagainya.
Mulutku berliur saat melihat semua naskah di rak-rak ini. Kalau saja aku bisa membawa mereka kembali ke masa modern, mereka akan menjadi sumber penelitian yang begitu hebat! Sebagian besar orang dalam masa ini tak mampu membeli buku karena masing-masing buku sama nilainya dengan gaji satu tahun. Apalagi buku-buku ini ditulis di atas sutra. Sementara itu, dokumen-dokumen pejabat istana dan perjanjian jual beli ditulis di atas kayu, karena kertas berkali-kali lipat lebih mahal daripada kayu.
Dari luar, kediaman sang guru negara kelihatan sangat biasa. Bahkan perabotnya juga polos. Semua kekayaan dipusatkan di ruang baca ini. Jadi setiap hari, aku selalu mendatangi ruangan ini dan duduk selama berjam-jam, dengan tekun menyalin naskah-naskah berharga tersebut yang tak bisa dibeli dalam jumlah berapapun. Buku-buku ini dibawa kemari baik dari India oleh Kumarayana ataupun diberikan sebagai hadiah dari negara-negara tetangga kepada Raja Kucha. Karena aku tak bisa membawanya bersamaku, aku hanya bisa menyalinnya sebanyak mungkin. Maka sepuluh hari terakhir ini pun jadi tak membosankan untukku.
Setiap hari, begitu sampai di rumah, Rajiva akan memberi salam pada ayahnya, mendatangi kamarku untuk pelajarannya, kemudian pergi ke ruang baca unutk belajar. Dia akan membaca dengan tenang sementara aku menyalin. Seringkali dia akan kembali ke kuil dengan membawa sebuah buku yang belum selesai dibacanya, tetapi keesokan harinya, buku itu akan ditukar dengan yang baru. Kadang-kadang dia sampai di rumah sebelum pelajaran Pusydeva selesai. Maka dia akan duduk dan mempelajari materi pelajaran dalam diam. Pada saat aku memulai pelajaran kami, dia akan sudah mengingat apa yang akan kuajarkan. Dia bahkan akan mengkoreksiku dengan lemah lembut tiap kali aku salah membaca, hingga membuatku berkeringat dingin. Memangnya dia kira aku ini jenius? Sejarah selama lima ribu tahun, apa salahnya kalau ada sedikit kesalahan? Karena kesal, aku akan mengetuk pelan kepalanya, memperingatkannya agar menghormati gurunya.
Tepat saat aku sedang mengenang sepuluh hari terakhirku sebagai seorang guru dan menyelimuti Pusydeva, tiba-tiba aku merasakan hembusan angin dingin di belakang punggungku. Ternyata itu Rajiva, yang telam membuka tirai dan kini berdiri di ambang pintu sambil memandangiku.
“Hei, kenapa hari ini kau datang begitu awal?”
Pembacaan mantra siangnya dimulai pada pukul 4 dan berakhir pada pukul 5, jadi dia biasanya datang untuk pelajaran kami sekitar pukul 6. Tapi sekarang baru pukul 5:30. Bagaimana aku bisa mengukur waktu dengan begitu tepat? Itu karena jam perjalanan waktuku juga bisa menunjukkan waktu, sekaligus penanggalan Gregorian serta lunar, sangat serbaguna. Sejak fungsi perjalanan waktunya berhenti bekerja, jam itu hanya bisa dipakai untuk menunjukkan waktu. Karenanya, aku memakai jam itu setiap hari, dan semua orang yang melihatnya hanya berpikir kalau jam ini adalah gelang yang unik.
Aku juga harus menyatakan bahwa ada perbedaan zona waktu sebanyak dua jam antara Xinjiang dan Beijing. Jadi ketika aku melakukan perjalanan ke Xinjiang, aku selalu menyesuaikan jam dengan waktu setempat. Kalau tidak jadwal harianku akan jadi sangat aneh: Bangun pada pukul 10 pagi, makan siang pukul 2-3 siang, langit masih terang pada pukul 9 malam, dan pergi tidur pada pukul 1 tengah malam. Bagaimanapun juga, orang-orang pada masa ini masih tak memiliki konsep tentang zona waktu, jadi aku memilih untuk menyesuaikan waktu dengan Xinjiang di abad ke-21.
“Tadi aku ada di istana untuk bicara dengan raja, kemudian langsung kemari.”
Dia melangkah masuk ke dalam kamar, menatap sosok tidur Pusydeva dengan kalem, dan tiba-tiba berkata dalam Bahasa Tokharia: “Berhenti pura-pura!”
Pusydeva langsung membuka matanya dan merosot turun dari ranjang. Wajahnya memerah. Bocah itu lalu memanggil dengan suara lirih, “Kakak….”
Mataku berputar ke atas. Berandalan cilik ini, pura-pura tidur untuk membuatku menggendongnya ke ranjang! Masih bicara dengan sikap tenang, Rajiva pun menyuruh Pusydeva untuk kembali ke kamarnya sendiri. Bocah kecil itu lebih takut pada kakaknya ketimbang pada ayahnya, maka dia pun bergegas memelesat pergi.
“Dia masih kecil, tak usah galak-galak,” insting keibuanku memuncak. Aku selalu ragu-ragu untuk bersikap keras pada Pusydeva.
“Lagu itu kedengarannya sangat enak,” Rajiva dengan lihai mengubah topik.
“Itu hanya lagu anak-anak Han. Musik Kucha pasti terdengar jauh lebih enak.”
Bagaimanapun juga, Xuanzang pernah memuji bahwa, “Sudah dikenal luas bahwa musik Kucha terkenal di seluruh wilayah.”
“Aku tak pernah mendengarnya.” Jejak kesedihan melintas di matanya. Rajiva ragu-ragu sebelum berkata, “Orangtuaku tak pernah menyanyikanku lagu pengantar tidur.”
Aku terkikik begitu membayangkan bagaimana Kumarayana dan Jiva menyanyikan lagu pengantar tidur untuk putra-putra mereka, yang mungkin akan lebih menyerupai nyanyian hipnotis.
Rajiva menatapku dengan sedikit bingung. Buru-buru aku berkata, “Lalu apa kau mau mendengarkannya?”
Dia meragu dan tak menjawabku, hanya menunduk termenung. Lalu seakan telah membuat suatu keputusan besar, dia pun mendongak dan mengangguk mantap padaku. Aku mendapatinya sedikit aneh. Ini kan hanya lagu, kenapa ragu-ragu begitu?
(T/N: Ingat-ingat saja kejadian ini. Semua ini akan jadi lebih signifikan dan masuk akal nantinya)
Aku menyanyikan lagu ‘My Dearest Baby’ lagi. Seketika, aku teringat pada adegan di mana Song Hye Kyo mengubah lirik lagu ini dan menari-nari konyol dalam drama berjudul ‘Full House’. Meski tak punya rasa artistik, tarian itu memberikan efek kocak yang hebat. Dengan pemikiran seperti itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk membuat ulang adegan tersebut. Sang rahib muda yang tampan di hadapanku memberikan seulas senyum cerah sebagai balasannya, sebuah senyum bebas yang memang lebih cocok bagi anak lelaki tiga belas tahun.
Meski aku sudah selesai bernyanyi, tawanya masih tertinggal, suaranya begitu merdu. Aku menatapnya dalam diam, ingin mengabadikan penampilan penuh kemudaan itu dalam ingatanku. Beberapa hari terakhir ini, aku telah berusaha keras untuk menggambar potret Rajiva untuk dibawa ke masaku sendiri, agar orang-orang di abad ke-21 mengenal sang rahib agung dari masa 1650 tahun yang lalu ini. Terapi aku bukan seniman. Aku tahu cara membuat sketsa bangunan dan benda berdimensi, tetapi gambar potret adalah sesuatu yang di luar kemampuanku. Aku terus menggambar lagi dan lagi tetapi hasil dari jerih payahku tetap saja tak memuaskan. Bahkan bila mengesampingkan auranya yang seperti dari luar duniawi, aku belum mampu menangkap bahkan sepertiga dari penampilannya. Pada saat itu, aku berharap memiliki kuas ajaib. Senyuman itu, senyum yang indah bagai lukisan itu, seandainya aku bisa menggambar dan menyimpannya untuk seribu tahun kemudian, betapa menakjubkannya hal itu!
Wajah Rajiva memerah lagi, matanya beralih ke tempat lain. Aku terbangun dari ‘mimpi’ku. Aku pasti telah menatapnya terlalu lama dan membuatnya jengah.
Buru-buru aku mengubah topik, “Jadi kenapa sang raja ingin bicara denganmu?”