Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 22
Sejak sore itu, Rajiva tak pernah kembali sekali pun. Kupikir aku takkan keberatan dengan hal itu, tapi begitu jam menunjukkan pukul lima siang, aku mendapati diriku duduk diam di dalam kamar, mataku menatap gerbang hingga lampu-lampu dipadamkan dan Kota Subashi tenggelam dalam kegelapan. Setiap hari, aku akan berjalan-jalan ke sekitar kota dengan buku sketsa di tangan, terus dan terus, dan tanpa sadat kakiku akan selalu membawaku ke Biara Cakuri pada satu atau lain waktu. Aku akan berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk dalam waktu lama hingga rahib kecil yang menjaga gerbang mulai bertanya kepadaku, pada saat itu lah aku akan ‘bangun’, menundukkan kepalaku, dan bergegas kabur. Ada suatu kesedihan yang tak tergambarkan memberati hatiku, seolah ada jutaan tangan mencengkeram dan meremas jantungku. Aku berusaha fokus dalam membuat sketsa kota, namun wajahnya terus muncul lagi dan lagi di halaman-halaman itu, satu potret demi satu potret, hanya untuk dihapus sesaat kemudian.
Tinggal dua hari sampai Festival Su Mu Zhe tiba, tapi Rajiva masih belum juga muncul. Begitu festivalnya usai, aku akan harus meninggalkan Kucha. Sebelum aku pergi, apakah aku akan bisa melihat dia untuk yang terakhir kalinya? Meski aku tahu bahwa tidak bertemu lagi adalah yang terbaik, agar aku bisa melupakan semuanya….
Malam itu, aku meringkuk di ranjang, mataku masih menatap gerbang, pikiranku berkelana jauh. Rak buku yang dulu pernah membuatku takjub berada tepat di hadapanku, tetapi kini tak mampu menarik perhatianku. Sudah pukul 10, yang bila di abad ke-21 hanyalah permualan dari kehidupan malam, tapi di masa ini, pukul sepuluh begitu sunyi senyap. Aku mendesah panjang. Satu malam lagi telah lewat.
Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan, suara yang begitu pelan namun masih bisa kudengar. Selanjutnya terdengar suara seseorang berbicara dengan Masavu di halaman. Mereka bicara dalam bahasa Sansekerta. Pasti dia!
Jantungku berdegup kencang. Aku duduk, melompat turun dari ranjang, dan pergi ke luar kamar. Aku mendapati Rajiva sedang bicara dengan Masavu di halaman, namun dalam kegelapan, aku tak mampu memastikan ekspresinya. Rasa khawatir menggerogotiku. Kalau ini bukan sesuatu yang penting, dia takkan datang kemari selarut ini. Sesuatu pasti telah terjadi.
Aku menangkap ekspresi sedih di wajah Masavu saat dia kembali ke kamarnya. Rajiva perlahan berjalan ke arahku. Setiap langkah yang diambilnya seakan membutuhkan kemauan yang begitu besar.
“Malam selarut ini, Rajiva seharusnya tidak datang…,” suaranya bergetar, “tetapi, batinku terlalu penuh dengan pemikiran, aku berjalan-jalan ke luar, dan entah mengapa kakiku membawaku ke tempat ini. Rajiva sudah berdiri di luar gerbang dalam waktu lama sebelum memutuskan untuk mengetuk.”
Dia menatapku. Cahaya lemah dari lampu minyak di dalam rumah menyinari wajahnya, seraut wajah yang begitu kusut oleh kesedihan. Sebenarnya apa yang telah terjadi hingga membuat Rajiva yang biasanya tenang dan teratur menjadi seperti ini?
Dia berdiri terpancang di tempat, sebuah sorot tak berdaya melintas di wajahnya. Memakai suaraku yang paling lembut, aku berkata padanya, “Rajiva, ayo kita berjalan-jalan di luar.”
Dia menatapku dengan terkejut, lalu dengan rasa terima kasih, sebelum memiringkan dagunya ke bawah dan berkata pelan, “Kamu harus memakai mantel. Di luar dingin.”
Kota Subashi pada jam-jam ini merupakan gambaran dari kesunyian. Lampu-lampu jalanan telah dipadamkan, tetapi cahaya dari rembulan di atas cukup untuk membimbing kaki kami melangkah maju. Selama sesaat, kami berjalan dalam kesunyian. Ini adalah kali pertama aku berada di luar bersamanya dalam waktu selarut ini. Rajiva pasti juga merasa sedikit canggung.
Subashi adalah sebuah kota kecil yang memegang peranan lebih penting dalam hal keagamaan ketimbang militer, yang menjadi sebab tak adanya tembok-tembok seperti yang ada di benteng-benteng lain. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk keluar dari kota dan sampai ke Sungai Tongchang. Karena sekarang adalah musim panas, airnya mengalir deras melewati bebatuan, sebuah suara jernih di tengah malam yang sunyi.
Kami menemukan sebongkah batu besar di tepi sungai. Au mendudukinya dan menaikkan lututku, menatapnya dalam diam. Rembulan menyinarkan kilauannya pada Rajiva, membentuk sebuah halo cahaya kecil di kepalanya.
“Guru Hinayanaku dari Kabul belakangan ini ada di sini.”
“Guru Bandhudatta?”
Ada cerita-cerita tentang Rajiva yang berusaha mengalahkan guru Hinayananya, Bandhudatta, dengan doktrin Mahayana.
“Bagaimana kau tahu nama guruku?”
Pertanyaan itu mengejutkanku. “Aku….” Tentu saja itu karena aku telah membaca kisah-kisah tentangmu!
“Ah, itu benar, aku dulu pernah mengatakannya kepadamu. Ternyata kau masih mengingatnya sepuluh tahun kemudian.”
Rajiva pernah mengatakannya padaku saat dia masih remaja? Kok aku tidak ingat?
Merasa malu, aku segera mengubah topiknya: “Kau mendiskusikan ajaran Mahayana dengannya?”
Dia mengangguk.
“Beberapa hari terakhir ini, Rajiva telah melibatkan Guru dengan diskusi panjang lebar tentang doktrim Mahayana, menekankan pada nilai-nilai baiknya, yang mulai dikenali oleh Guru. Guru bahkan meminta kepada Rajiva agar menjadi guru Mahayananya, mengakui pencapaianku, tapi bagaimanapun juga, dia tetap adalah guru Hinayanaku.”
Aku mengangguk setuju. Dalam dunia Buddhisme, begitu seseorang mendirikan sebuah doktrin baru, sebuah aliran pemikiran yang baru, dan ingin diterima, maka pertama-tama dia harus memenangkan guru yang pertama kali membawanya pada jalan Kebuddhaan dalam debat. Rajiva juga bukan pengecualian dalam praktek ini. Ini berarti dia harus keluar sebagai pemenang dalam debatnya dengan gurunya sendiri. Meski setelah debat, Bandhudatta telah berkata kalau dia akan mempertimbangkan Rajiva sebagai gurunya secara formalitas, sang guru tetap tak berniat mengubah doktrinnya sendiri; dengan kata lain, Bandhudatta tak au melepaskan gelarnya sebagai ‘Guru Hinayana’ dari Rajiva. Apakah ini yang menjadi alasan bagi sikap frustrasi dan kesedihan Rajiva malam ini?
“Rajiva, semua orang memiliki ideologi mereka sendiri. Kau berhasil mendapatkan pengakuan dari sang guru atas filosofimu itu sudah merupakan sebuah pencapaian yang hebat. Kecuali kau ingin sang guru mengabaikan aliran Hinayana secara keseluruhan?”
Dia menatapu dengan terkejut. “Rajiva tak berani menjadi begitu arogan!”
“Kalau begitu kenapa kau sedih?”
Rajiva terdiam, matanya terpaku pada sungai, larut dalam pikirannya sendiri dalam waktu lama.
“Ibuku…,” dia menggigit bibir tipisnya, seolah ingin membuat bibir itu berdarah, “hari ini, Guru Bandhudatta mengatakan padaku bahwa tiga bulan yang lalu, di Tian Zhu (India), ibuku… dipastikan telah mencapai buah ketiga.”
Aku tak mengerti. “Apa artinya dipastikan mencapai buah ketiga? Apa itu merupakan hal yang mengerikan?”
“Buah ketiga, juga dikenal sebagai anāgāmi, adalah tingkatan ketiga dari empat tingkatan yang ingin dicapai oleh praktisi Buddhis Hinayana.”
Melihat tampangku yang kebingungan, dia menjelaskan lebih lanjut, “Anāgāmi bisa diterjemahkan sebagai ‘yang tidak kembali’. Itu berarti bila telah mencapai tahapan ini, orang takkan kembali ke dunia manusia, dan akan terlahir ke alam kemurnian (Sudhavassa), di mana mereka akan meneruskan meditasi untuk melepaskan lima belenggu yang tersisa, agar bisa benar-benar terbebas dari siklus kelahiran dan kematian (samsara) dan takkan pernah dilahirkan kembali.”
Rajiva tersedak dan menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sendiri, namun suaranya terus bergetar, “Ibuku telah mencapai buah dari jalannya, telah membebaskan dirinya dari penderitaan dan rasa sakit dan memasuki alam tanpa bentuk….”
Akhirnya aku mengerti. Dia telah bicara begitu panjang lebar hanya untuk mengatakan padaku bahwa Jiva, ibunya, telah meninggal di India.
Catatan sejarah menuliskan bahwa Jiva meninggalkan Kucha menuju India sendirian. Tak ada yang tertulis tentang dia setelah itu. Ternyata dia meninggal di India. Dan kabar ini baru saja diterima oleh Rajiva dari gurunya, Bandhudatta.
Aku menatap Rajiva yang masih syok. Tak heran kalau dia jadi dipenuhi oleh kedukaan. Pengaruh Jiva dalam kehidupannya lebih besar daripada yang lainnya. Jiva adalah orang yang mengenalkannya kepada Buddhisme, yang membawanya ke Kabul untuk belajar dan melepaskan diri dari kehidupan mewah namun hampa para bangsawan Kucha, yang menyemangatinya untuk mengikuti doktrin Mahayana. Kehidupan Rajiva sebelum berusia dua puluh tahun merupakan hasil kerja sang ibu. Mungkin bagi Kumarayana, Jiva bukanlah istri teladan, tetapi bagi Rajiva, dia adalah seorang ibu yang hebat, penemu dan pembimbing jalan hidupnya.
“Rajiva, kalau kau begitu sedih, maka kau seharusnya –“
“Tidak!” dia tiba-tiba meninggikan suara, napasnya memburu, “Rajiva tidak sedih. Ibunda telah meraih buah ketiga. Harapannya agar terbebaskan telah tercapai. Dia telah meraih alam tanpa bentuk, tak lagi dilekati oleh penderitaan dan rasa sakit. Bagaimana aku bisa sedih? Tidak seharusnya aku sedih!”
Rajiva jelas-jelas dibanjiri oleh emosi, napasnya pendek-pendek dan cepat. Kata-kata itu adalah kebohongan, kan, Rajiva?
“Rajiva,” dengan lembut aku menepuk-nepuk tangannya, “dalam situasi semacam ini, adalah normal bila kau merasa sedih, karena kau memiliki rasa cinta, karena kau mencintai ibumu. Jadi kenapa kau harus menekan perasaanmu seperti itu?”
“Cinta?” Rajiva menggumamkan kata itu seakan beratnya ribuan ton, membuatnya tak mampu membentuk suara secara utuh, dan yang keluar adalah napas yang bergetar. “Sang Buddha berkata, ‘semua hal adalah kosong dalam keberadaan dan sifat dasarnya.’ Rajiva adalah murid Sang Buddha, bagaimana bisa aku mencintai?”
“Doktrin Buddha mengatakan pada kita bahwa hidup adalah penderitaan (dukkha): lahir, tua, sakit, mati, putus asa, perpisahan, ketidakpuasan, dan sebagainya. Asal mula dari penderitaan ini adalah kemelekatan, atau cinta. Untuk mencapai Nirvana, orang harus ‘melenyapkan’ cinta, agar terbebas dari siklus hidup dan mati, dari penderitaan dan kesedihan. Tetapi pikirkanlah hal ini: Apakah Sang Buddha benar-benar tak memiliki cinta? Beliau mempunyai seorang istri dan putra, apakah Beliau tak memedulikan mereka sama sekali? Beliau mengatakan kepada kita bahwa cinta adalah penderitaan, bukankah itu karena Beliau sendiri telah mengalami kesedihan yang dibawa oleh cinta? Dan bila seseorang bisa benar-benar melenyapkan keinginan mereka, lalu kenapa Sang Buddha hanya bisa melakukannya pada saat Beliau meninggal? Nirvana, padam, musnah, lepas, tanpa keinginan, tanpa cinta, tanpa kehendak… semua istilah berbeda ini hanyalah persamaan dari kematian. Hanya kematian yang bisa memusnahkan keinginan. Karena Sang Buddha memahami ‘kebenaran’ ini, itulah sebabnya Beliau menggambarkan suatu alam tanpa wujud, atau yang disebut dengan surge, untuk mengkompensasi semua penderitaan yang harus dilalui oleh seorang praktisi ketika mereka memutuskan untuk memusnahkan semua keinginan dalam hidup ini? Tapi kenapa, kenapa orang harus –“
“Ai Qing!” Dia memotong perkataanku dengan keras, mulutnya bergetar, kepalanya ditangkup dalam tangan, jelas-jelas menderita. “Kumohon, jangan bicara lebih jauh lagi….”
Rajiva memalingkan kepalanya, tak membiarkanku menatap wajahnya. Bahunya gemetar di bawah sinar rembulan. Aku bisa mendengar napasnya yang tidak stabil. Aku bergerak untuk berdiri di hadapannya dan perlahan menariknya ke dalam pelukanku. Tubuhnya mengejang, dan meski dia tak mendorongku menjauh, napasnya seakan telah berhenti.
“Keluarkan saja air matamu. Kau adalah manusia, bukan dewa. Menangis karena orang yang dicintai itu bukan hal yang memalukan. Kalau kau merasa ingin menangis, maka lakukan saja. Setelahnya kau akan merasa lebih baik….”
Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Meski dia tinggi, tubuhnya terasa kurus dalam pelukanku, membuat hatiku mengejang dengan rasa duka. Seandainya saja aku bisa berubah menajdi Jiva untuk memberinya kenyamanan.
Setelah mengalami banyak konflik internal (kupikir begitu), Rajiva perlahan melingkarkan tangannya ke sekeliling tubuhku sebagai balasannya. Pergerakannya hati-hati dan ringan, seolah aku terbuat dari kertas dan akan remuk dalam dekapannya.
“Ai Qing!” Aku bisa merasakan gerakan naik dan turun yang tajam di dadanya, bisa merasakan lengannya mengeratkan pelukan.
“Ai Qing!” Dia terus memanggil-manggil namaku dalam nada lembut. Air mata panas mulai berjatuhan dan meresap ke bahuku, hanya untuk didinginkan oleh angin yang berhembus, sebelum siklus itu terulang kembali. Akhirnya Rajiva melepaskan dirinya dan menangis seperti orang biasa.
Dia menangis dalam waktu lama, seakan ini adalah kali pertama dia melakukannya. Air mata yang cukup untuk seumur hidup akhirnya mengalir keluar. Aku menangis bersamanya. Kami tetap berpelukan seperti itu, menangis dengan segenap tubuh kami, sampai bahkan langit dan bumi berubah menjadi sungai air mata….
Aku tak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga akhirnya kami berhasil menenangkan diri. Aku belum pernah menangis sebanyak ini sebelumnya. Kelelahan, aku bersandar padanya agar tidak roboh. Rajiva juga sudah berhenti menangis, tapi dia belum juga melepaskanku. Kehangatan tubuhnya membuat hatiku membara. Karena tak ingin keluar dari pelukannya, aku tak berani mengatakan sepatah kata pun, supaya tak mengacaukan suasananya.
Pada akhirnya, Rajiva melepaskanku. Rembulan telah menghilang, jadi aku tak bisa membaca sorot matanya, hanya mendengar suaranya yang berkata pelan, “Ibundaku tahu kalau harapanku adalah melakukan perjalanan ke Dataran Tengah untuk menyebarkan Buddhisme Mahayana, jadi sebelum meninggalkan Kucha, dia memberitahuku bahwa apakah ajaran Mahayana akan bisa menyebar ke Timur itu akan tergantung pada upayaku. Tetapi tanggungjawab ini tak memberiku keuntungan pribadi, jadi sebenarnya apa niatku?”
Aku masih terperangkap dalam emosi yang sebelumnya, jadi aku hanya bisa menatapnya tanpa suara.
Dia terdiam sesaat sebelum meneruskan, “Jawabanku adalah bahwa Buddhisme Mahayana bertujuan memberi manfaat bagi semua makhluk dan bukannya untuk diri sendiri. Kalau Rajiva bisa menyebarkan doktrin Buddhis ini, membantu semua orang agar tahu dan membebaskan diri mereka sendiri, maka bahkan bila untuk itu aku harus melangkah ke dalam sepanci minyak panas, Rajiva tetap takkan tergoyahkan!”
Ketika Jiva masih ada, Rajiva adalah anak muda berbakat yang begitu dilindungi dan diperhatikan. Mengesampingkan kecerdasannya, dia kurang lebih seperti bunga dalam rumah kaca yang tak pernah mengalami angin badai kehidupan. Setelah Jiva pergi (ke India), Rajiva harus mengandalkan kekuatan dan kemauannya sendiri untuk melanjutkan jalannya. Bisakah ambisi yang terbentuk di masa muda menahan semua kesulitan tersebut? Rajiva tak tahu kalau kekhawatiran Jiva akan menjadi kenyataan tak lama lagi. Harga yang harus dibayar oleh Rajiva demi menyebarkan Buddhisme di Dataran Tengah adalah kritikan dari generasi selanjutnya. Seandainya aku bisa, kuharap aku tahu seperti apa masa depannya.
“Rajiva, beski ibumu tak lagi berada di sisimu, dia akan terus hidup dalam hatimu. Kapanpun kau mendapatkan masalah (kelak), kau akan ingat dengan janjimu padanya dan mengatasi semua rintangan itu, benar kan?”
Rajiva mengangguk. Aku berusaha menemukan topik lain agar untuk sementara bisa menghindarkan pikirannya dari kesedihan.
“Rajiva, ceritakan padaku beberapa kisah masa kecilmu, yang belum pernah kudengar.”
Bilang kalau aku ingin mengubah topik sebenarnya hanya alasan, karena sejujurnya aku penasaran tentang masa kecilnya di luar catatan sejarah.
Kami pun duduk berdampingan, bahu menyentuh bahu, saat dia mengenang kembali kisah-kisah ini: tentang kasih ibunya yang kaku dan diam, cerita-cerita lucu tentang guru-guru dan kawan-kawan sesama muridnya, cerita tetnang perjalanannya ke berbagai kerajaan di Xi Yu. Setiap cerita begitu menarik perhatianku. Aku mendapati bahwa seseorang yang memiliki IQ 200 seperti Rajiva dulu pernah menjadi seorang anak yang yang digoda oleh teman-teman sesama muridnya, pernah dimarahi oleh ibunya karena tak mengingat pelajaran. Aku menyadari bahwa dia juga memiliki masa kecil yang relatif normal; sebelumnya, aku mengira kalau dia selalu menjadi orang yang sepintar dan sedewasa ini sejak kecil.
Untuk membuatnya merasa lebih baik, aku ganti menceritakan padanya cerita-ceritaku, tentang keluargaku, orangtuaku, teman sekelasku, bosku, tentang buku-buku yang pernah kubaca, tempat-tempat yang pernah kudatangi. Tentu saja aku harus mengubah cerita-cerita itu menjadi bahasa yang bisa dia pahami dan agar tidak mengungkap terlalu banyak tentang masa depan.
Nun jauh di sana, di atas jajaran Tian Shan, berkas-berkas cahaya merah padam mulai muncul di angkasa. malam berbintang telah lenyap tanpa kami sadari. Aku melihat jamku. Sudah hampir pukul empat pagi. Kami sudah duduk di sana semalaman.
Aku menoleh pada Rajiva, “Ayo kembali, sudah hampir waktunya untuk mantra apgimu.”
Rajiva kelihatan seperti baru saja terbangun dari mimpi. “Apa kita benar-benar sudah duduk di sini semalaman? Ai Qing, apa kau lelah?”
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak lelah, tapi tubuhku rasanya telah membeku. Mantel tipisku tak cukup untuk melindungiku dari udara dingin pagi buta.
Rajiva meraih tanganku. Tangannya juga tidak lebih hangat. Aku tersenyum, menatapnya menggosok-gosok tanganku untuk membuatnya jadi sedikit lebih hangat. Rajiva tiba-tiba menengadah dan saat melihatku tersenyum, dia pun menghentikan bantuannya dan malah meletakkan tanganku ke pipinya. Senyumku memudar, seakan gelombang tsunami akhirnya telah menakhlukkan pertahan terakhir di hatiku, pada akhirnya meruntuhkan tembok-temboknya….
Kami berdiri dalam kesunyian, saling menatap. Panas tubuhnya bertahan di tanganku. Telapak tanganku membelai pangkal rambut di wajahnya. Pada saat itu juga, seakan ada aliran listrik yang tiba-tiba melewatiku, emmbuat sekujur tubuhku bergetar. Akhirnya aku tersadar.
Aku mencintai Rajiva.
Itu benar, saat ini aku telah mencintainya selama beberapa lama, sejak aku berjumpa kembali dengannya. Ini bukan hal yang aneh. Seorang pria sekaliber dia, luar biasa cerdas dan berpenampilan halus, sulit untuk tidak jatuh hati padanya. Aku takkan lagi meragu, tak lagi menyangkal. Cinta adalah cinta, mana mungkin aku menyangkan emosi dasar manusia ini? Aku hanya manusia biasa, tak mampu memusnahkan keinginan, jadi takkan ada gunanya melawan dan membuat diriku sendiri menderita karenanya.
Sebelumnya, aku berperang melawan diriku sendiri dan menyangkal perasaan-perasaan ini, karena aku memandang cinta dengan sudut pandang rasional orang modern. Aku menginginkan cinta di mana perasaanku akan terbalaskan. Aku menggunakan penelitianku sebagai alasan, terus-menerus mengingatkan diriku sendiri bahwa pada akhirnya aku akan harus pulang, cemas kalau aku mencintai Rajiva, cinta itu akan menjadi cinta tanpa masa depan. Tapi, bagaimana kalau aku tak pulang? Bagaimana kalau aku ingin tetap berada di sisinya? Bagaimana kalau aku tak peduli dengan masa depan? Tak ada yang bilang kalau aku mencintainya, aku takkan bisa melanjutkan pekerjaanku. Aku hanya tahu kalau sekarang, aku mencintainya dan akan terus mencintainya dengan caraku sendiri. Aku juga tak harus membuatnya tahu tentang perasaanku. Aku juga bisa memilih untuk kembali ke abad ke-21 dengan ingatan bahwa aku pernah mencintainya.
Aku cuma mencintainya. Persetan dengan apa yang terjadi setelahnya. Kenapa aku harus benar-benar rasional dan memikirkan segalanya masak-masak dengan logika?
“Satu hari dari sekarang adalah Festival Su Mu Zhe. Kamu harus segera memulai perjalanan menuju Kucha,” sebuah suara lembut melintas di telingaku, “pergi dan kembalilah beristirahat. Aku sudah meminta Kaodura untuk membawamu kembali ke Kucha dan mengaturkan penginapan untukmu. Atau mungkin kamu seharusnya tinggal di kediaman Guru Negara? Lagipula, kamu pasti ingin bertemu Pusydeva lagi!”
Kaodura? Aku tercengang. Dia kan kusir pribadi Rajiva!
“Aku akan tinggal di penginapan. Takutnya aku akan membuat orang-orang di kediaman sang Guru Negara jadi ketakutan (gara-gara penampilanku yang tak berubah). Lalu untuk Pusydeva, aku akan berusaha melihatnya senelum meninggalkan Kucha.”
Setelah festivalnya usai, aku akan mencari cara untuk melihat Pusydeva. Sepuluh tahun yang lalu, dia adalah seorang bocah kecil yang sangat menyukaiku, tapi kini ketika dia sudah menjadi orang dewasa, dia memiliki kehidupannya sendiri, dan aku tak ingin mengganggunya. Aku hanya ingin melihatnya dari kejauhan. Itu saja sudah cukup.
Yang paling kuinginkan, sebenarnya, adalah….
“Kau… kau…,” aku ragu-ragu, “kau… apa kau akan ikut?”
Rajiva kelihatan kaget. Dia melepaskan tanganku.
“Guru masih ada di sini, dan lagipula –“
“Aku tahu, aturan Sila mengatakan agar kau menghindar dari melihat tarian dan musik.” Aku menekan kekecewaanku dan berusaha bicara dalam apa yang kuharap merupakan nada tenang, “Aku hanya bercanda. Kau… tak harus ikut….”
Dia tak mengatakan apapun sebagai balasannya. Jubah kasanya jadi berwarna marun karena langit menjelang fajar, lipat-lipatannya berkelepakan berkat hembusan angin sepoi. Dia berdiri di sana, tampak bagaikan patung Yunani yang indah berlatarbelakang fajar merah gelap.