Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 12
“Sang raja memintaku untuk kembali ke kehidupan sekuler (awam) dan membantunya menangani urusan negara,” Rajiva menjawab.
“Kau menolaknya, kan?” Karena bagaimana lagi kita akan punya rahib penerjemah hebat nantinya?
“Bagaimana kamu tahu?” Rajiva menatapku dengan sorot menyelidik.
“Karena kau adalah Kumarajiva!”
Hanya orang dari jaman modern yang akan mengerti perkataanku. Aku langsung mengubah nada bicaraku: “Karena kau tidak hanya mencari pembebasan diri dari lingkaran hidup dan mati serta melatih diri; kau juga ingin membantu yang lain untuk mencapai pencerahan, untuk memperbaiki kehidupan mereka yang ada di sekelilingmu.”
Pada hari-hari ketika kami di padang pasir, kami biasa menghabiskan waktu untuk membahas filosofi ini. Waktu itu, aku tak tahu kalau dia adalah Kumarajiva, jadi aku tak berani bicara. Tapi sekarang, setelah tahu identitas aslinya dan telah membaca informasi tentang dia, aku mengerti apa yang dia khawatirkan.
Aku selalu merasa bahwa Buddhisme adalah agama yang menarik dan bahwa murid-muridnya sebenarnya merupakan para filsuf.
Sebelum Beliau wafat, Buddha Gautama tak meninggalkan naskah suci yang telah terkonsolidasi seperti Alkitab atau Qur’an. Lagipula, pada waktu itu Buddhisme hanya sebuah agama kecil di antara praktek-praktek besar lainnya di India. Tetapi bahkan sejak masa Buddha Gautama, Buddhisme telah mulai bercabang menjadi berbagai aliran, seperti yang dipimpin oleh sepupu Buddha Gautama, Devadatta.
Bahkan para murid Sang Buddha sendiri memiliki pendapat berbeda mengenai doktrin Buddhisme. Mereka yang memiliki pemikiran berbeda lalu akan menuliskan naskah mereka sendiri dan mengembangkan aliran mereka sendiri. Jadi setelah ribuan tahun, beragam naskah dari beragam tradisi terus menumpuk, dan untuk bisa membaca semua itu memerlukan waktu hingga turun-temurun. Mahayana, Hinayana, serta Vajrayana adalah aliran-aliran utama, dan masih ada banyak sekali aliran-aliran kecil.
(T/N: Ai Qing lalu menyebutkan daftar panjang aliran –aliran yang berbeda, lebih dari sepuluh, yang takkan diterjemahkan oleh Haru karena merasa hal itu tidak dibutuhkan untuk memahami kisah ini)
Bisa dilihat bahwa para pendiri aliran-aliran ini merupakan filsuf-filsuf yang sangat cerdas. Buddhisme adalah sebuah agama yang sangat menarik bagi orang-orang sekaliber itu. Bila dipikir-pikir, kalau kau adalah orang yang kecerdasannya jauh melampaui orang biasa, yang nilai-nilai dasarnya tak menentang kerangka yang lebih luas, dengan memakai agama, kau bisa mengekspresikan pandangan serta pemahamanmu sendiri tentang dunia spiritual, dan mengumpulkan ribuan pengagum dan pengikut. Itu adalah hal yang sangat luar biasa. Bagi seorang murid Buddha, bila mampu menggabungkan semua pengetahuan yang telah mereka pelajari serta karya tertulis mereka hingga menjadi kumpulan komprehensif, lalu mengembangkan aliran mereka sendiri, hal itu akan menjadi pencapaian terbesar dalam Buddhisme.
Rajiva adalah seorang pemikir mendalam yang sangat cerdas yang cara berpikirnya menyerupai seorang filsuf. Dia mungkin juga ingin menjadi seorang guru dan pembimbing spiritual bagi umat awam untuk membantu mereka mencapai apa yang dia anggap sebagai pencapaian tertinggi. Meski baru berusia tiga belas tahun, dia sudah mampu mengidentifikasi nilai-nilai serta sudut pandangnya sendiri.
Karena melamun, aku gagal menyadari kesunyian yang telah melanda di sekeliling kami. Saat aku mendapatkan kesadaranku kembali, kudapati Rajiva sedang menatapku lekat-lekat, bibirnya gemetar, dan matanya seakan mengarahkan semua cahayanya padaku. Mata yang sarat dengan penghargaan, dengan emosi, yang sepertinya berkata bahwa pada akhirnya dia telah menemukan semangat yang sama.
“Ai Qing, keberuntungan macam apa yang dimiliki Rajiva karena bisa bertemu denganmu di antara kerumunan?”
Merasa malu, aku memberinya senyum canggung sebagai balasan. Ini semua hanya karena aku telah membaca meteri tentang dia. Aku tahu kalau pada mulanya, Rajiva belajar di bawah tradisi Hinayana tetapi kemudian beralih menjadi Mahayana. Yang barusan kukatakan padanya hanyalah pernyataan umum secara kasar tentang perbedaan di antara kedua tradisi itu. Terlebih lagi, setelah sebelumnya melihat wajahnya yang galau tentang masalah ini, kuduga bahwa keraguannya sekarang pasti berhubungan dengan pergantian filosofinya.
“Ai Qing, apa kau ingat pada malam itu di gurun, saat kau bertanya padaku kenapa aku memutuskan untuk menjadi seorang rahib?”
Mata Rajiva meninggalkan wajahku dan beralih ke kejauhan. Aku menegakkan dudukku dan mendengarkan.
“Usiaku baru tujuh tahun ketika ibuku pergi berjalan-jalan ke luar dan melihat sebuah pemakaman dengan tubuh-tubuh yang hancur dan tulang-tulang yang lapuk. Dia lalu menyadari bahwa keserakahan merupakan akar dari semua penderitaan. Keinginan manusia menyerupai api neraka, api yang akan menghancurkan manusia menjadi abu yang tersebar di padang luas. Ibu tak ingin mengalami siksaan tak berujung seperti itu dan bersumpah bahwa kalau dia tak bisa mencukur rambut dan bergabung dalam biara, dia akan berhenti makan dan minum. Ayahku menentang habis-habisan ide ini, tetapi ibuku sama bertekadnya. Pada hari keenam, bahkan ketika napasnya telah seringan angin, ibuku masih menolak untuk makan. Karena ketakutan, ayahku hanya bisa pasrah pada keinginannya. Takut bila ayah akan berubah pikiran, ibuku meminta agar rambutnya dipotong terlebih dahulu sebelum memakan apapun. Keesokan harinya Ibu ditahbiskan, meninggalkan rumah kami, dan masuk ke Kuil Tsio-li.”
Karena sudah tahu tentang alasan Jiva bergabung ke kehidupan biara melalui biografi Rajiva, aku hanya mengangguk pelan: “Jadi kemudian kau mengikuti langkah ibumu?”
Rajiva menggelengkan kepalanya. Tatapannya bertahan pada api lilin yang berayun di dalam pelita dalam waktu lama, seakan sedang mengenang sesuatu.
“Setelah ibuku bergabung dalam biara, karena ingin bertemu dengannya, aku jadi sering mengunjungi kuil. Saat Ibu dan para rahib yang lain melantunkan mantra, aku akan duduk di dekat mereka dan mendengarkan. Untuk suatu alasan tertentu, naskah-naskah itu, aku hanya perlu mendengarkan sekali untuk bisa mengingat setiap katanya, membuat semua orang terkesima. Saat Guru Besar Fú Tú Shé Mí bertanya padaku arti dari bait-bait yang telah kubaca, aku akan menjawabnya dengan fasih. Dia memujiku sebagai orang yang berbakat dalam Buddhisme dan belakangan bicara kepada ibuku, menyatakan keinginannya untuk mengambilku sebagai murid.”
Daya ingat Rajiva yang luar biasa telah tampak sejak dirinya masih kecil. Aku ingat sebuah biografi yang mendeskripsikan dia, yang masih berusia tujuh tahun, sebagai berikut: “Setiap hari mengingat seribu bait, setiap bait terdiri dari tiga puluh dua aksara; totalnya tiga puluh dua ribu aksara.” Kalau dipikir-pikir, seorang anak laki-laki berumur tujuh tahun yang dalam sehari mampu mempelajari tiga puluh dua ribu aksara, dan tak cuma sembarang aksara melainkan aksara-aksara dari naskah buddhis yang sulit. Jenius semacam itu hanya bisa dibandingkan dengan Albert Einstein atau Stephen Hawking. Kupikir, kalau Rajiva pernah mencoba untuk mempelajari angka desimal pi (π), mungkin dia akan memecahkan rekor Guinness yang sekarang.
(T/N: waktu novel ini dibuat, mungkin memang demikian. Tak yakin kalau untuk rekor saat ini – 70.000 digit, yang dibacakan di India oleh Rajveer Meena dalam waktu 9 jam 27 detik pada tanggal 1 maret 2015)
“Ibu bertanya padaku apa aku mau bergabung dalam biara. Berpikir kalau itu artinya aku bisa bersama dengannya, aku pun mengangguk.”
Jawabannya mengejutkanku, tetapi setelah dipikir lagi, hal itu masuk akal. Tak peduli seberapapun cerdasnya dia, Rajiva masih kanak-kanak, seorang anak yang tak ingin berpisah dari ibunya. Itu adalah kebenaran sederhana. Tetapi kehidupan Rajiva diputuskan oleh anggukan ketika dia berusia tujuh tahun itu.
Tatapan Rajiva berpindah dari lilin dan kembali padaku. Sebuah sorot bertanya-tanya muncul kembali di wajahnya.
“Waktu itu, saat Ai Qing bertanya ‘kenapa jadi rahib’, aku menyadari kalau aku tak tahu harus menjawab apa. Karena aku ingin bersama dengan ibuku? Aku bukan lagi anak berusia tujuh tahun. Dalam beberapa tahun lagi, aku akan menjalani penahbisanku sendiri dan menjadi seorang bhikkhu. Tetapi beberapa hari terakhir ini, setiap malam aku terus bertanya pada diriku sendiri, untuk alasan apa aku menjadi seorang rahib?”
“Apa kau sudah menemukan jawabannya?” aku bertanya, penasaran.
“Dulu ketika aku baru mempelajari Buddhisme, semua guruku mengatakan bahwa melalui disiplin diri dan berlatih, aku bisa mencapai kebebasan dari siklus hidup dan mati, dari keinginan duniawi, dan bisa mencapai Nirvana. Ketika berada di Kabul, aku mengikuti Rahib Agung Bandhudatta dalam mempelajari Hinayana. Ada empat juta bait yang menyangkut tentang cara-cara mewujudkan hasil dari jalan Buddhis. Tapi….”
Rajiva berdiri dan melangkah ke arah jendela, tanpa sadar menempatkan satu tangan di belakang punggungnya. Siluet kurus itu memberikan suatu kesan tersendiri. Meski dirinya masih muda, dia telah menunjukkan tanda-tanda seorang guru besar.
“Dalam perjalanan pulangku ke Kucha, aku melihat tulang-belulang putih menumpuk di padang pasir, para pencuri menjarah di mana-mana, dan orang-orang mengalami begitu banyak penderitaan. Aku berpikir pada diriku sendiri, aku mungkin bisa mencapai pembebasan diri melalui jalan Buddhisme, tapi bagaimana dengan orang-orang itu? Para pencuri terus melakukan segala bentuk kejahatan, sementara orang-orang terus mengalami penderitaan, penyakit, serta kematian yang menyedihkan. Apa, kalau begitu, gunanya aku mengikuti jalan Buddha?”
Aku juga berdiri dan menghampiri Rajiva. Dengan suara lembut kukatakan padanya: “Hinayana menarik diri, Mahayana melibatkan diri. Itulah alasan kenapa kau merasa bahwa Mahayana lebih sesuai dengan idealismemu. Ksitigarbha pernah berkata: ‘Hingga neraka kosong, aku bersumpah takkan mencapai Kebuddhaan.’ Apakah kau sama dengannya, berharap untuk tidak menyeberang sendirian tetapi juga mengantarkan orang lain ke seberang?”
Sertamerta Rajiva berpaling padaku, wajahnya bercahaya, jelas-jelas tersentuh oleh kata-kataku. “Ya, Ai Qing. Saat aku di Kashgar, aku belajar pada seorang guru bernama Suryasoma. Saat aku di sana, itulah kali pertama aku bersinggungan dengan Mahayana dan jadi sangat terkesan pada ajarannya. Beberapa hari terakhir ini, saat aku mendiskusikan filosofi Buddhis denganmu, dengan memakai kata-katamu untuk mengambarkan kedua tradisi itu, aku menginginkan pengetahuan lebih banyak lagi, tetapi….”
Secercah ketidakbahagiaan melintas di wajahnya. Bahkan suaranya pun telah menjadi lebih lirih. “Tetapi setelah kembali ke Kucha, setiap kali aku menyebutkan soal keyakinan Mahayana, guru-guruku akan menganggapnya sebagai bidaah. Ini membuat Rajiva sedih.”
Aku bisa mengerti perasaan itu. Tradisi Hinayana telah ada dan berkembang pesat selama berabad-abad di Kucha. Pada mulanya, pertentangan di antara kedua tradisi ini begitu luas dan garang. Pada waktu itu, berusaha mempromosikan Mahayana, yang waktu itu hanya sebuah aliran kecil, dianggap sebagai perilaku ‘salah’ oleh sekelompok kecil rahib ‘extremis’. Dengan demikian, bisa dipahami perlawanan seperti apa yang pasti telah dihadapi oleh Rajiva dari orang-orang lain, pertentangan mendalam yang dialaminya dalam batin terhadap masalah ini.
“Rajiva, pada kenyataannya Mahayana berkembang atas dasar Hinayana. Pada tingkat fundamental, kedua tradisi ini tidak saling bertentangan. Buddha Gautama mendirikan Buddhisme untuk menentang agama Veda dan sistem kasta, jadi doktrinnya cukup sederhana. Pada saat itu, praktek umum adalah tentang mengasingkan diri, yang menekankan pada upaya perseorangan dalam mencapai pelepasan. Namun masyarakat terus berkembang dan berubah. Batas-batas yang dimiliki Hinayana perlahan-lahan mulai tampak.
(T/N: Agama Veda adalah agama dari Suku Indo-Arya, dan ada di India Utara dari tahun 1750 – 500 SM. Agama ini merupakan pendahulu dari Hinduisme tapi tidak sepenuhnya sama.)
Aku berjalan mendekatinya dan memberinya tatapanku yang paling tulus.
“Hinayana menekankan pada ‘pembebasan diri’, berharap untuk mencapai pelepasan, jadi mereka harus bergabung dalam kehidupan biara. Mereka yang mengikuti tradisi Hinayana tidak ikut serta dalam produksi ataupun tak punya keturunan. Kalau semua orang mengikuti tradisi ini, maka takkan ada negara, dan umat manusia sendiri lama kelamaan akan punah. Jadi ketika Buddhisme bertentangan dengan pihak penguasa, Mahayana pun berkembang untuk mengatasi konflik tersebut.”
Kuangkat kepalaku dan melanjutkan, “Terlebih lagi, tradisi Mahayana adalah tentang membantu orang lain menyeberang. Hanya dengan menatap Sang Buddha dan membaca sutra, kau juga bisa menjadi seorang Buddha. Dengan demikian, bahkan tanpa perlu bergabung dalam biara, penganut Buddha masih bisa mencapai Kebuddhaan, dan karenanya menyelesaikan masalah tentang produktivitas. Umat Buddha juga bisa menikah, yang mana memuaskan kebutuhan manusia untuk berkembang biak. Hanya ketika para penguasa menerimanya lah Buddhisme bisa menyebar jauh dan luas serta menarik pengikut. Saat itulah cahaya Dhamma bersinar dan menyelamatkan umat manusia.”
Rajiva sepertinya sedang menimbang-nimbang perkataanku dalam benaknya, wajahnya penuh perenungan. Aku tak tahu seberapa banyak yang dia pahami. Aku hanya memberinya analisaku tentang hubungan antara agama dan produktivitas, antara agama dengan pihak penguasa. Beberapa saat berlalu. Kemudian aku menambahkan, “Rajiva, keinginanmu untuk beralih pada tradisi yang lain itu benar. Mahayana memang lebih responsif terhadap perubahan waktu dan mampu memuaskan kebutuhan spiritual masyarakat dengan lebih menyeluruh.”
Dengan sifat murah hati dan pikiran majunya, kepercayaan Mahayana jelas lebih sesuai untuk Rajiva. Perpindahannya kelak takkan bisa dihindarkan.
Rajiva menengadak menatapku. Seberkas kekhawatiran melintas di wajah mudanya. “Bagaimana dengan Dataran Tengah? Akankah orang-orang Han menerima Mahayana?”
Aku tertawa, “Tentu saja. Tradisi Mahayana beredar luas di Dataran Tengah dari masa ke masa.”
Ji Xianli (Seorang profesor kontemporer terkenal di China) pernah berkata, “Popularitas dan durasi sebuah agama seringkali bergantung pada perkembangannya di China. Semakin banyak sebuah agama memuaskan masyarakat, semakin besar keyakinan yang akan diterimanya dari para pengikut dan pada akhirnya juga dari penguasa. Hinayana menyuruh orang untuk menjalani disiplin ketat meski apakah benar-benar bisa menjadi seorang Buddha masih belum pasti. Sementara itu, tradisi Mahayana, khususnya cabang Buddhisme Zen mendukung kesadaran diri. ‘Bahkan Icchantika (T/N: orang yang bodoh / dungu. Beberapa sutra menyebutkan bahwa orang semacam ini takkan pernah bisa mencapai Nirvana, yang lainnya berkata bahwa Sang Buddha takkan mengabaikan makhluk apapun, bahkan bila mereka berasal dari dasar neraka) pun bisa mencapai Kebuddhaan.’ Itulah sebabnya, selama orang masih berkeyakinan pada Buddha, mau mempelajari sutra, Kebuddhaan bisa dicapai. Betapa santainya itu!”
Wajah Rajiva telah menjadi cerah. Dari ekspresi penuh tekadnya, dia pasti sudah mencapai kesimpulan akhir.
“Beberapa hari yang lalu, di sebuah lorong terbengkalai di Kuil Tsio-li, secara kebetulan aku menemukan sebuah sutra, sutra Mahayana. Tak bisa menahan diri, diam-diam aku mengambilnya dan membaca isinya. Takut kalau-kalau perasaanku yang campur aduk akan mempengaruhi petuah dan ajaran guru secara buruk, aku masih belum bisa mengatakan kepada siapa pun tentang keinginanku untuk berpindah. Tetapi hari ini, setelah bicara dengan Ai Qing, aku jadi tahu apa yang harus kulakukan. Saat aku kembali, aku akan membacakan sutra itu kepada para guru dan murid-murid yang lebih tua. Setelah itu, menyebarkan ajaran Mahayana, untuk membebaskan dan membantu lebih banyak orang lagi untuk mencapai pencerahan.”
Sutra yang dia sebutkan sepertinya familier. “Rajiva, sutra yang kau temukan, apakah itu Sutra Cahaya Emas (T/N: Suvarṇaprabhāsa Sūtraalso, juga dikenal dengan nama Altun Yaruq dalam Bahasa Uyghur Lama. Dalam Bahasa Sansekerta, judul lengkapnya adalah Sutra Raja Penguasa, Cahaya Emas yang Agung)? Dan apakah saat itu ada arwah-arwah jahat yang menyelubungimu, berusaha membuatmu menyerah untuk membacanya?””
Dalam catatan sejarah tentang Kumarajiva, terdapat kalimat berikut: “Ketika Kumarajiva membuka Sutra Cahaya Emas, aksara dalam gulungan kayu itu tiba-tiba menghilang. Sang guru tahu bahwa para arwah telah mengganggu, jadi keinginannya untuk membaca sutra malah semakin bertambah. Kekuatan jahat itu gagal, tulisannya kembali dan sang guru melanjutkan membaca. Tetapi kemudian ada suara berbisik kepadanya, ‘Kau adalah seorang yang bijaksana, kenapa kau ingin membaca sutra semacam ini?’ Sang guru menjawab, ‘Arwah jahat, enyahlah! Kehendakku sama kokohnya dengan tanah ini, tak ada yang bisa menggoyahkannya.”
Tentu saja aku tak percaya kalau dia benar-benar bertemu dengan arwah jahat. Hui Jiao menuliskan kisah semacam itu dalam biografinya untuk menekankan lebih jauh bahwa Kumarajiva telah bertemu dengan banyak rintangan batin ketika dia memutuskan untuk berpindah tradisi. Mengubah kepercayaan yang telah dipegang oleh seseorang dalam waktu lama merupakan hal yang sulit. Dia apsti telah merasa ragu, mengalami pergumulan, dan mungkin sempat ingin menyerah. ‘Iblis’ dalam batin semacam ini memang yang paling sulit untuk ditakhlukkan.
“Sutra Cahaya Emas?” dia berseru. Lalu setelah mengucapkan nama Sansekerta sutra itu keras-keras, dia mengangguk. “Itu adalah terjemahan yang bagus. Sang Buddha memancarkan cahaya, menyinari semua orang.”
Dia berpikir selama sesaat. “Sutra ini menyebutkan bahwa, menyebarkan Buddhisme adalah memberikan penglihatan kepada yang buta, bunyi kepada yang tuli, suara kepada yang bisu, membantu yang bungkuk untuk berdiri tegak, yang gila menjadi waras, yang gugup menjadi tenang, yang berpenyakit disembuhkan, yang sakit menjadi sehat, yang tua kembali muda, dan yang miskin mendapatkan pakaian. Cahaya Buddha menyinari semua makhluk hidup sama rata, memperlakukan semua orang seperti orangtua, seperti saudara. Itu berarti bahwa jalan unutk mencapai Kebuddhaan adalah membebaskan semua makhluk, daripada pembebasan diri sendiri. Aku setuju dengan nilai-nilai mendalam ini.”
Alisnya mengernyit, “Tapi apa yang kau maksud dengan iblis melingkupiku?” Sebuah senyum melintas di matanya, dia berpikir sejenak lalu meneruskan, “Kalau memang ada iblis, mungkin itu adalah kekacauan dalam hatiku sendiri. Aku tak tahu apakah aku harus mempelajari tradisi Mahayana. Sejak aku menemukan sutra ini, aku terus meragu, lagi dan lagi, tentang apakah aku seharusnya membaca sutra itu. Setelah membacanya, aku juga ragu-ragu. Haruskah ajarannya disebarluaskan? Bahkan hingga hari ini, aku masih belum bisa menyingkirkan ‘iblis’ tersebut.”
“Apa kau ingat malam itu, saat kau bertanya padaku tentang apa aspirasiku?” Dia menghela napas dalam-dalam dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Sekarang, sepertimu, akhirnya aku bisa berkata dengan lantang tentang aspirasiku.” Dia terdiam sesaat, lalu akhirnya menaikkan suaranya, “Untuk menyebarkan Buddhism kemanapun aku melangkah, menciptakan doktrin yag baru, membebaskan manusia; itulah aspirasiku.”
Rajiva mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dan bahkan cahaya redup lampu minyak tak bisa menyembunyikan kepercayaan diri di wajahnya. Mataku tak bisa berhenti menatapnya. Keyakinan diri dan kecerdasan bersinar dalam diri remaja yang berharga ini, dan hanya dengan menatapnya, aku merasa seakan aku bisa melihat masa depan yang cerah di hadapannya, sebuah langit yang menyala terang dengan kekuatan hidup yang menggetarkan, memancar ke segala penjuru.
“Sangat ambisius!” Aku menepukkan tanganku dan memujinya keras-keras. “Aku menghargai orang yang memiliki aspirasi, punya ambisi. Teruslah melangkah menuju sasaranmu, kau pasti akan berhasil.”
Rajiva tiba-tiba kembali ke sisiku dan memberiku bungkukan penuh hormat, membuatku terkaget-kaget. Saat dia mendongak, pipinya merona, matanya tulus dan sarat dengan antusiasme. “Ai Qing, belas kasih Sang Buddha telah membuatku memiliki seorang guru sehebat dirimu untuk menuntun jalanku. Aku bersumpah takkan pernah mengecewakanmu.”
Padahal sebelumnya dia tak pernah menunjukkan rasa hormat sebesar ini padaku. Tiba-tiba seberkas cahaya menyala dalam hatiku, dan dalam sekejap menyebar ke sekujur tubuhku. Tanpa pikir panjang, kupakai tanganku sebagai kipas. Kenapa, meski saat ini masih musim dingin, udaranya tiba-tiba terasa terlalu panas?
Sore itu, setelah selesai dengan pelajaran, saat dia melangkah keluar pintu, Rajiva menengadah menatap langit penuh bintang. “Cuaca besok pasti akan cerah,” dia berkata.
Lalu dia menoleh padaku dengan senyum yang sarat dengan musim semi, “Ai Qing, besok aku akan mengajakmu jalan-jalan keliling Kucha.”