Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 23
Aku melakukan perjalanan ke ibukota Kucha dengan menggunakan kereta kuda Rajiva. Jalanannya berbatu, membuat keretanya berayun ke kanan dan ke kiri, yang biasanya akan membuatku ketiduran. Tetapi kali ini, untuk suatu alasan yang aneh, aku terjaga sepenuhnya. Mungkin itu karena kau masih dipenuhi dengan perasaan pening yang sebelumnya. Aku menunduk menatap tanganku. Sejak kedua tangan ini menyentuh wajahnya, aku jadi enggan untuk mencucinya. Aku menjulurkannya ke depan dan menutup mataku, berusaha sebaik mungkin mengingat kembali bentuk wajahnya, seakan tanganku masih menjelajahinya. Aku masih ingat dengan kehangatan itu, wajahnya yang kurus dengan sedikit pangkal janggut di dagu dan kulit yang halus. Tak mampu menahannya lebih lama lagi, aku pun mulai cekikikan.
Aku terus tersenyum dan terkikik sampai aku tiba di ibukota pada siang harinya. Rajiva telah mengatur agar aku tinggal di sebuah penginapan yang bagus, yang mana aku merasa sangat berterima kasih, karena hampir semua penginapan di kota sudah penuh karena musim festival. Setelah makan dengan cepat, aku mulai mengantuk. Aku sudah terjaga cukup lama. Sebelumnya, aku terbiasa begadang di kamar belajar di sekolah pada musim-musim ujian. Karenanya aku menghabiskan sisa hari dengan tidur. Kuharap karena aku begitu kelelahan, aku takkan mendengkur dalam tidurku, dan bahkan bila aku melakukannya, suaranya takkan terlalu keras sampai membangunkan tetangga-tetanggaku.
Sumuzhe, juga dikenal sebagai festival memohon salju lebat, digelar setiap tahun pada bulan ketujuh kalender lunar. Orang-orang memohon untuk musim dingin dengan hujan salju yang lebat, sehingga Kucha akan memiliki air yang memadai untuk tanaman di musim semi. Festival ini nantinya akan diperkenalkan ke Dataran Tengah pada masa Dinasti Tang, di mana kemudian akan menjadi sensasi besar bagi orang-orang Han. Ada banyak puisi dan lagu yang akan dituliskan mengenai festival ini pada masa-masa itu, oleh para penyair seperti Li Bai, Du Fu, Bai Juyi, Li He, dan sebagainya. Pada masa Dinasti Song, Sumuzhe akan menjadi subyek utama dalam banyak puisi, yang paling terkenal adalah puisi ci oleh Fan Zhongyan (989-1052 M):
Pada nada Sumuzhe
‘Langit yang hijau dan berawan; dedaunan kuning menyelimuti tanah –
bahkan ada warna-warna musim gugur pada gelombang.
Di puncak gelombang, bergantung kabut hijau zamrud.
Pegunungan menangkap mentari terbenam; langit dan air menyatu.
Rerumputan harum tanpa hati,
namun bergerak menjauh, kini, di balik terbenamnya mentari.
Ada kerinduan akan rumah dan keinginan berkelana.
Setiap kali malam tiba,
Hanya mimpi indah dalam tidur ini.
Dengan rembulan yang benderang, di depan balkon, aku takkan sendiri!
Arak tertuang dalam perutku yang cemas,
Mengubah diri menjadi air mata sakit cinta.
Ketika dia melewati Kucha, Xuanzang juga bisa menyaksikan festival ini dan menuliskannya di Catatannya. Raja Kucha pada saat itu telah meminta sang rahib agung untuk berpartisipasi dalam festival. Ketika nyanyian dan tarian dimulai, sang raja mengundang Xuanzang untuk melepas jubah kasaya dan kaos kakinya lalu bergabung dalam memohon hawa dingin. Xuanzang bisa menonton nyanyian dan tarian, jadi kenapa Rajiva tidak? … Sudahlah, Xuanzang adalah pengunjung dari tempat yang jauh, dan seperti kata pepatah, ‘Di mana bumi dipijak….’
Aku mengenakan topeng yang kubeli di Kota Subashi dan mulai berjalan-jalan. Jalan utama penuh dengan orang, semua mengenakan topeng, saling memberi salam, entah itu orang asing atau tidak. Atmofer cerianya lumayan menaikkan suasana hatiku yang muram. Terbawa dalam kesenangan, aku pun bergabung dalam kerumunan sesaat kemudian, parade pun dimulai. Memimpin prosesi adalah sekelompok pemain genderang yang membunyikan jiegu (drum yang berbentuk seperti jam pasir) di atas kuda, memukulkan tangan-tangan mereka pada kulit genderang secara serentak, dan dengan itu memulai Festival Sumuzhe. Mengikuti di belakangnya adalah sekelompok pemusik yang membawa berbagai macam gendering, besar dan kecil, tangan memukul, tubuh berayun secara harmonis dengan para penabuh jiegu di depan. Berjarak tak jauh dari itu adalah sekelompok penari pria dan wanita yang mengenakan pakaian seremonial, megah dan bermartabat. Setiap penari meluruskan kain sutra panjang di kedua tangan mereka, ekspresinya tenang, saat mereka menari dalam langkah-langkah tradisional yang sederhana. Tarian mereka memiliki kesamaan dengan tarian Yangge (suatu tarian rakyat Tionghoa yang dikembangkan dari sebuah tarian yang dikenal pada Dinasti Song sebagai ‘Musik Desa’ (村田樂), sangat populer di Tiongkok bagian Utara) yang dilakukan para bibi Tionghoa pada saat tahun baru lunar.
Pada tahun 1903, dua orang berkebangsaan Jepang menemukan sebuah peti relik (śarīra) di reruntuhan Kota Subashi. Mereka pun membawa pulang peti itu ke Jepang dan menyimpannya. Butuh waktu hingga tahun 1957 bagi orang-orang Jepang untuk menyadari jejak-jejak lukisan di balik lapisan cat yang menutupinya. Mereka kemudian mengelupas catnya dan menampakkan gambar aslinya – pengambaran tarian Sumuzhe yang begitu jelas hingga membuat orang-orang terkesima. Lukisan itu menggambarkan begitu banyak orang, masing-masing memegang alat musik khas Wilayah Barat, semua mengenakan topeng dan melakukan gerakan tari yang berbeda-beda. Peti itu masih ada di Jepang (di Museum Nasional Tokyo) sampai saat ini. Kami, para ahli sejarah Tiongkok, harus melakukan perjalanan begitu jauh ke sana dan membawa pulang foto-fotonya untuk dipelajari.
Kini, festival yang sama yang dulu pernah disebut sebagai Festival Besar dari Barat sedang berlangsung tepat di depan mataku. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kesukacitaan yang kurasakan.Festival Sumuzhe berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Nanti saat aku pulang, kalau aku bisa membantu menyusun kembali festival ini, sebuah festival yang sangat penting bagi warisan budaya kami, maka studi mengenai tari dan musik rakyat akan berkembang lebih besar lagi. Prestasi seperti ini pasti akan mendatangkan banyak rasa iri dari para kolegaku. Pikiran semacam itu berhasil membawa sebuah cengiran lebar di wajahku.
Sekarang sudah lewat tengah hari. Paradenya berlanjut dengan menyusuri jalanan. Di pinggir jalan, beragam lapak penjual makanan sudah mulai didirikan. Aroma domba panggang membuatku berliur. Kulepaskan topengku dan mendatangi sebuah lapak kecil, hendak membeli tiga buah sate. Ah, sate-sate di masa ini besar sekali, tiap potong dagingnya seukuran telur ayam! Saat aku melakukan perjalanan ke Xinjiang di abad ke-21, aku menyadari kalau ukuran satenya semakin lama semakin kecil dari bagian selatan Xinjiang ke utara Xinjiang, dari Xinjiang ke dataran tengah dan kemudian ke arah pantai. Di bagian selatan Xinjiang (yang termasuk di dalamnya ada Kashgar, Hotan, Kuqa, dll), ukuran daging dombanya tak berubah setelah 1.650 tahun berlalu, masih sebesar telur ayam dan biasanya dihargai kira-kira dua yuan per tusuk. Lapak-lapak makanan di depan universitasku, bagaimanapun juga, menjual sate domba terkecil yang pernah kulihat, satu yuan per tusuk, tapi kami para anak perempuan harus memakan sekitar dua puluh tusuk sate sebelum bisa merasa agak kenyang.
Menarik pikiranku kembali dari masa modern ke festival kuno di hadapanku, aku terus menonton orang-orang yang lewat sambil memakan sateku. Makan makanan enak sambil memandangi pria-pria tampan adalah hal terbaik, tapi aku sulit mengetahuinya karena semua orang di sini memakai topeng. Tiba-tiba, tepat saat aku akan menggigit lagi, sesuatu menarik perhatianku, membuat mulutku menganga lebar, makananku terlupakan.
Seseorang sedang memisahkan diri dari kerumunan dan mendekatiku – sebuah sosok tinggi yang mengenakan pakaian tipikal kaum bangsawan Kucha: jubah kuning berkibar yang diikat di bagian pinggang. Pada pandangan pertama pakaian itu serupa dengan yang dikenakan oleh para ksatria Eropa pada abad pertengahan. Asalkan orang yang mengenakannya memiliki bangun tubuh yang bagus, pakaian itu akan membuatnya tampak semakin perkasa. Pria yang berjalan ke arahku memiliki tubuh semacam itu, sangat tinggi, setiap langkahnya penuh percaya diri, membuatnya tampak mencolok di tengah-tengah kerumunan.
Meski aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa wajahnya pasti juga cukup tampan. Kenapa dia menghampiriku? Kenapa posturnya tampak begitu akrab? Dia sedang mengenakan topeng yang tampak menyeramkan, dan saat dia semakin dekat, aku bisa melihat kekagetan dan pengenalan di matanya. Aku memicingkan mata kepadanya, berusaha sebaik mungkin untuk menebak. Mata abu-abu muda itu kelihatannya sangat familier. Jantungku berusaha melompat keluar dari rusuk. Apa itu dia? Tapi… tapi… dia sudah bilang pdaku kalau dia tak bisa datang….
“Ai Qing, apa itu kamu?” dia berkata dengan suara bergetar.
Tentu saja ini aku.”
Aku memegangi topeng di pergelangan tanganku dan menyadari dengan rasa horor kalau tanganku yang satunya lagi sedang sibuk memegang tiga tusuk sate raksasa. Habislah aku! Mulutku masih mengunyah keras-keras, wajahku berminyak, dan sedang menatapnya dengan ekspresi kaget yang tampak idiot. Aku pasti jadi pemandangan yang menggelikan, dan semua ini malah tertangkap oleh matanya!
Aku mengkeret karena malu, tapi tiba-tiba ditarik ke dalam dekapan yang hangat. Jantungku berdebar gila-gilaan, pikiranku kacau-balau. Kenapa… kenapa dia….
Meski tanganku masih memegangi sate, sisa anggota tubuhku yang lain jadi mati rasa dan kaku, membiarkan pria tinggi ini mengangkatku dan memutarku beberapa kali.
“Ai Qing, akhirnya kamu sudah kembali!”
Sepusing yang bisa kurasakan, akhirnya aku menyadari kalau meski suaranya mirip, yang ini bukan dia! Dia tidak seberotot ini, takkan tertawa seriang ini, apalagi melakukan hal yang begitu mustahil seperti mengangkatku untuk diputar beberapa kali dengan begitu terbuka.
Orang itu akhirnya mengembalikanku ke tanah dan melepaskan topengnya dengan satu angan. Hidung tinggi, mata besar dan cerah, alis tebal yang panjang, mata abu-abu muda; betapa miripnya! Bahkan tinggi dan bentuk tubuhnya persis seperti dia! Tetapi wajah pria ini tak sekurus wajahnya, kulitnya tak secoklat-madu dia, dan lengkungan bibirnya tak pernah senakal ini. Rasa kecewa membanjiriku selama sedetik, hanya untuk digantikan oleh gelombang kegembiraan yang baru.
“Pusydeva!”
Selarang giliranku untuk balas memeluknya, tapi kenapa dia begitu tinggi ah!
Saat aku melepaskan dia , kulihat wajahnya telah berubah jadi bersungut-sungut: “Ai Qing, minyak di wajahmu sekarang jadi mengotori bajuku!”
Rasa malu apapun yang sebelumnya telah kurasakan karena memeluk pria setinggi itu lenyap seketika gara-gara kalimat barusan. Bocah ini masih belum berubah sedikitpun!
“Jadi, kelak kau harus mentraktirku makan!” Sebelum aku bisa bereaksi, dia sudah menyambar sate di tanganku, mengembalikannya ke lapak makanan, lalu menarikku pergi, tak memberiku kesempatan sedikit pun untuk meneriakkan betapa mubazirnya itu! Berandalan ini!
(Beberapa saat kemudian)
Aku menatap makanan-makanan mewah yang terhampar di maja di hadapanku. Sudah berapa lama sejak kali tereakhir aku memakan Dataran Tengah? Kapan terakhir kalinya aku melihat nasi putih? Pada masa ini, beras hanya bisa diperoleh lewat pada pedagang dari Dataran Tengah, jadi memakan nasi putih di Xi Yu seperti ini merupakan suatu kemewahan yang hanya bisa didapatkan oleh sangat sedikit orang. Lihatlah perabot di sini, kursi-kursi dengan sandaran! Memenuhi mulutku dengan nasi putih, aku menggumam sendiri: dasar boros!
Duduk di seberangku, Pusydeva nyaris tak menyentuh makanannya dan malah menatapku sambil tersenyum-senyum sepanjang waktu. Terkesima, aku pun melanjutkan mengisi mulutku tanpa membalas tatapannya. Seorang gadis Han membawa masuk lebih banyak makanan lagi, yang dia terima sambil mengucapkan terima kasih dengan memasang senyum menggoda yang sama itu, membuat wajah di gadis memerah. Gadis malang itu begitu gugup ketika pergi, hingga tanpa sengaja menabrak pintu.
Aku mendesah, “Pusydeva, apa kau sadar kalau senyummu itu sanggup membuat semua gadis mati bergelimpangan?”
“Oh?” dia menaikkan aisnya dan mencondongkan tubuh ke depan, “bagaimana dengan kamu, Ai Qing?”
Berandalan ini malah berani bicara padaku seperti itu!
Kutatap wajah tampannya yang berbinar-binar dan menelan ludah, “Tolong jangan. Aku ini sudah tua, biarkan aku hidup beberapa tahun lebih lama!”
Dia meledak tertawa, suaranya benar-benar berbeda dengan Rajiva. Tawa Pusydeva keras tanpa ditahan-tahan. Tawa Rajiva, selain langka, juga ringan dan jernih.
Dia tiba-tiba berhenti tertawa dan bicara dalam nada yang serius, “Ai Qing, kamu adalah bidadari, mana bisa kau menua!”
Kubuka mulutku tapi tak satu pun kata yang keluar. Bagaimanapun juga, akulah yang mengatakan hal itu padanya dan juga dia lah yang menyaksikanku menghilang. Andai saja aku tahu kalau suatu hari aku akan kembali, aku takkan menanamkan penjelasan konyol itu ke dalam pikirannya yang muda dan polos. Sekarang, pikiran yang sudah kukacaukan selama sepuluh tahun, apa aku bisa meluruskannya kembali?
“Ai Qing, sejak kapan kamu kembali?”
“Aku….” Aku tergagap, benakku jungkir balik.
“Kemarin,” akhirnya aku menetapkan. Aku tak ingin dia tahu kalau aku sudah berada di sini selama tiga bulan, bahwa aku sudah bersama Rajiva sepanjang waktu itu. Rajiva… aku ingin mencintai dan melindunginya dengan caraku sendiri….
Setelah itu, Pusydeva bertanya di mana aku tinggal saat ini, jadi kukatakan padanya nama penginapanku. Melihat kalau aku terus saja makan, dia kelihatannya jadi tidak sabar, “Sampai kapan kau ingin makan?”
Hal itu mengejutkanku, “Kenapa, apa kau sibuk?”
“Tentu saja,” dia berkata dengan nada muram,”aku harus membantumu berkemas.”
“Ke mana?”
“Ke mana lagi selain kediaman Guru Negara!”
Pusydeva mengikutiku kembali ke penginapan. Sementara berkemas, secara tak sengaja dia melihat bra-ku. Dia bahkan memungut benda itu dan bertanya padaku apa ini dengan tampang penasaran, membuatku jadi luar bisa malu. Setelah aku selesai, tanpa berkata-kata, dia pun menyampirkan ransel Northface-ku ke pundaknya, melemparkan seuntai uang kepada pemilik penginapan, dan mengibaskan tangan, “Simpan saja kembaliannya!”
Pemboros ini! Aku tak sanggup bicara lagi!
Saat kami hampir tiba di kediaman Guru Negara, merasa gelisah, aku pun menarik tangannya, “Hei, bagaimana kau akan menjelaskan penampilanku kepada yang lain? Aku masih persis sama dengan sepuluh tahun yang lalu.”
Dia terdiam sebentar, berpikir, kemudian berkata, “Aku akan bilang pada mereka kalau kau adalah keponakan Ai Qing, namamu Xiao Ai Qing (Ai Qing Kecil)!”
Aku terpana. Mereka memang adalah kakak beradik. Bahkan jalan pikiran mereka juga sama!
“Tapi aku takkan menutupi ini dari ayahandaku,” wajahnya berubah serius, “aku takkan pernah bisa menutupi apapun darinya.”
Kumarayana, pria terpelajar yang elegan itu, mungkin akan bisa menerima keanehanku.
(Setelah masuk ke kediaman)
Kutatap sekelilingku. Perabot di kamarku yang lama belum berubah sejak sepuluh tahun yang lalu. Bahkan dinding di belakang bagian kepala ranjangku juga masih sama, masih memiliki halaman-halaman aksara Han yang pernah kusuruh Pusydeva untuk menuliskannya. Waktu itu, dia bersikeras untuk menggantungkannya di sana, aku menuruti dan menggantungkan setiap halaman yang sudah dia selesaikan. Karakter-karakter cakar ayam yang dulu pernah membuatku marah hanya dengan melihatnya itu kini terasa penuh kenangan.
“Seorang pelayan kemari setiap hari untuk membersihkan kamar ini, menunggumu kembali,” sebuah suara lembut melintas di telingaku, sedikit membuat gatal namun membuat hatiku penuh dengan kehangatan.
“Ayo, aku akan tunjukkan sesuatu padamu.” Sebelum aku bisa pulih dari keterkejutan, dia sudah menarikku pergi. Bocah ini, masih tidak sabaran seperti dulu.
Dia menarikku ke kamarnya. Kamar itu sudah banyak berubah. Ada sejumlah pedang yang tergantung di dinding, dan dari penampilan sarungnya, aku tahu kalau pedang-pedang itu berkualitas tinggi. Kulirik rak buku terdekat dan menyadari bahwa sebagian besar dari buku itu adalah naskah-naskah Buddhis. Buku-buku berbahasa Tokharia semuanya tentang senjata dan strategi perang. Hanya ada beberapa yang berbahasa Han: ‘Seni Berperang’, ‘Han Feizi’, ‘Strategi-Strategi Negara Berperang’, dan sebagainya.
Aku sedang emlihat ke sekeliling kamarnya saat menyadari bahwa Pusydeva dengan hati-hai menarik sesuatu dari dalam lacinya, sepertinya itu adalah bingkai gambar, dan dengan lembut membuka kain yang membungkusnya. Aku membuka mulutku karena syok. Itu adalah gambar Doraemon yang dulu kuberikan kepadanya sebagai hadiah tahun baru! Dan ternyata selama ini dia menyimpannya seperti harta karun!
Tersentuh, aku menatapnya dan memanggil, “Pusydeva….”
“Jangan menangis dulu, aku masih menyimpan yang lainnya.” Dia lalu menarik sebuah buku dari bawah bantalnya dan meletakkannya ke tanganku. Itu adalah ‘Puisi Klasik’ (Shijing). Seluruh tepian bukunya sudah usang, yang menunjukkan bahwa si pemilik pasti sering membolak-baliknya.
“Kamu bisa memilih halaman manapun untuk mengujiku.”
Aku tak membuka bukunya. Setelah berpikir sesaat, kemudian kutanya padanya, “Bisakah kau membacakan ‘Ji Gu’ dari Guo feng – Bei feng?”
(T/N: ‘Puisi Klasik’ tersusun ke dalam empat bagian: Guo feng (‘Pelajaran Negara’), Xiao ya (‘Himne Pemerintahan Rendah’ atau ‘syair Minor Kerajaan’), Da ya (Himne Pemerintahan Utama’ atau ‘Syair Utama Kerajaan’), dan Song (‘Eulogi’, yang terpecah lagi menjadi Eulogi Zhou, Eulogi Lu, dan Eulogi Shang). Guo Feng terdiri dari 160 puisi yang tersusun ke dalam 15 syair, saah satunya adalah Bei feng (‘Syair Bei). Jig u (‘Memukul genderang’) adalah salah satu daru 19 puisi pada Bei feng.
‘Dengarlah gemuruh genderang kami!
Lihatlah bagaimana kami melompat, memakai senjata kami!
Mereka yang bekerja di Negara, atau memperkuat Cao.
Sementara kami sendiri berbaris ke selatan.
Kami mengikuti Sun Zizhong,
Kedamaian telah dibuat dengan Chen dan Song;
(Namun) dia tak memimpin kami pulang,
Dan hati kami yang berduka begitu sedih.
Di sini kami tinggal, di sini kami berhenti;
Di sini kami kehilangan kuda-kuda;
Dan kami mencari mereka,
Di antara pepohonan dalam hutan.
Hidup atau mati, bagaimanapun terpisah,
Kepada para istri kami bersumpah.
Kami menggenggam tangan mereka; –
Kami akan menua bersama mereka.
Oh atas perpisahan kita!
Kami tak punya kemungkinan hidup.
Oh atas ketetapan kita!
Kami tak bisa menjadikannya bagus.’
Puisi ini adalah puisi kesukaanku dalam Puisi Klasik. Dulu, aku mengajarkan ini kepada Pusydeva dengan memakai Bahasa Tokharia, tak seperti ketika aku mengajari Rajiva dengan menggunakan Bahasa Han. Sekarang, mendengarkan Pusydeva berbicara Bahasa Han dengan pelafalan yang agak meleset, aku merasa ingin tertawa, tapi untuk suatu alasan tertentu hidungku terasa menyengat, seakan air mata sudah akan menetes.
“Apa kamu ingat, kamu pernah bilang kalau aku bisa menghapal Puisi Klasik, maka kamu akan kembali?”
Aku mengangguk. Aku tidak serius saat dulu mengucapkan perkataan tersebut, tapi Pusydeva telah memercayainya sepenuh hati.
“Pada tahun pertama, aku sudah menghapal seluruh buku, tapi kamu tak kembali. Kupikir mungkin ini karena pelantunanku jelek, jadi pada tahun kedua, aku melantunkannya lagi, tapi tetap tak ada tanda-tanda darimu. Setia tahun pada hari kesepuluh bulan pertama (kalender lunar, hari ulang tahun Ai Qing), aku akan datang ke kamarmu dan membacakan seluruh isi bukunya. Aku sudah melakukannya sepuluh kali dan akhirnya kami ada di sini….”
“Pusydeva….”
“Itu adalah cerita yang mengharukan, kan?”
Aku mengangguk. Aku tak sanggup menahan air mataku lebih lama lagi!
“Kalau begitu, beri aku pelukan!”
Si Serigala Besar yang Jahat hendak menerkan si Tudung Merah, namun sebelum dia berhasil melakukannya, dia malah menerima sebuah tinjuan di kepala. Aku menelan kembali air mata yang tadi sudah nyaris tertumpah.
Belakangan pada hari itu, aku pergi untuk memberi salam kepada Kumarayana. Dalam kurun sepuluh tahun, ekdua putranya sudah tumbuh dewasa menjadi pria-pria muda di masa keemasan mereka, namun bagi dia, sepuluh tahun terakhir ini bagai sebuah pisau tak terlihat yang mengukirkan garis-garis kasar di sekujur tubuhnya. Wajahnya yang memang sudah kurus kini terlihat cekung dengan tulang menonjol. Rambutnya memutih sepenuhnya. Usianya baru sekitar lima puluh tahun, tetapi dia kelihatan sangat lemah, sesekali terbatuk-batuk. Namun sepasang mata abu-abu muda yang dalam itu masih sarat dengan kebijaksanaan dan pengalaman, seakan mampu menembus ke dalam juwamu. Aku bergidik atas pemandangan itu; mata Rajiva mirip dengan ayahnya.
Sikap Pusydeva yang biasanya bebas dan suka bercanda sudah lenyap. Dia amat sangat penuh hormat di hdapan ayahnya, berbicara dengan pria itu dalam Bahasa Sansekerta dalam waktu lama. Kumarayana terus melirikku dengan kaget, membuatku cemas. Tapi setelahnya, dia tak bertanya lagi tentang latar belakangku yang aneh. Dengan lembut dia mengatakan padaku kalau aku bisa tenang di sini di kediamannya, dan bahwa aku akan diperlakukan dengan hormat dan dihargai. Aku sudah menerka dengan benar. Seorang bijak seperti Kumarayana, meski dia tak tahu identitasku yang sebenarnya, dia tetap takkan menganggapku sebagai seorang penyihir yang harus dibakar hidup-hidup. Tidak heran kalau dia bisa memiliki sepasang anak laki-laki yang begitu menghormatinya!
Malam itu, aku tidur di kamar yang sama yang dulu pernah familier bagiku selama tiga bulan berturut-turut. Aku ingin tahu apa yang akan dipikirkan oleh Rajiva kalau dia tahu bahwa aku sudah kembali ke kediaman ayahandanya. Sedang apa dia sekarang? Apa dia merindukanku?