Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 26
Aku membuka mata dan mendapati Pusydeva sedang duduk di ranjangku seperti biasa. Penampakan itu tak lagi mengagetkanku. Mengabaikan dia dan teriakannya yang menyuruhku untuk bergegas, aku berusaha untuk tidur sedikit lebih lama lagi, sebelum kemudian bangun dengan enggan. Aku menukar baju dengan gaun yang kuterima kemarin, dan saat aku melangkah ke luar, aku melihat Pusydeva mengenakan tunik hijau muda yang dikencangkan di bagian punggang. Dengan figurnya yang bagus, seandainya saja ini era modern, dia apsti bisa menajdi seorang model atau aktor yang hebat. Bagaimapun, mau tak mau aku menyadari kalau pakaian yang kami kenakan hari ini tampak seperti baju untuk pasangan.
Ketika Pusydeva melihatku, dia pun bersiul dan berjalan memutariku, mengangguk kagum. Namun kemudian berandal itu menghancurkannya dengan menambahkan: “Kenapa kau tak mengenakan riasan? Mana perhiasanmu?”
Kemarin, selain gaun, Pusydeva juga memberiku seperangkat alat rias. Tapi aku memilih untuk menyimpannya ke dalam ranselku, dengan niat membawanya pulang ke abad ke-21 dan memakainya sebagai artefak bagi para peneliti untuk mempelajari bagaimana kaum wanita di masa kuno mempercantik diri mereka sendiri. Lalu untuk perhiasan, aku tak pernah memakainya, dan bahkan bila aku memilikinya, aku juga akan menyimpannya untuk kelak diteliti. Gaya rambut wanita Han pada masa ini sangat sederhana, hanya sebuah sanggulan rapi di bagian belakang yang ditahan oleh jepit rambut. Aku selalu keluar dengan mengenakan gaya rambut sederhana itu dan tak menemui masalah apapun, jadi demi alasan apa aku jadi didorong ke depan cermin oleh hidung belang ini dan dipaksa untuk mengenakan riasan pada hari ini dari semua hari yang ada? Bagian terburuknya adalah aku tak tahu bagaimana orang kuno mengenakan riasan, jadi si hidung belang itu harus ikut campur dan mengambil alih tugas tersebut.
Aku dipaksa untuk membiarkan Pusydeva bermain sesukanya, menebah dadaku dengan pedih seraya bertanya-tanya seberapa banyak timah yang terserap oleh kulitku?
Saat dia akhirnya selesai beberapa saat kemudian, aku menatap diriku sendiri di dalam cermin dan meledak tertawa. Alisku digambar sama persis seperti Topeng Zhang Fei dalam opera Tiongkok, bibirku diwarnai semerah Wu Junru dalam beragam peran mak comblang pada drama-drama TV, seperti lingkaran darah, suatu pemandangan yang pasti akan memberikan mimpi buruk kepada anak-anak selama bertahun-tahun. Ya Tuhan, penampilan ini tak ada bedanya dengan peran ‘serupa bunga’ dalam film-film komedi Stephen Chow! Aku segera memelesat untuk mencuci wajahku, berdoa kepada Langit semoga tak seorang pun yang sempat melihatnya.
Saat aku kembali, aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa kalau Pusydeva masih bersikeras memasangkan riasan di wajahku, aku takkan pergi ke luar hari ini, bahkan meski aku sangat ingin melihat Festival Sumuzhe pada hari keenamnya!
Bagaimanapun, yang mengejutkanku, Pusydeva berhenti memaksaku, dan di wajahnya terdapat bercak kemerahan seakan dia sedang merona, sebuah pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Sekarang giliranku untuk memutarinya. Apa ini benar-benar adalah wajah si playboy yang kukira takkan pernah bisa berubah?
Jalanan hari ini dipadati oleh pria dan wanita muda yang tak terhitung jumlahnya. Meski mereka tak mengenakan topeng seperti hari-hari sebelumnya; digantikan oleh riasan cantik dan pakaian berpasangan yang indah, berjalan-jalan sambil bergandengan tangan. Ah, aku mengerti. Hari keenam Festival Sumuzhe pasti merupakan Hari Valentine versi Kucha.
Kudapati diriku sendiri berada pada sisi penerima sorotan-sorotan iri dari beragam wanita di sekitarku, yang jelas-jelas kecewa melihat pelukan sangat erat di bahuku serta pakaian berpasangan kami. Ah, sejak awal aku sudah bertanya-tanya kenapa dia bertingkah begitu baik padaku, memberiku gaun, memaksaku mengenakan riasan, tapi ternyata niat dia sebenarnya adalah menggunakanku sebagai tameng, menjadikanku penyihir jahat di mata wanita lain tanpa ada alasan bagus. Marah, aku berusaha menyingkirkan cakar-cakarnya dari bahuku, tapi tak usah dibilang lagi, upayaku masih setakberguna seperti ratusan kali sebelumnya.
Semua pasangan berkumpul di depan panggung yang telah dipasang pada alun-alun utama, wajah mereka cerah oleh kegembiraan. Aku melihat ke sekeliling tapi tak menemukan satu pun penari profesional yang terlihat. Aneh sekali. Apa mungkin hari ini disediakan untuk pertunjukan publik?
“Ini adalah pertandingan menyanyi di mana masing-masing pasangan akan naik ke panggung untuk berduet. Kriteria para juri akan didasarkan pada isi lirik, aspek pertunjukan, serta nyanyian yang sebenarnya. Pasangan pemenang akan dianggap sebagai pasangan terbaik di Kucha untuk tahun ini,. Lihat, itu hadiahnya.”
Mataku mengikuti arah yang ditunjuk Pusydeva dan menemukan dua buah kotak yang diletakkan di atas meja tinggi. Pasti ada benda berharga di dalamnya. Akibat jarak kami, aku tak bisa memastikannya.
Pusydeva mengeluarkan desahan panjang. “Ai Qing, ada begitu banyak wanita yang ingin menyanyi denganku, tapi gara-gara kamu aku menolak mereka semua. Apa kau tahu sudah berapa lama aku mengincar hadiah itu?”
Dia memberikan tatapan penuh damba ke arah panggung.
“Sini!” Aku menarik Pusydeva ke arah panggung.
“Apa lagi selain membantumu memenangkan hadiah itu?” Dengan senyum culas aku mengedip padanya. “Ini adalah hadiahku untuk tarian indahmu kemarin.”
Setelah kami mendaftar, aku menariknya ke samping dan menyanyikan padanya sebuah lagu Mandarin. Pusydeva meledak tertawa dan menerima pelototan mematikanku sebagai balasannya.
“Seriuslah, ini adalah pertandingan!”
Pusydeva berhenti tertawa, mendengarkan nyanyianku dengan penuh perhatian, dan mulai menerjemahkan liriknya ke dalam Bahasa Tokharia. Meski melodinya lumayan sederhana, penerjemahannya cukup cepat dan bahkan mengalir dengan baik sesuai nadanya. Hanya dengan mendengarkannya sekali lagi dan dia sudah bisa menyanyikan balik lagunya secara utuh kepadaku dengan begitu lancar dalam Bahasa Tokharia. Aku tercengang. Pusydeva sebenarnya sangat pintar, mungkin tidak sampai setara dengan kakaknya, tapi IQ-nya jelas-jelas melampaui tingkatan orang biasa. Tapi karena dia selalu bermain-main dan berkelakar setiap hari, orang-orang jadi tak sadar mengenai kenyataan ini.
Kami mengulanginya lagi beberapa kali sampai tak terdapat kesalahan dan dengan penuh percaya diri berjalan ke atas panggung saat si pembawa acara memanggil nama kami.
Kami berdiri di panggung pada sisi yang berlawanan. Pusydeva berlagak seolah dia hanya sedang berkeliaran di jalanan. Saat matanya melihatku, mata itu menari dengan kekagetan yang riang, dan dia pun mulai mengelilingiku. Aku pura-pura malu dan terlihat seperti hendak berjalan pergi. dia berusaha menghentikanku tapi aku menghindarinya. Dari belakangku, dia mulai bernyanyi:
‘Heeeyy yo, apa yang bermain di atas air?
Apa yang membangun menara di atas air?
Apa yang memasang payung di atas air?
Apa yang berpasangan mengaitkan kepala di atas air?’
Pusydeva memiliki suara kuat yang bergema jauh dan luas. Dia tak hanya bisa menari dengan baik tapi juga bernyanyi dengan merdu. Aku berputar dan menatap Pusydeva, memberinya ekspresi malu-malu, sebelum membalas dengan nyanyian jernih yang dulu pernah tak terkalahkan di setiap ruang karaoke:
‘Heeeyy yo, bebeklah yang bermain di atas air,
Perahulah yang membangun menara di atas air,
Lili airlah yang memasang payung di atas air
Dan sepasang bebek mandarinlah yang mengaitkan kepala mereka di atas air.’
(T/N: Bebek mandarin dianggap sebagai yuanyang bagi orang Tiongkok, di mana yuan (鴛) dan yang (鴦) mewakili bebek mandarin jantan dan betina. Dalam budaya Tiongkok tradisional, bebek mandarin dipercaya menjadi pasangan seumur hidup, tidak seperti spesies bebek yang lain, dan karenanya dianggap sebagai simbol cinta dan kesetiaan.)
‘Heeyyy yo, apa yang punya mulut tapi tak bisa bicara?
Apa yang tak punya mulut tapi bersuara?
Apa yang punya kaki tapi tak mau berjalan?
Apa yang tak punya kaki tapi berkelana ke ratusan rumah?’
Mendengarku bernyanyi, dia menggaruk kepalanya, kelihatan canggung dan bingung, membuka tangannya seakan bertanya kepada lawan agar tidak memberinya teka-teki yang begitu sulit! Akting ini bukan bagian dari latihan kami, jelas-jelas merupakan improovisasi di tempat oleh Pusydeva. Aktingnya sangat alami, membuat kisah kami jadi semakin menarik. Berandal ini jelas memiliki keahlian berakting yang mumpuni. Menatap wajahnya yang-palsu-tapi-kelihatan-asli, rasanya aku ingin tertawa.
Aku sudah selesai bernyanyi tapi orang ini tak segera menjawab. Dia berjalan beberapa langkah, wajahnya merenung, membuat penonton berpikir kalau dia mungkin akan kalah, dan jadi kelihatan cemas untuknya. Akhirnya, wajahnya berubah cerah saat dia meninju telapak tangannya sendiri, berputar untuk menatapku, dan menjawab:
‘Bodhisattva punya mulut tapi tak bisa bicara;
Gong perunggu tak punya mulut tapi bersuara;
Seorang kaya punya kaki tapi tak mau berjalan;
Uangnya tak punya kaki tapi berkelana ke ratusan rumah.’
Para penonton pun bersorak-sorai. Berkat Pusydeva, suasana pada festival ini telah menjadi ceria. Saat semua orang sedang penuh semangat, dengan malu-malu aku membiarkan orang itu meraih tanganku, dan bersama kami menyanyi:
‘Kalau kau ingin menyanyi, maka kau harus menyanyi;
Kalau kau ingin mengangkap ikan, pergilah ke sungai;
Kau mengayunkan tombak dan aku akan menebar jaring;
Bersama kita akan berkelana bersama aliran air.’
Pusydeva bergerak dari memegangi tanganku menjadi memelukku dari belakang, kepalanya bersandar di bahuku. Kami menyelesaikan pertunjukan kami dengan pose klasik Jack dan Rose dari film Titanic. Para penonton meledak dalam gemuruh tepuk tangan ketika bunga-bunga terbang ke atas panggung. Diam-diam aku perut menyodok Pusydeva keras-keras, tapi dia tak tergoyahkan dan tetap tak mau lepas. Seharusnya aku memperingatkan dia sejak awal, jadi sekarang tak ada gunanya kalau menyesal.
Lagu yang barusan kami nyanyikan berasl dari film ‘Liu San Jie’ (Kakak Ketiga Liu). Lirik aslinya berisi teka-teki tentang buah-buahan tropis seperti pepaya, pisang, nanas, dan jeruk bali, yang semuanya merupakan buah asing bagi orang-orang Kucha, jadi aku memutuskan untuk mengantinya dalam pertunjukan kami.
(T/N: Liu San Jie adalah legenda bagi orang-orang Zhuang dari wilayah Guangxi, sebuah etnis minoritas di Tiongkok dengan populasi 18 juta orang pada saat ini, hanya nomor dua di bawah Han. Ceritanya mengisahkan tentang seorang penyanyi rakyat yang tak kenal takut bernama Liu Shanhua, dijulukki Liu San Jie karena dia adalah putri ketiga, dicintai oleh semua warga desa karena kecantikannya, suaranya saat bernyanyi, dan karena menolak untuk takhluk pada pemilik tanah yang lalim, Mo Huairen. Ratusan tahun kemudian, legendanya dijadikan drama musikan yang sangat populer pada tahun 1960 dan kemudian difilmkan pada tahun yang sama, yang menjadi sensasi besar-besaran baik di negara asal maupun di luar negeri.)
Secara tidak menghernakan, kami memenangkan tempat pertama dengan komentar berikut dari para juri: sebuah lagu yang unik, liriknya menarik, aktingnya sangat natural, dan nyanyiannya sangat ahli. Ya jelas lah! Kalau kau pernah mendapati novel-novel dengan tema perjalanan waktu, 99,9% kemungkinan kau akan mendapati sang meran utama wanita mendapatkan kesempatan untuk mempertontonkan bakat tersembunyi mereka bernyanyi dan menari dalam satu atau lain cara. Aku tersenyum pongah pada diriku sendiri karena kesempatanku akhirnya datang juga. Ha ha ha, sejak saat ini, tak seorang pun yang bisa mengeluh tentang aku tak punya ciri khas umum dengan semua tokoh utama wanita yang melakukan perjalanan waktu itu!
(LOL! Ternyata Ai Qing dan Qingqiao sejenis XD)
Hadiahnya ternyata cukup bagus! Sepasang liontin singa yang diukir dari kumala putih Khotan. Kerajinan tangannya begitu rumit dan sangat mendetil. Di era modern, liontin ini pasti akan dihargai setidaknya sepuluh ribu yuan! Pusydeva mengenakan liontin itu ke lehernya dan kemudian tanpa mengatakan apa-apa, memasangkan yang satunya lagi ke leherku. Dia menyeringai lebar ke arahku, wajahnya bersinar-sinar, seakan tak pernah melihat harta karun yang seberharga ini.
Selama sisa hari itu, Pusydeva sepertinya tak pernah berhenti tersenyum, membuat semua wanita di dekatnya menjadi linglung saat mereka menatapnya, beberapa berjalan menabrak tiang, beberapa menabrak tembok. Setiap kali dia membuka mulut untuk memanggilku, dia akan berkata: “Heeyy yo.” Aku teringat waktu aku melakukan perjalanan melewati Yangshuo (bagian dari Guangxi), pada Jalan Barat, di mana turis-turis lebih terkonsentrasi, setiap restoran yang kulewati memainkan lagu rakyat itu secara berulang-ulang, sampai-sampai bahkan saat aku pulang, mulutku masih menyanyikan, “Heeyy yo, apa….” Pusydeva sama persis sepertiku pada waktu itu, kecuali dia terus menyanyikannya lagi dan lagi di dekat telingaku. Merasa teramat sangat jengkel, aku memberinya peringatan; kalau sampai dia menyanyi sekali lagi, aku akan pulang tanpa dia, yang dengan sukses membuatnya tutup mulut.
Sorenya, playboy itu menyelinap ke dalam kamarku seperti biasanya, tapi tak seperti sebelumnya, dia tak lagi mengemukakan topik yang membuatku merona, dan malah memintaku menyanyikan lagu yang dahulu, dari sepuluh tahun yang lalu. Melodi dari beberapa lagu masih terngiang di telinganya, jadi dia masih bisa melantunkannya. Saat aku menyanyikan lagu ‘My Dearest Baby’ milik Wakin Chau, tiba-tiba aku teringat pada kenangan saat aku juga menyanyikan lagu itu kepada Rajiva, dan pada saat itu, aku pun menyadari kalau aku merindukannya, sangat sangat merindukannya, begitu rindu sampai-sampai jantungku mengejang dengan menyakitkan….
Suaraku mulai melemah saat aku mulai berada dalam kondisi seperti-trans. Sesaat ketika aku tak memerhatikan, aku ditarik ke dalam sebuah pelukan kuat. Aku menyesal karena dulu tak mengambil pelajaran pertahanan diri. Kalau aku tak bisa memakai ilmu beladiri, maka aku harus memakai kata-kata.
“Pusydeva, kenapa kau selalu suka memelukku?”
“Karena kamu punya aroma yang sangat enak.”
Dia mengendusi leherku seperti anak anjing, menggelitikku sampai tertawa. Kuangkat lenganku ke arah hidung. Aroma enak apa? Aku tak membawa bersamaku shampoo ataupun body lotion modern, tak mengenakan riasan ataupun memakai parfum. Saat aku mandi, aku selalu emmakai sabun yang sama dengan yang dipakai orang-orang Kucha, jadi bagaimana bisa ada aroma yang enak?
“Kamu tak seperti wanita-wanita lain, yang badannya bau, membuatku tak ingin menyentuh mereka.” Dia menarik napas dalam-dalam. “Aromamu sangat enak, Ai Qing!”
Ah, kupikir aku mengerti sekarang. Bau tidak enak yang dimaksud Pusydeva adalah apa yang kami orang modern sebut sebagai bau badan. Chen Yinke, seorang sejarawan, pernah menulis sebuah makalah akademis mengenai ‘Aroma dan bau badan orang Hu’*. Pada satu paragrafnya tertulis, ‘Bau badan, atau yang pernah disebut bau Hu, mengacu pada bau khas orang-orang Hu di Xi Yu. Bahkan setelah orang-orang Hu menikah dengan Han, bau itu masih bisa ditemukan pada beberapa keturunannya. Tapi berbicara secara teknis, menyebutnya sebagai ‘bau Hu’ sebenarnya tak terlalu sesuai, melihat bagaimana bau itu lebih dekat kepada bau rubah, maka istilah itu pun menjadi ‘bau rubah’. Sebagian besar orang Barat modern masih punya bau badan, yang selalu kutebak disebabkan karena makanan mereka berbeda dengan orang Asia Timur, mengandung lebih banyak makanan dingin, dan seiring dengan berlalunya waktu, hal itu menyebabkan bau tersebut. Orang Asia Timur jarang memiliki bau badan**, jadi pasti itulah sebabnya Pusydeva suka mengendusiku. Aku bergidik. Untung saja dua bersaudara itu sepertinya tak punya masalah bau badan.
(*T/N: judul esainya adalah 胡臭与狐臭/ húchòu yǔ húchòu, jadi kau bisa lihat bahwa meski aksaranya berbeda, pelafalannya serupa. 胡 (Hú) adalah istilah kuno yang umum digunakan pada maa Dinasti Tang untuk merujuk kepada orang non-Han, khususnya orang-orang dari Asia Tengah dan Barat. istilah itu memiliki konotasi merendahkan, serupa dengan ‘orang barbar’. Karakter 狐 (juga dibaca Hú), dalam Mandarin modern merupakan istilah untuk bau badan, dan kata itu sendiri berarti ‘rubah’.
(**Yes, orang Asia Timur (nyaris semua orang Korea, sebagian besar orang Tiongkok dan Jepang) tidak punya bau badan, yang ada hubungannya dengan tak berfungsinya ABCC11, sebuah gen yang memengaruhi kelenjar keringat apocrine dan juga menentukan apakah kotoran telingamu ‘basah’ aau ‘kering’…. Tidak pasti bagaimana cara proses evolusi bekerja pada orang Asia Timur, maka kebiasaan makan dijadikan alasan total oleh Ai Qing – dan juga sang pengarang, Xiao Chun)
“Juga, kamu hangat sekali….”
“Ngaco!” Aku mendorongnya jauh-jauh, “Aku kan manusia, jadi tentu saja aku hangat!”
“Tapi ibuku terasa sangat dingin.”
Pusydeva melepaskanku dan berjalan ke arah di mana lembar-lembar coretan Han berantakannya tergantung di tembok. Dia menatapnya dengan penuh perhatian.
“Dalam benakku, ingatan tentang ibuku adalah saat-saat ketika ayahku membawaku mengunjunginya di kuil. Dia mengenakan baju yang tidak kusukai, selalu menatap ayahku dengan sorot mata yang begitu dingin, dan kepadaku juga tak ada bedanya. Aku tak pernah sekalipun mengatakan pada ayah tentang bagaimana aku sebenarnya membenci saat-saat ketika aku harus pergi mengunjungi ibu dan kakakku. Ketika mereka melakukan perjalanan selama empat tahun, diam-diam aku merasa lega, karena akhirnya, aku tak lagi dipaksa untuk bertemu dengan orang-orang yang dingin itu.”
“Tapi aku ingat saat mereka kembali, kau telah memeluk ibumu dan menangis begitu kencang.”
“Aku melakukan itu untuk menyenangkan ayahku,” Pusydeva berputar untuk menatapku dengan seulas senyum sedih. “Ayah ingin aku mencintai ibu, dan aku akan melakukan apapun untuk membuat ayah senang. Meski aku tak bisa memahaminya, bagaimana bisa dia merindukan orang-orang dingin itu setiap malam?”
Aku dibuat tak bisa berkata-kata. Baru berusia sepuluh tahun dan Pusydeva sudah tahu bagaimana harus berakting demi untuk membuat ayahnya senang! Tapi bagaimanapun, hal ini bisa dimengerti. Kumarayana adalah satu-satunya anggota keluarga yang selalu berada di sisinya sejah Pusydeva kecil hingga sekarang; sementara di antara dia dan ibu serta kakaknya, selalu terdapat sebuah penghalang yang terlihat yang takkan pernah bisa dia lewati.
Sebuah raut pedih melintas di wajahnya, suatu ekspresi yang sangat mirip dengan Rajiva. Bagaimanapun juga mereka adalah saudara, jadi meski tak ada kasih di antara mereka, darah yang mengalir dalam nadi mereka tetaplah sama.
“Tapi kamu berbeda. Saat aku sepuluh tahun, dalam pelukanmu, aku merasa begitu hangat, tak seperti ketika dengan ibuku, makanya dulu aku sangat suka memelukmu.”
Pusydeva mengulurkan tangannya dan menarikku kembali ke dalam dekapannya. Sebuah desahan panjang berhembus di leherku.
“Sepuluh tahun kemudian, memelukmu dalam lenganku, aku jadi teringat dengan masa lalu.”
Kali ini aku tak lagi berusaha melepaskan diri dari pelukannya seperti sebelumnya. Insting keibuanku membuatku tak sanggup untuk mengecewakannya. Dia selalu kekurangan dan juga mendambakan cinta kasih seorang ibu. Dalam pengejaran idealismenya yang tanpa henti, apakah pernah melintas dalam benak Jiva bahwa dirinya adalah penyebab luka bagi Pusydeva? Mungkin Jiva mencintai kedua bersaudara itu seperti ibu-ibu yang lain, tapi caranya mencintai agak aneh, kan?
Meski aku membiarkannya memelukku dalam waktu lama, aku masih harus membuat segalanya jelas bagi Pusydeva. Bahkan bila tindakan intim ini berasal dari kerinduannya akan cinta seorang ibu, aku tak bisa menggantikan Jiva. Pusydeva pada usia ini selalu dikelilingi oleh banyak wanita, tapi dia mungkin tak pernah memikirkan tentang perasaanku. Aku tak bisa membiarkan hal ini berlanjut lebih jauh lagi. Yang lebih penting, aku tak mau Rajiva menyaksikan pemandangan seperti ini. Meski tak ada janji yang pernah diberikan di antara kami, dalam hatiku, dialah satu-satunya.
Aku mendesah panjang dan berusaha memilih kata-kataku dengan hati-hati: “Pusydeva, sekarang kau adalah orang dewasa. Orang Han punya pepatah: 男女授受不亲 (nánnǚ shòushòu bù qīn), yang berarti bahwa seharusnya ada jarak yang sepantasnya di antara pria dan wanita. Kami menyebutnya sebagai etika. Jadi kau seharusnya tak boleh memelukku sesukamu seperti ini. Aku adalah orang Han, dan karenanya tak suka bila laki-laki bersikap semendesak ini padaku.”
“Kamu tak suka ini?”
Melihat sorot seriusku, pusydeva mengesah dan melepasku.
“Aku selalu berpikir kalau semua wanita akan suka kalau aku memeluk mereka.”
“Itu karena mereka mencintaimu. Hanya mereka yang saling mencintai yang akan menyukai kontak fisik seperti itu.”
“Lalu….” Pusydeva tiba-tiba bergerak lebih dekat padaku, matanya terpancang ke wajahku untuk memerhatikan ekspresiku, dan kemudian bertanya pelan, “Apa ka mencintaiku?”
“Tidak,” aku mengatakannya dengan suara tegas. “Kau itu seperti adik bagiku. Jangan lupa, aku lebih tua tiga tahun darimu.”
“Tapi kamu adalah seorang bidadari, jadi beberapa tahun lagi, aku akan lebih tua darimu. Bahkan bila aku menjadi seorang pria tua, kau masih akan tetap muda selamanya.”
Ugh! Jangan ini lagi. Sebenarnya bagaimana aku harus menjelaskan hal ini agar bisa menghapus kebohongan yang dulu pernah kukatakan kepadanya itu?
“Pusydeva….”
Dengan kilauan ganjil di matanya, dia pun memotong perkataanku. “Baiklah, kalau kamu tak menyukainya, aku takkan berusaha untuk memelukmu lagi.”
Sorot mata playboynya kembali, “Tapi sesekali juga tak apa-apa, kan?”
Sudah serius untuk beberapa menit, dan sekarang dia kembali ke bentukan asalnya! Kau tahu apa yang mereka bilang: macan tutul tak bisa mengubah tutulnya.