Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 33
Aku bangun dan mendapati Pusydeva sekali lagi berjongkok tepat di samping ranjangku. Saat ini dia sedang memandangi wajahku dengan sorot rumit di matanya. Aku turun dari ranjang tanpa mengatakan apa-apa. Hari ini adalah hari terakhirku di Kucha. Aku sudah mengemasi semua barang milikku ke dalam dua buah ransel Northface (1 yang tertinggal 10 tahun lalu, 1 lagi yang dibawa Ai Qing pada kedatangan yang kedua) dan akan segera bertemu dengan karavan para pedagang.
Setelah mengenakan jubah luarku, aku meraih ke bawah bantal tetapi tak menemukan apa-apa di sana. Kuangkat bantalnya dan masih tak melihatnya. Aku mengedarkan pandang untuk melihat apakah benda itu jatuh ke suatu tempat, tapi tetap tak ada apa-apa. Di mana itu?
“Berhenti mencarinya,” Pusydeva akhirnya bicara dengan suara lelah, “aku sudah menyembunyikannya.”
“Kau….” Marah, aku berteriak, “Bisa-bisanya kau melakukan itu?! Kembalikan padaku!”
“Tanpa gelang besar itu, kau takkan bisa kembali ke langit.”
“Kau!”
Tak bisa kupercaya dia berani melakukan rencana bodoh sepicik itu!
“Kembalikan ja – gelangku padaku. Kalau kau tak berhati-hati dan menyentuh bagian yang salah, konsekuensinya akan jadi bencana.”
“Konsekuensi?” Dia tersenyum padaku dengan sikap peduli-setan. “Maksudmu aku akan terbang ke langit?”
“Nggak.” Tanpa jaket anti-radiasi, dia takkan bisa terbang ke manapun. “Pada saat itu, sebuah sumber cahaya yang membutakan akan terpancar, dan bila cahaya itu mengenaimu, beberapa detik kemudian, tubuhmu akan langsung membusuk dan berubah menjadi abu.” Aku berharap bisa menakutinya dengan bayangan kematian yang mengerikan ini.
“Baik, aku takkan menyentuh apa-apa. Tetapi aku akan tetap menyimpan gelang itu.”
Pusydeva bertingkah seakan dia tak tahu apa itu rasa takut, dia hanya berdiri dan menyeringai padaku.
“Kalau kau pikir kau bisa menemukan gelang itu di kamarku, maka silakan saja mencarinya.”
“Apa maumu, Pusydeva?” Lelah, aku kembali bersandar di kepala ranjang. Kenapa dia selalu membuat masalah pada saat-saat seperti ini, ketika hatiku sudah berada dalam cukup banyak kekacauan seperti sekarang?
“Apa mauku, bukankah kamu sudah tahu?” Dia bergerak lebih dekat padaku dengan mata merah membara, “Aku tahu kalau kamu tak mencintaiku, jadi yang bisa kulakuan adalah memperjuangkannya sedikit lebih lama lagi.”
Kugigit bibirku dan emmalingkan kepala, tak mau menghadapinya secara langsung.
“Tak ada gunanya,” kataku padanya.
“Terus kenapa?”
Dia tiba-tiba menjadi marah, nada suaranya menjadi lebih agresif, “Cepat bersiaplah, sudah saatnya untuk pergi!”
“Pergi ke mana?”
“Benteng tua Tagan. Aku dan saudara-saudaraku sesama pengawal istana akan mengawal kamu ke sana.”
Secara mendasar aku digotong ke dalam kereta. Meski aku tak menginginkannya, aku tak bisa melawan kekuatannya, jadi aku hanya bisa menelan gumpalan amarah yang merayap naik dalam diriku dan duduk diam. Pusydeva dan empat orang kawannya dari pasukan pengawal istana mengawalku keluar dari istana Kucha.
Keretanya bergoyang maju mundur saat berjalan. Aku duduk di dalam sambil menatap kosong. Ada sesuatu yang bergulung-gulung di dalam diriku, aku tak bisa mendorongnya keluar ataupun menelannya.
Kemarin, pagi-pagi sekali, aku telah menyembunyikan diri di sebuah pojokan di kuil dan mengamati dia dari kejauhan. Ada banyak orang yang datang untuk mengantar Guru Bandhudatta, termasuk orang-orang dari Kota Subashi. Lautan orang berkerumun di sekitar gerbang kuil, membuatku kesulitan untuk mencari Rajiva. Barulah ketika dia duduk di atas unta akhirnya aku berhenti menjulurkan leherku. Kupijit bagian belakang leherku yang pegal dan dengan tegas mengatakan pada diriku sendiri agar jangan mengerjap sekalipun. Ada lautan orang yang memisahkan kami, tetapi aku masih bisa melihat kesedihan yang terpantul di matanya. Ketika Rajiva mengangkat tangannya, gerakan tersebut menarik lengan bajunya ke belakang dan menampakkan tasbih doa cendana yang telah usang. Tanpa sadar tanganku bergerak untuk menyentuh syal sutra Atlas di leherku. Lonceng unta berdentang. Mata Rajiva memandang ke sekeliling, mencari, tapi tak menemukan. Ditundukkannya kepala dalam kekalahan dan menggerakkan untanya agar maju.
Kerumunan orang bergerak maju, berbaris satu demi satu. Jubah kasaya berkibar tertiup angin, hingga menghilang di sekitar sudut jajaran Tian Shan. Aku pun tak sanggup menahan air mataku.
Kereta terus berguncang dan berayun sementara aku duduk dengan linglung, terlarut dalam kenangan, sampai Pusydeva meminta berhenti agar bisa mendirikan tenda. Kuabaikan sorot marah di mata Pusydeva, dengan cepat memakan apa saja yang diberikan, lalu mengundurkan diri ke tendaku.
Dia mengikutiku dengan keras kepala. Aku berbaring dan menghadapkan punggungku padanya, memperlakukan dia seperti udara. Pusydeva mengesah lelah sebelum berjalan keluar.
Kami sampai di Tagan saat menjelang sore pada keesokan harinya, ketika matahari sudah mulai terbenam di balik tembok-tembok kota yang runtuh. Menatap pemandangan yang suram tersebut, tiba-tiba aku dilanda perasaan sedih yang teramat sangat. Aku tak pernah merasa seenggan saat ini bila mengenai pekerjaanku. Pada saat itu, aku jadi bertanya-tanya apakah benar-benar ada gunanya bagiku untuk datang kemari demi menyelidiki dan menentukan lokasi pasti benteng ini, sebuah tempat yang kini bukanlah apa-apa selain hanya reruntuhan dari dua ribu tahun yang lalu. Umat manusia selalu bergerak maju, dan segala yang ada di abad ke-21 terus berubah dalam kecepatan cahaya. Pada jaman sekarang, memangnya siapa yang punya kesabaran untuk berhenti dan mempelajari hal-hal dari masa lalu.
Hal yang sama berlaku juga untuk Rajiva. Selain dari mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari Buddhisme dan sejarah, ada berapa banyak orang di luar sana yang mengetahui tentang keberadaannya, kontribusinya? Animasi Jepang telah menjadi bagian integral dengan banyak kehidupan orang-orang muda pada saat ini, tetapi ada berapa banyak dari orang-orang muda itu yang tahu bahwa terjemahan dari nama-nama karakter kesayangan mereka ke dalam bahasa Mandarin, nama-nama yang sulir dilafalkan seperti Ashura (Asura), Yasha-ō (Yaksha), Kendappa-ō (Gandharva), Karura-ō (Garuda), dan lain sebagainya; semuanya adalah berdasarkan dari hasil kerja Rajiva?
(T/N: Nama-nama tokoh anime yang disebut Ai Qing, kemungkinan besar mengacu pada anime / manga berjudul RG Veda karya Clamp pada tahun 1989. Hayoo~ penggemar Clamp mana suaranya~)
Dengan enggan kukeluarkan peralatan risetku. Tak peduli aku menyukainya tau tidak, aku tetap harus melakukan sesuatu yang berguna. Kalau tidak, kepalaku mungkin akan meledak gara-gara semua pikiran yang berputar-putar di dalamnya.
Pada mulanya, aku tak mau membiarkan Pusydeva membantu, tetapi dia terus mencuri pita pengukurku jadi pada akhirnya aku menyerah dan membiarkan dia melakukan apa saja yang dia mau.
Petangnya, kami memasang tenda di samping benteng. Aku duduk di sebelah api unggun sambil mengunyah sepotong roti naan, dan dengan setiap gigitan yang kutelah, aku segera menyadari bahwa aku telah benar-benar ‘menyerah’. Aku menatap kosong pada tembok yang runtuh, membayangkan sebuah siluet menerakan bayangannya pada tanah. Entah ada di mana dia sekarang, apa dia juga duduk di depan api unggun dengan hati gundah, memikirkan tentang ‘seseorang’ tertentu seperti aku sekarang ini? Aku mengenang kembali kali pertama kami bertemu. Saat itu juga malam di bulan Oktober seperti ini, di tengah-tengah gurun pasir. Waktu itu dia masih seorang remaja, mata bersinar cerah, menatapku dengan rasa ingin tahu yang menyala-nyala.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?”
Secangkir air muncul di depan wajahku. Aku melirik ke atas untuk menemukan mata Pusydeva sedang menatapku. Percikan-percikan api terpantul di matanya. Dia terlihat sangat mirip dengan Rajiva!
Aku menerima cangkir itu dan memeganginya dengan kedua tangan.
“Tampat ini dulunya adalah basis militer Ban Chao di Xi Yu. Ban Chao dan putranya mengelola wilayah ini, yang bertahan hingga lebih dari enam puluh tahun, telah mengubah sejarah Xi Yu, juga sejarah Kucha.”
Pusydeva duduk di sebelahku dan memandangi api yang beederak-derak di hadapannya.
“Ceritakan padaku tentang dia.”
“Aku benar-benar mengagumi Ban Chao. Para anggota keluarganya – ayah Ban Biao, kakak lelaki Ban Gu, dan adik perempuan Ban Zhao – adalah ahli sejarah dan penulis terkenal pada masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Ban Chao sendiri juga mulanya adalah penulis tetapi kemudian melepaskan pena untuk pedang.”
(T/N: Ban Gu, dengan bantuan Ban Zhao, menulis apa yang kemudian dikenal sebagai Kitab Han, sebuah catatan sejarah yang meliputi Dinasti Han Barat atau Han Awal dari kaisar pertama pada 206 SM hingga kejatuhan Wang Mang pada 23 M. Karya ini disusun sesuai dengan Catatan Sejarawan Agung oleh Sima Qian.)
Aku menyesap air sebelum melanjutkan dengan penceritaan ulang.
“(Pada tahun 138 SM,) Kaisar Wu dari Han mengutus Zhang Qian, seorang diplomat, untuk ‘menjelajah’ Xi Yu, meski tujuan utamanya adalah untuk membangun persekutuan. Tawarannya adalah sebagai berikut: Bila suku-suku walayah Barat setuju untuk menakhluk kepada Han, selain tak perlu membayar upeti, pemerintah Han bahkan akan menganugerahi mereka dengan hadiah-hadiah dan kemajuan teknologi dari Dataran Tengah. Taktik ini amat berbeda dengan penakhlukan kejam Bangsa Xiongnu atas Xi Yu. Itulah sebabnya, dalam satu periode waktu, Xi Yu bersedia menakhluk kepada Han, yang sangat membuat marah Xiongnu. Tetapi pada akhir Dinasti Han Barat, Wang Mang merebut tahta (dan mendirikan Dinasti Xin), menenggelamkan dunia dalam kekacauan, memberi kesempatan pada Xiongnu untuk bangkit lagi dan kembali meraih kendali atas Xi Yu. Pada awal pemerintahan Kaisar Guangwu (permulaan Dinasti Han Timur atau Han Akhir) atas kekaisaran yang baru saja dipersatukan, dia lebih peduli pada urusan dan reformasi domestik, sehingga tak mau terlibat dengan Xi Yu. Kebijakan ini terus bertahan hingga putranya, Kaisar Ming, naik tahta dan akhirnya memerintahkan Dou Gu untuk memimpin penyerangan melawan Xiongnu Utara. Itulah awal dari sebuah bab baru dalam sejarah, dan dimulailah kisah kepahlawanan Ban Chao.”
(T/N: Catatan Zhang Qian tentang perjalanannya ke Xi Yu adalah sumber utama dari data kebudayaan dan sosio-ekonomi bagi Sima Qian dalam Catatannya, juga dalam karya ban Gu dan Ban Zhao.)
“Benteng ini, meski kini tak lebih dari reruntuhan dalam angin musim gugur yang dingin, merupakan bukti bagi tahun-tahun kejayaan dalam sejarah itu. Dengan hanya 36 orang bersamanya, Ban Chao telah bertarung dan mengalahkan 130 orang musuh, dan dari kemenangan itu, sebuah ekspresi ungkapan baru pun lahir: ‘Bagaimana bisa mendapatkan anak harimau tanpa memasuki sarang harimau’. Ketika Kaisar Han Zhang Di (putra Kaisar Ming) memberi perintah agar kampanye militer di Xi Yu ditinggalkan, Ban Chao menentangnya. Dia memilih untuk tetap tinggal bersama kelompok-kelompok etnis dan menjaga Shule selama lima tahun. Jumlah prajurit Han di bawah komandonya tidak banyak, tetapi dengan kecerdikan dan karakternya saja, dia mampu menakhlukkan banyak kerajaan-kerajaan Barat.”
Setelah begitu banyak upaya dari Ban Chao dan putranya, Kucha akhirnya tunduk pada aturan Han. Pemerintahan Keluarga Bai pada Kucha, yang Ban Chao bantu untuk dirikan, bertahan selama hampir delapan ratus tahun. Bagaimanapun, pada periode waktu tempatku berada sekarang ini, Kucha tak lagi mendengarkan perintah dari Dataran Tengah, memberi Han alasan untuk mengirimkan pasukan militer kemari. Dan sebelas tahun kemudian, Rajiva akan harus menghadapi titik balik besar dalam hidupnya.
Jantungku rasanya seperti terbelah, darah menetes tak tertahankan, mengubah pemandangan di depan mataku menjadi gambaran merah. Dengan kesakitan, kupejamkan mataku.
“Kenapa tiba-tiba kamu berhenti?”
“Bukankah kau adalah orang Kucha? Kenapa kau tak tahu apa-apa tentang sejarah masa ini?”
Kubuka mataku. Pemandangan merah itu sudah lenyap, digantikan oleh mata menyelidik Pusydeva. Aku tersenyum sedih.
“Aku baik-baik saja, tak usah emmikirkan cara untuk menyenangkanku.”
Dia tersenyum dan tetap diam.
“Seperti apa hubunganmu dengan pamanmu, Bai Zhen?”
Dia mengerutkan alisnya mendengar pertanyaanku.
“Hubungan kami baik. Kenapa kamu bertanya?”
Aku ragu-ragu sesaat sebelum memutuskan untuk mengatakan padanya, “Jangan menjadi orang militer lagi.”
Perkataan itu membuat Pusydeva terpana. Dia menatapku, kebingungan dan sedikit curiga.
“Kau mungkin berikir kalau aku bicara omong kosong, tetapi percayalah padaku, semua yang akan kukatakan itu benar.”
Aku menatapnya lurus-lurus dan perlahan mengucapkan setiap kalimat.
“Kelak, Kucha akan mengalami bencana besar. Teruslah bergabung dalam militer dan bahaya akan menimpamu. Kalau kau bisa, berusahalah untuk meningkatkan hubunganmu dengan Bai Zhen, karena dia akan menjadi orang yang bisa kau sandari di masa yang akan datang.”
Pusydeva tercengang dan selama sesaat, tak menagtakan sepatah kata pun.pada akhirnya, sudut mulutnya terangkat membentuk seuals enyum muram.
“Tak bisa kupercaya kau bersedia mengungkapkan masa depanku padaku.”
Sekarang giliranku untuk terkejut, tetapi sebelum aku bisa memulihkan diri, dia telah meraih dan menggenggam tanganku erat-erat, suaranya teramat lembut.
“Maka tetaplah tinggal bersamaku, tinggallah dan bantu aku menghadapi masa-masa sulit yang kau bicarakan itu.”
Ditariknya tanganku ke pangkuannya.
“Kamu adalah seorang bidadari (T/N: dalam Bahasa Sansekertanya adalah Apsara, salah satu makhluk penghuni khayangan / surga) yang baik hati, jadi kamu pasti takkan meninggalkanku supaya menderita seorang diri, kan?”
Aku berusaha melepaskan diri dari genggamannya dan dalam prosesnya malah merangsang luka-lukaku, membuatku menjerit kesakitan. Pusydeva langsung melepasku.
Dia mendesah panjang. Aku menangkap setitik kesedihan di matanya sebelum dia berbalik untuk menatap api yang berderak.
“Ai Qing, kalau aku bergabung dalam biara, apa kemudian kamu akan menyukaiku?”
“Kau!” Kaget, aku nyaris melompat berdiri, “Omong kosong apa yang kau katakan?!”
Dia meledak tertawa.
“Aku hanya bercanda. Kalau aku bergabung dengan biara, entah ada berapa banyak gadis yang akan menangis habis-habisan ketika mereka mendengar kabar itu. lalu aku akan harus melanggar sumpahku untuk menenangkan mereka. Orang sepertiku takkan pernah bisa menjadi Buddha.”
Aku memberinya senyum kering. “Pusydeva, apa dari diriku yang kau sukai?”
“Entahlah. Kau bahkan tak secantik itu, dadamu kecil. Aku juga tak tahu apa yang kusuka tentangmu.”
Dia menatapku dalam waktu lama sebelum senyumnya memudar lalu berkata dalam suara yang lebih lembut, “Kamu sangat murni.” Mata abu-abu mudanya terus mengamati wajahku. “Matamu begitu murni, senyummu murni, bahkan hatimu juga murni. Saat aku bersamamu, rasanya aku juga ikut menjadi murni, tak terbebani oleh pemikiran kotor apapun.”
Dia menutup matanya selama sedetik, dan ketika membukanya kembali, ada kesedihan tersembunyi dalam tatapannya.
“Ai Qing, haruskah kamu kembali ke langit? Apa kamu sungguh tak bisa tinggal?”
Aku berdiri.
“Sudah larut, mari kita istirahat untuk malam ini.”
***
Keesokan paginya, kami memulai perjalanan pulang. Sejak awal aku toh memang tak punya niat untuk bekerja, juga tak mau lagi tinggal bersama Pusydeva, jadi aku meminta agar kita kembali lebih awal daripada yang telah direncanakan semula. Aku harus mencari cara untuk mendapatkan kembali jam perjalanan waktuku. Aku telah tinggal di Kucha nyaris selama setengah tahun. Kalau aku tak segera berangkat, maka ketika aku sampai di Chang’an, batas waktu satu tahunku akan usai dan aku akan harus kembali ke abad ke-21 sebelum aku bisa bertemu Fu Jian.
Kami harus memasang kemah sekali pagi di malam hari. Tujuannya adalah sampai di Kucha pada keesokan harinya. Sayangnya, saat kami beristirahat di hutan, secara kebetulan kami menemui sebuah kejadian besar.
Kami sudah hendak bersiap-siap melanjutkan perjalanan setelah berhenti sebentar untuk beristirahat. Tetapi begitu aku masuk ke dalam kereta, aku mulai mendengar suara-suara aneh. Ketika aku mengelurkan kepalaku, sebuah benda aneh tiba-tiba meluncur tepat ke sampingku dan menancapkan dirinya pada pintu kereta. Aku mengenalinya sebagai sebuah anak panah.
Suara Pusydeva bisa kudengar sedang berteriak, “Ai Qing, kembali ke dalam dan tetap di sana!”
Aku mendengarkannya dan melompat kembali ke dalam saat tiba-tiba, keretanya mulai meluncur ke belakang. Aku bisa mendengar kuda-kuda meringkik kesakitan di kuar. Keretanya terus terguncang keras, membuatku jatuh ke segala arah dan menjadi sakit di mana-mana. Aku berusaha memanjat keluar dari kereta dan setelah berupaya keras, aku berhasil menyingkap tirai di bagian depan, hanya untuk melihat anak panah menancap di punggung kuda-kuda, sementara kusirnya tak bisa ditemukan. Tak ada apa-apa selain pasir di sekeliling kami. Aku tak bisa menemukan Pusydeva. Aku berayun di atas kakiku, merasa pusing dan mual, tetapi masih berhasil menyeret tubuhku ke arah pintu. Kugertakkan gigiku dan melompat. Aku tak bisa menghitung berapa kali tubuhku berguling di atas tanah, saat pikiranku dipenuhi oleh rasa sakit membakar dari lenganku yang terluka, sebelum kepalaku menghantam sesuatu yang keras dan dingin. Setelahnya, kegelapan pun melingkupiku.