Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 19
Sebuah suara berderak pada pagi hari membangunkanku. Aku berjuang untuk membuka mataku yang mengantuk dan samar-samar aku melihat sebuah silueet kurus tengah berdiri di dalam kamar yang sarat dengan cahaya mentari.
“Rajiva, kenapa pagi sekali….”
“A… aku minta maaf….”
Cahaya dari arah belakang membuatku sulit melihat wajahnya, tapi saat mendengar suaranya, kudapati sedikit rasa malu. Rajiva buru-buru mundur, dan sebuah suara berderak lain membuat ruangan itu kembali ke dalam kegelapan.
Aku melihat jam. Baru pukul 7:30. Ah, aku lupa, setiap hari dia sudah bangun pada pukul 4, dan dari pukul 5-6 adalah waktu untuk mantra pagi, kemudian saatnya sarapan. Baginya, pukul 7 itu sudah tidak pagi lagi. Tapi aku masih ingin tidur… aku berusaha untuk menutup mata selama beberapa menit sebelum bangun dengan enggan.
Rajiva dan aku berangkat sekitar pukul 9. Kota Subashi yang kecil sudah penuh dengan orang-orang yang berlalu lalang., dari rahib-rahib lokal hingga pedagang yang melintas. Aku tak ingin memberi masalah bagi Rajiva, jadi aku berusaha berjalan cukup jauh darinya. Rajiva berjaan di depan, aku mengikuti di belakang, dan sesekali dia akan berhenti lalu melihat ke belakang, kemudian melanjutkan perjalanannya.
Rajiva sepertinya populer di antara warga setempat. Hampir setiap orang yang berpapasan dengan kami di perjalanan akan merangkapkan tangan mereka untuk memberi salam padanya. Sepasang warga yang menggendong seorang bayi baru lahir bahkan menghampirinya untuk meminta berkat. Dia menepuk-nepuk kepala di bayi dan menggumamkan sebuah mantra pendek. Merasa senang, pasangan itu pun mengucapkan banyak terima kasih pdanya. Rajiva kemudian berbalik untuk menatapku dengan seulas senyum lalu lanjut berjalan, berhenti di sini dan di sana untuk menyalami orang-orang di jalanan.
Kami keluar dari Kota Subashi dan tiba di pintu masuk Biara Cakuri sebelah barat. kesan pertamaku tentang kuil ini adalah paviliun-paviliun spektakuler yang terletak di tembok yang mengelilinginya. “Kucha memeiliki lebih dari seribu orang rahib, jumlahnya sekitar sepersepuluh popilasi.” Baira Cakuri sendiri memiliki lima ribu rahib. Kejayaan Buddhisme di Kucha terlihat paling nyata dengan keagungan Biara Cakuri ini. Bagaimanapun, pada saat ini, biara ini masih belum mencapai puncak seperti yang terlihat pada masa Xuanzang.
Ketika Jiva mengandung Rajiva, ‘kesadaran Jiva menjadi jauh lebih kuat. Begitu mendengar tentang Biara Cakuri yang terkenal dan bahwa ada banyak guru agung yang tinggal di sana, dia akan pergi ke biara itu dan menyalakan dupa setiap hari bersama dengan para biarawati, hati dan pikiran menyatu pada Buddha.’ Jadi ketika masih berada dalam kandungan ibunya, Rajiva sudah ‘menyerap’ sebagian besar filosofi Buddhis. Kecerdasannya yang luar biasa apa mungkin terlahir dari kondisi khusus ini? Aku terkikik atas pemikiran itu.
Kami berjalan menuju sebuah tembok persegi rendah di luar gerbang utama. Sebuah rupang Buddha Gautama terletak di dalamnya. Kusingkirkan semua pemikiranku yang tidak pantas dan beralih dalam mode profesionalku, siap mengeluarkan buku sketsa dan memulai pekerjaanku.
“Ai Qing, tak usah terburu-buru. Biarkan aku memandumu ke sekitar kuil terlebih dahulu, baru kemudian kau bisa kembali ke sini untuk menggambar.”
“Benarkah?” Aku senang sekali. “Itu benar, kau kan adalah kepala biara yang memiliki hak istimewa! Kalau begitu, apa aku bisa kemari setiap hari untuk menggambar?”
“Tentu,” Rajiva tersenyum.
Disinari oleh cahaya awal musim panas, dia tak bisa terlihat lebih terang lagi. Kupaksa diriku untuk mengalihkan tatapan.
“Rajiva, di mana letak batu kumala yang ada jejak kaki Sang Buddha-nya? Bisa kau membawaku ke sana?”
“Kau tahu tentang batu kumala ini?” Rajiva kelihatan sangat terkejut. Dia menatapku dengan penasaran. “Tapi itu adalah harta karun khusus yang hanya ada di Biara Cakuri.”
Bagaimana aku tahu tentang itu? Jawabannya sederhana: Xuanzang pernah melihat batu itu dengan mata kepalanya sendiri dan mencatatnya dalam ‘Catatan Tang Agung’. Pada akhir abad ke-19, seorang pemburu harta karun dari Rusia berhasil mengungkap batu kumala ini. Dia melakukan tidakan bodoh dengan memecah batu ini menjadi dua agar bisa dipindahkan ke negaranya. Untung saja, warga setempat mencegahnya tepat waktu dan berhasil melindungi batu berharga ini. Setelah Pembebasan (Revolusi Rakyat China Komunis pada tahun 1949), batu itu dipindahkan ke Museum Sejarah Nasional Beijing. Paruh yang lebih besar beratnya lebih dari 1.200 kg dan paruh yang lebih kecil beratnya lebih dari 700 kg.
Sekarang aku tak lagi perlu melakukan perjalanan ke Beijing untuk melihat batu kumala ini, dan kali ini batu itu akan masih utuh. Mana mungkin aku tak jadi bersemangat tentangnya? Itulah sebabnya, ektika Rajiva membawaku ke sebuah altar kecil berhias di belakang aula utama, dan bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri batu kumala raksasa yang berbentuk seperti kerang berwarna putih kekuningan itu, aku jadi dipenuhi rasa sesal karena tak membawa kamera. Lebar batu itu lebih dari 30 cm, panjangnya lebih dari setengah meter, dan tingginya lebih dari 10 cm. Jejak kaki Sang Buddha terbentuk secara alami di tengah-tengah batu tersebut. Penggambaran jejak kaki semacam ini bisa ditemukan di banyak tempat. Contohnya, kau bisa menemukan jejak kaki Guru Agung Padmasambhava (T/N: juga dikenal sebagai Guru Rinpoche, merupakan seorang guru Buddha India dari abad ke-8) di suatu tempat di Tibet. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa jejak itu ditemukan di pepohonan dan batu-batu alam, ditinggalkan sehingga para pengikut Buddha bisa merasakan keberadaan Sang Buddha.
Aku tak mengatakan pemikiran-pemikiran ini pada Rajiva. Alih-alih, aku menirunya dengan cara merangkapkan kedua telapak tanganku dalam sikap hormat dan meletakkan sebatang dupa di depan batu kumala itu. Setelah kami meninggalkan alter tersebut, aku melihat kalau ada sebuah koridor panjang di belakangnya, tapi kedua sisinya ditutupi, memberikan suatu aura yang gelap dan penuh teka-teki yang sepertinya berlangsung untuk selamanya.
Melihat arah tatapanku, Rajiva berjalan selangkah ke arahku dan berkata pelan, “Di situ adalah tempat untuk menjalankan penahbiskan penuh. Kamu adalah umat awam dan karenanya dilarang masuk.”
Ah, penahbisan penuh yang dia maksud pasti adalah upasampada! Hal itu tak ada bedanya dari menerima title dari universitas Buddhis! Barulah setelah menjalani upasampada mereka benar-benar berkualifikasi sebagai bhikkhu. Rajiva sudah terkenal sejak kecil dan pengetahuan serta pencapaiannya dalam Buddhisme tak tertandingi. Bagaimanapun, dia masih harus mengikuti aturan-aturan biara. Itulah sebabnya, meski dia mungkin telah lama memahami filosofi Buddhisme Mahayana, dia masih harus menjalani upasampada seperti yang lain begitu dia cukup umur.
Aku pernah sekali mengunjungi tempat penahbisan penuh semacam itu di Kuil Longxing yang terletak di dekat Kota Zhengding di Provinsi Hebei, di sebelah utara Shijiazhang (T/N: ibukota provinsi Hebei). Kuil itu dibangun pada masa Dinasti Sui (586 Masehi). Bagaimanapun, kuil itu tak memiliki koridor panjang dan gelap seperti yang ada di sini. Tak banyak kuil maupun biara yang bisa melakukan upasampada. Yang bisa melakukannya bisanya berukuran besar. Biara Cakuri adalah satu-satunya yang berkualifikasi untuk melakukan pentahbisan itu di Kucha.
Melangkah ke dalam koridor yang panjang dan gelap itu, batin masing-masing calon biarawan apakah akan penuh dengan berbagai pikiran? Apakah mereka telah memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup mereka untuk mengabdi pada jalan Buddha? Menyucikan semua pikiran tentang cinta dan keinginan? Menerima tanggungjawab menyebarkan Buddhisme? Dengan segala pemikiran itu dalam batin, para calon biarawan akan berjalan perlahan ke ujung koridor itu. Yang menanti mereka adalah tiga orang guru, tujuh saksi mata, pisau cukur yang mengkilap, serta lantunan khidmad. Sejak saat itu, mereka akan terbebas dari siklus hidup dan mati, dari keserakahan dan keinginan, selamanya berpisah dengan keduniawian….
Aku berbalik untuk menatap Rajiva, yang dengan tenang menatap koridor panjang itu dengan ekspresi termenung. Mungkin dia juga sedang memikirkan hari pentahbisan yang penting itu. Apa kau akan sama, Rajiva? Apa kau akan siap berpisah dengan keduniawian?
Selanjutnya kami berjalan ke sebuah aula yang remang. Melihat Rajiva, para rahib lain segera merangkapkan telapak tangan mereka dan setengah membungkuk. Rajiva mengangguk sebagai balasannya dan berbicara singkat pada mereka dalam Bahasa Sansekerta. Aula yang ini tak terlalu besar. Di pusatnya terdapat rupang Bodhisattva Ksitigarbha dan keempat sisi ruangan itu penuh dengan lukisan. Aku mengenali Bodhisattva ini karena terdapat sebuah tongkat panjang di tangannya. Ksitigarbha terkenal dengan sumpah ini:
“Hingga Neraka menjadi kosong, aku bersumpah takkan menjadi Buddha. Hanya setelah semua makhluk hidup terselamatkan, barulah aku mencapai Bodhi.”
Sumpahnya itu berarti bahwa dia bertujuan untuk membebaskan semua jiwa malang yang ada di Neraka. Itulah sebabnya, setelah Agama Buddha memasuki Dataran Tengah, popularitas Bodhisatttva yang ini terus bertumbuh. Dia dianggap sebagai satu dari empat Bodhisattva pusat bersama dengan Samantabhadra, Manjusri, dan Avalokitesvara. Legenda menyebutkan bahwa Gunung Jinhua di Provinsi Anhui adalah bodhimanda (T/N: suatu istilah dalam Buddhisme yang berarti ‘posisi kebangkitan’. Menurut Haribhadra, itu adalah lokasi yang dipakai sebagai tempat duduk, di mana esensi pencerahan berada) dari Ksitigarbha.
Aku berdiri di sana membandingkan perbedaan antara penggambaran Ksitigarbha di Xi Yu dengan yang di Dataran Tengah. Seorang rahib kecil berjalan masuk dengan membawa sebuah lampu minyak, menyerahkannya kepada Rajiva, lalu pergi tanpa suara. Rajiva mengangkat lampu itu untuk menerangi lukisan-lukisan di dinding. Sekarang ini aku berada di depan gambar seorang cacat dengan tangan dan kaki patah, wajah mereka berkerut oleh rasa sakit, dan ada segala macam alat siksa dan hukuman. Mengerikan sekali!
Lukisan-lukisan ini menggambarkan rasa sakit dan penderitaan yang dialami makhluk-makhluk di delapan naraka (neraka).
Tak mengherankan kenapa aula Ksitigarbha ini begitu remang dan gelap. Mereka mungkin ingin membuat para penganut Buddhisme ketakutan dengan penggambaran-penggambaran neraka yang mengerikan ini. Sebagian besar kuil berukuran menengah dan besar memiliki lukisan semacam ini.
Aku tahu tentang delapan neraka tapi tak bisa mengingat nama tepatnya, jadi kuminta Rajiva menjelaskan.
(T/N: Warning! Bagian selanjutnya adalah deskripsi neraka yang cukup mengganggu. Kalau pembaca punya jantung lemah dan semacamnya, bisa melewati bagian ini. Di versi bahasa Inggris, Haru sampai mewarnai tulisannya dengan warna sama dengan latar belakang sebagai sensor. Tapi berhubung di Wattpad tidak ada fasilitas semacam itu, bila ingin melewatkannya, silakan scroll dari sini ke bawah sampai bagian yang saya bold nantinya. Bagian yang seram akan di-italic.)
“Ini adalah Sañjīva, neraka kebangkitan. Kuku-kuku dari makhluk di neraka ini akan berubah menjadi cakar besi. Mereka akan saling mencakar satu sama lain, dan ketika mereka menjadi gila, mereka akan mencakari diri mereka sendiri, hingga daging mereka habis dan darah mereka mongering. Namun seberkas angin dingin akan berhembus, daging mereka akan pulih, dan siklus saling serang ini akan dimulai lagi dari awal.” Seberkas kesedihan bertahan di suara Rajiva. Dia berhenti sesaat sebelum melanjutkan, “Mereka yang telah membunuh dan melakukan kejahatan fitnah, akan jatuh ke neraka ini.”
Aku mengangguk pelan dan dengan lampunya sebagai penunjuk jalan, kami terus melangkah maju. Hanya ada kami berdua di dalam aula remang ini. Suara hangat Rajiva bergema di tengah-tengah suasana muram dan pada saat itu, suatu perasaan melankolis pun muncul dalam diriku.
“Ini adaalah Kalasutra, neraka tali-tali hitam. Makhluk dalam neraka ini diikat dengan tali-tali besi panas, yang digunakan sebagai pembimbing untuk menggergaji ataupun membagi empat tubuh mereka. Penderitaan itu sepuluh kali lebih buruk daripada Sanjiva (neraka yang sebelumnya). Mereka yang telah membunuh dan melakukan pencurian akan jatuh ke neraka ini.”
Minyak lampunya terus bergerak maju.
“Ini adalah Samghata, neraka peremuk. Makhluk di neraka ini dikelilingi oleh batu-batu besar yang akan meremukkan tubuh mereka sampai tulang dan daging mereka lumat. Mereka yang telah membunuh, melakukan pencurian, serta kejahatan seksual akan jatuh ke neraka ini.”
“Ini adalah Raurava, neraka ratapan. Makhluk di neraka ini dimasak di dalam kendi-kendi minyak panas atau dalam tungku. Atau mulut mereka akan dibuka paksa dan diisi dengan tembaga cair, perlahan-lahan membakar organ dalam mereka. Mereka yang telah membunuh, melakukan pencurian dan perbuatan asusila, yang telah berbohong dan mabuk, akan jatuh ke dalam neraka ini.
Para pengikut Buddhis yang telah melanggar kelima Sila, tak peduli apakah mereka adalah umat awam maupun biarawan, akan jatuh ke dalam Maharaurava, neraka ratapan besar. Neraka ini jauh lebih buruk daripada yang sebelumnya.”
Ah, tiba-tiba aku merasa begitu kedinginan. Hukuman bagi umat Buddha malah jauh lebih berat!
“Ini adalah Tapana, neraka panas api. Makhluk di neraka ini dipancang di atas besi panas dan tubuh mereka dihancurkan hingga berkeping-keping. Mereka yang telah melanggar lima Sila akan jatuh ke dalam neraka ini.”
Tangan yang memegang lampu minyak tiba-tiba berhenti bergerak dan sedikit bergetar. Dengan cahaya berkedip-kedip di tembok, gambar-gambar orang yang menjerit kesakitan itu menjadi pudar.
“Ada apa, Rajiva?”
Aku menatapnya. Jarak di antara kami hanya satu kaki. Di bawah cahaya redup, aku melihat secercah kepedihan di matanya selama sekian detik sebelum menghilang kembali menjadi seraut wajah tenang. Rajiva meneruskan penjelasannya.
“Rahib dan biarawati Buddhis yang telah membunuh, mencuri serta melakukan perbuatan asusila akan jatuh ke dalam Pratapana, neraka panas besar, dimana hukumannya jauh lebih buruk daripada neraka sebelumnya.”
Ada nada tajam dalam suaranya, mungkin itu karena dia tak setuju dengan hukuman kejam yang harus diterima oleh kaum biarawan. Buddhisme memang sangat keras terhadap para pengikutnya. Di antara delapan neraka besar, dua disediakan untuk para rahib dan biarawati.
Rajiva membersihkan tenggorokannya. Tangan yang tadinya telah diturunkan tanpa sadar kini terangkat lagi.
“Ini adalah Avici, Neraka tanpa jeda. Makhluk di neraka ini dihukum terus-menerus tanpa henti. Mereka yang telah melakukan lima kejahatan paling berat (membunuh ibu, ayah, atau melukai seorang Buddha; berniat memecah belah komunitas Buddhis / Sangha, ataupun berusaha menghancurkan tempat suci) akan jatuh ke dalam neraka ini.”
Warning End.
Dengan lukisan terakhir, kami telah menyelesaikan satu putaran mengelilingi aula.
“Masing-masing dari delapan neraka besar dipisah-pisah ke dalam enam belas neraka lebih kecil. Kejahatannya juga dibagi menjadi tiga tingkatan. Mereka yang teah melakukan kejahatan terberat dikirim ke neraka besar, dan yang lainnya dikirim ke neraka lain yang lebih kecil.”
Rajiva meletakkan lampunya di altar Bodhisattva Ksitigarbha, berlutut dan menyembah tiba kali, lalu berjalan keluar dari aula bersamaku.
Disambut oleh cahaya benderang matahari di luar, semua perasaan negative di dalam diriku dengan segera tersapu bersih. Aku merasa seperti Dante yang baru saja menyelesaikan perjalanannya melewati neraka. Kesimpulanku adalah: alam manusia memang yang terbaik!
(T/N: Dante (1265-1321) adalah penyair besar Italia pada abad pertengahan sekaligus pengarang dari mahakarya literal yang berjudul Divine Comedy – yang, secara umum, menggambarkan perjalanan Dante melewati Neraka, Alam Penyucian, dan Surga)
Sekarang sudah hampir tengah hari. Rajiva membimbingku menuju ruang makan yang disediakan untuk penganut Buddha yang berkunjung ke Biara Cakuri. Dia ikut duduk bersamaku untuk makan. Cara dia makan begitu elegan, sesuai dengan seseorang dari latar belakang bangsawan. Bagaimanapun, yang membuatku merasa tidak nyaman adalah lirikan-lirikan rahasia dari orang-orang. Mereka tak mengatakan apa-apa, tapi aku tahu apa yang mereka pikirkan. Mereka membuatku merasa tidak nyaman.
Seseorang seperti Rajiva, bahkan bila dia berasal dari era modern, bukanlah pilihan ideal. Kalau dia bersamaku, aku akan bisa mengangkat kepalaku tinggi-tinggi ke manapun ak pergi, tapi dengan dirinya yang terlalu baik, terlalu pintar, dan terlalu tampan seperti ini, dia akan membayangiku. Aku tak hanya akan harus selalu waspada dan berjaga-jaga menghadapi semua gadis cantik, tapi juga akan menyakiti kepalaku sendiri karena berusaha mencari cara untuk membawa kecerdasanku agar menyamai tingkatannya. Kesenangan apa yang bisa didapatkan dalam kehidupan semacam itu? Jadi kesimpulanku adalah: Aku. Tak. Mau!
“Tak mau apa?”
Kepalaku tersentak naik dan mendapati matannya yang sejernih kolam air sedang mengamatiku. Aku merasa malu tapi tak mampu menyembunyikan wajahku, tersipu tapi tak bisa menjelaskan diriku sendiri.
“Guru!”
Untunglah! Seseorang telah datang untuk menolongku! Mereka adalah… orang Han, bukan, dua orang rahib Han!
Kedua rahib itu pun bercakap-cakap dengan Rajiva dalam Bahasa Sansekerta. Aku berdiri di samping dan dengan diam mengamati orang-orang senegaraku.
Rajiva lalu mengenalkan mereka padaku. Mereka adalah pra rahib yang datang jauh-jauh dari Chang’an kemari untuk belajar. Nama Dharma (T/N: nama yang didapat saat mereka diinisiasi) mereka adalah Seng Chun dan Tan Chong. Mataku pun melebar saat mendengar nama-nama itu.
Seng Chun dan Tan Chong! Ternyata dua rahib itu! Mereka telah melakukan perjalanan ke Kucha untuk belajar dan begitu kembali ke Dataran Tengah, mereka mengatakan kepada Kaisar Fu Jian dari Qin Awal bahwa Kumarajiva adalah seorang rahib yang memiliki kepandaian tinggi, seorang pengikut Buddhisme Mahayana dan yang reputasinya terkenal di seantero Xi Yu. Seorang ahib ternama di Dataran Tengah yang bernama Shi Dao’an, setelah mendengar tentang Kumarajiva selama beberapa waktu, juga membujuk Fu Jian untuk membawa Rajiva ke Chang’an.
Ketika Fu Jian memutuskan untuk menjajah Kucha, sang Kaisar berkata seperti ini kepada jenderalnya, Lu Guang: “Kudengar di Barat ada seseorang bernama Kumarajiva yang memiliki pengetahuan tinggi terhadap Dharma, terhadap yin dan yang, seseorang yang memiliki kepintaran hebat di wilayah itu. Aku mendapati bahwa dia mengagumkan. Orang bijaksana adalah harta karun negara. Kirimkan Kumarajiva kepadaku begitu kau menakhlukkan Kucha.”
Belakangan, kisah ini disampaikan oleh banyak penganut Buddha. Mereka percaya bahwa keputusan Fu Jian untuk menakhlukkan Kucha adalah karena dia ingin memenangkan Kumarajiva. Hal ini serupa dengan Perang Troya yang timbul karena Helena yang cantik, atau Wu Sangui yang menyerahkan Dinasti Ming kepada Qing (Manchuria) karena selir Suzhou-nya – Chen Yuanyuan. Berpikir bahwa perang-perang berskala besar itu, dengan korban puluhan ribu nyawa, disebabkan demi mendapatkan satu orang, sungguh suatu kisah yang begitu menarik! Aku adalah ahli sejarah, jadi tentu saja, aku tak percaya kalau Fu Jian telah memulai perang demi menangkap seorang rahib. Apakah Fu Jian bena-benar mengerti keuntungan macam apa yang akan dibawa Kumarajiva untuknya? Sang Kaisar menginginkan Kumarajiva hanya karena dia memahami sifat yin dan yang? Itu seperti Kaisar Wen dari Han yang hanya menginginkan orang-orang berkepandaian tinggi seperti Jia Yi di sidang istananya untuk membacakan nasibnya.
(T/N: kaisar Wen dari Han (202-157 SM) adalah kaisar kelima dari Dinasti Han. Jia Yi (200-168 SM) adalah penulis, cendekiawan, sekaligus pejabat pada masa Dinasti Han, terkenal sebagai salah satu penulis awal rhapsody fu dan atas esainya yang berjudul ‘Penyelidikan Menemukan Kesalahan dengan Qin’.)
“Ai Qing!”
Ah, lagi-lagi aku membiarkan pikiranku berkelana terlalu lama. Aku berbalik dan melihat kedua rahib itu membungkuk sopan kepadaku. Buru-buru kubalas bungkukan itu. Mereka adalah orang senegara pertama yang telah kutemui dalam dua kali lompatan waktuku.
Rajiva memperkenalkanku sebagai keponakan dari guru Bahasa Han-nya saat dia masih muda., yang datang ke Kucha untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha. Aku hanya bicara beberapa patak kata dengan para rahib itu. Karena pengetahuanku yang terbatas atas Enambelas Kerajaan hanya berasal dari textbook, takutnya kalau aku bicara lebih banyak lagi, tanpa disengaja aku akan mengungkapkan sejarah.
Setelah bertukar sopan-santun denganku, kedua rahib itu pun kembali pada Rajiva dan melanjutkan percakapan mereka tentang Buddhisme. Karena mereka bicara dalam Bahasa Sansekerta, yang tak kupahami, aku pun beralih melihat-lihat lukisan di dinding.
“Baris itu bisa diterjemahkan ke dalam Bahasa Han sebagai berikut: ‘Semua bentuk pikiran yang beraneka ragam dari para makhluk hidup di semua tanah suci Buddha tersebut diketahui seluruhnya oleh Tathagata. Apa sebabnya?’”
(T/N: Tathagata adalah sebutan yang sering dipakai oleh Buddha Gautama untuk menyebut dirinya sendiri pada Kitab berbahasa Pali. Baris kalimat di atas bisa ditemukan di bab 18 dari Sutra Intan.)
Rajiva bicara dalam Bahasa Han! Aku berbalik dan menangkap seulas senyum kecil di sudut mulutnya. Apa dia ingin agar aku mendengarkan baris ini? Terkejut, kupasang telingaku untuk mendengarkan.
“Sang Buddha berkata, semua bentuk pikiran bukanlah pikiran, hanya keinginan sekejap yang menjadi ilusi. Oleh karenanya disebut sebagai ‘arus pikiran’. Kenapa? Karena mustahil untuk memegang pikiran yang telah lalu, yang telah berlalu tanpa jejak, ataupun memegang pikiran sekarang, karena masih berputar-putar. Bahkan lebih mustahil lagi untuk memegang pikiran masa sepan, karena belum terjadi.”
(T/N: Kutipan di atas diambil dari bab 18 Sutra Intan. Kutipan aslinya lebih pendek, tapi Xiao Chun, si pengarang, memanjangkannya sedikit, mungkin untuk membantu pembaca untuk pebih memahaminya)
Rajiva sekarang fasih berbicara dalam Bahasa Han. Bersanding dengan suaranya yang hangat dan lembut, setiap suara bagaikan sebutir mutiara yang berharga, membawa setiap kata ke dalam hatiku seperti hembusan angin yang lembut.
“Karenanya tak ada ajaran Dharma yang bisa dijelaskan, juga tak seorang pun yang bisa menjelaskan ajaran Dharma.” Rajiva berdiri tinggi di dalam aula itu. Sudut-sudut mulutnya melengkung membentuk senyum percaya diri. Dia sedikit mencondongkan kepalanya ke arah kedua rahib yang tinggi mereka hanya mencapai bahunya. “Penjelasan Rajiva, apakah kalian berdua bisa menangkap?”
Seng Chun dan Tan Chong terlihat seperti baru saja mendapatkan kebijaksanaan besar, perlahan mengulang apa yang barusan diucapkan Rajiva dalam gumaman, wajah mereka sarat dengan kekaguman. Kutatap rajiva dari sudut mataku. Kepercayaan diri yang dipancarkannya serta kebijaksanaan yang baru saja dia tunjukkan terlalu membutakan untuk kulihat secara langsung. Meski usianya masih muda, sikap Rajiva sudah seperti seorang guru besar.
Siangnya, kami melanjutkan tur dengan mengunjungi sisi perbukitan paling utara. Ada sejumlah gua yang terbentuk di sepanjang perbukitan, yang digunakan sebagai ruang meditasi bagi pra rahib. Aku bilang ruang meditasi, tapi sebenarnya hanya merupakan bukaan-bukaan kecil yang masing-masing hanya cukup diisi satu orang. Rajiva menunjukkan padaku satu bukaan yang samar-samar memiliki bentuk manusia di dindingnya. Dia berkata padaku, banyak rahib pertapa yang pernah bermeditasi di sini, dan seiring berjalannya waktu, sosok mereka pun jadi terukir di bebatuan.
Buddhisme Hinayana banyak menekankan pada disiplin (meditasi). Rutinitas harian seorang rahib utamanya terdiri dari bermeditasi di sebuah ruang kosong dan mengosongkan pikiran mereka. Praktek semacam ini berasal dari praktek yoga (T/N: Jangan disamakan dengan praktek yoga jaman sekarang yang menekankan pada postur. Yoga di sini mengacu pda praktek Hinduisme untuk mengendalikan indra, pikiran, demi mencapai moksha – pembebasan, atau menyatu dengan Tuhan – melalui beragam metode dan tak terbatas hanya pada postur-postur fisik) di India. Sebelum mencapai pencerahan, Buddha Gautama mengambil gaya hidup bertapa yang ekstrim selama enam tahun. Beliau akan duduk bermeditasi selama berhari-hari dan berbulan-bulan, makan sangat sedikit, dan menjadi sangat kurus. Setelah mencapai pencerahan, Sang Buddha kembali pada kebiasaan makannya yang normal dan berhenti mengenakan baju tua yang compang-camping. Bagaimanapun, Beliau masih menjadikan meditasi sebagai bagian dari rutinitas hariannya. Hal ini menjadi salah satu karakteristik utama Buddhisme Hinayana. Itulah sebabnya selalu ada tempat untuk bermeditasi pada setiap Kuil Hinayana.
Namun baris demi baris ‘kamar’ meditasi di hadapanku semuanya kosong. Saat aku bertanya pada Rajiva tentang hal ini, dia tersenyum sebagai balasannya.
“Sejak Rajiva menjadi kepala biara, aku telah meminta semua rahib untuk secara aktif pergi ke luar, mengajar dan menyatu dengan komunitas di sekeliling. Meditasi bisa dilakukan sesukanya.”
Sepuluh tahun yang lalu, ketika Rajiva baru saja bersinggungan dengan Buddhisme Mahayana, dia telah menerima banyak kritik dari para pengikut Hinayana. Mereka mencelanya karena berusaha mempelajari bidah. Selama sepuluh tahun berikutnya, dengan menggunakan kecerdasannya, keahliannya berbicara di depan umum secara fasih, serta koneksinya dengan keluarga istana, Rajiva telah menuangkan segala upayanya untuk mengubah pemikiran religius Kucha terhadap Buddhisme Mahayana. Catatan tentang Rajiva menyebutkan: “Pada saat itu, jumlah rahib yang berpindah ke aliran Mahayana lebih dari sepuluh ribu. Betapa luar biasanya itu. Sejak saat itu, Kumarajiva pun dihormati oleh semua orang di sekelilingnya.”
“Pikiranmu berkeliaran entah ke mana lagi!”
Kutarik kembali pikiranku yang berkeliaran dan menatap wajah tampan Rajiva.
“Rajiva, kau bukan lagi remaja kebingungan waktu itu yang terus ragu-ragu tentang mengubah kepercayaan agamanya.”
“Memang.” Matanya seakan telah berkelana ke masa lalu. Sebuah ingatan tampak melintas, karena sudut mulutnya melengkung membentuk senyuman. “Ai Qing, kalau bukan berkat kata-kata penyemangatmu, Rajiva takkan mampu menemukan keberanian dan ambisi untuk melakukan semua ini. Selama sepuluh tahun terakhir ini, setiap kali ada kesulitan yang muncul, Rajiva akan mengingat kembali kata-katamu yang hangat. Mahayana menekankan pada pembebasan semua makhluk dan memperbaiki banyak kekurangan Hinayana. Ini adalah satu-satunya jalan agar Buddhisme bisa menyebar jauh dan luas, untuk mengantarkan orang ke seberang. Rajiva telah bekerja tanpa lelah demi mencapai ambisi ini.”
Mata Rajiva menatap ‘kamar’kamar’ meditasi itu dengan sorot jauh. “Dengan berkat dari Sang Buddha, Rajiva akhirnya berhasil meyakinkan keluarga istana dan banyak guru besar. Hinayana, yang telah berakar di Kucha selama ratusan tahun, akhirnya telah melihat perubahan.”
Berdiri di puncak bukit, orang bisa melihat seluruh pemandangan Biara Cakuri. Air di Sungai Tongchang bergulung-gulung membentuk gelombang, berkilauan bagai intan di bawah sinar matahari siang. Matahari mulai terbenam ke barat, menyorotkan sisa-sisa berkas cahayanya pada sosok tinggi itu. Angin berhembus dan mengibarkan jubah kasayanya. Berlatarbelakang mentari terbenam, sosoknya yang bagai patung itu menyerupai seekor elang yang siap untuk membubung ke angkasa. di bawah kami adalah bangunan-bangunan Buddhis yang megah – kerajaannya, dan Rajiva adalah pemimpin spiritual dari ribuan orang yang tinggal di dalamnya.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa, sepuluh tahun yang lalu, aku bisa bercakap-cakap dengannya tentang filosofi Buddhis. Namun sekarang, pemikirannya, khususnya yang berhubungan dengan Buddhisme, telah mencapai tingkatan yang jauh melampauiku. Aku hanya orang biasa. Pengetahuan yang kumiliki kudapatkan melalui sejarah selama 1.650 tahun. Kalau kami terlahir di masa yang sama, seperti orang-orang awam lain di sekitarnya, aku hanya akan mampu menatapnya dari kejauhan, dan bahkan takkan berani bermimpi untuk mendekatinya.
“Rajiva,” Aku menghela napas dalam-dalam dan bergabung dengannya menatap ke bawah bukit. “Penduduk Kucha berjumlah beberapa ratus ribu orang. Tetapi di Dataran Tengah, jutaan orang menderita karena peperangan, dan lebih dari yang lainnya, mereka memerlukan bimbingan spiritual untuk membimbing mereka melaluinya.”
“Ai Qing, melakukan perjalanan ke Dataran Tengah untuk menyebarkan Buddhisme selalu menjadi impian Rajiva.” Dia berbalik untuk menatapku. Senyum di wajahnya seperti hembusan angin musim semi. “Kau selalu ingin agar Rajiva pergi ke Dataran Tengah, mana mungkin Rajiva lupa?”
Menerima senyuman memukau itu, jantungku yang bodoh mulai berdebar tidak karuan.
Sekarang adalah waktunya mantra sore. Aku bersikeras untuk kembali sendirian tanpa bantuannya. Sekarang Rajiva adalah ‘CEO’ dari biara terbesar yang ada di Xi Yu, dia tak bisa bertingkah seperti dirinya saat masih muda dulu, melewatkan pembacaan mantra kapanpun dia inginkan. Dia harus menjadi contoh yang baik. Mendengar hal ini, Rajiva menganggukkan balasannya. Dia mengatakan padaku cara untuk pulang (ke rumah Masavu) dan berjanji kalau setelah pembacaan mantranya selesai, dia akan kembali. Aku ingin bilang padanya untuk tidak melakukan hal itu, untuk menghindari munculnya rumor yang tidak sedap. Tapi kata-kata di ujung lidahku malah menggelinding kembali ke dalam. Aku tahu bagaimana dirinya itu. Rajiva tak pernha membiarkan gosip memengaruhinya. Lagipula, kalau aku jujur pada diriku sendiri, bukankah memang ada sebagian dari diriku yang menantikannya?
Itulah sebabnya, ketika Rajiva muncul di depan pintu setelah lewat pukul enam, aku mendapati diriku sendiri telah memandangi pintu selama beberapa saat. Saat-saat ketika pintunya perlahan berderak terbuka dan sebuah bayangan tinggi kurus tampak di bawah kilauan lampu, mendadak jantungku mulai berdegup gila-gilaan. Aku merasa seakan detak jantungku bisa terdengar menggema di seluruh penjuru rumah.
Rajiva melanjutkan merawat lukaku. Jarak yang begitu dekat di antara kami, aroma lembut cendana, semua itu terasa begitu memabukkan….