Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 14
Hari-hari berlalu begitu cepat. Dalam sekejap mata, musim semi sudah tiba. Meski orang-orang Kucha tak merayakan Tahun Baru Imlek seperti orang Han, aku tetap memberikan hadiah kepada kedua bersaudara itu saat Tahun Baru. Rajiva mendapatkan seuntai tasbih yang terbuat dari cendana, sementara Pusydeva mendapatkan sebuah gambar Doraemon yang kugambar dengan tanganku sendiri. Kukatakan pada mereka kalau sekarang umurku telah bertambah setahun, 24 tahun tepatnya. Sebenarnya, aku tak mau mengakui kenyataan bahwa aku semakin tua. Ulangtahunku sangat mudah diingat, yaitu tanggal sepuluh bulan pertama kalender lunar, jadi aku selalu merayakannya menggunakan kalender lunar. Tetapi setelah berumur 20 tahun, aku berhenti menyukai Tahun Baru Imlek, karena setiap Tahun Baru mengingatkanku bahwa aku semakin tua dan semakin tua.
Di masa ini aku hanya memiliki kedua bersaudara tersebut untuk bersama-sama merayakan ulang tahunku. Kuajari mereka bagaimana mengucapkan “selamat ulang tahun” dan menyanyikan lagu ulang tahun dalam bahasa Han, lalu menyuruh mereka bernyanyi bersamaku. Pusydeva bernyanyi seperti bayi yang belajar bicara, sangat lucu tapi sekaligus sangat imut. Rajiva menggelengkan kepalanya padaku, tak mau bernyanyi. Tapi kemudian kukatakan padanya kalau pada hari ulang tahun, orang-orang han akan berkata “selamat ulang tahun”, menyanyikan lagu, makan kue berkrim yang lezat, dan memberikan hadiah. Setelah mendengar hal itu, Rajiva masih ragu-ragu dalam waktu lama, tapi pada akhirnya dia pun membuka mulutnya untuk bernyanyi.
Suaranya saat bernyanyi sama lembut dan menggerakkannya dengan suaranya saat bicara, meski sedikit parau pada beberapa bagian akibat perubahan suara, tetapi hal ini hanya memberikan suara yang unik pada lagu itu. Lagu ulang tahun yang dia nyanyikan dengan lembut itu adalah hadiah ulang tahun terbaik yang pernah kudengar di hari ulang tahunku. Bagaimanapun, wajahnya, seperti yang sudah kuperkirakan, jadi merah seperti tomat, mengalahkan warna kulit madunya.
Sore berikutnya, setelah pelajaran kami usai, Rajiva tak pergi ke ruang baca seperti biasanya. Dia terus menyeret-nyeret kakinya selama beberapa saat sebelum menarik keluar sebuah syal sutra dengan pila-pola berlian berwarna merah, kuning, dan biru yang dijalin bersama.
“Untukmu,” dia merona lagi, “kamu bilang kamu mendapat hadiah pada hari ulang tahun….”
Aku sampai tak sempat menyadari kebaikannya, karena terlalu sibuk memandangi hadiahku. Syal ini dibuat dari sutra Atlas – ‘Atlas’ berarti ‘pewarnaan dengan cara ikat’, juga merupakan sutra yang paling sering dipakai untuk membuat pakaian kaum wanita di Xinjiang saat ini. Sutra dari Khotan adalah yang paling terkenal. Sutra, kumala, dan karpet disebut-sebut sebagai tiga ‘harta karun negara’ dari Khotan. Bahkan pada abad ke-1, orang-orang Hotan masih memakai pabrik sutra tradisional dan alat tenun kayu yang tingginya lebih dari 5 meter.
(T/N: Khotan / Yutian dalam Bahasa Mandarin, merupakan kerajaan Buddhis kuno yang terletak di Jalur Sutra di bagian selatan Gurun Taklamakan (Xinjiang Modern, China). Kucha terletak di sebelah utara gurun tersebut. Ibukota Khotan kuno mulanya terletak di sebelah barat dari kota Hotan di jaman modern)
“Rajiva, apa kamu tahu Kuil Masa di Khotan? Biji-biji mulberi yang dibawa oleh sang Putri Han ke Xi Yu ditanam di sana.”
Dalam ‘Catatan Tang Agung tentang Wilayah Barat’, Xuanzang mendeskripsikan bagaimana produksi sutra bisa tiba ke Khotan.
“Aku tahu. Mulanya Xi Yu tak tahu apa-apa tentang pohon mulberi maupun ulat sutra. Saat raja Khotan datang untuk melamar sang Putri Han, diam-diam dia mengatakan pada sang Putri bahwa Khotan tak punya sutra, jadi sang Putri takkan bisa mengenakan gaun-gaun yang indah. Sang Putri lalu menyembunyikan biji mulberi dan ulat sutra dalam hiasan kepalanya. Kekayaan Khotan setelahnya adalah berkat pembuatan sutra.”
Mulanya sutra adalah produk yang dimonopoli oleh China, dan teknik-teknik pembuatannya dirahasiakan dengan ketat. Tetapi berkat sang Putri, teknik tersebut diteruskan ke Xi Yu, dan dari sana ke Asia Barat lalu ke Eropa; dan pada saat itu lah China tak lagi memiliki monopoli atas sutra. Produk-produk sutra Khotan menjadi terkenal sejak sekitar abad ke-4 Masehi. Pada masa kuno, Khotan dikenal sebagai ‘ibukota sutra’. Sekarang, syal sutra dari abad ke-4 yang tak ternilai harganya ini berada tepat di depan mataku, mengkonfirmasikan keaslian legenda tentang bagaimana sericulture (T/N: pembuatan sutra) menyebar di sepanjang Jalur Sutra.
“Kenapa hanya menanyakan tentang legendanya? Apa kamu tak suka hadiahnya?” Rajiva menatapku gelisah, tangannya memegang syal itu dengan canggung, tak tahu ke mana harus menaruhnya. “Sutra Khotan tentu saja tak bisa dibandingkan dengan sutra dari Han. Kalau kamu tak suka, aku akan –“
“Mana mungkin!” aku berteriak. Berdiri, buru-buru kuraih dia dan menjambret syalnya. “Jangan berani-berani mengambilnya kembali!”
Rajiva mendesah lega. Aku terlalu terbiasa dengan wajah meronanya jadi aku tak lagi terkejut dengan kemunculannya. Dia memberiku seulas senyum cemerlang seakan-akan dia lah yang mendapatkan hadiahnya.
“Tapi…,” Rajiva menatapku dengan mata bertanya-tanya, “Ai Qing, bagaimana kamu tahu tentang Kuil Masa di Khotan?”
Tidak lagi! Aku sepertinya tak bisa mengendalikan ocehanku sendiri.
Kupelototi dia dan menarik-narik rambutku. Dengan pemikiran logisnya, tak peduli kebohongan macamm apa pun yang kukatakan, dia akan mampu membongkarnya. Lebih baik tak usah berbohong sejak awal.
“Jangan bertanya padaku. Pokoknya aku tahu, ya?”
Rajiva tak bertanya lebih jauh dan hanya tersenyum. Tapi saat pergi dia masih memandangiku dengan dengan seksama, membuat hatiku gelisah.
Tak lama setelahnya, hari pertama musim semi pun tiba. Musim semi juga berarti pembukaan kembali Jalur Sutra. Sekarang aku bisa bersiap-siap untuk pergi ke Chang’an. Kumarayana membantuku menghubungi sekelompok pedagang yang terpercaya dan bahkan memberiku banyak sekali hadiah. Tentu saja aku sangat berterima kasih. Tapi aku tidak senang saat harus menghadapi kedua bersaudara itu.
Rajiva selalu memasang ekspresi tenang, jadi tak terlalu buruk, meski sekali atau dua kali aku sempat menangkap suatu sorot aneh di matanya, seperti ketika dia memberiku syal sutra itu. Sorot itu membuat jantungku jumpalitan tetapi aku pura-pura tak melihatnya. Lagipula berpura-pura bodoh adalah keahlianku. Siapa suruh dia adalah Kumarajiva? Aku tak seberani itu sampai bisa macam-macam dengan seseorang yang begitu tak tersentuh. Aku hanya bisa pergi dengan diam-diam. Pusydeva, di sisi lain, aku tak bisa mengatasinya. Diprovokasi sedikit saja dan dia akan menangis sampai menganak-sungai dan memohonku agar jangan pergi. Pria kecil itu membuatku merasa seperti sedang mengucapkan perpisahan untuk selamanya, jadi aku hanya bisa terus meyakinkan dia kalau aku akan kembali.
Masih ada enam hingga tujuh hari lagi sampai aku memulai perjalananku, jadi aku ingin mandi. Memangnya apa yang patut disebutkan tentang aku yang sedang mandi? Sebenarnya tidak banyak, tetapi justru gara-gara ini lah sebuah kejadian besar terjadi. Jangan salah paham, ini bukan adegan vulgar yang sering kau temui di novel-novel romantis di mana sang tokoh utama pria menerobos masuk ketika tokoh utamanya sedang mandi. Hal ‘menarik’ semacam itu takkan pernah terjadi padaku. Sebenarnya, kejadian itu terjadi saat aku sudah selesai mandi dan kembali ke kamarku.
Aku sedang memilin-milin rambutku yang basah di kamar saat kulihat Pusydeva bermain-main dengan jam perjalanan waktuku, yang kulepas sebelum aku mandi dan kutinggalkan di atas meja. Saat melihatku, pria kecil itu dengan riang mengguncang-guncangkan jam tersebut ke depan dan ke belakang.
“Ai Qing, mainan ini seru sekali. Dia bisa melompat dan bersuara tik tik. Berikan padaku ya?”
Jantungku mencelos. Pada saat itu, langit begitu cerah dan cahaya mentari memasuki kamar dalam jumlah besar. Aku terlonjak dan meraih jam itu. Jamnya bekerja lagi! Cahaya sinyal yang telah berusaha kunyalakan dengan susah payah namun gagal sekarang melakukan perhitungan mundur. Oh Tuhan, apa yang telah ditekan oleh Pusydeva hingga bisa membuat jam sialan ini bekerja kembali? Hitungan mundurnya adalah untuk 3 menit, dan sekarang tinggal 2,5 menit. Aku berusaha menekan tombol berhenti tetapi benda tolol ini, saat aku menginginkannya bekerja dia tak mau bekerja, saat aku mau dia berhenti dia juga tak mau berhenti. Ini, ini terlalu mendadak. Aku hanya pergi mandi dan mendapati hal ini terjadi begitu aku kembali. Aku harus pergi atau tidak?
“Ai Qing, ada apa?”
Kepalaku tersentak naik dan melihat sepasang mata polos mengerjap padaku. Dalam hitungan menit jam ini akan mengeluarkan berkas radiasi, aku tak bisa membiarkannya terkena pengaruh. Aku buru-buru merengkuh anak itu dan mendorongnya keluar. Aku memakai terlalu banyak kekuatan dan akhirnya malah melukainya, membuatnya ketakutan. Begitu dia berada di luar, kudengar dia mulai merengek. Kukunci pintunya secepat kilat, memelesat mencari ransel Northface-ku di lemari, dan mengeluarkan jaket anti-radiasiku. Bergerak cepat, kulepas pakaianku sembari berpaling ke arah pintu dan berseru, “Pusydeva, dengar. Aku adalah seorang bidadari dan sekarang aku harus kembali ke langit. Tak lama lagi akan ada cahaya terang yang memancar keluar, kau harus menutup matamu rapat-rapat dan jangan melihatnya, kalau tidak kau akan buta. Mengerti?”
Sebenarnya tak seserius itu, tetapi akan berbahaya kalau anak itu tanpa disengaja melihat radiasinya secara langsung.
Karena ketakutan, pria kecil itu menangis lebih keras lagi.
“Jangan takut. Aku takkan menghilang, aku hanya kembali ke duniaku sendiri. Aku akan mengawasimu dari langit.” Aku berusaha menenangkannya karena aku tak mau meninggalkan dia dengan ingatan traumatis.
Aku bergegas memakai jaket anti-radiasi dan pakaian itu begitu dingin sampai-sampai membuatku merinding. Tidak masalah, waktunya hampir tiba. Aku sedang berkutat dengan resleting saat kudengar Pusydeva bicara dengan suara tersedu, “Kumohon jangan pergi! Pusydeva janji tidak akan nakal lagi, akan mendengarkanmu dengan baik dan belajar keras. Jangan pergi, kumohon.”
Aku mengesah. Jam ini hanya akan bekerja sekali. Kalau aku tidak pergi, aku akan terjebak di sini selamanya. Aku tak seperti para tokoh utama wanita yang melakukan perjaanan waktu lain dalam novel-novel yang ingin tetap tinggal di masa kuno demi cinta. Tujuanku selalu jelas. Aku kemari untuk penelitian, jadi kalau aku tidak kembali, maka takkan ada gunanya.
“Wakili aku untuk mengatakan ini pada Rajiva, dia akan menjadi seorang tokoh besar di masa depan dan ingatkan dia agar jangan melupakan misinya untuk melakukan perjalanan ke Dataran Tengah dan mengembangkan Buddhsime!”
“Apa kamu akan kembali?”
Aku tak tahu, sungguh tak tahu. Mungkin di sini lah takdir kami akan berakhir. Aku tak tahu apakah aku akan melanjutkan proyek ini setelah aku pulang. Bahkan meski aku bisa, aku tak tahu apakah aku akan bisa kembali ke Kucha. Bahkan bila aku berhasil sampai ke Kucha, aku tak tahu apakah mereka akan masih hidup….
Kukenakan helm pengaman dan jamku. Sisa tiga detik. Kuhela napas dalam-dalam dan tepat pada waktunya untuk berteriak, “Kalau kau belajar dengan baik dan menghapal Kitab Puisi, aku akan kembali –“
Cahaya menyilaukan memancar keluar dan aku merasakan sensasi akrab yang seakan terbang di awan lagi, di mana organ-organ dalamku rasanya seperti jungkir balik. Satu detik sebelum kesadaranku hilang, tiba-tiba aku teringat kalau buku sketsaku yang lembaran-lembarannya penuh dengan gambar yang telah kubuat mati-matian; buku catatanku yang penuh dengan penelitian berjumlah ribuan karakter; buku-buku Tokharia berharga yang telah kukumpulkan; artefak-artefak yang telah kubeli dari pasar dan diam-diam kusembunyikan di bawah ranjang; hadiah-hadiah yang kudapat dari Jiva, Kumarayana, dan banyak yang lainnya; juga syal sutra Atlas-ku, semuanya ketinggalan! Ya Tuhan, perjalanan waktu ini semuanya sia-sia!