Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 31
Sebuah meja kayu telah dipasang di samping Sungai Tong Chang. Diatasnya terdapat jazad Kumarayana, yang telah dibungkus dengan berlapis-lapis kain putih dan diletakkan di atas kerangka yang terbuat dari kayu. Budaya Kucha menghendaki penguburan jenazah, tetapi karena Kumarayana berasal dari Tian Zhu (India), dia akan dikremasi sesuai dengan budaya negaranya.
Bai Chun, berbagai anggota keluarga kerajaan dan banyak pejabat istana juga turut hadir. Mereka semua mengenakan pakaian putih dan mengatur diri mereka dalam beberapa baris di sisi meja. Di sisi lain lain terdapat sekelompok rahib yang dipimpin oleh Rajiva. Gurunya, Guru Bandhudatta, juga ada di situ. Para rahib duduk di atas tanah, bersila, dan melantunkan mantra.
Pakaian Pusydeva juga berwarna putih, sewarna dengan secarik kain yang melingkari dahinya. Dia memegang sebuah obor dengan satu tangan. Matanya merah dengan kantong mata tebal di bawahnya, sementara wajahnya sarat dengan keputusasaan. Secara teknis, putra tertua lah yang seharusnya memegang obor, tetapi karena Rajiva memilih untuk menjadi rahib, dia tak lagi memiiki identitas keduniawian, dan karenanya tugas tersebut pun dipindahkan ke adiknya.
Pada sinyal dari Bai Chun, Pusydeva menghampiri meja dan menyulut jerami yang menutupi rangka kayu dengan obornya. Dalam sekejap, api membumbung tinggi dan melahap seluruh tubuh Kumarayana. Orang-orang mulai menangis sepenuh hati, dan di latar belakang, para rahib terus merapalkan mantra, yang membawa ketenangan pada suasana yang memang sudah muram.
Pusydeva kini sedang berlutut dengan telapak tangan menempel rata di tanah, kepala ditundukkan, bahu berguncang keras. Aku menatap Rajiva. Lantunan telah terlupakan, dia hanya menatap meja dengan sorot tanpa jiwa, memandangi jenazah ayahnya melebur ke udara sedikit demi sedikit, wajah sarat dengan begitu banyak kepedihan. Tak mampu melihat ekspresi itu lagi, aku berpaling, aku memang pengecut.
Ada baris dalam sutra Mūlamadhyamakakārikā oleh Nagarjuna, sebuah karya yang kelak akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Han oleh Rajiva menjadi ‘Risalah Tengah’ (中論 Zhong Lun), yang berisi sebagai berikut: “Ketidaktahuan membuat manusia melekat pada yang salah kita percaya, kita tahu, atau kita miliki. Bila kita telah melepaskan diri dari keterikatan duniawi, kita takkan ada. Dari ada datanglah kelahiran, lalu usia tua, dan pada akhirnya, kematian. Ini adalah kemutlakan yang menyebabkan kita menderita dan berduka, diiringi oleh penyesalan, frustrasi, dan keputusasaan. Inilah sebab musabab terjadinya penderitaan – sebagai akibat dari kelahiran, dan ditambah dengan karma. Orang-orang yang tidak bijaksana tidak tahu bagaimana terlepas dari takdir ini, tetapi orang bijaksana melakukannya karena pandangan benar.” Rajiva, selayaknya orang terpelajar, seharusnya mampu melepaskan kemelekatan ini sekarang. Tetapi bila demikian, kenapa malam itu dia menangis dengan begitu keras atas kematian ayahnya.
(T/N: Nagarjuna adalah filsuf yang dihormati dalam Buddhisme Mahayana, yang juga dianggap sebagai penemu aliran Madhyamaka.)
(T/N: Kalau pembaca ingat, dalam menerjemahkan naskah Buddhis dari Bahasa Sansekerta ke Mandarin, Rajiva cenderung lebih menyukai makna ketimbang mengartikan tiap kata secara literal, sehingga disukai lebih banyak orang. Pada paragraf di atas, baris yang dikutip Ai Qing bukanlah terjemahan literalnya, melainkan penjelasan yang diberikan oleh Rajiva untuk bait yang ada pada bab 26 sutra tersebut, yang berjudul ‘Dua Belas Rantai’. Terjemahan Haru berada di tengah-tengahnya, karena dia juga membaca sutra yang asli, atau minimal terjemahan Inggrisnya, seperti yang terdapat pada The Fundamental Wisdom of the Middle Way: Nāgārjuna’s Mūlamadhyamakakārikā, terjemahan dan komentar oleh Jay L. Garfield; dan Nagarjuna’s Middle Way: Mulamadhyamakakarika oleh Mark Siderits, Shoryu Katsura.)
Tatapanku tetap terarah pada lidah api yang membubung tinggi saat aku berdoa: Guru Negara, kuharap Anda akan bisa bertemu dengan orang yang telah Anda rindukan selama ini. Sang Buddha tentu mengerti pikiran Anda, karena Beliau juga dulu pernah menderita hal yang sama, dan tentunya akan membantu kalian bersatu. AKu mendoakan kebahagiaanmu di atas sana….
Pemakaman itu berlangsung selama lebih dari satu jam. Ketika apinya telah terbakar habis, Pusydeva pun pergi dan mengumpulkan abu ayahnya dengan bantuan para pelayan, sebelum kemudian menyebarkannya ke Sungai Tong Chang. Jantungku seperti diremas saat melihat dia membungkuk di tepi sungai, menangis tak terkendali sambil memeluk jambangan yang kini telah kosong.
Setelah kami kembali ke kediaman Guru Negara, aku tak berani mengatakan pada Pusydeva kalau aku akan segera melanjutkan perjalananku. Dia masih terlalu terguncang pada saat ini bila aku mengajukan topik tersebut. Tak ada pilihan lain selain menyimpan rencanaku untuk diriku sendiri sekarang. Rajiva tak berada di kediaman. Dia telah kembali ke Kuil Cakuri bersama dengan gurunya, Guru Bandhudatta, tadi. Sebelum dia pergi, dia telah menatapku dalam waktu lama. Aku tak mampu membaca emosi yang mewarnai mata abu-abu mudanya, meski sejujurnya, aku bahkan tak ingin tahu, karena aku sungguh terlalu lelah….
Aku duduk di halaman dan memandangi langit di atasku. Sebelumnya, aku akan menatap langit di masa ini dan berpikir pada diriku sendiri: tentu, langit di sini jauh lebih bersih ketimbang atmosfer di abad ke-21, tetapi sebenarnya tak ada hal lain yang patut untuk dipandangi, benar kan? sekarang, akhirnya aku mengerti. Meski tak ada hal yang menarik di langit ini, saat benakmu penuh dengan pemikiran, menatap langit luas di atas akan sedikit membantu menjernihkan pikiran, lebih baik daripada mengurung dirimu di suatu sudut gelap entah di mana.
“Ai Qing!”
Aku berbalik dan mendapati Pusydeva sedang berdiri di pintu. Dia masih mengenakan kain putih dari sebelumnya. Matanya cekung, wajahnya kasar, dan ada pangkal janggut yang terlihat di dagunya. Dia terlihat lebih tenang dan entah bagaimana, lebih dewasa. Ini persis seperti pepatah lama yang mengatakan: pria akan menjadi dewasa pada hari pemakaman ayah mereka.
Kami sudah tak saling bicara dalam waktu lama. Pusydeva menyeberangi jarak di antara kami dan menghampiri tempatku duduk. Dia tak menggodaku seperti biasanya dan malah terus menundukkan kepalanya. Sejak kami kembali ke kediaman, dia terus menjaga jarak denganku.
“Ai Qing, hari itu…,” dia berkata ragu-ragu.
Hari apa yang dia maksudkan?
“Hari itu di Kota Subashi….”
Ah, yang dia maksud adalah hari itu. Kugelengkan kepalaku, “Itu semua merupakan masa lalu, kenapa sekarang kau mengungkitnya?”
“Aku tak pernah sedemikian agresif kepada wanita sebelumnya, tetapi untuk suatu alasan, saat berhubungan denganmu, aku tak mampu mengendalikan diriku.”
“Pusydeva, kalau kau berusaha untuk meminta maaf, maka jawabanku adalah aku sudah lama memaafkanmu.”
“Bagaimana dengan… di sini?” Dia menunjuk bibirku dengan pipi sedikit merona, “Kudengar para wanita Han sangat memedulikan tentang kesucian mereka….”
Ah. Dia membicarakan tentang ciuman kami. Aku tersenyum, “Itu… jangan cemas soal itu. Pura-pura saja itu adalah gigitan anjing.”
Sejujurnya, aku bahkan tak pernah memikirkannya lagi. Lagipula, aku bahkan tak menganggapnya sebagai ciuman yang sebenarnya, hanya sebuah penekanan yang dipaksakan pada bibirku.
“Apa kau menyebutku sebagai… anjing?” Dia maju dengan begitu mendadak, seakan sedang marah. “Hati-hatilah atau kau akan digigit lagi oleh anjingnya!”
Aku menghindarinya dengan tenang. Pusydeva tak mengejarku seperti sebelumnya dan malah cuma berdiri sambil tersenyum. Jadi itu adalah candaan. Menatap wajah tersenyumnya, aku menyadari kalau sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali aku melihat senyum setulus itu di wajahnya.
Bagaimanapun, senyum itu tak bertahan lama sebelum kemudian memudar. Matanya perlahan menyapu ke sekeliling kami sebelum bicara dengan suara muram, “Tanpa ada ayah, rumah ini terasa kosong dan sunyi dengan anehnya.”
Ketika sorot matanya kembali mendarat padaku, kehangatan telah kembali ke matanya, “Syukurlah, kau masih di sini, dan aku merasa jauh lebih senang untuk itu.”
Tangan Pusydeva terjulur seakan hendak menyentuh pipiku. Karena kaget, aku pun dengan cepat mundur ke belakang, membuat tangannya menggantung di udara dengan canggung sebelum dia menariknya kembali.
“Ai Qing, baru setelah aku menciummu, aku jadi menyadari kalau aku telah salah menuduhmu.”
Aku membeku, tak memahami jalan pikirannya.
Dia tersenyum, “Reaksi yang kamu miliki jelas-jelas merupakan reaksi seorang perawan. Aku mengetahui hal ini berdasarkan pengalamanku dengan para wanita lain.”
“Kau….” Aku menjejakkan kakiku ke tanah, “Kenapa kau harus terus memikirkan itu? Aku masih perawan atau tidak itu bukan urusanmu!”
“Kamu telah berbohong padaku (saat kita baru bertemu kembali), berkata bahwa kamu baru saja kembali. Tetapi hari itu, aku mendapati bahwa kamu telah tinggal bersama dia selama tiga bulan. Seorang pria dan seorang wanita tinggal bersama selama tiga bulan seperti itu, tak peduli meski dia adalah seorang rahib agung, dia tetaplah seorang laki-laki. Mana mungkin aku bisa memercayai kalau tak ada apa-apa yang terjadi di antara kalian?
“Aku selalu merasa berada di bawah dia. Ayah dan ibu mencintainya, sang raja menghormatinya,d an orang-orang memujanya, tetapi bagaimana dengan aku? Aku tak punya apa-apa. Bagi semua orang, aku hanya adik laki-laki dari Guru Agung Kumarajiva. Tak ada yang tahu namaku, dan mereka tak peduli dengan apa yang kulakukan. Pada akhirnya, aku telah menemukan wanita yang benar-benar kusukai, tetapi dia juga telah dicuri dariku. Aku tak bisa menerimanya, jadi aku berangkat ke Kota Subashi. Aku menunggu dan menunggu di rumah, dan kau masih belum juga kembali. Berpikir kalau kau mungkin pergi untuk mencari dia di kuil, aku menjadi marah tanpa alasan, dan sebagai hasilnya, bertindak kejam terhadapmu.”
Dia menundukkan kepalanya, lalu seakan telah teringat sesuatu, dia pun mengangkat kepala dan tersenyum padaku:
“Tetapi setelah aku menciummu, aku kembali merasa tenang. Bahkan senang. Hanya sebuah tekanan di bibir dan kau telah bereaksi dengan begitu kuatnya, jadi tentu saja tak ada yang terjadi di antara kalian berdua. Aku masih punya kesempatan, pikirku, karena setidaknya, aku bisa menikah, tidak seperti dia.”
Sekarang dia telah membuatku marah. “Betapa kekanak-kanakannya kau itu! Kau cemburu kepada Rajiva tak berarti lalu kau bisa mengubahku menjadi mainan untuk diperebutkan! Aku tak mengerti. Apa salahnya menjadi orang biasa? Orang-orang cerdas juga memiliki masalah mereka sendiri, dan semakin terkenal dirimu, akan semakin melelahkan kehidupan yang kau dapatkan. Kau lebih memilih yang mana, menjadi orang biasa namun bahagia atau seorang guru besar yang bijak namun tragis?”
“Apa itu berarti…,” dia menatapku, soot matanya penuh pengharapan, “Kau ingin suamimu menjadi orang biasa?”
Kenapa dia menanyakan pertanyaan semacam itu padaku? Jantungku berdegup kencang. Butuh waktu lama sebelum aku mampu mengembalikan ketenanganku.
“Pusydeva, aku telah menghubungi kelompok pedagang. Mereka akan pergi dalam lima hari dan akan membawaku ke benteng kuno Tagan, dan setelah itu, Chang’an.”
Aku harus membayar biaya tambahan agar mereka bersedia membawaku ke benteng kuno itu.
“Kamu….” Warna wajahnya berubah. Dicengkeramnya bahuku. “Kamu masih ingin pergi?”
“Tak ada alasan bagiku unutk tetap tinggal.”
“Menikahlah denganku, dan kamu akan punya alasan untuk tetap tinggal.”
Pada akhirnya dia telah mengungkapkan niatannya.
“Pusydeva….”
“Tak usah pedulikan kenyataan bahwa aku telah bersama dengan banyak wanita di masa lalu, karena aku bersumpah kepadamu, aku akan setia dan hanya memikirkan dirimu sejak saat ini.”
“Pusydeva….”
“Jangan sebut-sebut usia kita, karena dalam waktu beberapa tahun, aku akan menjadi lebih tua daripadamu. Jangan katakan padaku kalau kamu bukan milik tempat ini. Tak peduli di khayangan atau di Chang’an, tanpa aku, di mana kamu bisa menemukan dirimu begitu bersenang-senang (seperti waktu di festival Sumuzhe)? Hanya ada satu jawaban yang ingin kudengar: ya atau tidak?”
Aku tak pernah melihat dia begitu serius. Kalau saja bukan karena kenyataan bahwa hatiku telah menjadi milik orang lain, aku mungkin takkan menemukan keberanian untuk menolak dia.
“Pusydeva, jawabanku adalah tidak. Aku tak mau menikahimu.”
Kuangkat tangannya dari bahuku dan dengan tenang menghadapinya.
“Alasan pertama: aku tak mencintaimu.”
Pusydeva tampaknya tercengang sesaat sebelum ekspresi kesal memenuhi wajahnya.
“Ai Qing, kamulah yang telah mengajariku apa arti dari mencintai. Tetapi sekarang saat aku telah mencintai seseorang, kau malah mengatakan padaku kalau kamu tak pernah mencintaiku.”
“Maafkan aku….”
“Jangan bilang maaf padaku!” Dia mencengkeram bahuku kembali, “Kamu mencintai dia, kan?”
“Aku….” Mana mungkin aku bisa mengakuinya keras-keras? Aku harus menjaga reputasi Rajiva….
“Jangan sembunyikan itu dariku! Aku telah melihat dia merawat lukamu, telah melihat sorot di matanya saat dia memandangmu. Kau pikir aku tak tahu?” Dia menarikku lebih dekat saat matanya yang tajam mengamatiku. “Kamu tahu jelas dia tak bisa menikahimu, tapi kamu masih saja mencintainya?”
“Pusydeva, kalau saja semua ini ada pada waktu yang berbeda, pada tempat yang berbeda, aku mungkin sudah jatuh cinta padamu. Aku telah merasa sangat gembira saat bersamamu, karena kau telah membawa banyak tawa padaku dan membuatku lupa atas semua masalahku.” Aku tak bisa menyangkalnya lebih lama lagi. Tak peduli aku mengakui atau menyangkalnya, semua itu takkan mengubah apa-apa. “Tetapi cinta itu buta. Bahkan aku sendiri tak mengerti kenapa aku bisa jatuh cinta padanya. Meski aku sudah tahu kalau takkan ada hasilnya, aku tetap tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Itulah sebabnya kenapa aku memutuskan untuk pergi.”
Pusydeva melepasku. Sebuah tawa dingin terlontar darinya. Aku tak bisa membaca ekspresi kompleks yang ada di wajahnya.
“Sekali lagi, aku berada selangkah di belakangnya…. Setahun terakhir ini, aku sudah mulai lelah bermain-main dengan para wanita yang membosankan itu. Karena aku tak memiliki perasaan terhadap mereka, hubungan apapun yang kumiliki tak bertahan lama. Begitu gairah telah mendingin, rasa sepi akan kembali melandaku. Sejak saat itu, aku mulai menantikan kepulanganmu. Bidadariku dulu pernah bilang bila aku bisa menghapal Puisi Klasik, dia akan kembali. Apa kau pikir aku mulai membaca buku itu sejak sepuluh tahun yang lalu? Tidak sama sekali. Aku baru memulainya tahun lalu. Aku hanya ingin melihat apakah kata-katamu itu benar. Tetapi kemudian, begitu aku selesai mempelajarinya, kamu kembali. Kamu belum berubah sama sekali, masih memiliki cengiran bodoh itu, wajah masih sama polosnya dengan sepuluh tahun yang lalu. Sebelumnya, kapanpun ayah mendesakku untuk menikah, aku akan selalu mengatakan padanya bahwa aku hanya akan menikahi gadis yang paling unik yang pernah ada. Aku hanya mengatakan hal itu untuk menyenangkan ayahku. Tetapi sejak kita bertemu kembali, aku mulai menyadari kalau kamu adalah gadis unik itu. Itulah sebabnya aku ingin kamu terus berada di sisiku. Aku ingin agar mata polosmu itu selalu tertuju padaku. Aku sempat mengira kalau akhirnya aku selangkah lebih cepat daripada dia, tetapi sepertinya bukan itu masalahnya, karena ternyata dia telah mencurimu dariku.”
Meski aku tergerak dengan apa yang dia ucapkan, kata-katanya membuatku cemas. “Pusydeva, sepuluh tahun yang lalu, aku hanya tinggal bersamamu selama tiga bulan, dan kau baru berusia sepuluh tahun. Setelah sepuluh tahun berlalu, kau mungkin bahkan tak ingat bagaimana rupaku, apalagi merindukanku setiap malam.”
“Aku memang ingat….”
Tangannya meraih wajahku lagi, tetapi aku berhasil mundur tepat waktu. Dia tak bergerak maju, hanya berdiri di sana seakan sedang membayangkan wajahku di udara.
“Sepuluh tahun terakhir ini, gambaranmu selalu ada di hatiku, semakin hari semakin jelas dan nyata. Itulah sebabnya, begitu aku melihatmu di jalanan, aku langsung mengenalimu.”
Aku mendesah panjang. Aku tak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Aku tak menegrti bagaimana dia bisa menyimpan perasaan padaku, meski sejujurnya, aku bahkan tak menginginkannya. Sekarang karena sudah jadi seperti ini, tak ada gunanya bagiku berusaha mengerti. Kutatap sulur-sulur anggur yang layu di halaman dan mendesah lagi.
“Pusydeva, besok aku akan pergi ke Kuil Cakuri.”
“Menemui dia?”
“Itu benar, tapi jangan khawatir, itu hanya agar aku bisa mengucapkan selamat tinggal. Takkan ada hal lain yang terjadi.” Aku tersenyum pahit, “Kami berdua… harus selalu menjaga jarak.”
Kulepaskan kalung singa yang pernah kami menangkan bersama dalam kontes menyanyi dan menyerahkannya pada Pusydeva.
“Kau harus memberikan ini kepada wanita yang kau cintai nantinya.”
Dia menatap kalung itu tanpa bersuara, tak menerimanya juga tak mengatakan apa-apa. Lama kemudian, akhirnya dia berucap, “Ini akan selalu jadi milikmu.”
Dia meniruku menatap angkasa. cahaya mentari siang hari menerpa sosoknya yang tinggi dan melingkupinya dalam kilau keemasan yang sarat dengan kehangatan.