Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 30
Kamar Kumarayana selalu penuh dengan aroma pekat obat-obatan belakangan ini. Sudah lebih dari sepuluh hari sejak kami kembali ke Kediaman Guru Negara dan kondisinya masih belum membaik. Setiap hari dia mengeluarkan darah saat batuk dan masuk dalam kondisi tidak sadar. Pusydeva tetap di samping ranjang ayahnya siang dan malam; tubuhnya jadi semakin kurus dan semakin kurus dalam prosesnya. Rajiva juga terus berjaga di dekat situ dan melantunkan mantra hari demi hari. Dua bersaudara itu terlalu sibuk menjaga ayah mereka hingga tak punya waktu untukku, membuatku bisa bernapas dengan lega. Bagaimanapun, aku tak bisa pergi pada saat ibi, karena aku harus membantu mereka menjaga Kumarayana.
“Guru Negara….” Aku bergerak lebih dekat ke ranjangnya. Kumarayana tampak begitu ringkih dan kurus kering sampai-sampai membuat siapa saja yang melihatnya menitikkan air mata. Satu-satunya bagian tubuhnya yang masih memiliki sisa kehidupan adalah mata abu-abu mudanya.
“Kamu sudah datang, Nona Ai Qing?” Dia mengangguk samar dan berusaha untuk duduk. Aku bergegas maju dan meletakkan beberapa bantalan di belakang punggungnya untuk menyangganya. Ketika tanganku menyentuh tubuhnya yang seperti kerangka, jantungku terasa diremas kuat-kuat oleh kesedihan.
“Nona Ai Qing pasti terkejut saat mendengar bahwa saya telah memanggil Anda, kan?”
“Ya, sedikit,” jawabku jujur. Untuk suatu alasan tertentu, aku selalu merasa seakan dia adalah bos-ku. Meski aku selalu memanggil penasihat menelitiku sebagai ‘bos’, dia itu sebenarnya adalah seorang profesor yang kuhormati dari dasar hatiku.
Aku tersenyum. “Sang Guru Negara sampai memanggil saya, pasti ada sesuatu yang penting.”
“Nona Ai Qing bukanlah wanita biasa, hal ini sudah saya sadari sejak sepuluh tahun yang lalu.”
Aku tak mengatakan apa-apa sebagai balasannya.
“Saya tahu bahwa waktu saya sudah hampir berakhir. Sebenarnya, saya sudah cukup lelah dengan kehidupan ini. Semakin cepat saya bisa kembali ke tanah, semakin cepat pula saya bisa berhenti menjadi beban bagi orang-orang yang saya cintai.”
Hidungku seperti tersengat. Aku ingin mengatakan sesuatu untuk menaikkan semangatnya, tapi sebelum aku bisa melakukannya, sorot mata tajamnya yang penuh kebijaksanaan telah memotongku:
“Namun manusia, meski di atas ranjang kematian pun kami tetap tak bisa berhenti khawatir, dan bagi saya, adalah tentang kedua anak itu….”
Instingku mengatakan bahwa topik percakapan ini pasti ada hubungannya dengan kedua bersaudara itu, jadi aku diam saja dan menunggunya meneruskan.
“Nona Ai Qing, Anda telah datang dari alam lain, bisakah Anda mungkin mengungkapkan kepada pria ini, yang sudah akan meninggalkan dunia ini, bagaimana nasib kedua putra saya kelak?”
Terkejut, aku menengadah dan menangkap sepasang mata cemerlang yang sepertinya mampu melihat hingga ke dalam jiwaku itu. Apa entah bagaimana dia telah menerka latar belakangku? Tapi bagaimana?
“Sepuluh tahun telah berlalu dan penampilan Nona masih belum berubah sedikitpun. Hilangnya Anda sama mendadaknya dengan kemunculan Anda. saya percaya kalau Anda pasti mengetahui hal-hal yang tak diketahui oleh orang biasa.”
Aku tak diperbolehkan mengungkap detil tentang masa depan, tetapi haruskah aku menaati aturan ini di depan seseorang yang sudah akan meninggal?
Melihat keraguanku, dia menambahkan, “Nona Ai Qing, harap percayalah kepada saya, saya takkan mengungkapkan takdir.”
Aku terus meragu dan meragu, tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengatakan kepada Kumarayana mengenai beberapa hal karena aku tak sanggup menyembunyikannya dari dia.
“Guru Negara, pencapaian Rajiva di masa depan akan berkelanjutan di sepanjang sejarah dan namanya akan dikenal oleh generasi-generasi mendatang.” Aku terdiam selama sesaat, “Lalu unutk Pusydeva, tenanglah, Guru Negara, karena Ai Qing berjanji untuk menjaganya.”
Catatan sejarah tak mencatat apapun mengenai Pusydeva, jadi mungkin dia bisa menikmati kehidupan yang relatif normal seperti semua orang yang lain. Aku memutuskan kalau aku juga akan memberinya peringatan kalau dibutuhkan, untuk mencegahnya tersapu dalam tragedi yang akan terungkap sebelas tahun dari saat ini. Aku hanya bisa membantunya sampai di situ.
“Pencapaian Rajiva yang Anda bicarakan, apa itu berhubungan dengan Buddhisme?”
Aku mengangguk. “Rajiva akan memiliki pengaruh besar pada penyebaran Buddhisme ke Dataran Tengah.”
Kumarayana terlarut dalam pikirannya untuk waktu lama sebelum berkata, “Semua orangtua berharap untuk melihat anak-anaknya berhasil, tetapi yang terpenting dari semuanya adalah agar mereka mendapatkan kedamaian.”
Rentetan batuknya kembali terjadi. Aku bergegas maju dan membantunya berjuang menenangkan pernapasannya. Begitu batuknya sudah cukup mereda, dia meneruskan, “Saya juga khawatir tentang Pusydeva. Dia bertanggungjawab atas setiap tindakannya, dan meski sekarang dia mungkin kelihatan membabi-buta dan sembrono, wkatu akan berlalu dan dia akan semakin dewasa. Orang yang saya cemaskan adalah Rajiva….”
Jantung berdetak kencang, aku menatapnya dengan kaget. Semenjak dia jatuh sakit, Kumarayana tak pernah bicara sepanjang ini. Wajahnya kini memerah akibat terlalu memaksakan diri. Dia terus bicara di sela-sela batuknya, “Rajiva terlalu cerdas dan tak pernah benar-benar menderita dalam hidupnya. Berpikir terlalu banyak, tapi tak pernah membaginya dengan siapapun. Sifat semacam itu kelak akan membawa penderitaan baginya.”
Aku dulu pernah membaca sebuah artikel tentang sekelompok peneliti yang telah mengembangkan tikus dengan mutasi genetika yang memiliki intelijensi yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan tikus biasa. Diperkirakan bahwa bila penelitian ini bisa diterapkan pada manusia, kami akan menjadi jauh lebih cerdas dan memiliki IQ lebih tinggi. Namun tak lama setelahnya, para peneliti merasa senang karena mereka tak membuat impian semacam itu menjadi kenyataan, karena hasil penelitian yang belakangan menunjukkan bahwa meski tikus yang telah dimodifikasi secara genetik memang lebih cerdas, mereka harus membayar harga yang cukup mahal untuk itu. Gen-gen baru dalam ‘tikus-tikus cerdas’ ini membantu mensimulasi sistem syaraf, membuat mereka mampu belajar dan mengingat dengan lebih baik, tetapi juga membuat mereka jadi lebih sensitif terhadap rasa sakit dan terluka.
Jadi menjadi cerdas itu tak selalu merupakan hal yang baik. Saat kemalangan melanda, orang-orang cerdas akan jadi jauh lebih sensitif dan mungkin akan jadi lebih kesulitan dalam berdamai dengan kenyataan, mungkin bahkan mendapatinya terlalu tak tertahankan, di mana orang-orang biasa mungkin akan menganggap remeh kemalangan atau pada akhirnya akan melanjutkan hidup (bahasa kekiniannya move on). Perasaan yang semacam, ‘semua orang itu sedang mabuk, hanya aku sendiri yang sadar’* yang seringkali ditulis oleh para filsuf. Mereka bisa dengan mudah menjadi tersesat dan kehilangan kewarasan mereka, dan hidup mereka akan berubah menjadi tragedi sejak saat itu. Itulah derita dari seorang yang bijak; Rajiva tak bisa melepaskan diri dari takdir menyedihkan ini.
(*T/N: Kalimat ini berasal dari Yu Fu (漁父, secara literal berarti Nelayan), sebuah puisi yang ditujukan kepada Qu Yuan, seorang penyair dan mentri yang hidup pada masa Negara-negara Berperang, yang paling terkenal akan Chu Ci (Lagu dari Selatan atau Lagu dari Chu) dan menjadi asal mula Festival Perahu Naga. Yu Fu mendeskripsikan perjumpaan antara Qu Yuan dan seorang nelayan pada masa pengasingannya, yang seringkali disebut-sebut dalam banyak hasil karya para filsuf Tiongkok yang lain. Puisi itu juga membantu menjelaskan mengapa Qu Yuan bunuh diri….)
“Meski saya tak tahu persis dari mana Nona Ai Qing berasal, tetapi saya memercayai apa yang telah Nona katakan mengenai masa depan Rajiva dalam Buddhisme.”
“Guru Negara, harap beristirahatlah sejenak.” Aku membawakannya segelas air.
Dia bernapas dengan susah payah, dan meski sudah jelas kalau ini merupakan perjuangan baginya, dia terus melanjutkan, “Kalau saya tak mengatakannya, saya takut takkan ada waktu lagi.” Dia tiba-tiba menengadah menatapku dengan ekspresi sedih. “Nona Ai Qing sudah sebelumnya bahwa Rajiva akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Buddhisme, jadi mengapa Anda masih membiarkannya mengembangkan perasaan terhadap Anda? Bukankah itu terlalu kejam? Mungkinkah Sang Buddha yang telah menurunkan Anda kemari untuk mengujinya?”
Tanganku gemetaran. Cangkirnya terlepas dari peganganku dan pecah berserakan di lantai. Aku merangkak di sekitar untuk membersihkan serpihannya, dan dalam kepanikan, aku telah membuat sebuah ujung yang tajam melukai telapak tanganku. Rasa sakitnya yang menyengat menyadarkanku. Jadi selama ini dia sudah tahu semuanya. Tapi tentu saja. Masavu adalah pelayan setia yang telah menemani dia dari India ke Kucha. Fakta bahwa aku tinggal di rumah kecil Rajiva selama hampir tiga bulan, mana mungkin aku bisa menyembunyikannya dari Kumarayana.
“Guru Negara….”
Dia mendesah, wajahnya tampak kesakitan, kedukaan tampak jelas di matanya.
“Saya adalah seorang pria tak berpengalaman yang pernah menderita karena ‘cinta’. Saat saya meninggalkan kehidupan biara, saya telah menghadapi banyak kritik dari orang-orang di sekitar saya. Saya pernah berpikir bahwa satu kata itu, ‘cinta’, sudah cukup untuk mengatasi semuanya, untuk menebus semuanya. Bagaimanapun, orang yang saya cintai adalah orang yang memiliki hati yang terbuat dari besi, yang batinnya hanya peduli tentang mengikuti idealismenya sendiri, membuat kedua anak kami ikut menderita bersama saya.” Dia berhenti untuk istirahat dan memulihkan pernapasannya sebelum meneruskan, “Saya tahu bahwa Nona juga memiliki perasaan terhadap Rajiva. Tetapi dia telah memilih untuk mendedikasikan hidupnya kepada Buddha, dann bila masa depannya mendapati dia membuat pencapaian yang besar, maka dia tak boleh menyisakan ruang di hatinya untuk cinta.”
Kumarayana memejamkan matanya, ekspresinya lelah, bibirnya bergetar, “Nona Ai Qing, saya mohon jangan sampai Anda terjatuh ke jalan yang sama dengan yang telah saya ambil….”
Aku meninggalkan kamarnya dengan perasaan kehilangan, seakan tubuhku hanya melayang begitu saja. Aku sudah habis-habisan. Tak ada kekuatan yang tersisa dalam diriku. Pusydeva telah berjalan mondar-mandir di depan kamar. Melihat aku keluar, dia langsung melangkah maju dan bertanya, “Apa yang ayah katakan padamu?”
“Bukan apa-apa?” aku bergumam dan saat mendapati kalau dia sudah akan bertanya lagi, dengan sedih kugelengkan kepalaku, “Pusydeva, aku lelah sekali, jadi aku akan istirahat sekarang.”
Dalam perjalanan kembali ke kamarku, aku bertemu dengan Rajiva yang sedang membawakan obat untuk ayahnya. Tatapannya terarah padaku, penuh kekhawatiran dan keingintahuan. Air mata mengalir dari mataku. Kutundukkan kepalaku sehingga dia takkan bisa melihatnya dan mempercepat langkahku kembali ke kamar.
Setiap hari, begitu malam tiba, Rajiva bisa ditemukan sedang melantunkan mantra di kamarnya. Dan yang dengan cepat menjadi kebiasaan, aku lalu akan mematikan lampu du kamarku dan menyembunyikan diriku sendiri dalam kegelapan. Cahaya yang menyala sendiri dari kamar di seberang memberikan kilau lembut pada siluet kesepian di ambang jendela. Siluet itu tetap tak bergerak, dan satu-satunya suara yang bisa terdengar dalam kesunyian malam adalah lantunan mantra yang lambat dan ritmis. Rajiva, kalau saja kita tak dipisahkan oleh jarak 1.650 tahun, kalau saja identitasmu bukan seorang rahib, selamanya takkan berubah, mungkinkah aku akan menemukan keberanian untuk mengakui perasaanku kepadamu? Aku tahu kalau kau juga memiliki perasaan padaku, jadi bila aku mengakuinya, akankah kau menerima? Tetapi kenapa hidup memiliki begitu banyak rintangan? Pada akhirnya, kita berdua hanyalah dua garis parallel yang secara kebetulan bersimpangan, dan begitu kita kembali ke posisi kita yang semula, batin kita tak mampu melepaskan beban yang ditanggung oleh bahu kita. Aku mencintaimu, dan itulah sebabnya aku telah memutuskan untuk melepasnya….
Kondisi Kumarayana terus memburuk. Sang raja, sang ratu, dan beragam anggota keluarga kerajaan lainnya telah datang untuk menjenguknya. Aku sudah melihat Bai Zhen, adik lelaki Bai Chun, yang sebelas tahun kemudian akan dijadikan raja Kucha oleh Lu Guang. Aku juga melihat seorang gadis muda berusia sekitar 8-9 tahun – Putri Asuyamati (nama ini dipakai Haru sebagai terjemahan dari nama Han-nya: 阿素耶末帝, pinyin “A su ye mo di. Nama Sansekertanya tak ditemukan. Dia hanya dikenal dengan putri Kucha, sepupu Rajiva, tapi tak disebut namanya). Perasan yang kumiliki terhadap putri itu… sangat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Ini adalah gadis yang akan membuat Rajiva melanggar sumpah kebiaraannya sebelas tahun kemudian.
Sebelumnya, saat aku mendapati bagian ini dalam biografi Rajiva, emski aku bersimpati pada situasinya (Rajiva akan dipaksa menikah), yang paling banyak kurasakan adalah ketakjuban akan ceritanya dan menganggapnya hanya sekedar hal remeh yang menarik unutk diceritakan kepada orang lain. Kini saat aku telah menjadi bagian dari hidupnya, baris dalam buku-buku sejarah itu tak lagi lucu untukku. Setelah jatuh cinta kepada Rajiva, aku menyadari kalau aku tak tahan dengan pemikiran bahwa dia memiliki hubungan semacam itu dengan wanita lain. Mendengar suara manis Asuyamati memanggil dia dan melihat dia tersenyum kepada gadis itu sebagai balasannya membuatku terbakar oleh kecemburuan, bahkan meski ‘saingan’ku hanyalah seorang anak kecil. Begitu hal tersebut terjadi, perkataan Kumarayana akan berdengung di telingaku seperti seember air dingin yang tiba-tiba tersiram, secara efektif mematikan api apapun yang kumiliki dalam hatiku. Itu benar, aku telah bejanji kepada Kumarayana bahwa aku akan segera meninggalkan tempat ini, jadi hak apa yang kumiliki untuk merasa cemburu pada takdir yang dimiliki Rajiva?
Bagai lilin yang tertiup angin, bahkan obat-obatan terbaik yang ada juga hanya mampu memperpanjang hidup sang Guru Negara selama sepuluh hari lagi sebelum akhirnya cahaya itu padam. Malam itu, dua bersaudara itu berada di sisi ranjang ayah mereka. Aku menyembunyikan diriku sendiri di satu sudut dan mendengarkan napas Kumarayana yang kepayahan serta bisikannya yang putus-putus:
“Pusydeva, jangan membenci ibumu… dia…di-dia selalu mencintaimu.”
Mata abu-abu Kumarayana, yang biasanya begitu tajam, kini menampakkan tanda-tanda kekeruhan. Hanya jamunnya yang terus bergerak naik turun dengan dipaksakan; dia bicara dengan susah payah, “Entah… apa aku bisa… be-bertemu dengannya… di atas sana.” Seulas senyum yang sarat dengan kesedihan melintas di wajahnya, begitu cekung sampai-sampai kau bisa melihat tulangnya. “Mungkin tidak… dia telah mencapai buah ketiga… telah memutuskan semua ikatan… sementara aku masih di sini, masih terjebak dalam perasaan-perasaan duniawi….”
Pusydeva meraih tangan ayahnya dan menggenggamnya erat-erat, matanya memerah dan bengkak akibat menangis tanpa henti. Rajiva menatap tanpa berkata-kata, namun wajahnya sama berdukanya. Ayah mereka membuka bibirnya, hanya berkata, “Kali pertama aku melihat dia… jantungku berhenti berdetak….”
Matanya tiba-tiba mendapatkan kembali cahayanya, seakan dia baru saja melihat seseorang.
“Dia begitu cantik, juga cerdas, dan sangat gemilang….” Kumarayana tiba-tiba mengulurkan sebelah tangannya ke depan, “Jiva, jangan pergi… anak-anak masih terlalu kecil….” Dia benar-benar telah terlarut dalam kenangan. Aku bisa melihat kelembutan, cinta yang terpantul di matanya, begitu sarat dengan kemesraan sampai-sampai seakan sosok yang dikasihinya berasa tepat di depan matanya.
“Jiva, tunggu aku….”
Kumarayana mencondongkan tubuhnya ke depan, hampir terguling jatuh, tetapi Pusydeva berhasil menangkapnya. Lengan ayahnya menjadi lemas dan sekujur tubuhnya pun roboh ke pelukan Pusydeva. Pusydeva memanggil-manggil ayahnya lagi dan lagi dalam isakan yang memilukan hati, tapi tak ada jawaban yang terdengar. Rajiva hanya berdiri di sana, diam seperti patung, wajahnya tanpa ekspresi, saat mendadak dia jatuh berlutut dan mulai melantunkan mantra. Cara kedua bersaudara itu untuk mengekspresikan emosi mereka benar-benar berbeda.
“Hentikan! Selain membaca mantra, apa lagi yang bisa kau lakukan?” Pusydeva membaringkan tubuh ayahnya kembali ke ranjang, lalu berbalik dan meneriaki kakaknya, suaranya mengarah pada keagresifan, “Memmbaca mantra sepanjang hari dan malam, apa gunanya? Apakah membaca mantra akan menghidupkan ayah kembali?”
Ditudingkannya jari kepada Rajiva, sebuah gestur yang sarat dengan tuduhan. “Kau cuma tahu cara untuk bersembunyi di balik naskah-naskahmu, pada Buddha-Buddhamu. Selain melukis dunia omong kosong tentang alam baka itu, apa lagi yang bisa kau lakukan?”
“Pusydeva, jangan bicara seperti itu kepada kakakmu!” Aku melangkah maju dan berusaha menurunkan tangan Pusydeva. Dia tak lagi berada dalam pikirannya yang waras dan jelas-jelas berusaha melampiaskan semua kesedihannya ke bahu kakaknya.
Dia berbalik menatapku, matanya memerah, dadanya kembang-kempis dengan napas yang berat, “Di hati ibu, kakak adalah satu-satunya anak laki-laki yang dia punya. Ayah juga sama, selalu merindukan dia, bangga kepadanya, meski dia tak pernah menjadi putra yang berbakti pada satu hari pun dalam hidupnya.” Dia melontarkan tangaku hingga terlepas darinya dengan begitu bertenaga sampai-sampai membuatku terjajar mundur. “Dan kamu, Ai Qing, di hatimu juga hanya ada dia. Dia menerima cinta dari semua orang, tapi lihat saja, sebenarnya apa yang telah dia lakukan atau dia berikan kepada orang-orang yang mencintainya? Ayah baru saja meninggal dan dia bahkan tak bisa membuat dirinya mengeluarkan setetes pun air mata! Dia itu adalah monster tanpa perasaan!”
“Hentikan! Apa kau tahu kalau saat ini dia merasakan sakit yang jauh lebih parah darimu? Kau bisa berteriak dan melepaskan perasaanmu, bisa menangis kapanpun kau suka, sebanyak yang kau inginkan, tapi dia….”
Mata Rajiva masih terpejam saat dia melanjutkan membaca mantra, emski air mata mulai merembes keluar dari kelopak matanya.
“Bukannya dia tak tahu apa itu penderitaan dan kesedihan, tetapi karena dia begitu menderita sampai-sampai bahkan tak mampu menangis –“
“Ai Qing,” Rajiva tiba-tiba angkat bicara, suaranya tak lebih dari bisikan, “Pusydeva benar. Aku adalah seorang rahib, dan seorang biarawan tak seharusnya memiliki perasaan duniawi….”
“Rajiva….”
Dia bergegas berdiri dan berjalan keluar dari kamar. “Aku akan pergi dan memberitahu sang raja….”
Aku sudah akan berlari mengejarnya tapi ditarik kembali oleh Pusydeva. AKu mendorongnya menjauh dengan segenap kekuatanku dan memelesat mengejar Rajiva. Aku tak tahu apa yang akan dia lakukan. Aku hanya tahu kalau aku harus mengikutinya, menjaganya, melindunginya.
Langkah-langkahnya bergegas, meski arah yang dia tuju bukan istana utama melainkan gerbang menuju luar. Para penjaga gerbang yang melihatnya langsung membiarkannya lewat, tapi ketika tiba giliranku, aku harus memberikan semua koin yang kupunya kepada mereka sebelum mereka mengijinkanku lewat.
Dia berjalan seperti tanpa punya tujuan dalam benaknya, terus berjalan cepat sepanjang waktu, bahkan beberapa kali tersandung. Akhirnya, dia berhenti di tepi Sungai Tongchang. Barulah saat itu dia akhirnya membiarkan air matanya mengalir dan menangis sepuasnya di depan air yang mengalir di hadapannya. Di malam yang sunyi, dengan kota yang tertinggal jauh di belakang kami, suara tangisannya membelah udara bagai kaca yang pecah saat jatuh, rentan dalam kualitasnya yang sepi, mematahkan hati dalam betapa tak terlihatnya kepingan-kepingan tersebut setelah sampai di permukaan tanah.
Aku menatapnya dalam diam dari kejauhan. Rajiva, bukannya kau tak memiliki perasaan, kau hanya tak bisa menangis di hadapan orang lain. Seseorang yang begitu sensitif sepertimu, yang terlalu banyak merasakan, terlalu mendalam, seharusnya tak menganut sebuah agama yang memaksa orang untuk memusnahkan seluruh emosi mereka….
Aku terus berdiri dalam kesunyian, mengabaikan dorongan untuk berlari maju dan menenangkannya dengan mengingat kembali kata-kata Kumarayana. Rajiva, aku tak ingin keberadaanku menjadi beban bagimu, jadi aku hanya akan berdiri di sini dan menjagamu dari kejauhan.
Lirik dari lagu Qi Yu, ‘Kisah Unta yang Meratap’ pun muncul dalam benakku. Di antara semua lagunya, ini adalah lagu yang paling membuatku tersentuh. Dulu, aku tersentuh oleh kisah cinta yang indah namun sedih dalam novel dengan judul yang sama oleh Sanmao*. Tapi sekarang, dalam malam yang sunyi ini, saat aku menatap sosok kesepian di depanku itu yang berusaha menahan isakannya karena dia berpikir kalau dirinya tak diijinkan untuk menangis, lirik itu jadi terasa lebih menyedihkan, lebih menyakitkan ketimbang sebelumnya. Hatinya berlari dan terus berlari saat berusaha melepaskan diri namun tak mampu, jadi hati itu hanya bisa berdiri tanpa daya dan menahan rasa sakitnya.
(*T/N: Sanmao adalah nama peda Chen Maoping (1943-1991), seorang novelis, penerjemah, dan penulis Taiwan. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah catatan perjalanan autobiografinya yang berjudul ‘Kisah Sahara’, di mana dia mengenang kembali bagaimana dia bertemu dengan suami Spanyolnya, Jose, dan kehidupan mereka di Sahara Timur yang dikendalikan oleh Spanyol.)
‘Aku dipenuhi oleh baik kebahagiaan dan penderitaan
Pergi mungkin adalah satu-satunya cara untuk mencintaimu
Aku belajar cara untuk memberi, tapi bukan cara untuk menerima
Melupakan mungkin adalah berkah yang bisa saling kita berikan dengan tulus.
Mata itu, masih selembur semenjak dilahirkan
Namun bahkan menangis itu dihinakan
Tetapi bila air mata tak mengalir,
Bagaimana bisa kesepian tersingkir?
Pasir menghambur, penglihatanku menjadi lamur
Dalam kegelapan bimbanglah langkahku
Tersesat di gurun,
Bintang Utara adalah hatiku,
Tanpa sepatah kata pun membimbingku.
Pasir menghambur, aku tak bisa mendengar lagi
Kenangan cinta kita memanggil kembali
Kau dan aku tak berani mencinta, tak berani membenci,
Jadi biarkan jejak kita dihapus oleh angin tanpa hati.
(T/N: Ini adalah terjemahan kasar dari Haru berdasarkan novel versi Vietnam dan Google Translate, lalu diterjemahkan lagi oleh saya ke dalam Bahasa Indonesia secara seenaknya. Bila hasilnya semakin kacaw, maafkan saya….)
Aku menyanyikan lagu itu lagi dan lagi dalam hatiku saat air mataku mengalir jatuh, saat angin malam berhembus dan membekukanku hingga ke tulang. Rajiva, lihatlah betapa hebatnya pengaruhmu. Meski aku ingin menangis, aku tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Aku ingin menangis, tapi aku tak mampu bersuara sedikit pun. Rajiva, kau tak sendirian pda malam ini, karena aku ada di sini si sisimu, menangis bersamamu. Beri aku satu kesempatan ini untuk menangis karenamu, untuk melepaskan semua air mata yang telah kukumpulkan selama dua puluh empat tahun terakhir ini. Setelah ini, mari kita tak menangis lagi, mari biarkan saja angin tanpa perasaan menghapus jejak kaki yang pernah kita tinggalkan di gurun pasir yang disebut kehidupan ini.
Barulah setelah fajar tiba dia akhirnya kembali, tampak kelelahan dan tak memiliki jiwa yang tersisa. Suhu udaranya nyaris membekukan. Saat aku berdiri untuk mengikutinya, aku menyadari bahwa hampir tak ada jejak kehangatan yang tersisa di tubuhku.
Tanpa disadari, musim panas telah berlalu dan musim gugur telah tiba.