Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 32
- Home
- Faithful to Buddha, Faithful to You
- Chapter 32 - Keinginan Itu Mudah Ditimbulkan, Tetapi Sulit Dipadamkan
Masavu menampakkan kekagetan saat dia melihatku di pintu gerbang. Begitu pemakaman Kumarayana sudah dibereskan, dia kemudian mengikuti Rajiva kembali ke Kota Subashi. Pria tua yang setia ini selalu menjaga ayah serta anak itu, dan juga aku, tanpa pernah mengeluh. Aku hanya bisa tersenyum sebagai balasannya sebelum berkata padanya bahwa aku di sini untuk berpamitan. Kemudian aku bertanya padanya apakah dia bisa pergi mencari Rajiva di kuil untukku.
Beberapa saat kemudian, Masavu kembali dengan Rajiva di belakangnya. Sekarang belum saatnya mantra siang, yang artinya dia telah meninggalkan tugas-tugasnya sekali lagi!
Begitu Rajiva memasuki halaman, kakinya tersangkut di pembatas gerbang, jadi dia berakhir dengan tersandung selama sesaat. Secara kebetuan aku sedang berdiri di pintu dan menyaksikan seluruh pemandangan tersebut. Seorang guru agung seperti dia, yang biasanya begitu anggun dan halus dalam tingkah lakunya, kakinya sampai tersangkut di gerbang seperti itu – sungguh suatu gambaran aneh yang membuatku tak tahan untuk tertawa terbahak-bahak.
Saat melihatku tertawa, dia pun berhenti, tampak malu, meski hanya butuh waktu beberapa detik baginya sebelum langkahnya kembali pada kecepatannya yang normal, dan ketenangan pun kembali di wajahnya.
Saat pada akhirnya dia berhasil sampai ke tempatku berdiri, aku langsung menegurnya, “Kenapa kau tak menunggu sampai mantra siangmu selesai?”
Dia membeku. Rona yang begitu kentara mulai merambat di wajahnya tetapi dia tak mengatakan apapun sebagai balasannya, sorot matanya terpancang pada suatu titik yang jauh.
“Rajiva, kau adalah kepala dari sebuah kuil besar dan bukan lagi anak-anak, jadi kau tak bisa mengabaikan tugas-tugasmu kapanpun kau suka.”
Kupasang tampang galak sambil menggunakan suara-guru terbaikku padanya: “Kembalilah ke kuil dan jangan kembali sampai kau selesai dengan mantra siang.” Aku berhenti selama sedetik sebelum meneruskan, “Ada sesuatu yang ingin kubicarakan saat nanti kau kembali.”
“Tentang kepergianmu?”
Sejenak aku terkejut sebelum kemudian mengangguk.orang secerdas dia, mana mungkin belum menerkanya.
“Kalau begitu, Rajiva akan kembali di sore hari.”
Suaranya tenang dan tanpa ada gangguan. Dia membungkukkan kepalanya sebelum berputar untuk pergi. Yang mengherankan, ketika dia melewati gerbang, entah kenapa kakinya lagi-lagi tersandung pada pembatas. Tetapi kali ini, aku tak bisa tertawa.
Malam hari sepertinya datang lebih cepat di musim gugur. Begitu mentari terbenam di balik pegunungan, angin pun akan menjadi semakin kencang, membuat udara yang sudah dingin menjadi lebih dingin lagi. Aku duduk di samping jendela, mata terus terpaku pada gerbang.
Akhirnya Rajiva pun kembali. Kuawasi kakinya dengan seksama dan mendesah lega saat dia berhasil melewati gerbang tanpa tersandung.
Dia memasuki kamar dan saat melihatku, dengan lembut menegur pelan, “Sekarang sore hari menjadi lebih dingin, kamu seharusnya memakai lebih banyak lapisan pakaian lagi.”
Hidungku seperti tersengat mendengarnya. Air mata mengancam akan menetes. Aku berusaha menarik napas dalam-dalam sebelum bicara, tetapi suara tercekik tetap saja terdengar. Aku berusaha membuat alasan, “Yah, aku mungkin sudah kena flu….”
“Kapan kamu akan menghargai tubuhmu sendiri? Aku akan memanggil tabib besok untuk memeriksamu.” Matanya lalu beralih pada lenganku yang terluka. “Apa kamu masih mengoleskan obatnya beberapa hari terakhir ini?”
Dalam kurun waktu sebulan selama kami tinggal di kediaman Guru Negara, meski Rajiva tak pernah datang untuk mengganti perbanku dengan tangannya sendiri, dia masih mengirim seorang gadis pelayan untuk membantuku setiap hari. Bahkan saat dia sedang sibuk merawat ayahnya, dia masih menyempatkan untuk mengunjungiku setiap hari, selalu mengingatkanku agar jangan sampai lenganku ini terkena air dan agar jangan menggaruknya saat terasa gatal. Semua perhatian itu terus bertahan hingga hari ketika dia pergi menuju Kota Subashi.
“Tidak lagi,” kataku padanya.
Rajiva, tolong berhentilah bersikap begitu lembut kepadaku, karena hatiku tak bisa menerimanya lebih jauh lagi. Kugigit bibir bawahku untuk menghentikan suaraku dari bergetar, “Aku akan kembali ke ibukota besok. Aku telah menghubungi sekelompok pedagang dan akan pergi menuju Chang’an bersama dengan mereka.”
Dia tak bicara dalam waktu lama, sorot matanya menerawang kembali. Sesaat kemudian, matanya kembali padaku. Dia seperti sedang memilih kata-katanya dengan hati-hati, “Kamu pernah berkata bahwa kamu ingin melihat Benteng Tua Tagan. Rajiva baru saja berencana untuk pergi ke Yarkand untuk belajar dan akan melewati benteng itu –“
(T/N: Provinsi Yarkand / Yarkant terletak di ujung selatan Gurun Taklamakan di Tarim Basin. Kucha terletak tepat di bagian utara provinsi ini.)
“Rajiva!” Aku segera menyelanya. Tak lagi mampu menekan rasa frustrasiku, kubiarkan semua perasaan itu meledak keluar. “Apa kau tak mengerti? Aku pergi karena aku tak bisa terus bersamamu lebih lama lagi!”
Matanya menggelap pada perkataanku sebelum tatapannya diturunkan. Sebuah kekehan pahit terlontar darinya, “Begitu ya.” Dia memalingkan kepalanya ke sisi dan menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan dengan suara tersekat, “Kalau begitu biarkan Pusydeva menjagamu. Meski terkadang dia mudah terbawa emosi, perasaannya kepadamu itu tulus –“
“Rajiva!” aku tak bisa menahannya lagi. Bagi seseorang secerdas dia, bagaimana bisa dia tak memahaminya hingga sekarang? “Apa yang kau maksudkan dengan itu? Apa kau berusaha mendorongku pada adikmu? Karena tak ada aturan yang mencegah dia untuk bersama denganku? Rajiva, aku tak membutuhkan siapapun untuk menjagaku….”
“Ai Qing,” dia lalu mendongak menatapku. Sorot di mata abu-abu mudanya mendadak jadi jauh lebih tajam, “Lalu apa yang akan membuatmu tetap tinggal?”
Kubuka mulutku tapi tak ada kata-kata yang keluar.
“Aku – “ Aku berusaha lagi, namun lagi-lagi aku tak mampu membentuk kalimat yang jelas. Aku hanya bisa berbalik untuk menyembunyikan wajahku darinya. Aku tak berniat menunjukkan air mata kepadanya, tapi aku tak bisa menahan diriku. Bagaimana bisa?
“Ai Qing,” suranya begitu lembut, bagai hembusan lemah di udara, ketika dia meraihku dengan tangannya yang kurus. Kututup mataku dan membiarkan diriku sendiri ditarik ke dalam pelukannya yang gemetar.
Begitu aku menyandar di dadanya, suara itu berlanjut, meski kali ini terdengar agak terguncang, “Sepuluh tahun penantian, dengan beberapa bulan kebersamaan, apakah hanya itu yang bisa ditukarkan?”
Tak mampu mengendalikan diri lagi, kubiarkan tangisanku terdengar. Rajiva, Rajiva, kenapa harus dirimu? Kenapa kita tak bisa bersama meski saling mencinta? Kenapa dulu aku setuju untuk bergabung dalam eksperimen perjalanan waktu bodoh ini?
Dalam pelukannya, aku menangis dan menangis, hingga aku membuat jubah kasaya coklatnya menghitam oleh air mataku, hingga bumi terlepas dari porosnya. Aku bisa merasakan kehangatannya menembus lapisan-lapisan tipis jubah. Oh, betapa aku berharap untuk bisa selalu berada dalam pelukan ini.
“Ai Qing,” dia sedikit merenggangkan pelukannya sebelum menatap ke dalam mataku dalam-dalam. Dua jejak air mata bergulir turun di pipinya. Keduanya bergabung di dagunya, di mana terlihat tanda-tanda pangkal rambut, dan akhirnya menjadi terlalu berat sehingga menetes jatuh ke bahu jubah kasayanya. Air mata itu memercik pecah, meninggalkan tanda yang mirip dengan bunga mungil di jubahnya.
“Ini adalah kali ketiga Rajiva menangis. Kali pertama adalah karena ibuku. Berkat kamu, Rajiva belajar tentang kenyamanan memiliki seseorang di sisimu pada saat-saat penuh kesedihan. Kali kedua adalah pada sore hari ketika ayah meninggal. Rajiva telah diam-diam berlari keluar dari istana untuk menangis. Waktu itu aku sangat berharap kamu ada di sisiku.”
“Aku ada di sana….” Cegukanku telah berhenti, meski sudut mataku masih basah. Aku menatap ke arahnya lewat mataku yang berair, “Aku telah mengikutimu ke sana, berdiri di sampingmu dalam jarak yang tak terlalu jauh, dan terus berada di sana sampai kau memutuskan untuk pulang pada saat fajar tiba.”
Tangannya melingkariku lagi, meski kali ini pelukannya menjadi jauh lebih erat. Dia memelukku dengan begitu kuat sehingga rasanya dia ingin aku menyatu dnegan hatinya. Ini adalah suatu perasaan yang begitu meluap-luap. Aku hanya bisa mengalungkan tanganku ke bahunya sebagai balasannya. Tubuhnya sepertinya bergetar karena hal itu. Sekali lagi dia merenggangkan lengannya.
“Ai Qing, selama diga bulan kamu berada di sini, Rajiva tak pernah merasa lebih senang daripada itu. Aku bahkan mulai menanti-nantikan mantra siangku setiap harinya, karena itu berarti aku menjadi lebih dekat untuk menemuimu di sore hari.”
“Rajiva….” Aku merasa tersesat dalam tatapannya yang kuat. “Aku juga sama, selalu menantikan kepulanganmu setiap hari.”
“Rajiva ingin….” Dia meragu, matanya terpancang padaku. Setiap suku kata yang dibuatnya bagai dibebani oleh pemberat ribuan kilo. “Aku sudah menginginkannya dalam waktu lama sekarang….”
Kuamati saat Rajiva perlahan memejamkan matanya, saat dia menghela napas dalam-dalam, dan menanti. Dia meragu dan meragu. Membuka mulutnya, lalu menutupnya sedetik kemudian, tak mampu bersuara sedikitpun.
“Rajiva,” aku memanggilnya pelan, tatapanku terpaku pada matanya yang dalam tanpa dasar, “Apa yang kau inginkan?”
“Aku… ingin… menciummu…. Bolehkah?”
Akhirnya dia mengatakan hal itu. Meski suaranya bergetar, setiap kata yang dia ucapkan begitu jelas, dan aku bisa melihat betapa besar upaya yang harus dikerahkannya. Wajahnya membara merah, mata dalam bagai danau tanpa dasar, menatapku dengan begitu intens sehingga membuatku seakan terhisap ke dalamnya. Air mataku mengalir kembali. Ya Tuhan, pria ini, bagaimana bisa di abegitu murni, menanyakan padaku apakah dia bisa atau tidak seperti ini….
“Tidak, kau tak bisa melakukannya,” aku menghela napas dalam-dalam sebelum berkata padanya dengan lembut, “Kau tak bisa melanggar sumpahmu.”
Pada perkataan itu, lengan yang telah memelukku erat-erat mendadak terlepas. Dia memalingkan wajahnya, tetapi tidak sebelum aku bisa melihat matanya yang sedih. Ekspresi itu tak pernah gagal untuk membuat jantungku serasa diremas.
Aku hanya bisa tersenyum padanya, seulas senyum sedih, “Rajiva, aku belum selesai bicara.” Dengan napas tertahan, kukatakan padanya, “Kau tak bisa, tapi aku bisa… aku bisa menciummu.”
Sebelum keberanianku menghilang, aku menggapai, mengalungkan tanganku pada lehernya yang elegan dan menekankan bibirku padanya. Dengan wajah kami menjadi begitu dekat, aku merasa seakan diriku ditelan bulat-bulat oleh jurang dalam di matanya. Bulu matanya yang panjang mengerjap sebagai respon atas ciuman ini, semakin mengingatkanku tentang betapa dirinya terlihat bagaikan Dewa. Meski tipis, bibirnya lembut saat disentuh. Seperti tersambar petir, suatu getaran listrik mulai merambati sekujur tubuhku.
Rajiva bergetar, mata masih terbuka dan menatap balik padaku, pertamanya terkejut, hanya untuk digantikan dengan kebahagiaan murni tak tergoyahkan sekejap kemudian. Kututup mataku dan menenggelamkan diri dalam merasakan bibirnya di bibirku. Jadi sebuah ciuman ternyata bisa begini menakjubkan! Apa yang terjadi sebelumnya dengan Pusydeva itu bukan ciuman. Ini adalah ciuman pertamaku yang sejati, sebuah ciuman yang takkan pernah kulupakan seumur hidupku.
Rajiva hanya berdiri diam selama ini, membiarkanku menggigit-gigit pelan bibirnya. Merasa lebih berani, kusapukan ringan ujung lidahku pada bibirnya yang masih terkatup. Terpana, Rajiva bersuara dan membuka sedikit bibirnya. Aku ragu-ragu selama setengah detik sebelum memasukinya. Mulanya Rajiva tak bergerak, meski napasnya menjadi semakin pendek dan cepat setiap detiknya. Tetapi ketika ujung lidahnya bertemu dengan lidahku, tiba-tiba dia memeluk pinggangku dan menarik kami jadi semakin dekat. Dia berusaha menemukan sudut yang lebih baik dengan memiringkan kepalanya ke samping, lidahnya menjadi semakin dan semakin berani dalam prosesnya. Lidah kami saling berkejaran dalam tarian serempak maju dan mundur. Siapa yang peduli bila langit runtuh atau bumi merekah? Pada saat ini, semua yang penting adalah dia dan aku, seorang pria dan seorang wanita….
Kami berdua sama-sama kehabisan napas saat akhirnya memisahkan diri. Kami saling menatap mata satu sama lain selama sedetik sebelum terlarut dalam tawa, meski sambil terengah-engah.
Saat kami akhirnya bisa mengendalikan diri, kukatakan padanya, “Ingatlah, akulah yang memaksa tanganmu, yang memancingmu untuk melanggar sumpahmu, kau tak melakukan kesalahan apa-apa. Kesalahannya ada padaku, jadi aku sendiri yang akan bertanggungjawab, apapun akibatnya. Tak peduli neraka tingkat berapapun aku akan berakhir, aku takkan takut – “
“Ai Qing,” dia memotong. Satu tangan ditempatkan di pinggangku; yang satunya lagi dia gunakan untuk menangkup pipiku. Dibelainya wajahku seakan aku terbuat dari kertas, seakan aku akan remuk bila dia tak cukup berhati-hati. Setiap titik yang disentuhnya seperti menyala oleh percikan api, membuatku sekujur tubuhku hangat.
“Rajiva telah gagal menjaga sumpahnya sejak lama….” Dia tersenyum penuh penyesalan sebelum menempelkan dahinya pada dahiku. ‘Merasa iri pada adikku, aku gagal dalam menaati aturan untuk tidak merasa iri. Selalu merindukanmu, aku gagal dalam menaati aturan untuk tak menyimpan pemikiran duniawi. Melihatmu dan ingin menyentuhmu, aku gagal dalam menaati aturan untuk tidak memiliki keinginan seksual. Ai Qing, tak peduli sepuluh tahun yang lalu atau sepuluh tahun kemudian, Rajiva tak pernah bisa menaati sila….”
Dia memutarku sehingga wajah kami saling berhadapan. Aku meleleh oleh sorot matanya, sebuah sorot yang penuh dengan begitu banyak kelembutan dan kasih sehingga nyaris tak tertahankan.
“Jadi akulah yang pantas jatuh ke dalam neraka, bukan kamu…,” dia menyelesaikan.
“Rajiva….” Aku menyandar di dadanya, “Kau tak bersalah. Akulah yang telah menggodamu. Aku tak ada bedanya dengan iblis yang dulu pernah berusaha menggoda Buddha Gautama dengan penglihatan-penglihatan tentang wanita cantik. Begitu kau tersadarkan, aku akan lenyap di udara kosong.”
Dia meletakkan sebuah jari ke bibirku untuk mencegahku bicara lebih jauh lagi. Menengadah menatapnya, aku disambut oleh mata setenang danau di musim gugur. Suaranya selembut sutra di samping telingaku, “Kamu bukan iblis dalam bentuk apapun….”
Jeda. Dia menatapku, dan pada keturan di antara alisnya aku bisa melihat bahwa dia sedang mengalami pertentangan batin. Dia meragu dan meragu, memanggil namaku tetapi tak ada kelanjutannya. Akhirnya, dia menghela napas dalam-dalam dan berkata dengan bisikan yang begitu samar, “Ai Qing… apa kamu ingin Rajiva melanggar sumpah?”
“Jangan!” Menjadi waspada dengan pemikiran tersebut, aku menjauhkan diri darinya. Hanya seperti itu, kenyataan pun kembali menghantam kami. “Kau tak boleh!”
“Rajiva, kehidupanmu nanti akan dipenuhi oleh pencapaian-pencapaian besar, dan karena perjalananmu ke Dataran Tengah, Buddhisme akan berkembang, akan menyebar jauh dan luas,” Aku terus memandanginya dan melanjutkan, meski nada suaraku semakin lama semakin merana, “Karenanya, kau tak boleh melanggar sumpahmu. Kalau kau melakukannya, aku tak berani membayangkan konsekuensi macam apa yang akan menimpa kita. Aku sudah merasa akan gila begitu memikirkannya! Aku takkan pernah bisa memaafkan diriku sendiri. Rajiva, takdirmu telah ditentukan… tak boleh diubah….”
Isakan mulai naik ke tenggorokanku, emmbuatku tak mampu bicara. Aku tahu takdirnya. Aku tahu aku tak bisa mengubahnya, tetapi bagaimana dengan takdirku? Pada kenyataannya, seharusnya aku takkan pernah bisa bertemu dengannya, tetapi eksperimen perjalanan waktu ini telah mengubah takdirku. Kini, siapa yang bisa memastikan bagaimana takdirku akan terungkap?
Dia mendesah panjang sebelum menarikku kembali dalam pelukannya.
“Ai Qing, Sang Buddha telah mengirimmu turun kemari, kan? Apakah karena kamu adalah bidadari makanya kamu tahu tentang takdirku?”
“Rajiva, aku tak tahu bagaimana cara untuk menjelaskan dari mana aku berasal, tapi semua yang telah kukatakan adalah kebenaran. Berjanjilah padaku, kau takkan pernah melanggar sumpahmu. Jangan pernah melupakan aspirasi yang dulu pernah kau katakan padaku, saat kau mengungkapkan keinginanmu untuk membawa Buddhism eke Dataran Tengah dan membebaskan orang-orang dari penderitaan tanpa akhir.”
Dia mengencangkan dekapannya, dada naik turun dengan napas-napas panjang, dan butuh waktu beberapa saat sebelum dia kembali bicara, “Baiklah, aku berjanji padamu. Kalau kamu ingin agar aku pergi ke Dataran Tengah dan menyebarkan Buddhisme, aku pasti akan melakukannya.” Dia terdiam sesaat untuk menelan. Ketika dia meneruskan, nada suaranya hampir mematahkan hatiku, “Tapi…. Tapi apakah kamu benar-benar harus pergi?”
“Rajiva, kamulah yang pernah berkata bahwa semua hal itu kosong dan tidak nyata! Aku hanyalah sebuah ilusi, bukan sesuatu yang berwujud, jadi aku akan segera menghilang. Nanti, bila kau berusaha, kau pasti akan bisa melupakanku….”
“Pemikiran duniawi dan perasaan adalah hal-hal yang membelenggu umat manusia ke alam ini, dan karenanya batin kita pun takkan pernah bisa tenang.” Perlahan dia melepaskanku sebelum berputar dan menatap jendela. Bahkan cahaya samar dari lampu minyak tak mampu menyembunyikan wajahnya yang bersedih.
Rajiva terlalu terbenam dalam dunia ini, terbabani oleh belenggu yang tak terhitung jumlahnya, jadi bagaimana bisa dia merasa tenang?
‘Semua cinta dan benci di dunia ini
Tak lebih dari sepintas pergerakan batin
Dunia penuh dengan kesedihan dan penderitaan
Dan hidup hanyalah embun pagi pada sehelai rumput.
Keinginan mendatangkan kekhawatiran
Keinginan mendatangkan ketakutan
Hanya bila terlepas dari ‘keinginan’
Barulah batin bisa mendapat kedamaian.’
Ini adalah baris-baris yang diucapkan oleh Yuan Ziyi kepada Hu Fei sebelum dia pergi dalam novel ‘Rase Terbang Muda’ karya Jin Yong (Louis Cha); bait keduanya juga ada dalam Sutra Empat Puluh Dua bagian.
Pada saat ini, aku menggumamkan baris-baris itu pada diriku sendiri, kata-kata tersebut entah bagaimana mengiris lebih dalam daripada biasanya.
“Rajiva, kalau kau bisa melepaskan dirimu dari cinta, maka takkan ada rasa takut, tak ada kekhawatiran….”
“Kalau orang bisa melupakan dengan begitu mudahnya, lalu kenapa akan ada perkataan seperti keinginan mendatangkan rasa takut dan kekhawatiran?” Mata Rajiva menutup. Sebutir air mata mengalir di pipinya. “Aturan Langit tak boleh dilanggar. Kalau memang demikian, Rajiva akan mengembalikanku ke Langit di atas….”
Malam itu, tak satupun dari kami yang bisa menutup mata. Kami hanya duduk dalam kesunyian, saling bersandar dan menghangatkan. Ketika mentari terbit, kami akan harus berpisah. Betapa aku berharap kalau saat itu takkan pernah tiba.
“Rajiva….”
“Uhm.”
“Sudah saatnya untuk mantra pagimu.”
“Apa malam sudah lewat? Bagaimana bisa waktu berlalu begitu cepat?” Jeda, kemudian, “Hari ini Guru (Bandhudatta) akan kembali ke Kabul, jadi aku harus pergi untuk mengantarnya. Setelah itu, aku harus pergi ke Yarkant. Para rahib di sana telah berkali-kali memintaku memberi mereka ceramah mengenai Mahayana….”
“Uhm.”
“Jadi aku takkan bisa mengantarmu….”
“Uhm.”
“Ai Qing, apa aku akan bisa bertemu lagi denganmu?”
“Aku tak tahu.”
“Ai Qing, semalam aku telah menciummu, jadi kejahatan kita setara. Rajiva adalah seorang rahib, orang yang mengikuti jalan Buddha, tetapi aku telah melanggar sumpahku, jadi aku patut dilempar ke kedalaman neraka….”
“Baik, kalau begitu aku akan pergi ke sana dan menemukanmu….”