Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 20
Sekarang karena pengaturan tempat tinggalku telah ditetapkan, akhirnya aku bisa memulai penelitianku di Biara Cakuri. Rajiva telah mengatakan pada semua rahib yang ada di kuil, dari penjaga gerbang, pengawas aula utama, hingga ke petugas perngarsipan naskah, agar mengijinkanku menjelajah dengan bebas.
Para pengunjung harian kuil itu kemudian akan mendapati diri mereka menyaksikan sebuah pemandangan aneh: Seorang wanita Han yang berpakaian gaya Kucha memegang sebuah buku aneh dan memakai sebuah alat aneh untuk menggambar pada buku. Sesekali waktu wanita itu akan mengeluarkan sebuah gulungan aneh untuk mengukur ini dan itu. Terlebih lagi, sang Guru Besar yang ternama di seluruh Xi Yu, Kumarajiva, telah memerintahkan agar semua rahib di kuil tidak menghalangi wanita itu ‘bekerja’.
Sembari aku mengukur dan menggambar, seringkali aku akan melihat Rajiva. Ini adalah kali pertama aku mengamati pekerjaan hariannya di kuil. Saat dia sedang tidak berbicara dan mengajar kepada para murid tentang suatu naskah, dia bisa ditemukan sedang menyambut para rahib yang melakukan perjalanan dari negara-negara terdekat dan bahkan dari suatu tempat jauh di Dataran Tengah. Rajiva juga keluar untuk bertemu dengan masyarakat dan mengembangkan pengajaran Mahayana-nya dari waktu ke waktu.
Mantra paginya dimulai saat aku masih tidur, tapi untungnya, aku bisa melihat mantra siangnya pada pukul 4 hingga 5. Ketika lonceng berdentang, semua rahib akan berkumpul di aula utama. Rajiva lalu akan mengenakan jubahnya, melakukan salam resmi bersama dengan para rahib dan menyalakan dupa di depan rupang Buddha; menempatkan dirinya sendiri di kursi tertinggi dan memulai pelantunan mantra. Beberapa ratus rahib akan melantun bersamaan dalam Bahasa Sansekerta. Irama suara mereka akan bergema ke sekeliling aula, berbagung dengan suara-suara balok kuil yang dipukul. Jiwamu akan terasa seperti disucikan di antara suara yang murni dan melayang itu.
Tas ransel Northface-ku yang lama sudah kembali. Tak banyak yang hilang, bahkan syal sutra Atlas-nya masih ada. Ketika aku mengingat kembali hari saat Rajiva memberiku syal itu sebagai hadiah ulang tahun, dengan wajah memerah karena malu, aku jadi terkikik atas kenangan itu dan dengan iseng mengenakan syal tersebut ke leherku. Hanya ada sedikit benda yang hilang, seperti sebuah buku sketsa yang belum kupakai dan beberapa buah pensil dan penghapus, tapi semua sketsaku masih utuh. Tak ada yang cukup berharga untuk membuatku kesal. Kutebak Pusydeva pasti telah mengambil benda-benda yang hilang itu untuk dimainkan. Bisa mendapatkan kembali harta karun ini setelah lewat satu dekade dan masih awet dalam kondisi yang begitu bagus, apa lagi yang bisa kuminta.
Petangnya, Rajiva datang untuk merawat luka-lukaku seperti biasanya. Melihat syalnya, dia pun terdiam selama sedetik, kemudian seulas senyum kecil muncul di sudut mulutnya. Rajiva bertanya apakah aku mau meneruskan menjadi guru Bahasa Han-nya. Buku pertama yang dia ingin aku ajarkan adalah ‘Catatan Sima Qian’. Maka aku pun memulai serangkaian pengajaranku dengan legenda-legenda mitologi besar, ‘Sejarah Lima Kaisar’ (T/N: Mengacu pada volume pertama dari kategori ‘Sejarah’. Lima Kaisar adalah sekelompok penguasa mitologis atau dewa-dewa pada China Utara kuno yang dalam sejarah belakangan ditetapkan terjadi pada periode dari sekitar 2852 SM hingga 2070 SM. Lima Kaisar tersebut menurut versi Sima Qian adalah: Kaisar Kuning (黃帝), Zhuanxu (顓頊), Kaisar Ku (嚳), Kaisar Yao (堯), Kaisar Shun (舜). Selam Lima Kaisar, juga ada Tiga Penguasa yaitu: Penguasa Langit (天皇) atau Fu Xi (伏羲), Penguasa Bumi (地皇) atau Nüwa (女媧)
Penguasa Tai (泰皇) atau Shennong (神農).)
Pendengarku saat ini hanya terdiri dari satu orang, tapi tingkat pendidikan dari si pendengar ini sangat tinggi. Si pendengar mendengarkan dengan konsentrasi total dan seringkali mengangguk sebagai gestur pujian kepadaku. Aku merasa seperti telah dipindahkan kembali ke saat di mana aku menjadi gurunya beberapa bulan sebelumnya (dalam hitungan waktuku), dan sementara sang murid masih merupakan orang yang sama, waktu sepuluh tahun telah berlalu. Sekarang, aku tak bisa lagi memukul ringan kepalanya sebagai hukuman, juga tak bisa berlagak merengut serius saat mengajar. Sebenarnya, sekarang malah jadi lebih parah, karena si guru akan sering curi-curi melirik pada wajah tampan muridnya, seraut wajah yang diukir bagai patung Yunani. Wajah itu begitu memikat sampai-sampai si guru seringkali akan kehilangan fokus, matanya tersesat ke suatu tempat jauh dan perlahan-lahan suaranya akan memudar. Lalu secara mendadak dia alan ‘terbangun’, wajahnya semerah tomat, berpura-pura membersihkan tenggorokan, mencari kipas, pergi ke kamar mandi, dan sebagainya.
Suatu hari di Biara Cakuri, aku sedang mengamati Rajiva menjadi tuan rumah bagi festival untuk Guanyin. Guanyin adalah terjemahan dari nama Sansekerta Bodhisattva Avalokitesvara. Secara teknis, namanya seharusnya diterjemahkan menjadi Guanzizai (untuk menyamakan dengan arti literalnya), tapi setelah mencapai Dataran Tengah, orang-orang Han salah menerjemahkannya sebagai Guanshiyin. Pada masa Dinasti Tang, demi menghindari tabu penamaan di negara itu karena memakai karakter yang sama dengan nama asli Kaisar Taizong, yaitu Li Shimin, nama sang Bodhisattva pun dipendekkan menjadi Guanyin.
Mulanya, aku tak menyadari kalau festival itu adalah untuk Guanyin, Bodhisattva yang sama dengan yang kemudian menyebar hingga ke Dataran Tengah karena nama Sansekerta Guanyin sangat sulit untuk diingat. Tapi ketika aku melihat rupang sang Bodhisattva, aku langsung mengerti. Pada masa ini, Guanyin tak digambarkan dengan wujud familier Dewi Welas Asih, namun dengan wujud seorang pria perkasa dengan kumis tipis panjang, seperti pengggambaran yang ditemukan di gua-gua Mogao dan Dunhuang serta lukisan-lukisan dari Dinasti Utara dan Selatan. Tetapi mungkin karena Guanyin memiliki kekuatan untuk memberikan anak-anak dan merupakan personifikasi dari belas kasih dan kebajikan, gambaran seorang dewi wanita jadi lebih sesuai?
Festival itu berlangsung selama tujuh hari. Karena ini merupakan festival doa bersama, umat awam pun bisa ikut serta. Para calon rahib lalu akan menuliskan nama-nama anggota keluarga yang telah meninggal di atas plakat kayu lalu memberikan plakat-plakat itu kepada guru mereka, yang kemudian akan meletakkannya di depan altar. Kemudian bersama dengan semua orang, Rajiva meletakkan bunga-bunga dan dupa di depan altar Guanyin dan berkowtow sebanyak tiga kali. Setiap gerakannya begitu bermartabat dan elegan. Setelahnya, Rajiva bergerak untuk menduduki kursi tertinggi dan dengan lembut mengguncangkan lonceng perunggu di tangannya. Bunyi nyaringnya bergema jauh dan luas. Sejenak kemudian, seluruh aula pun menjadi sunyi.
Sorot matanya kemudian akan menyapu ke sekeliling aula. Dilingkupi oleh asap dupa, dengan dahinya yang tinggi, matanya yang berbinar serta wajahnya yang penuh welas asih yang seperti bisa melihat menembus jiwa semua orang, Rajiva tampak seperti deorang dewa yang turun ke dunia manusia. Ketika dia mulai bicara, suaranya penuh dengan rasa percaya diri dan kuat – sebuah suara yang beresonansi ke seantero aula.
“Kesadaran diri dan kebebasan adalah tanda-tanda kebijaksanaan. Membantu seseorang untuk menjadi sadar diri dan terbebaskan adalah tanda-tanda welas asih. Avalokitesvara yang memiiki kebijaksanaan besar dan welas asih selalu mengawasi umat manusia. Beliau memberikan nasihat dan bantuan berdasarkan kemampuan, karakter dan harapan, yang berbeda-beda pada setiap orang. Sejak saat itu, Beliau membantu makhluk hidup untuk mengurangi kesedihan dan menambah kebahagiaan, membantu mereka menjalani kehidupan yang tenang, bebas dari kekhawatiran dan rasa takut.”
Para rahib berkowtow sebagai jawabannya dan mulai merapalkan mantra secara bersama-sama. Para umat awam yang berdiri di sebelahku juga membungkuk untuk berkowtow, yang mana langsung kuikuti. Setelahnya, Rajiva akan membacakan satu ayat dari naskah, dan para rahib akan mengulangi setelah dia, menciptakan suatu rapalan seragam yang bergaung di hatimu, mengalir ke luar pada udara di sekeliling dan ke atas menuju langit biru.
Hari itu, biara memberikan pemberkataan kepada semua orang yang hadir, yang diserahkan sendiri oleh Rajiva. Barisannya memanjang hingga ke gerbang utama kuil. Aku bergerak maju inci demi inci dan terus menjulurkan kepalaku untuk melihat ke depan. Mulut Rajiva merapakan mantra, satu tangan dengan hati-hati menyerahkan satu bungkusan makanan kepada tiap orang, tangan yang lain perlahan mengetukkan tongkat panjangnya pada kepala tiap orang dan mendoakan berkat bagi mereka. Semua orang tersenyum cerah sebagai gantinya.
Aku harus berdiri di antrian selama dua jam sebelum akhirnya tiba giliranku. Perutku bergemuruh sepanjang waktu. Rajiva terkejut saat melihatku. Ada secercah senyum di matanya. Dia bepaling ke samping, membisikkan sesuatu kepada muridnya, lalu meletakkan bungkusannya ke dalam tanganku. Aku balas tersenyum, merangkapkan tanganku sebagai salam dan membungkukkan kepalaku untuk menerima berkatnya. Tongkatnya mengetuk kepalaku. Aku bisa mencium aroma cendana menguar di udara. Saat aku mengangkat kepalaku dan menatap Rajiva, aku menemukan seraut wajah damai menatap balik ke arahku, suatu makhluk suci yang bukan merupakan milik dunia fana ini. Untuk suatu alasan tertentu, degup jantungku mulai bertambah cepat.
Tepat saat aku akan meninggalkan barisan, calon rahib yang tadi kembali ke sisi Rajiva dan memberikan kepdanya setangkai anggur. Rajiva menerimanya sambil tersenyum dan menyerahkannya padaku. Anggur adalah buah yang paling banyak ditanam di Kucha, jati tak sulit untuk didapatkan. Aku melirik sekeliling dan setelah mendapati bahwa tak seorang pun yang memprotes hadiah spesialku, aku pun menerimanya sambil membungkuk, lalu menyingkir.
Aku tak berani memakan anggurnya dan malah membungkusnya dalam selembar kertas untuk dimasukkan ke dalam ranselku.
Saat dia kembali pada sore harinya, Rajiva tampak sedikit lelah tapi juga kelihatan sangat bersemangat. Dia harus tetap tinggal untuk memberikan berkat selama empat jam berturut-turut dan belum memakan apapun seharian. Merasa khawatir, aku pun mengeluarkan anggurnya dari dalam tas ranselku. Aku ingin menawarkannya pada Rajiva tapi tak tahu bagaimana cara untuk meyakinkan dia agar mau memakannya (matahari sudah terbenam dan karenanya Rajiva tak bisa mengkonsumsi makanan).
Rajiva mengamatiku dengan seksama. Ketika dia melihatku membuka bungkusan kertas dan menampakkan anggurnya, untuk sesaat dia terkejut. Tapi kemudian, tanpa aku sempat mengatakan sepatah kata pun, dia memetik sebutir anggur dan memasukkan buah itu ke mulutnya.
Seraya tersenyum padaku, dia berkata, “Manis sekali!”
Tingkahnya membuatku terdiam. Sesaat kemudian, aku pun memerik sebutir anggur. Rasanya memang sangat manis, lebih manis dari semua anggur yang pernah kumakan sebelumnya….
Kami duduk berseberangan sambil menikmati anggur. Tiba-tiba aku teringat sebuah permainan kata-kata umum: ‘Saat makan anggur, jangan ludahkan kulitnya. Saat tidak makan anggur, ludahkan kulitnya*.’ Dengan sebuah cengiran di wajahku, aku berusaha mengajarkan kalimat itu kepada Rajiva. Bahasa Han-nya masih memiliki aksen Kucha, membuat dia kesulitan untuk melafalkan serangkaian kata-kata itu dengan benar. Aku memegangi sisi tubuhku karena tertawa sepanjang waktu. Sungguh saat-saat yang menggembirakan. Kalau saja waktu bisa selamanya tetap berhenti pada saat ini….
(*kalimat ini dianggap sebagai permainan kata / tongue twister adalah karena versi mandarinnya berbunyi: 吃葡萄不吐葡萄皮 / chī pútao bù tǔ pútao pí, 不吃葡萄倒吐葡萄皮 / bù chī pútao dáo tǔ pútao pí.)
Festival itu membuat Rajiva kelalahan setiap hari, tapi dia tetap dengan setia menampakkan diri di tempatku pada sore hari. Aku menunda pelajarannya untuk sementara ini dan berusaha mencari cara agar dia bisa bersantai. Ada kalanya aku ingin memberi dia pijatan, tapi hal itu hanya sekedar pemikiran yang tak ebrani kuungkapkan.
Pada sore terakhir festival, seluruh kuil diterangi oleh pelita-pelita minyak kecil yang ada di tangan semua orang. Rajiva berdiri di depan rupang Buddha, membungkuk resmi dan menyalakan pelitanya. Lalu satu demi satu dalam urutan ke bawah, setiap rahib akan menerima api dari pelita rahib yang sebelumnya untuk menyalakan pelitanya sendiri, dan segera, seluruh aula pun disinari oleh berkas-berkas cahaya bagaikan bintang-bintang di langit. Aku juga mendapatkan pelitaku sendiri. Rasanya seolah cahaya itu bisa melihat menembus jiwaku. Di tengah-tengah atmosfer suci itu, Rajiva tampak seperti dewa pelindung cahaya, suatu keberadaan yang memiliki kecerdasan besar yang akan membimbing setiap jiwa yang berdoa, yang akan menjatuhkan plakat-plakat kayu bertuliskan nama-nama mereka yang telah meninggal ke dalam api unggun. Perapalan mantra pun dimulai, membuncah naik di udara dan tertuang ke dalam telingaku. Pemandangan itu sangat membuatku tergerak. Rasanya air mataku akan menetas setiap saat.
Kemudian, bahkan setelah beberapa hari berlalu sejak festival itu berakhir, ak masih terbayang-bayang akan pemandangan amai dan suci itu. Sekali lagi aku dibuat terpukau oleh koneksi spiritual yang diberikan oleh agama. Mingkin itulah sebabnya kenapa agama akan terus ada bersama dengan umat manusia sampai kami semua punah. Semua orang mencari makna spiritual pada berbagai titik kehidupan, terutama pada saat-saat sedih dan menderita. Buddhisme mampu menyebarkan akarnya di Dataran Tengah selama masa Dinasti Utara dan Selatan (420 sampai 589 Masehi) adalah karena masa-masa itu merupakan masa terjadinya kekacauan besar.
Ketika aku mengatakan pemikiran ini pada Rajiva, dia tersenyum padaku sebagai tanda menyetujui. Aku tak mampu mengingat naskah-naskah Buddhis dan karenanya hanya bisa mendiskusikan agama dengannya melalui lensa sejarah dan filosofi. Ada saat-saat di mana dia sepertinya tak bisa mengerti kata-kata yang kugunakan, tapi sesaat kemudian, pikirannya yang cepat akan memberinya penafsiran sendiri. Waktu-waktu yang kami habiskan bersama itu beigtu pendek. Ketika pagi tiba dan dia harus kembali ke kuil, aku tak bisa menahan rasa kecewa. Teori relativitas Einstein tak pernah lebih benar lagi.
Aku melanjutkan dengan risetku dan menggambar di kuil. Terkadang, ketika aku meringkuk tepat di luar aula utama untuk mengukur, Rajiva akan melangkah masuk untuk bicara kepada murid-muridnya. Ketika aku ada di dalam aula untuk menyalin mural di dinding, dia akan masuk bersama dnegan sekelompok rahib untuk mendiskusikan naskah, mengisyaratkan padaku agar melanjutkan pekerjaanku dan tak perlu memedulikan mereka. Ketika aku sedang berjinjit dan berusaha mengukur tinggi sebuah pagoda, bayangan dari sosok yang tinggi dan kurus akan datang mendekat, mengambil pita pengukurku, dan mengangkatnnya di atas kepalaku. Ketika aku merasa haus, seorang rahib kecil akan segera membawakanku air tanpa perlu diminta, dan kemudian mataku akan menangkap selintas jubah kasaya coklat yang telah kukenal dengan terlalu baik keluar lewat pintu….
Aku tak bisa terus-terusan seperti ini! Sekarang ini, setiap kali aku melihat Rajiva, jantungku akan mulai berdebar gila-gilaan tanpa alasan. Pada hari-hari ketika aku tak bisa melihat dia, aku jadi seperti arwah yang tersesat, tak mampu berkonsentrasi pada apapun yang kulakukan. Di malam hari, saat aku membaringkan kepalaku di bantalnya, menutupi diriku dengan selimutnya, aku dipenuhi oleh suatu perasaan senang yang tak tergambarkan. Ketika aku memasuki kuil untuk meneruskan penelitian, tanganku menggambar tapi mataku mengikuti langkah kakinya satu demi satu, sampai dia melihatku dan balas tersenyum.
Aku sangat tahu apa arti dari tanda-tanda ini. Kalau aku terus menatap wajah memesona itu, terus mendengar suaranya, aku akan terjerumus ke dalam jurang dan takkan bisa, takkan mau, meloloskan diri. Ai Qing sayang, kau boleh memiliki perasaan kepada siapapun, tapi tidak kepadanya. Dia itu bukan jatahmu. Di antara kau dan dirinya ada jarak 1.650 tahun. Dan hal yang paling penting adalah, dia selamanya akan tetap menjadi seorang rahib sementara kau, cepat atau lambat, akan harus kembali pada kehidupanmu sendiri di abad ke-21….
Setelah dua bulan membuang-buang waktu, risetku di Biara Cakuri pun akhirnya selesai. Setelah begitu banyak keraguan, akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan padanya kesimpulan dari pelajaran kami selanjutnya.
Sore itu, aku mengajari Rajiva volume 61 dalam Catatan Sima Qian yang berjudul ‘Biografi Bo Yi’. Bo yi dan saudaranya Shu Qi memprotes pembantaian kejam yang dikenal dengan nama Perang Muye (T/N: sekitar 1046 SM, merupakan perang yang membawa akhir Dinasti Shang dan awal mula dinasti Zhou) dengan cara menolak makan Lima Biji-bijian (T/N: 5 macam tanaman pertanian yang secara simbolis / mitologis penting pda China kuno) dari Zhou. Mereka mengundurkan diri ke Gunung Shouyang dan hidup dengan memakan pakis, sampai kemudian teringat kalau tanaman ini sekarang juga merupakan milik Zhou, yang kemudian sejak saat itu mereka membuat diri mereka kelaparan sampai mati. Di bawah pena Ahli Sejarah Agung Sima Qian, dua bersaudara ini dipuji untuk ketabahan mereka atas ketetapan moralnya. ‘Biografi Bo Yi’ adalah sebuah bab pendek, namun kisah itu sendiri mewakili moralisasi Sima Qian sendiri tentang sejarah.
“Tetapi apakah kebenaran bodoh Bo Yi dan Shu Qi patut untuk ditiru? Pada saat itu, wilayah tersebut sudah dikuasai oleh Zhou. Mereka telah bersumpah untuk tidak memakan Lima Biji-bijian dari Zhou dan pergi tinggal di gunung untuk memakan tanaman liar, tapi tanaman-tanaman itu masih tetap merupakan produk Zhou. Gunung Shouyang yang mereka tinggali ada dalam wilayah kekuasaan Zhou, dan ketika mereka mati pada akhirnya, orang-orang Zhou-lah yang menguburkan mereka.”
Aku mendesah panjang sebelum meneruskan, “Masing-masing dari kita akan mengalami situasi sulit dalam hidup, dan pada saat-saat sulit itu, kita semua harus membuat keputusan: Terus hidup atau mengikuti contoh Bo Yi dan Shu Qi dengan memilih untuk kelaparan ketimbang membengkokkan prinsip-prinsip mereka. Kalau aku, aku akan memilih untuk hidup. Karena hanya dengan tetap hidup lah aku bisa memenuhi ambisiku. Bagaimana soal komentar-komentar generasi selanjutnya? Pada saat itu aku sudah lama mati, apa pentingnya dengan yang mereka pikirkan tentangku?”
Kutatap Rajiva dalam waktu lama, berpikir tentang titik balik dalam takdirnya sebelas tahun dari sekarang. Ketika waktu itu tiba, tak diragukan lagi hatinya akan harus mengalami banyak penderitaan dan kepedihan. “Itulah sebabnya, Rajiva, saat kelak kau mengalami kesulitan, kau harus berpikir tentang ambisimu, tujuan hidupmu, dan menggunakan hal itu sebagai motivasi untuk terus hidup.” Aku takkan berada di sini dalam kurun waktu sebelas tahun dan karenanya hanya bisa memberinya nasihat samar ini.
“Orang-orang menulis buku dan mengarang puisi pada saat-saat sulit untuk menyampaikan pemikiran dan perasaan mereka. Xibo (Raja Wen dari Zhou) selama masa pengurungannya di Youli menafsirkan hexagram Zhou Yi (inti dari I Ching), Confucius saat terdampar di wilayah Chen dan Cai menyatukan ‘SejarahMusim Semi dan Musim Gugur’; Qu Yuan dalam pengasingannya menggubah Li Sao; Zuo Qiuming menulis Guoyu (Wacana Negara); Sun Tzu yang kehilangan kakinya menulis ‘Seni Perang’; Lü Buwei yang dibuang ke wilayah Shu yang terpencil mengkompilasi Musim Semi dan Musim Gugur Lü (Sejarah); Han Fei selama dipenjara di Qin meratap melalui esainya ‘Kemarahan Sepi’ dan Lima Hama (bagian belakangan dari buku han Feizi); dan 200 puisi yang ada dalam ‘Puisi Klasik’ sebagian besarnya ditulis oleh para guru selama masa pencobaan mereka. Semua pengarang itu memiliki rasa frustrasi dan kedukaan yang tak bisa mereka sampaikan pada saat itu, jadi mereka menuliskan isi pikiran mereka dan meneruskannya untuk dibaca oleh generasi selanjutnya.” Rajiva memancangkan tatapannya padaku saat dia meminjam perkataan Sima Qian untuk merespon.
Kami berdua terus beradu pandang hingga udara di sekeliling kami menjadi senyap. Sesuatu yang tak bernama telah tumbuh di antara kami. Pada akhirnya, wajahnya mulai diwarnai oleh bercak-bercak kemerahan. Dia mengalihkan tatapan. Ekspresi yang kulihat di wajahnya adalah campuran dari beragam emosi yang saling bertautan: sedikit rasa malu, sekilas kesedihan, dan sebuah jejak rasa… penyesalan.
Rajiva, kau sebenarnya tak membutuhkan aku untuk mengajarimu. Kutipan yang baru saja kau ambil adalah ‘Penutup Autobiografi’ Sima Qian – bab terakhir dari ‘Catatan sang Sejarawan Agung’. Aku percaya kalau aku memintamu untuk membacakan kembali semua isi Catatan, kau akan mampu melakukannya. Jadi kenapa kau masih menginginkanku meneruskan pelajaran? Degup jantungku tiba-tiba bertambah cepat, seolah hendak melompat keluar dari dalam rongga dadaku. Aku bisa menebak sebabnya. Itu karena kau ingin bisa melihatku setiap hari, jadi kau bersikap seakan kau tak pernah membaca Catatan itu, benar kan? Tapi… tapi….
Kupejamkan mataku erat-erat, berusaha dengan segenap tenagaku untuk mengendalikan denyut jantungku yang begitu cepat, dan bicara padanya dengan apa yang kuharap merupakan nada tenang, “Aku takkan pergi ke luil besok. Aku sudah menyelesaikan sketsaku. Apa kau kenal sekelompok pedagang yang akan berangkat ke Chang’an sesegera mungkin? Kalau kau tak tahu, aku bisa mencarinya sendiri.”
Dia terdiam selama beberapa menit, lalu berkata, “Pada saat ini di Dataran Tengah sedang terjadi kekacauan, ada perang tanpa akhir antara Han dan Hu. Kamu hanya seorang diri, jadi kenapa kau bersikeras melakukan perjalanan ke tempat berbahaya itu? Kucha mungkin adalah sebuah kerajaan kecil, tapi setidaknya di sini jauh lebih aman, kenapa tidak –“
“Rajiva,” dengan lembut aku menyelanya, “ambisimu dalam hidup ini adalah membantu semua makhluk hidup mencapai pembebasan diri. Demi memenuhi ambisi itu, apakah kau bersedia pergi ke Dataran Tengah pada masa-masa berbahaya ini?”
“Tentu saja.”
“Aku juga sama.” Menatap ‘Catatan sang Sejarawan Agung’, hasil karya seumur hidup Sima Qian, aku meneruskan, “Aku juga memiliki ambisiku sendiri. Aku dulu pernah mengatakannya padaku, impianku adalah menulis sebuah catatan sejarah, mencatat semua kejadian, untuk mengembalikan kebenaran sejarah.”
Masa Enam Belas Kerajaan dikenal sebagai salah satu periode paling kacau dalam sejarah China. Shi Hu dan putranya dari Zhao Akhir membunuhi orang-orang Han untuk bersenang-senang, dan dalam kurun waktu dua pulu tahun mereka telah membantai ratusan ribu orang. Ran Min (orang Han) mengakhiri Zhao dan memulai pembasmian orang-orang Jie (Shi Hu adalah etnis Jie), dan bahkan juga orang-orang yang memiliki sedikit kemiripan dengan etnis Jie. China bagian utara selama dua puluh tahun itu brutal di mana-mana. Bahkan bila kau memberiku senjata nuklir, aku tetap takkan punya nyali untuk pergi ke periode semacam itu. Untung saja, pada masa itu Rajiva belum dilahirkan.
Pada masa ini, Qin Awal telah mengambilalih Liangzhou dan Liaodong dan secara esensi telah menyatukan China utara. Fu Jian merupakan Kaisar yang paling kukagumi pada periode Enam Belas Kerajaan. Aku benar-benar ingin mengamati Qin Awal yang saat ini dia pimpin, karena dalam sepuluh tahun, dengan kekalahan telaknya di Perang Feishui, Qin Awalnya dengan cepat akan tercerai-berai dan Utara akan berubah menjadi beragam perang sipil kembali.
Kutatap Rajiva dan berharap sorot mata lurusku akan berbicara dengan sendirinya. Dia memandangku, lalu memalingkan kepalanya dan mengarahkan sorot matanya yang gelisah pada lampu minyak. Dia berakta padaku dengan suara ringan bagai udara: “Aku akan mengaturkannya untukmu.”
Aku meneruskan pelajaran dan Raiiva pun lanjut mendengarkan. Seakan tak tahu apa yang dia pikirkan, aku terus berpura-pura dan berpura-pura….
Pelajaran kami akhirnya berakhir. Seperti biasanya, Rajiva meninggalkan ruangan dengan tenang. Tepat saat aku akan mendesah lega, pintunya berayun terbuka kembali.
“Apa kau ingat Gua-Gua Kizil?” dia bertanya dengan nada tenangnya yang biasa, “sepuluh tahun telah berlalu sejak kau mengatakan padaku sebuah kuil gua akan dibangun di sana, dan sekarang ada lebih dari selusin gua.”
“Aku akan pergi ke sana tujuh hari kemudian untuk sebuah festival Buddhis,” dia menatapku dengan mata berbinar-binar, “apa kau mau ikut?”
Aku… aku… tentu saja aku ingin pergi! Dia tahu persis hal-hal yang menarik perhatianku. Kalau aku pergi ke sana, aku akan bisa mengidentifikasi gua-guanya, memastikan waktu yang dibutuhkan untuk membangun gua-gua itu, dan juga bisa menyalin lukisan-lukisan dinding yang hilang karena pembusukan dan perbuatan manusia. Ini semua merupakan informasi bersejarah yang bernilai tinggi untuk dicatat. Aku tak bisa menolak godaan itu. Kalau aku menunda pergi ke Chang’an selama beberapa hari, seharusnya takkan ada masalah, kan? seharusnya aku masih punya cukup waktu, kan?
Melihat anggukanku, dia pun tersenyum cerah. “Kalau begitu kita akan berangkat tujuh hari kemudian.”