Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 21
Tujuh hari kemudian, pada pagi hari di musim panas yang cerah, kami berangkat dengan kereta kuda Rajiva menuju Gua-gua Kizil. Gua-gua Kizil terletak sekitar 70 li dari Kucha, tapi dengan kereta sebagus ini, perjalanan kami hanya berlangsung selama dua hari. Bagaimanapun, harus berbagi tempat sempit itu dengan Rajiva setiap saat rasanya agak kurang nyaman. Tak peduli ke mana pun aku melihat, sosoknya terus berada dalam penglihatanku. Rajiva yang damai, Rajiva yang tersenyum, Rajiva yang elegan, Rajiva yang menyilaukan mata. Mataku, seperti sebuah kamera 800-megapixel, bekerja tanpa henti untuk menangkap gambar-gambar ini. Andai saja aku bisa memotretnya untuk disimpan setelah aku kembali ke masaku. Kembali? Benar, aku akan harus kembali cepat atau lambat, jadi sebaiknya aku berhenti menyimpan perasaan yang tak berguna ini. Aku harus fokus, harus menyingkirkan fantasi-fantasi ini, harus bertahan dari pria tampan dan memesona ini, dan menyelesaikan pekerjaanku.
Dengan pemikiran-pemikiran semacam ini di benakku, ketika keretanya berhenti untuk istirahat, aku pun mengabaikan tangan yang diulurkan padaku dan malah melompat turun dengan usahaku sendiri. Saat kami makan, aku melakukannya dengan tanganku sendiri, bertekad untuk tidak menjadi diriku yang pemalas dari waktu sebelumnya yang bergantung pada tangannya. Saat aku selesai mengunyah roti naan keringku, aku menyeka remah-remah roti dari mulutku dan menolak sapu tangan yang dia tawarkan. Merasa malu, dia pun menarik kembali tangannya. Saat kami kembali ke kereta, karena tak bisa menghindar dari menatapnya, aku pun menutup mata untuk memulihkan diri; dan bahkan saat rasa kantuk menyerang, aku tak membiarkan tubuhku beraayun ke samping, agar saat aku terbangun nanti aku tak mendapati bahwa aku telah menggunakan bahunya sebagai bantal.
Akhirnya kami pun sampa ke tujuan. Aku terkesan dengan disiplin diriku sendiri. Selama dua hari terahir, meski terjebak dalam tempat sempit itu bisa membuat orang jadi gila, aku berhasil mempertahankan resolusiku untuk tidak mengembangkan keterikatan emosional apapun kepada tokoh-tokoh sejarah. Itu jugalah yang dikatakan oleh bosku setiap kali aku melakukan perjalanan waktu: “Selalu ingat kalau kau adalah orang modern, kalau kau akan harus kembali ke masamu sendiri. Selalu ingatkan dirimu sendiri bahwa bila secara kebetulan kau mengembangkan suatu perasaan romantis, sejarah bisa berubah karenamu….”
Tetapi saat melihat Pegunungan Queletage yang memerah karena mentari terbenam, jajaran gua-gua yang tampaknya tanpa akhir, mulut-mulut gua yang terpasang pada garis lurus, tangga-tangga kayu panjang yang menghubungkan satu aula dengan aula lainnya; semua pemikiran berat tentang perasaan dan kemelekatan pun langsung menguap dari benakku.
Petangnya, aku tinggal di sebuah penginapan di samping Sungai Muzat. Meski aku diberitahu bahwa ini adalah kamar terbaik yang ada, standar kebersihannya masih cukup rendah. Untung saja aku membawa kantong tidurku. Saat malam tiba di tepi sungai, udaranya menjadi dingin dan tak berawan, membuat bintang-bintang menerangi cakrawala. Bernapas dalam udara yang tak berpolusi itu, tak mungkin kalau tidak merasa damai. Aku berniat untuk berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai, namun sebuah sosok yang tinggi dan kurus dengan langkah kaki pelan terus berjalan di belakangku dan membuat hatiku gundah. Aku tak punya pilihan lain kecuali berbalik dan kembali ke kamarku sendiri, mengabaikan sosok kesepian itu dalam kilauan cahaya bulan di angkasa.
Saat kami sampai di situs gua keesokan harinya, seperti yang sudah diduga, ada banyak orang yang mengenal Rajiva. Kuil Gua Kizil telah menarik banyak sekali rahib dari berbagai tempat untuk datang berlatih di sini, dan semua ruang meditasinya sudah penuh. Semua orang menatap Rajiva dengan terkejut, beberapa memasang wajah mencela? Tidak, tidak, mana mungkin? Kenapa ada orang yang akan memberikan tatapan mencela kepada Rajiva? Aku pasti hanya membayangkannya saja.
Sang kepala biara menyambut Rajiva dengan antuas dan kemudian mengantar Rajiva ke sebuah kamar meditasi khusus yang baru saja dibersihkan. Bagaimana bisa? Bukankah orang-orang biasanya mengelilingi dia untuk berdiskusi tentang naskah-naskah Buddhis? Kenapa mereka meninggalkannya dalam kamar sepi itu? Aku menatap sekeliling dan menyadari bahwa rahib-rahib lain juga tetap berada di kamar mereka. Sebenarnya, sepanjang hari, tak seorang pun yang melangkahkan kaki ke luar. Aku mendapati bahwa hal ini sanagt aneh, yang mungkin berasal dari kekurangpahamanku tentang aturan dan ritual dalam biara Buddhis. Oh yah, aku toh kemari adalah demi mural-mural di dinding itu, jadi tak ada gunanya memikirkan hal-hal ini lebih jauh lagi.
Secara total ada 236 Gua Kizil (di masaku), yang semuanya dinomori secara berurutan, dan hanya 80 dari gua-gua itu yang masih memiliki sisa lukisan di dindingnya. Sebagian besar gua adalah ruang meditasi untuk para rahib yang mengikuti tradisi Hinayana. Dulu aku pernah mengunjungi situs ini saat masih di abad ke-21. Tempat-tempat tinggal para rahib tak ada muralnya, hanya ada sebuah ranjang tanah serta fasilitas sederhana di masing-masing kamar itu. Pada masa kuno, gua-gua ini pasti digali dan dibangun dengan tenaga manusia, membuatnya menjadi proses yang berat dan mahal. Pada mulanya, semua biaya yang berhubungan dengan pembangunan situs ini didanai oleh Raja Kucha. Selama periode tempatku berada ini, hanya ada tiga gua yang ada muralnya, delapan ruang meditasi, dan dua lagi gua dnegan lukisan dinding yang belum selesai. Para pelukis masih sedang melukisinya.
Ini hebat! Aku bisa dengan mudah memilih topik apapun – entah itu pencampuran cat, jajaran pola-pola, komposisi, kisah-kisah Buddhis yang digambarkan dalam lukisan – untuk ditulis menjadi makalah akademis berkualitas tinggi. Dulu aku pernah mengunjungi reruntuhan Kerajaan Guge di Ngari (sekarang bagian dari Negara Zanda, Perfektur Ngari, Tibet), dan secara kebetulan bertemu dengan sukarelawan dari PBB di sebuah kuil berusia 800 tahun. Mereka sedang berada di tengah-tengah proses memulihkan lukisan yang terdaftar pada Warisan Dunia secara cuma-cuma. Aku menjulurkan kepalaku tinggi-tinggi untuk mengobrol dengan seorang perestorasi wanita dari Swiss yang sedang berjongkok di atas perancah. Dia menunjukkan padaku kotak perralatannya: kuas dengan berbagai ukuran, sekop, pinset, pisau palet, dan beragam peralatan lainnya yang kelihatan sangat sulit untuk digunakan. Aku menontonnya bekerja dengan takjub. Jumlah perhatian yang dibutuhkan untuk bekerja dalam detil yang sedemikian kecil membuatnya terlihat seperti suatu sulaman berkeahlian tinggi. Setelah restorasi, mural itu kelihatan hidup, seakan telah terlahir kembali. Aku sangat menghormati dan mengagumi upaya yang dilakukan oleh para perestorasi dan penyimpan.
Mendapatkan kesempatan untuk melihat dengan mata kepalaku sendiri proses pembuatan dan menyelesaian mural-mural ini, aku dilanda semangat sampai pada titik di mana aku lupa tentang rasa lapar dan lelah. Aku ingin mengamati bagaimana para seniman, pada masa di mana peralatannya terbatas dan pencahayaannya menyedihkan, mampu menciptakan mural-mural menakjubkan yang masih akan dikagumi oleh generasi-generasi mendatang itu. Saat aku bicara dengan para seniman dan menghanyutan diriku sendiri dalam pekerjaan mereka, mempelajari teknik-teknik mereka, membuat sketsa mural-mural mereka yang sudah selesai, aku berpikir apda diriku sendiri – aku tak pernah sesibuk dan sesenang ini!
Mereka memakai warna biru laut dari bubuk lapis lazuli untuk latar belakangnya, kemudian bubuk kuning atau emas untuk jubah Sang Buddha, yang akan memberikan gambaran Buddha Shakyamuni (Gautama) yang berkilau dari kejauhan. Setelah berabad-abad pudar dan membusuk, meski merah cinnabarnya akan menghitam dan warna lain jadi tak bisa dikenali, biru lapis lazuli itu takkan memudar dan tetap secerah semula. Lapis lazuli adalah batu yang berasal dari Afghanistan, jaraknya lebih dari 1.500 km dari Kucha, dan memiliki warna biru yang menggoda dan memiliki kilau pyrite yang sangat menarik. Di tempat-tempat di mana para pedagang memindahkan bebatuan ini ke Kucha, harganya melonjak hingga dua kali lipat harga emas dengan berat yang sama.
Permainan warna-warna antara biru laut, merah cinnabar, hijau malachite, dan lembaran emas menghidupkan pemandangan menakjubkan ini, setiap lukisan merupakan harta karun bagi generasi selanjutnya. Belakangan, ketika Kucha dijajah oleh Uyghur yang agamanya melarang pemujaan berhala, para seniman dipaksa unutk menyingkirkan pigmen kuning dari jubah Sang Buddha, meninggalkan tanah kelabu yang retak-retak di baliknya terekspos hingga saat ini. Hanya warna biru laut itu yang tetap bertahan dari masa ke masa, sebuah warna yang begitu jelas hingga para cendekiawan dari abad ke-21 yang menatapnya tak bisa menahan desah pelan kekaguman.
Setelah berdirinya Buddhisme pada abad ke-6 sebelum masehi, selama ratusan tahun, tak ada rupang-rupang Buddha. Simbol-simbol Sang Buddha hanya jejak-jejak kaki, altar-altar, Pohon Bodhi, dan stupa. Saat aku mengunjungi Gua Ajanta di India, serangkaian gua-gua Buddhis yang dibangun di awal abad ke-2 sebelum masehi, aku tak melihat adanya rupang satu pun, hanya jejak kaki Sang Buddha dan altar. Satu abad setelah masehi, dengan berdirinya Budhhisme Mahayana, pemujaan rupang menjadi lebih umum dan rupang-rupang Buddha mulai bermunculan.
Setelah Alexander Agung menakhlukkan Gandhara (sebelah timur laut wilayah India, sekarang di sebeah utara Pakistan dan perbatasan barat daya Afghanistan) pada 327 SM, rupang-rupang Buddha mulai menyerap lebih banyak dan lebih banyak lagi teknik-teknik Yunani, dan kemudian mengubah gaya Gandhara menjadi aliran seni Buddhisme besar.
Mural-mural di Gua Kizil sangat dipengaruhi oleh gaya seni Gandhara dan lebih jauh lagi, seni Yunani. Rupang-rupang Buddha yang kemudian dihancurkan adalah penggambaran dari gaya Gandhara: wajah panjang berbentuk oval, fitur simetris, hidung tinggi, rambut berombak yang terikat membentuk cepolan. Mengenakan jubah panjang yang membiarkan satu bahu terbuka dan berjenggot. Sang Buddha, para bodhisattva, serta para bidadari yang dilukiskan dalam mural itu sebagian besar setengah telanjang, digambarkan dalam postur anggun dan lemah lembut, dan pakaian, selempang, serta perhiasan yang mereka kenakan dilukis dalam goresan-goresan nyata.
Pada saat ini, aku sedang emnyalin sebuah mura berjudul ‘gadis yang menggoda Siddharta’. Mural ini menggambarkan kehidupan awal Buddha Gautama saat dia masih menjadi Pangeran Siddharta. Setelah menyaksikan penderitaan dan kesedihan dalam hidup yang tak berujung, sang pangeran pun memutuskan untuk menjadi pertapa. Ayahandanya, Raja Suddhodana, justru ingin agar sang pangeran mewarisi tahtanya, maka beliau pun berusaha mengelilingi Siddharta dengan segala macam kemewahan dan kesenangan.
Saat sedang membuat sketsa, tiba-tiba aku merasakan suatu keberadaan di belakangku. Aku berputar dan melihat Rajiva sedang menatap buku sketsaku, wajahnya amat sangat merah. Aku melihat kembali gambarku dan pemahamanku pun terbit. Saat ini aku sedang menggambar seorang wanit apenghibur sedang menyandarkan tubuhnya yang montok kepada sang pangeran, satu tangannya ada di paha beliau. Ini hanya sebuah adegan kecil di antara ribuan lainnya yang ada pada mural. Kalau aku tak menyalin gambar ini dan memperbesar detailnya, tak seorang pun yang akan menyadarinya. Kecuali sekarang saat aku sudah melakukannya, sosok si wanita penghibur jadi terlihat nyata, posisinya jelas-jelas sugestif, dan adegan itu pun kini terpampang satu halaman penuh di buku sketsaku.
Secercah rona muncul di wajahku. Aku buru-buru menutup buku sketsaku dan menanyakan padanya ada masalah apa. Dia berkata bahwa dia datang untuk memberitahuku kalau sekarang adalah saatnya makan siang. Beberapa ahri terakhir ini, secara sengaja aku telah datang ke gua-gua pda waktu yang berlainan dan selalu makan siang dengan para seniman. Sekarang saat dia sendiri yang datang mencariku, hanya untuk mendapati bahwa aku telah menggambar pemandangan yang rentan, sungguh memalukan. Aku buru-buru menatap sekeliling dan melihat kalau semua orang sudah pergi. Aku jadi tak punya pilihan selain mengikutinya.
Beberapa hari belakangan ini, Rajiva dan kepala biara seringkali ditemukan sedang berjalan mondar-mandir, terus-terusan melihat beberapa sketsa, mata menatap tebing di atas, jemari menunjuk ke berbagai arah. Aku bertanya padanya karena penasaran dan diberi tahu kalau Rajiva berencana memakai donasi dari keluarga istana untuk Kuil Cakuri selama beberapa tahun belakangan ini untuk membangun rupang Buddha berukuran raksasa di sini. Aku mengintip sketsa desainnya. Patung itu akan setinggi 15 meter dan pada sinar aura Sang Buddha, akan ada lingkaran rupang-rupang yang lebih kecil. Penggambaran dari Sang Buddha di Nirvana semacam ini berbeda dengan yang ada pada tradisi Hinayana. Ini adalah gaya seni Gandhara yang muncul belakangan, juga dikenal sebagai gaya Indo-Afghanistan.
Seni Gandhara merambah ke Timur di sepanjang Jalur Sutra dan mulai berkembang di wilayah barat dari Afghanistan pada periode Kushan (abad ke-1 hingga ke-3 masehi). Buddha-Buddha Bamiyan yang kemudian dihancurkan oleh Taliban (yang menentang pemujaan berhala) mewakili gaya campuran klasik seni Gandhara. Di masa mudanya, Rajiva telah mengikuti ibunya ke Kabul, bagian dari wilayah Kashmir dan merupakan pusat Gandhara, jadi dia pasti telah melihat rupang-rupang hebat itu. Sebuah proyek berskala sebesar ini, tanpa tangan dan orang seorang guru besar seperti Rajiva, takkan pernah bisa melihat cahaya.
Tetapi apa yang tak diketahui oleh Rajiva adalah bahwa kombinasi arsitektur potongan-batu India serta rupang Buddha Gandhara raksasa di Gua Kizil takkan menjadi satu-satunya sensasi di Kucha, tetapi nantinya juga akan menjadi pengaruh besar bagi situs-situs seperti Gua-gua Mogao di Dunhuang, Gua-gua Yungang, serta Gua-gua Longmen. Respekku terhadap Rajiva sepertinya hanya bisa semakin bertambah.
Pada saat bersamaan, aku menyadari ada sesuatu yang aneh. Sementara Rajiva sibuk bekerja pada ini dan itu, semua rahib lain tetap berada dalam ruang meditasi mereka sepanjang hari. Mereka bahkan tak keluar saat waktunya makan. Alih-alih, para rahib kecil akan membawakan makanan ke setiap ruangan. Aneh sekali. Apa mungkin mereka sedang melakukan semacam ritual? Saat aku mengemukakan ini kepada Rajiva saat kami makan, dia mengatakan padaku kalau mereka hanya sedang bermeditasi, tak ada yang perlu dipikirkan. Dia jelas-jelas tak mengatakan padaku seluruh kebenarannya tetapi bertanya lebih jauh akan sia-sia belaka. Siangnya, saat aku melanjutkan pekerjaanku bersama berdiam diri pada musim panas.”
Berdiam pada musim panas? Kedengarannya familier. Ah, dalam Biografinya, rahib Faxian menuis bahwa dalam perjalanannya ke Barat, dia juga seringkali berhenti untuk melakukan berdiam pada musim panas.
“Setiap tahun, saat musim panas tiba, semua rahib akan mengurung diri ke dalam kamar-kamar mereka dan tak melangkahkan kaki ke luar.”
“Itu benar, mereka tak diperbolehkan keluar. Bahkan bila ada kejadian darurat, mereka tetap harus meminta ijin dari kepala biara sebelum melangkah keluar.”
“Benar, benar, mereka mereka duduk seperti itu sepanjang bulan. Para guru besar harus duduk selama tiga bulan berturut-turut.”
(T/N: Dalam bahasa Pali, sebutan bagi praktek ini adalah masa vassa. Masa berdiam ini dilakukan selama musim penghujan dan berlangsung selama tiga bulan kalender lunar, biasanya dari Juli, tapi tidak selalu. Setelah masa vasaa, umat Buddha khususnya aliran Hinayana (sekarang lebih umum menjadi Theravada) akan merayakan Kathina, hari raya di mana umat memberikan berbagai persembahan kepada para bhikkhu. Hari raya ini dijalankan sekitar bulan Oktober)
Diskusi ini tak lagi menarik minatku. Bagian belakang hidungku terasa gatal. Selama musim hujan, semua murid Buddha akan tetap berdiam di dalam kuil dan bermeditasi. Ini adalah waktu ketika semua tanaman tumbuh, jadi mereka menghindari pergi ke luar untuk mencegah pembunuhan yang tak disengaja. Tak heran kalau para rahib itu jadi menatap Rajiva dengan tidak senang. Dia seharusnya tetap tinggal di dalam kuil dan bermeditasi, tapi malah keluar melakukan perjalanan dengan seorang wanita. Meski dia kemari untuk memulai pembangunan rupang Buddha, tapi haruskah hal itu dilakukan selama musim berdiam ini? Dia telah melanggar aturan biara…. Apakah itu karena aku?
Sorenya, aku berjalan di sepanjang Sungai Muzat dengan melamun. Aku sadar kalau dalam jarak yang tak terlalu jauh., dia sedang menatapku tanpa bersuara. Aku melambaikan tangan padanya. Gestur itu mengejutkan Rajiva. Dia mulai berjalan ke arahku. Saat dia sampa ke sisiku, aku menepuk-nepuk batu di sebelahku. Dia ragu selama sesaat sebelum mendudukinya.
“Rajiva, kau seharusnya tak keluar selama masa berdiam di musim panas….”
Terkejut, dia mengarahkan tatapannya pada sungai yang diterangi rembulan dan berkata dalam nada tenang, “Aku kemari untuk memulai pembangunan rupangnya, sebuah penghormatan kepada Sang Buddha, apa yang salah dengan itu?”
“Tak bisakah menunggu setidaknya sampai bulan depan?”
Rajiva tiba-tiba mengalihkan tatapannya padaku. Di bawah langit berbintang, sepasang mata itu bagaikan gelimbang pasang, dan sekejap kemudian, mereka pun menghilang di kedalamannya.
Tenggorokanku mengejang oleh rasa duka dan kepedihan. Aku tak punya keberanian untuk menatap ke dalam matanya.
“Rajiva, aku sudah menggambar cukup banyak. Kau bisa pergi besok.”
Diam. Dia mengalihkan kepalanya kembali untuk menatap sungai, ekspresinya tak terbaca.
Aku menggigit bibirku dan mengumpulkan keberanianku, “Rajiva, aku bukan milik tempat ini.”
“Aku tahu.”
Dia tiba-tiba berdiri dan meluruskan punggungnya. Dadanya mengembang dan mengempis. Dia benar-benar tinggi. Leherku sakit saat mendongak ke arahnya. Atau mungkin bukan dia yang terlalu tinggi, tetapi kepalaku lah yang menjadi semakin berat, seakan dibabani oleh bebatuan, perlahan-lahan terjatuh….
“Kita akan pergi besok.”
Aku berusaha menengadah lagi, hanya untuk melihat jubah kasaya coklat bergerak cepat menuju penginapan, dan dalam sekejap, lenyap di suatu sudut.
Malam itu, saat menatap keluar lewat jendela, di bawah cahaya pucat rembulan, aku melihat sebuah sosok sendirian berdiri di sisi sungai. Sehembus angin bertiup dan mengacaukan jubah tipisnya, membuat sosok itu terlihat semakin kesepian. Aku menatap sosok itu dalam waktu lama seakan terhipnotis, sampai-sampai kalaianku menjadi dingin saat disentuh. Aku menyeka air mata yang telah menitik di mataku dan memelesat keluar dari kamarku. Malam itu begitu sunyi, hanya terdengar gemericik air yang bergelombang. Tak ada lagi orang di sisi sungai itu. Aku kembali ke ranjangku tapi tak tertidur. Alih-alih, mataku menatap malam perlahan menyerah kepada fajar lalu kepada pagi.
Dalam perjalanan pulang, kami berdua sama-sama terdiam di dalam kereta. Ada lingkaran gelap di sekitar matanya. Dan aku? Menurut cermin perunggu, tidak lebih baik dari itu. Dia sedang menatap ke luar, dan aku juga melakukan hal yang sama. Kami sama-sama orang dewasa. Kami tahu apa yang tidak boleh, takkan pernah boleh, jadi kenapa repot-repot mempertahankannya tanpa guna?
Aku akan kembali ke abad ke-21, kembali pada kehidupanku sendiri, dan siapa tahu, mungkin aku akan menemukan seseorang untuk kucintai. Ada seorang kakak kelas di programku yang sekali waktu telah menyatakan perasaannya padaku. Mungkin aku seharusnya mempertimbangkan perkembangan lebih jauh dengannya. Bahkan bila dia tidak setampan, tidak secerdas, tidak selembut, tidak se… aku tahu, aku tahu kalau kakak kelas itu tak bisa dibandingkan dengan Rajiva, tetapi setidaknya dia adalah manusia nyata, sementara Rajiva bagiku hanyalah data historis untuk dikumpulkan, hanya beberapa baris dalam setumpuk buku kumal….
Kami tetap diam selama sisa perjalanan kembali ke Kuil Subashi. Sebelum kembali ke kuil, Rajiva menatapku selama sesaat sebelum mendesah panjang.
“Aku akan mengaturkan sekelompok pedagang untukmu. Beberapa hari ke depan, aku akan harus duduk berdiam dan takkan bisa lagi kembali kemari di sore hari.”
Lama kemudian, dia masih terpancang di tempat, berdiri di ambang pintu, tak bisa melangkahkan kaki ke luar.
“Festival Su Mu Zhe akan berlangsung sepuluh hari kemudian. Kamu dulu pernah berkata kalau ingin melihat festival ini. Jadi mungkin….” Selama sesaat dia ragu-ragu, “Mungkin menunggu sampai setelah festival….”
Aku menengadah dan mendapati diriku tersesat dalam kedalaman di matanya, tak mampu melepaskan diri. Mulutku yang biasanya pintar menjadi sekaku papan, lidahku sekering pasir, dan aku hanya punya cukup kekuatan untuk mengeluarkan satu suara: “Baiklah.”
Sudut mulutnya melengkung naik tanpa sadar. Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya aku melihat dia tersenyum. Tetapi untuk memperjelas saja, aku tidak tinggal karenamu, Rajiva. Sejujurnya aku memang ingin mengamati festival yang ada di tradisi Timur. Aku adalah seorang siswa yang rajin, seorang peneliti pekerja keras, bukan seorang… kekasih ideal.