Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 29
Aku mencabik lepas setiap helai kelopak bunga: aku pergi, nggak pergi, pergi, nggak pergi, sampai yang terakhir, yaitu ‘nggak pergi’. Bukan, bukan, yang itu tak dihitung! Aku memetik bunga lain dan memulai seluruh prosesnya dari awal. Hasil akhir kali ini lebih baik: ‘pergi’. baiklah, kalau itu adalah keinginan Langit, mari kita berangkat!
Itulah caraku membuat keputusan dalam pergi ke Kuil Cakuri.
Begitu aku tiba, mataku berubah menjadi alat pemindai dan menyapu setiap sudut dan belokan kuil untuk menemukan sosok tinggi kurus itu. Ah! Itu dia! Pipiku tiba-tiba memanas. Kutundukkan kepalaku dan melanjutkan pekerjaanku. Perban di tanganku membuat gerakanku jadi cukup sulit, memaksaku untuk beristirahat sesekali. Aku sedang dalam proses menggambar dan menghapus ketika seorang rahib kecil muncul dengan membawa secangkir air dan sebuah catatan dalam tulisan Han yang indah yang berkata, ‘Lukanya masih belum sembuh, jangan terlalu banyak menggambar’. Kehangatan membuncah di hatiku. Aku menengadah dan mendapati Rajiva sedang bicara dengan Guru Bandhudatta di aula utama. Matanya melewatiku selama sesaat, mungkin tak disengaja, tetapi setelah melihat catatan di tanganku, matanya langsung kembali pada teman bicaranya seakan tak ada yang terjadi.
Aku tak lagi berminat untuk melanjutkan gambarku, terlalu sibuk dengan kenangan tentang kali pertama Rajiva membawaku ke kuil ini. Aku sekarang ingin berjalan-jalan. Aku berjalan-jalan sambil mengenang setiap ekspresi, setiap kata yang dia ucapkan waktu itu dan tersenyum pada diriku sendiri. Kenangan-kenangan manis itu sudah cukup untuk kunikmati sepanjang hari.
Aku baru kembali ke rumah kecil setelah Rajiva selesai dengan mantra siangnya. Dia akan kembali di sore hari karena lenganku masih memerlukan perawatan. Haruskah aku mencari cara untuk membuat luka ini sembuh lebih lambat? Lebih baik begitu daripada membuat diriku sendiri sedih dengan pemikiran tentang pergi. meski atu tahu kalau cepat atau lambat aku harus pergi, kalau entah bagaimana aku bisa mengulurnya satu hari lagi atau lebih, betapa menyenangkannya itu? Bos, mohon jangan marah padaku. Begitu seorang wanita jatuh cinta, mana mungkin ada ruang tersisa untuk logika?
Begitu gerbang rumah terlihat, aku bisa melihat sebuah kereta kuda diparkir di depan. Kubuka mataku lebar-lebar untuk melihat lebih baik. Lambang di kereta itu sangat kukenal. Seseorang melangkah keluar dari belakang kereta: itu adalah sosok yangsangat tinggi dengan wajah tampan, mengenakan seragam hitam dengan emblem emas dan diikat dengan sabuk yang sewarna. Sebilah pedang panjang tergantung di punggungnya. Sudah menjadi kebenaran umum bahwa terdapat suatu pesona tak tertahankan yang dimiliki oleh pria berseragam, sebuah pesona yang tak bisa ditiru oleh sesama jenisnya. Tetapi ada sesuatu yang salah pada wajah pria ini.
“Pusydeva?” aku berseru, “bagaimana kau bisa ada di sini?”
Pusydeva memberiku tatapan kosong. Butuh waktu lama sebelum dia menjawab, “Untuk menjemputmu pulang.”
Suaranya sedingin es, membuatku bergidik sebagai balasannya.
“Bukankah aku sudah bilang kalau aku akan kembali dalam sepuluh hari?”
Aku berjalan mendekat dan menatap wajahnya dengan penasaran, “Ada sesuatu yang terjadi?”
“Ayahku ingin bertemu denganmu,” dia memalingkan wajahnya dariku dan menghindari mataku, “Ayah… sejak mendengar kabar tentang ibu, dia jadi batuk darah….”
Aku terhenyak. “Apa Rajiva tahu tentang ini? Apa kau sudah pergi ke kuil? Kalau tidak, ayo kita pergi! kita harus segera memberitahu dia.”
Aku menarik tangan Pusydeva tapi dia tak mau bergerak. Dia menatap tajam pada lenganku sebelum tertawa pahit, “Kenapa repot-repot, bukankah toh dia kembali ke sini setiap sore?”
“Kau….” Aku membeku karena syok. Dia tahu!
“Masavu mengatakan padaku kalau kau sudah kembali tiga bulan yang lalu dan sejak itu telah bersama dengan Rajiva.”
Pusydeva tiba-tiba menarikku. Tangannya yang seperti jepitan besi meringkusku dan menyakiti sikuku yang terluka. Dia tak memedulikan rintihan kesakitanku dan hanya menekanku lebih dekat ke dadanya. Wajahnya terarah di atas wajahku, ekspresinya mendung saat dia berteriak, “Menyembunyikanmu di sini, apa dia coba-coba meniru cara Kaisar Wu dari Han dalam ‘menyimpan wanita cantik dalam rumah emas’? Tampaknya bahkan seorang rahib Buddhis yang hebat juga tak mampu menahan godaan wanita! Menggelikan sekali! Dan di sinilah aku berpikir kalau kau tak pernah mengenal sentuhan lelaki sebelumnya, padahal sebenarnya kau telah berada dalam pelukan pria penipu itu sepanjang waktu!”
(T.N: idiom 金屋藏娇 / menyimpan wanita cantik dalam rumah emas; berasal dari sang Kaisar yang menyombongkan kepada ibundanya tentang bagaimana dia ingin membangun sebuah rumah emas untuk Permaisuri Chen, istri pertamanya, tapi sekarang malah berubah arti menjadi ‘menyembunyikan wanita simpanan’. Ini mungkin karena sang Kaisar kemudian menikahi permaisuri kedua, Permaisuri Wu, dan belakangan juga memiliki seorang selir terkenal bernama Nyonya Li.
“Pusydeva! Beraninya kau bilang seperti itu!”
Dengan marah kuayunkan tanagnku yang bebas untuk menamparnya, tapi dengan cepat dia menangkapnya dalam cengkeraman erat sampai-samai aku merasa kalau pergelangan tanganku akan lepas. Semakin aku meronta untuk lepas dari genggamannya, lukaku terasa semakin berdenyut-denyut. Air mata mengalir di pipiku saat aku memekik padanya, “Lepaskan aku! Kau tak diijinkan menghina Rajiva seperti itu! Kami berdua benar-benar bersih –“
“Bersih?” Dia memotong kalimatku, wajahnya begitu garang sampai membuatnya jadi tak bisa dikenali lagi. “Baiklah, kalau begitu kita ke ranjang sekarang, dan kau bisa membuktikan padaku apakah kau masih perawan atau tidak.”
Dia menyeretku ke dalam rumah. Tangan kananku berhasil lepas dari genggamannya, jadi aku pun langsung berpegangan pada pilar pertama yang terlihat dan tak mau melepaskannya. Tubuhku gemetar ketakutan. Tak pernah aku melihat Pusydeva jadi semenakutkan sekarang. Kalau dia benar-benar berniat memaksaku, bahaimana aku akan bisa melawannya dengan kekuatanku?
“LEpaskan aku! Kenapa aku harus membuktikan hal semacam itu padamu! Kau tak punya hak!”
Tangan kananku rasanya seperti akan patah jadi dua. Lukanya membuatku begitu kesakitan sehingga aku nyaris tak mampu lagi berpegangan pada pilar. Tapi kalau aku menyerah sekarang, siapa yang bisa membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya! Dia sudah kehilangan akal sehatnya! Lebih banyak lagi air mata mengalir saat aku berteriak, “Pusydeva, kau sudah gila! Apa kau benar-benar ingin aku membencimu?”
Masavu dan istrinya berlari keluar pada saat itu. Mereka menghampiri kami dengan tampang sama ketakutannya denganku dan berusaha membujuk Pusydeva untuk tenang. Melihat bahwa aku takkan melepaskan pilarnya, Pusydeva pun berputar dan meraih kedua pergelangan tanganku sebelum menekankan tubuhnya padaku.
“Tak punya hak?” Dia menyeringai, satu tangan masih memegangi kedua pergelangan tanganku, sementara tangan lainnya mencengkeram daguku dan memaksaku untuk menatap ke dalam matanya. “Aku sudah mengejar-ngejarmu selama berhari-hari. Tak yakin apakah kau terlalu bodoh atau terlalu pintar? Jadi tak masalah bila bersama dia, tapi tidak denganku? Kau bicara tentang kebajikan, tentang buku-buku, tentang percintaan dan bentuk cinta yang sepantasnya, tapi sepertinya kau tak lebih dari menggoda seorang rahib yang reputasinya dikenal di seantero Xi Yu! Dan sekarang kau masih ingin berpura-pura menjadi seorang gadis suci?”
“Beraninya kau menghinaku seperti itu! Aku sudah menjalani hidup tanpa noda, tidak kotor sepertimu, di mana kau akan meniduri setiap wanita yang kau temui. Orang tak terkendali sepertimu takkan pernah mengerti hubungan di antara aku dan Rajiva!” Aku berteriak padanya dengan berlinangan air mata. Tangan kananku rasanya seperti akan lepas dari tubuhku. Rasa sakit yang tak terkatakan menerpaku.
Pusydeva sudah akan membalas tapi berhenti di tengah jalan dan melihat melewatiku ke arah halaman. Sebuah sorot licik melintas di matanya. Dia semakin mendekat. Dalam kebingungan dan rasa sakitku, aku tiba-tiba merasakan tekanan dari sesuatu yang lembab di bibirku, membuat kepalaku jadi kosong….
Pusydeva berusaha membuka bibirku yang terkatup, mengisapnya dan menggerakkan lidahnya untuk mencari jalan masuk. Kukatakan pada diriku sendiri ‘jangan menyerah!’ saat suatu rasa sakit membakar bibir bawahku, membuat rahangku mengendur. Dia berani menggigitku! Refleks pertamaku tentu saja membuka mulut, yang dilihat oleh Pusydeva sebagai kesempatan untuk menyerang. Lidahnya langsung memaksa masuk dan meluncur ke mana-mana, mengejar lidahku tanpa kenal lelah. Dengan cepat ini aku akan kalah dalam pertempuran ini.
“Tuan Muda Pertama!”
Suara Masavu. Aku gemetar karena syok. Ya Tuhan, Rajiva ada di sini! Dia pasti sudah melihat semuanya! Aku menggunakan kekuatan terakhirku untuk melepaskan diri tapi tak berhasil. Dengan marah kugigit Pusydeva. Dia bersuara dan melepaskan bibirku, satu tangan memegangi mulutnya dan tangan yang lain masih memegangi kedua pergelanganku. Amarah di matanya perlahan memudar ketika seulas senyum ganjil mulai mengambil alih wajahnya. Dia memberiku sorot menantang dan mendongakkan dagunya ke arah halaman.
Aku menolehkan kepala dan mendapati Rajiva membatu di tengah halaman, menatap kami, wajahnya pucat pasi. Pusydeva meneriakkan sesuatu padanya dalam Bahasa Sansekerta. Rajiva gemetar, wajahnya menjadi lebih pucat lagi.
“Lepaskan aku!” amarahku memuncak hingga ke langit. Dalam hidupku, aku tak pernah mengalami pelecehan seperti ini! Aku sudah sampai pada batasku, “Pusydeva, kapan kau akan tumbuh dewasa? Ayahmu sedang meregang nyawa, tapi kau masih punya pemikiran untuk melakukan ini kepadaku?”
Wajahnya berubah warna. Pusydeva perlahan-lahan merenggangkan cengkeraman kencangnya. Rajiva berjalan tiga langkah panjang-panjang dan tiba di hadapan adiknya, melepaskan sepenuhnya cengkeraman Pusydeva terhadapku. Berdiri di antara kami berdua, dia berkata dengan suara agak dinaikkan, “Apa yang terjadi dengan ayah?”
Mata Pusydeva memerah saat dia menundukkan kepalanya, jelas-jelas sedang berperang batin, “Tabib bilang… kondisinya kritis….”
Aku tak bisa melihat wajah Rajiva, hanya melihat punggungnya yang bergetar. Pusydeva tiba-tiba menyerbu maju, mencengkeram bagian depan jubah Rajiva dan berkata lewat gigi yang terkatup, “Ini semua salahmu! Kau sudah tahu kalau tubuh ayah sudah lemah, jadi kenapa kau pergi dan memberitahu dia kalau ibu sudah meninggal?”
Rajiva tak mengatakan apa-apa sebagai balasannya. Ini tidak benar.
“Pusydeva, yang kau katakan itu sudah cukup!” Aku berjalan memutar dan berhenti di samping kedua bersaudara itu. Kugunakan semua kekuatanku untuk melepaskan tangan Pusydeva dari jubah Rajiva.
“Apa ini waktu untuk bertengkar? Prioritas kalian seharusnya adalah kembali ke Kediaman sekarang juga!” Kuhentikan gerakanku dan menatap mereka berdua, hatiku terasa seberat batu karang. “Aku tak mau kalian berdua menghabiskan waktu dalam pertarungan tak berarti ini dan kemudian harus menyesal seumur hidup….”
Mereka sepertinya tersadarkan berkat perkataan itu Pusydeva pun melepaskan Rajiva.
Aku berpaling pada Rajiva, berkata pelan, “Apa kau butuh bantuan mengenai suatu hal?”
Melihat dia menggelengkan kepala, aku pun berkata, “Kalau begitu ayo pergi. kalau kita berangkat sekarang, seharusnya kita sudah ada di sana sebelum malam berakhir.”
“Tunggu!” Rajiva tiba-tiba berseru. Dia segera masuk ke kamarku dan saat dia keluar, ada sebuah buntelan kecil yang terbungkus kain di tangannya.
“Ayo pergi,” akhirnya dia berkata.
Kami bertiga duduk dalam kesunyian di kereta. Mulanya Pusydeva ingin duduk di sebelahku, tapi aku langsung pindah ke sisi lain. Rajiva masuk terakhir dan setelah mengamati pemandangannya selama sedetik, mengambil tempat duduk di sebelah adiknya.
Begitu roda keretanya mulai bergulir, Rajiva membuka buntelan kain yang tadi dia ambil. Di dalamnya terdapat salep obat, sebotol arak, kain bersih, dan helaian perban baru. Baru sekarang aku ingat dengan tanganku yang terasa seperti terbakar dan menyadari kalau lengan bajuku sudah berdarah-darah. Rasa sakitnya kembali untuk balas dendam. Aku berusaha memakai tangan kiriku untuk memegangi tangan kananku tapi rasa sakitnya terlalu besar sampai-sampai aku menjerit keras.
“Ai Qing, kenapa tanganmu?”
Sejak dia masuk ke dalam kereta, Pusydeva sudah menghindari mataku, tetapi saat dia mendengarku menjerit kesakitan, dia langsung mencengkeram tanganku, bersiap untuk menyingkapkan lengan bajuku. Aku tak mau dia menyentuhku lagi, jadi serta merta aku menarik tanganku, tapi gerakan itu hanya memperparah lukanya, membuat rasa sakitnya nyaris tak tertahankan. Aku merintih. Seketika dia pun melepaskan tanganku.
Ruang di dalam kereta ini sangat semoit, Pusydeva nyaris berlutut di depanku. “Tadi aku sudah bersalah. Aku tak tahu apa yang telah memengaruhiku atau kenapa aku bertingkah seperti itu.” Matanya sarat dengan penyesalan, “Kumohon, biarkan aku melihat tanganmu, ya?”
Kuabaikan dia dan menaikkan sendiri lengan bajuku. Kedua bersaudara itu tersentak bersamaan. Darah sudah merembesi perban sepenuhnya. Ya Tuhan, kalau terus begini, bisa-bisa aku kehilangan tanganku!
Kugertakkan gigiku dan mulai melepas perbannya. Pusydeva ingin membantu tapi aku segera menghindari tangannya dan dalam prosesnya malah menghantamkan lenganku pada bagian belakang kereta. Air mataku mengalir. Sebuah tangan kurus terjulur dan memegang tanganku. Tanpa berkata-kata, dengan hati-hati dia melepaskan perbannya. Aku duduk diam dan menikmati perawatannya yang lembut. Hatiku mulai menjadi tenang dan rasa sakitnya mulai berkurang.
Begitu akhirnya perban lama terlepas, Pusydeva berseru keras. Lukanya telah lumayan melebar, jelas-jelas terinfeksi, dan darah yang mengalirinya berwarna merah gelap. Rajiva meraih arak obat. Kugertakkan gigi dan mengalihkan pandangan. Rasa sakit yang menyengat melandaku, membakar hingga organ dalamku, dan tak peduli betapapun aku telah berusaha, aku tak mampu menahan teriakanku. Tangan kiriku mengepal begitu erat sampai-sampai kukuku mencetakkan bulan-bulan sabit pada kulitku. Sebuah tangan sedingin es memegangi tanganku. Aku menengadah dengan susah payah dan mendapati wajah Pusydeva telah membeku oleh rasa takut.
“Ai Qing, kapan kau terluka? Bagaimana bisa aku tak mengetahuinya?”
Aku tak menjawab dan hanya memejamkan mataku, menyandarkan punggungku ke dinding kereta. Rasa dingin dari salep obat perlahan-lahan menggantikan rasa sakit tadi. Dengan gerakan yang masih begitu lembut, Rajiva mulai membebat sikuku dengan perban baru. Dari awal hingga akhir, dia tak mengatakan sepatah kata pun.
Langit telah menggelap. Angin dingin berhembus ke dalam kereta. Pusydeva masih terus meminta maaf kapadaku tanpa kenal lelah. Rasa lelah tiba-tiba melandaku, bukan tubuh tapi batin. Kegilaan Pusydeva hari ini telah membuatku menyadari bahwa dia telah mengembangkan perasaan terhaapku, sejak kapan aku tak tahu, tapi aku tak bisa membalas perasaannya. Aku tak bisa membalas perasaan siapa-siapa di antara kedua bersaudara ini….
“Pusydeva….” Kalau aku tak menyelanya, mungkin dia akan terus melanjutkannya semalaman. “Aku memaafkanmu.”
Kegelapan telah melingkupi kereta. Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi aku bisa mendengar dia bersuara kegirangan. Aku meneruskan tanpa ampun, “Aku akan pergi menemui ayahmu, dan kalau dia sepertinya abik-baik saja, dalam beberapa hari, aku akan menemani sekelompok pedagang itu ke Taqian, lalu menuju Chang’an.”
“Kamu….”
Dia meraih tangan kiriku ketika kepanikan terdengar di suaranya, “Kamu masih akan pergi?”
“Aku punya rencanaku sendiri, tak bisa lama-lama tinggal di Kucha.”
Aku ingin menarik balik tangan kiriku tapi dia masih memeganginya dengan keras kepala. Aku harus memakai sedikit kekuatan lagi sebelum akhirnya dia melepasku.
“Ai Qing….”
“Pusydeva, aku lelah sekali –“
“Kalau kamu lelah, kamu bisa bersandar di bahuku dan tidur.”
“Pusydeva, tolong, kumohon padamu, setidaknya untuk hari ini, tolong jangan menyentuhku….”
Tapal-tapal kuda terus mengetuk jalanan. Keretanya berayun sebagai balasannya. Aku tak bisa melihat wajah Rajiva, tapi sejak dia naik kereta, dia tak mengatakan sepatah kata pun, bahkan ketika membebat lenganku. Ah yah, lebih baik begini. Kalau aku bisa mendengar dan bisa melihat, tekadku hanya akan berubah lagi. Kami bertiga pun tetap terdiam selama sisa perjalanan dalam kegelapan malam….