Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 24
Aku bangun dan mendapati ada bayangan di samping ranjangku. Jantungku melompat sampai ke tenggorokan karena kaget, tapi dengan cepat kekagetan itu berubah menjadi kemarahan. Berandalan itu! Menakutiku seperti ini saat dia masih kecil bisa kumaafkan, tapi sekarang dia adalah orang dewasa, jadi bagaimana bisa dia tak memahami “男女授受不亲”?! (=nánnǚ shòushòu bù qīn adalah sebuah frase dalam sebuah chapter dalam buku Mencius yang berjudul ‘Li Lou I’ . Artinya adalah ‘pria dan wanita tak diperbolehkan bersentuhan tangan saat memberi atau menerima apapun’ (terjemahan oleh James Legge). Seiring berjalannya waktu, hal tersebut menjadi aturan etika yang tak tertulis – pria dan wanita seharusnya saling menjaga jarak yang sepatutnya.)
“Kamu tidur nyenyak sekali. Aku sudah lama memandangimu dan kau masih belum bangun juga.”
Dengan kesal, aku begulung dalam selimut. Gaun tidur yang saat ini kukenakan cukup tipis, aku tak tahu apakah dia sudah melihat kaki dan tanganku yang terpampang atau belum.
“Kenapa bersembunyi? Memangnya ada yang bisa dilihat!”
Kulemparkan bantal ke arahnya, tapi berandalan itu menghindarinya dengan cekatan. Dia meledak tertawa, berdiri tak jauh dariku. “Cepat bangun! Ada banyak hal yang akan berlangsung pada Sumuzhe hari ini!”
“Kalau begitu keluar agar aku bisa ganti baju!”
Pusydeva berhenti tertawa dan dengan patuh berjalan keluar. Tetapi tepat di depan pintu, dia berbalik dan berkata padaku sambil mengedip, “Kamu kelihatan cantik dalam gaun itu, tapi kamu seharusnya hanya mengenakan itu di hadapanku saja!”
Amarahku kembali dalam kekuatan penuh. Aku melihat ke segala penjuru untuk mencari semacam senjata demi menghajarnya, tapi dia sudah cepat-cepat kabur sembari tertawa-tawa.
***
Jalanan penuh dengan orang. Pusydeva memakai badannya untuk melindungiku dari didorong-dorong, tapi aku tak menikmati perlindungan semacam ini. Dia menempatkan lengannya di bahuku dalam pelukan erat, jadi siapapun yang melihat kami akan mengira kalau kami adalah kekasih. Dia adalah orang yang populer, dia menerima salam hangat dari banyak orang, baik pria maupun wanita. Para pria yang melihat lengannya berada di bahuku memberiku senyuman ganjil. Mata para wanita malah lebih rumit lagi, sebagian besar darinya menyerupai anak-anak panah yang ditembakkan ke arahku, membuatku merinding. Namun berandalan itu tak peduli sedikit pun, menyebalkan!
Aku berusaha sebaik mungkin untuk melepaskan diri dari ‘cakar’nya, tapi semakin aku meronta, semakin erat pula cengkeramannya.
“Hush! Berhenti bergerak-gerak! Tarian singanya sudah akan dimulai!”
Belasan pemain jiegu memukul genderang mereka secara bersamaan, membangun suasana. Lima singa yang berwarna biru, merah, kuning, putih, dan hitam datang dari lima arah menuju panggung di tengah. Masing-masing singa digerakkan oleh dua belas orang, semuanya mengenakan sabuk merah di pinggang mereka. Ada dua orang yang berjalan di depan, menggoda dan memancing dengan alat pemukul lalat berwarna merah di tangan mereka. Di samping para penari singa terdapat paduan suara yang jumlahnya lebih dari seratus orang, menyanyikan lagu puji-pujian untuk raja Kucha. Tabuhan genderang dan suara nyanyian membentuk harmoni, merambat ke luar dan ke atas hingga mencapai awan.
Singa adalah simbol suci bangsawan Kucha, dan raja Kucha seringkali disebut sebagai Raja Singa. Masyarakat bahkan mengarang sebuah cerita tentang seorang raja mereka yang pemberani yang pernah menjinakkan para singa. Tarian singa pun terlahir dari kisah ini. Setelah menakhlukkan Kucha, Lu Guang akan membawa Kumarajiva dan ribuan seniman ke Liangzhou (sekarang Gansu, Wuwei), dan sejak saat itu, tarian singa akan menjadi bagian dari kebudayaan Tiongkok. Tarian Singa Lima Arah pun kemudian akan menyebar ke seluruh penjuru Tiongkok.
Di depan alun-alun utama terdapat sebaris tenda-tenda megah. Raja bai Chun dan para bangsawan duduk di dalamnya. Aku bertanya pada Pusydeva, “Kenapa kau tak bergabung dengan mereka?”
“Apa serunya duduk di sana bersama orang-orang tua? Aku lebih baik bersamamu, Ai Qing.” Suara musiknya terlalu keras hingga aku tak bisa mendengar perkataannya dengan baik. Dia mencondongkan tubuh dan berteriak ke telingaku: “Lebih menyenangkan bila melihatmu marah dan tersenyum dengan cengiran bodohmu itu!”
Berandalan ini! Dengan marah, kudorong dia menjauh, tapi hanya sekejap kemudian dia sudah menyusulku. Aku memelototinya dengan penuh ancaman, yang dia abaikan sepenuhnya, dan hanya terus menatapku dengan gembira. Apakah wajah marahku itu sedemikian menarik baginya?
Hari-hari berlalu dengan cepat saat aku menonton pertunjukan demi pertunjukan, memakan beragam cemilan Kucha, dan bertengkar dengan Pusydeva. Saat malam tiba, dengan teliti aku mengunci semua pintu dan jendela kamarku untuk mencegah baik perampok maupun Pusydeva. Saat aku bangun pagi harinya, tak ada Pusydeva yang menakutiku setengah mati, tetapi harga yang harus kubayar untuk itu adalah iritasi kulit akibat tidur di dalam kamar yang pengap pada malam musim panas. Aku membuka pintu dan mendapati Pusydeva bersandar di sebuah tiang, memasang tampang licik, saat dia memberiku sebuah botol kecil. Penasaran, aku mengambil boto itu dan bertanya kepadanya apa isinya. Berandal itu bilang kalau ini adalah bedak dingin, dan kemudian mulai menceramahiku tentang betapa pentingnya menjaga ventilasi udara selama musim panas. Aku segera meraih sapu di sudut kamar dan mengejarnya ke sekeliling halaman, dengan mulut terus meneriakinya.
Tentu saja aku bukan tandingannya. Sudah seperti itu sejak dia berusia sepuluh tahun. Setelah beberapa putaran, aku sudah bernapas dengan susah payah. Aku menjatuhkan diri ke tanah, tangan mengangkat sapu, dan bicara dengan suara putus-putus, “Aku menyerah. Jenderal Besar, mohon ampuni aku.”
Begitu aku menyelesaikan kalimat tersebut, aku merasakan adanya kesalahan. Bagaimana bisa aku dengan mudahnya mengatakan kalimat yang biasanya dipaksakan Pusydeva saat masih kecil untuk kukatakan saat kami bermain prajurit-prajuritan? Sialan, ini telah menjadi refleks kebiasaan, refleks kebiasaan! Pusydeva tertawa sampai terbungkuk-bungkuk di tengah halaman. Para pelayan rumah yang segera berdatangan akibat keributan tersebut kini menatap kami terheran-heran. Oh martabatku, sekarang sudah hancur terkoyak-koyak!
Sejumlah besar pertunjukan lagu dan tari-tarian masih dipertontonkan pada hari ketiga Festival Sumuzhe. Para seniman dari seluruh penjuru Xi Yu telah berkumpul di Kucha ini, membuat tiap harinya jadi sarat dengan kegembiraan dan kejutan. Pusydeva, suka bermain seperti biasa, terus menarikku ke manapun kerumunan berada. Pada saat ini, kami sedang berdiri di sudut alun-alun utama. Sebuah panggung telah didirikan di tengahnya, dan di bagian pusat terdapat sebuah mimbar teratai besar. Para penabuh genderang memukul tiga kali; teratainya membuka dan menampakkan seorang gadis di dalamnya, wajahnya tertutup oleh cadar yang seperti chiffon. Dia mengenakan gaun ungu panjang dengan lengan baju panjang melambai, tersembunyi oleh mantel dan dihias dengan lonceng-lonceng mungil yang terpasang pada sehelai kain panjang di pundaknya; dan pada kakinya terdapat sepasang sepatu merah yang imut. Begitu musik dimulai, gadis itu mulai menari, setiap gerakan diiringi oleh denting lonceng, menciptakan suara gemerincing yang ceria.
“Itu adalah Tarian Cabang Mulberi,” Pusydeva berbisik di telingaku, “nanti jangan merasa terlalu malu ya?”
(T/N: Tari Cabang Mulberi adalah tarian yang berasal dari Songdia (atau Songdiana) yang merupakan kerajaan Indo-Eropa yang terletak di area Uzbekistan dan Tajikistan saat ini)
Napasnya menggelitik daun telingaku. Aku memiringkan kepalaku ke samping untuk menghindarinya. Haruskah dia begini dekat saat bicara?
Tabuhan genderangnya semakin cepat. Sang penari memutar tubuhnya mengikuti suara, lembut seperti kain, seakan dia tak bertulang. Suara genderang tiba-tiba berhenti. Si gadis melepaskan mantel bersulamnya dan melemparkannya ke atas mimbar teratai. Kini dia hanya mengenakan jubah pendek dengan korset ungu ketat di baliknya, bersama dengan rok indah sewarna. Bunyi genderang dimulai lagi, semakin cepat dan semakin cepat. Rok si gadis melambai seiring dengan gerakan yang dia buat, luwes dan elegan – bagai bidadari dari khayangan. Tabuhannya berhenti lagi. Gadis itu melepaskan jubah pendeknya, menampakkan sepasang tangan yang telanjang dan sedikit petunjuk akan sebentuk tubuh yang sintal di balik korset. Penonton bersorak sorai, semangat semakin bertambah, aku juga ikut-ikutan. Gadis itu mulai menari lagi saat genderang berbunyi , berputar dalam lingkaran-lingkaran yang seakan tanpa henti. Dia kemudian menarik lepas roknya, menampakkan celana pof berwarna merah muda lembut. Setelah itu , baik sabuk dan korsetnya juga dilepaskan, membuat dia jadi hanya mengenakan pakaian yang seperti bra serta celana pof. Dia terus meanri dalam beragam postur menggoda, begitu erotis hingga membuat penonton menahan napas mereka.
“Astaga, ini jelas-jelas sejenis tarian striptease!” aku berseru.
Mataku membelalak selebar mungkin. Tenggorokanku sibuk menelan. Aku tak menyangka bisa melihat betapa berpikiran terbukanya orang-orang di Xi Yu pada 1.650 tahun yang lalu! Pada abad ke-221, untuk bisa melihat striptease semacam ini, orang harus pergi ke bar atau kelab malam. Namun di sini, tarian ini malah dipertontonkan secara terbuka di depan umum!
Seseorang menggesek hidungku.
“Aneh sekali, kupikir seorang wanita Han akan menjadi sangat malu saat melihat pertunjukan semacam ini, tapi kamu malah kelihatan lebih bersemangat daripada aku!”
Kututupi hidungku yang malang. Bila dibandingkan dengan orang-orang Kucha, hidungku ini sudah tak semancung mereka, dan sekarang telah menjadi semakin bengkok berkat orang menyebalkan itu.
“Kalau kamu begitu menyukainya….” Si serigala mencondongkan tubuhnya mendekat lagi, “Maka kamu seharusnya mempertunjukkan tarian itu kepadaku malam ini.”
Dia mendapatkan tinjuan tepat di hidung sebagai balasan atas perbuatannya tadi. Dipeganginya hidung, wajah ditekuk karena kesakitan, jelas-jelas secara berlebihan, tapi masih sanggup menambahkan, “Tak masalah, toh tak ada yang bisa dilihat di baliknya.”
Dia jelas-jelas tak ingin hidungnya kembali lurus!
***
Keesokan paginya, begitu bangun, aku disambut oleh sepasang mata abu-abu muda yang menatapku dari jarak sangat dekat, lagi-lagi memberiku serangan jantung. Aku harus membiasakan diri dengan ini, harus terbiasa dengan ini, kubilang pada diriku sendiri. Kali ini, langkah pertahanan diriku adalah tidak berganti baju dengan gaun tidurku. Semalam aku naik ke ranjang dengan mengenakan pakaian yang sama dengan yang kukenakan pada siang harinya. Itulah sebabnya aku mampu tidur dengan jendela dan pintu terbuka.
Rasa kecewa menampakkan wujudnya di wajah Pusydeva. “Kenapa kamu tak mengenakan gaun yang sebelumnya?”
Orang mesum ini!
Aku memberinya senyum pongah. “Bukankah kau bilang aku toh tak punya sesuatu yang bisa ditunjukkan?”
“Itu benar,” dia mengangguk, berpikir sesaat dan kemudian menambahkan, “Ai Qing, kau seharusnya makan daging lebih banyak lagi.”
“Buat apa?”
“Agar bagian yang ini jadi lebih besar,” dia menyentuh dadaku, “kamu itu terlalu kurus sampai-sampai tak terasa apa-apa di sini.”
Ya Tuhan! Apa ada seseorang yang bisa membantuku menghancurkan orang mesum ini?
Dan satu hari lagi dihabiskan dengan berkeliaran di jalan. Aku sepertinya sudah lupa sama sekali tentang pekerjaanku, malah menghabiskan setiap harinya dengan bermain dan beristirahat. Pusydeva adalah teman yang menyenangkan, selalu penuh dengan ide-ide baru yang menarik. Setiap hari dia akan membawaku ke tempat-tempat berbeda untuk makan, memberiku kesempatan untuk mencicipi berbagai jenis makanan – makanan India, Asia Tengah, Persia, Tiongkok – dari sajian yang cocok untuk bangsawan hingga cemilan yang dijua di lapak-lapak makanan di pinggir jalan. Lingkar pinggangku telah lumayan bertambah. Pada hari ketujuh Festival Sumuzhe, aku bermain lebih keras dari biasanya bahkan bila dibandingkan dengan ketika Hari Buruh (1 Mei) atau Hari Kemerdekaan Nasional (1 Oktober) di abad ke-21. Para penampil jalanan luar biasa berbakat, dan cara masing-masing penampil itu unutk melibatkan masyarakat umum sangat mengagumkan. Setiap kali musik dimainkan, semua orang, tak peduli usia maupun gendernya, akan bergabung dan menari bersama.
Pada hari keempat Festival Sumuzhe, akhirnya aku bisa menyaksikan Tarian Putaran (胡旋舞 “Hu Xuan Wu”. Dalam Bahasa Inggris disebut ‘Putaran Songdian’, sebuah nama yang dibuat oleh cendekiawan Dunhiang, Susan Whitfield, pada pamerannya tahun 2004) yang telah lama dinantikan. Tarian ini berasal dari Kerajaan Songdian di Asia Tengah (kini bagian dari Samarkand, Uzbekistan), dan nantinya akan jadi sangat terkenal setelah sampai ke Dataran Tengah.
Pada masa Dinasti Tang, sejumlah besar puisi ditulis tentang tarian ini, yang paling terkenal adalah puisi karya Bai Juyi:
‘Gadis berputar,
Gadis berputar,
Hati menjawab senar,
Tangan menjawab gendang.
Saat senar dan gendang berbunyi bersama,
kedua lengan baju tinggi terangkat,
Dan dia berputar seperti salju yang melayang,
Dan menari seperti tumbleweed yang berputar.
(Terjemahan inggris oleh Stephen Owen, ditemukan di materi workshop: ‘China: The Glorious Tang and Song Dynasties””)
Dikabarkan bahwa Yang Guifei (T/N: nana aslinya adalah Yang Yuhuan, merupakan selir kesayangan Kaisar Xuanzhong dari Tang dan juga merupakan satu dari Empat Wanita Cantik dari Tiongkok Kuno) bisa melakukan tarian ini dengan sangat ahli, sampai-sampai Bai Juyi menulis, “Tarian putaran Yang Guifei memabukkan hati penguasa kami.”
Sekarang, melihat tarian ini dengan mata kepalaku sendiri, akhirnya aku bisa memastikan bahwa tarian ini memang secantik yang telah digambarkan. Ini adalah tarian yang dimaksudkan untuk kelompok, dan sekarang ini dipertunjukkan oleh selusin gadis yang memikat, berputar dan berputar, gerakan mereka ringan dan elegan. Para penyair yang mendeskripsikan para penari ini sebagai ‘cepat seperti bintang jatuh’, ‘terang bagai matahari’, jelas-jelas tak melebih-lebihkan! Saat aku mengunjungi Mesir, aku pernah melihat masyarakat lokal melakukan pertunjukan Sufi, yang juga terdiri dari berputar-putar tanpa henti, namun yang itu dipertunjukkan oleh para lelaki. Para penari Mesir juga mengenakan rok-rok aneka warna, jadi ketika mereka berputar, hasilnya adalah kaleidoskop ajaib yang berubah-ubah warnanya. Aku merasa takjub sekaligus khawatir, bertanya-tanya apakah mereka merasa pusing saat melakukannya.
Sorenya, aku berusaha memaksa diriku untuk tidur dengan memikirkan Rajiva, tentang semua kenangan indah yang kami bagi bersama. Bahkan detil terkecil tentang dia akan membuatku hanyut dalam lamunan dalam waktu lama. Beberapa hari terakhir ini, aku telah bersenang-senang sepuasnya, bermain lebih keras daripada yang pernah kulakukan sebelumnya, dan juga selama beberapa hari berturut-turut. Andai saja Rajiva berada di sini bersamaku…. Tidak, aku tak boleh terus memikirkan hal seperti itu. Dia tak mungkin seperti Pusydeva, yang duduk di jalanan bersamaku dan memakan sate domba.
Omong-omong soal Pusydeva, besok aku harus bilang padanya agar tidak datang lagi ke kamarku setiap pagi!