Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 34
Pada akhirnya, kesadaranku kembali. Butuh waktu beberapa saat sebelum penglihatanku menjadi lebih jelas. Yang menyambutku adalah sepasang mata abu-abu muda tengah menatapku tanpa berkedip dan sarat dengan kekhawatiran. Aku mengenalinya sebagai mata Pusydeva.
“Syukurlah, kau sudah sadar!”
Dia mencondongkan tubuh ke depan untuk menarikku ke dalam pelukan tetapi tanpa disengaja menyenggol tanganku dalam prosesnya, menyebabkan terpaan rasa sakit baru yang membuat mataku berair.
“Maaf! Aku kikuk sekali, selalu melukaimu.”
Dia langsung melepasku, lalu dengan hati-hati mengamati lukaku.
“Jangan khawatir, aku akan memastikan luka-lukamu sembuh.”
Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa aku telah kembali ke kamarku dalam kediaman Guru Negara. Lenganku dibungkus oleh entah ada berapa banyak lapisan kasa untuk menutupi bengkaknya yang parah.
Dengan suara lemah, aku bertanya pada Pusydeva apa yang telah terjadi. Ternyata itu hanya perampokan biasa yang terjadi di walayah tersebut. Para bandit telah mengincar kelompok kami, yang bahkan setelah menghitung kusir kereta hanya terdiri dari enam orang laki-laki, jadi mereka memutuskan untuk segera menyerang kami. Tetapi Pusydeva dan sekelompok temannya itu adalah para prajurit terlatih, dan masing-masing dari mereka bisa membereskan empat orang laki-laki sendirian. Maka dengan segera para bandit itu pun dibuat tak berdaya dan nyaris tak berhasil kabur. Semua lelaki itu baik-baik saja, hanya aku yang sial, dengan kepala terbentur batu besar dan kehilangan kesadaran sebagai hasilnya. Tetapi bukan itu yang membuatku takut. Yang paling membuatku cemas adalah luka-lukaku yang masih dalam proses penyembuhan sekali lagi terbuka akibat kejadian ini. Tulang-tulang di dekat area lukaku sudah jadi cukup sensitif, dan sekarang mereka menghadapi risiko patah yang bahkan lebih besar lagi.
Pada titik ini amarah Pusydeva pun meledak. Dia ingin menghukum si kusir pengecut yang kabur begitu melihat adanya masalah, tetapi aku berhasil menenangkan dirinya. Lagipula, si kusir hanya bertindak sesuai dengan insting bertahan hidupnya.
Tabib kerajaan berada di sini untuk mengganti perbanku. Setelah lengan bajuku dinaikkan, aku hanya bisa melihat lenganku dengan rasa tak percaya. Kalau bukan karena kenyataan bahwa tangan itu jelas-jelas masih tetap menyambung ke tubuhku, aku pasti sudah tertawa dan berkata, ini bukan lenganku tetapi kaki babi rebus! Lukaku kelihatan terinfeksi parah dan bila terus begini, bisa dengan mudah mengalami necrosis (T/N: mati dan membusuknya jaringan otot). Ya Tuhan, bagaimana bisa jadi seperti ini? Luka ini telah menempeliku selama hampir setengah tahun, meski selama ini aku telah berusaha sebaik mungkin untuk merawatnya. Bagaimana bisa kemampuan tubuhku untuk menyembuhkan diri jadi begini parah?
“Ai Qing, jangan takut!”
Pusydeva menggenggam lenganku yang lain. Dia bahkan tampak lebih ketakutan daripada aku.
“Tunggu aku, aku akan pergi ke istana dan mencari obat terbaik untukmu.”
Setelah mengatakan itu, Pusydeva langsung pergi bersama sang tabib.
Ditinggalkan seorang diri, aku berbaring di ranjangku dan membiarkan pikiranku berkelana. Sebenarnya ada masalah apa di sini? Apa itu karena aku terlalu sering memakai mesin waktu dan telah terpapar iradiasi? Apakah aku akan kehilangan lenganku?
Semakin aku memikirkannya, semakin parah jadinya. Tak sanggup menanggung beban pikiran seperti itu lebih lama lagi, aku pun duduk. Kukatakan kepada pelayan wanita yang menungguiku bahwa aku ingin dibiarkan sendirian selama beberap saat. Setelahnya, kugertakkan gigi dan menyeret diriku sendiri ke kamar Pusydeva. Dia pasti telah menyembunyikan jam waktuku di suatu tempat yang sulit untuk ditemukan. Aku coba-coba mengetuk dinding di sini dan di sana (untuk mencari ruang tersembunyi), lalu berpindah ke rak buku. Aku hanya bisa memakai satu tangan, jadi eprgerakanku lambat. Batinku sarat dengan ketegangan. Siapa yang tahu kapan dia akan kembali?
Memakai pinggiran ranjang sebagai penopang, aku berlutut dan meletakkan satu tangan ke bawah untuk melihat apakah aku bisa menemukan apa saja. Tanganku sepertinya menyentuh sesuatu. Merasa kegirangan, kutarik benda itu keluar. Ternyata itu adalah sebuah kotak persegi panjang biasa, seukuran kertas A8 (2 x 2,9 inci, atau 52 x 74 mm). Aku cepat-cepat membuka penutupnya, hanya untuk membeku saat melihat apa yang ada di dalamnya.
Meski dibuat dengan sejumlah goresan sederhana, masih mudah melihat bahwa itu adalah gambar seorang gadis ceria yang sedang tersenyum cerah, mengenakan pakaian sederhana, wajahnya segar dan murni. Gadis itu adalah aku! Gambar itu dibuat dengan memakai buku sketsa dan pensilku.
Halaman selanjutnya adalah gambar diriku dari bahu ke atas, mata berbinar dan berkilau, ditemani oleh cengiran bodohku yang khas. Setelah itu adalah gambarku sedang bertengger di atas punggung unta, wajah berkerut saat aku berjuang untuk tetap duduk di tempat, kelihatan seakan aku akan jatuh kapan saja. Lalu ada gambarku sedang jatuh tertidur di atas meja, rambut tersebar dan menyembunyikan separuh wajahku. Gambar lain menampakkan aku sedang memiringkan kepalaku ke samping dan mulut terbuka lebar, kelihatan cukup menggelikan. Mungkin aku sedang bernyanyi? Juga ada gambar diriku sedang duduk dalam konsentrasi penuh saat aku membaca buku….
“Tersentuh?”
Kaget, aku tersentak ke belakang dan menyebabkan kotaknya terjatuh ke lantai, membuat kertas-kertasnya beterbangan ke mana-mana.
Pusydeva berjongkok dan memunguti setiap lembarnya, menumpuknya, dan memberiku seulas senyum penuh teka-teki.
“Kalau kubilang padamu bahwa gambar-gambar ini dibuat olehku, apakah itu akan membuatmu jatuh cinta padaku?”
“Aku –“
Tanpa sadar, air mata mulai bergulir di pipiku.
“Pusydeva….”
Dia membolak-balik setiap lembarnya, mata terpancang pada gambar, wajah membentuk senyum sedih.
“Gambar-gambar ini sangat penuh penjiwaan, kan?”
Gambar-gambar yang terakhir tidak sebagus sebelumnya. Goresannya lebih kasar, dan ada tanda bahwa gambar-gambar itu telah dihapus berkali-kali. Wajahku tampak agak kaku, tak senatural gambar-gambar yang sebelumnya. Ketika Pusydeva membalik halaman terakhir, sosok yang tergambarkan di sana bukan lagi diriku. Alih-alih, itu adalah gambar-gambar Rajiva yang pernah kubuat. Senyum hangat, satu bahu tak tertutup oleh jubah, tubuh kurus dan ramping. Meski gambarnya nampak hidup, mereka tak sepenuhnya menggambarkan aura agung yang biasa dia pancarkan.
“Aku juga berharap kalau gambar-gambar ini adalah milikku.” Matanya masih terpaku pada halaman-halaman itu sementara tangannya gemetar. “Karena itu pasti akan membuatmu tergerak.”
“Ai Qing, aku baru berusia sepuluh tahun saat pertama kali aku bertemu denganmu, dan kita hanya menghabiskan waktu tiga bulan bersama-sama. Saat aku tumbuh semakin besar, aku hanya bisa mengingat bahwa aku telah bertemu seorang bidadari, tetapi tidak ingat bagaimana rupanya. Dalam ingatanku, aku hanya bisa mengingat beberapa lagu yang telah kamu nyanyikan padaku, tawamu saat kamu bermain denganku di halaman, dan juga kehangatanmu. Kamu mungkin bisa menebak siapa yang telah menggambar ini. Gadis dalam gambar ini memiliki mata yang begitu cerah dan polos, sesuatu yang tak bisa kutemukan pada gadis-gadis yang telah bersama denganku selama beberapa tahun terakhir ini. Melihat mata itu sepertinya telah membuka ingatanku tentangmu. Pemandangan-pemandangan itu kembali seperti banjir bandang. Kamu telah mengajariku bagaimana bermain ‘batu gunting kertas’, bagaimana membuat orang-orangan salju, bagaimana menulis tulisan Han. Ada kita yang sedang bermain ‘prajurit’ dan sang ‘musuh’. Juga ada kamu yang menepuk-nepuk lembut punggungku saat kamu bernyanyi hingga aku tertidur. Semuanya terasa begitu jelas hingga seakan baru terjadi kemarin. Sejak saat itu, aku mulai merindukanmu, berharap untuk melihatmu sekali lagi.”
“Gambar-gambar ini… aku mencurinya. Dia tak berani memintaku untuk mengembalikanya, tetapi aku tahu kalau dia pernah berkali-kali kemari untuk mencari mereka. Seringkali aku membolak-balik gambar ini kapan saja, tetapi sesaat kemudian, aku akan mulai merasa marah. Bagaimana mungkin dia bisa menggambarmu dengan begitu bagus, begitu penuh energi dan seperti hidup, sedemikian rupa sampai-sampai setiap kali aku melihatnya, hal itu hanya membuatku semakin ingin melihatmu. Dia tak pernah dikenal dengan keahlian menggambarnya, yang berarti dia pasti telah menggambarmu di dalam hatinya ribuan, jutaan kali, hingga bisa mencapai kualitas pekerjaan seperti ini!”
Dengan tangan gemetar, aku meraih gambar-gambar itu. Pusydeva ragu-ragu sesaat sebelum memberikannya kembali padaku. Dengan hati-hati aku membalik setiap halaman dan melihat saat goresan-goresan kasar itu berubah menjadi garis-garis tebal dan mulus, dan pda akhirnya, begitu natural dan hidup. Apakah ini adalah alasan kenapa dia mengaku padaku bahwa tak peduli sepuluh tahun yang lalu ataupun sepuluh tahun setelahnya, dia tak pernah mampu menaati Sila? Tanpa disadari aku telah memasuki hatinya, telah mencapai dasar hatinya yang terdalam dan selama ini tetap berada di sana.
Aku bahkan tak sanggup menangis. Lubang di dalam hatiku meluas dan semakin meluas, hingga pada titik di mana rasanya aku akan kehilangan hatiku seketika itu juga.
“Ai Qing!” Pusydeva mencengkeram pundakku dan berteriak dengan suara panik.
“Ada apa denganmu?”
Ada apa denganku? Setetes darah menitik jatuh dan memercik di atas halaman, menyamarkan senyuman bodohku. Setetes lagi menutup salah satu mataku yang berbinar.
Sebuah tangan terjulur untuk menutup hidungku, membuat jari-jarinya berlumuran darah. Kuangkat kepalaku dan mendapati Pusydeva tampak benar-benar ketakutan. Aku ingin bilang padanya kalau aku tak apa-apa, tetapi begitu aku membuka mulutku, darah menetes keluar dan memercik ke atas gambarku bagai bunga-bunga merah yang mungil. Tubuhku terasa berat, semakin lama semakin berat, dan semuanya seperti berenang-renang jungkir balik di depan mataku, lalu mendadak semuanya menjadi sunyi.
***
Saat aku membuka kembali mataku, aku sudah kembali ke kamarku. Pusydeva sedang duduk di sisi ranjangku, kantong matanya tampak tebal. Melihat bahwa aku telah bangun, dia mulai menanyaiku segala macam pertanyaan.
Aku mengisyaratkan padanya bahwa aku ingin minum air. Dia segera membawakan secangkir air panas. Air panas itu memulihkan beberapa perasaan pada tubuhku. Setelahnya, aku menatapnya dalam diam. Aku tak ingin mengatakan apa-apa, bahkan tak punya energi untuk mengatakan apa-apa.
“Ai Qing, jangan lihat aku seperti itu!”
Dia memalingkan kepalanya, suaranya pecah.
“Sejak aku melihatmu memandangi gambar-gambar itu, aku tahu kalau aku sudah kalah. Sebenarnya, aku tak pernah menang. Bagimu selalu hanya ada dia, sudah demikian sejak sepuluh tahun yang lalu.”
Pusydeva menarik napas dalam-dalam dan menggerak-gerakkan tangannya yang gemetar dalam upaya untuk tetap tenang.
“Dia seharusnya akan segera kembali. Aku telah menyuruh seseorang untuk pergi dan memberitahu dia.”
Syok, aku pun tersentak bangun, tetapi rasa sakitnya membuatku jatuh ke ranjang lagi.
Pusydeva bergegas mendekat dan memegangiku, matanya diwarnai oleh kesedihan dan kekhawatiran, sementara suaranya bergetar oleh emosi.
“Begitu Rajiva tiba, aku akan meminta ijin dari sang raja agar dia bisa kembali menjadi umat awam. Kalau kakakku tidak setuju, aku akan memakai tinjuku padanya.”
“Jangan!” aku berseru dengan suaraku yang lemah.
“Kenapa tidak?” DIa mencondongkan diri mendekat dengan kilau keras di matanya.
“Bukankah kalian saling mencintai? Jadi kenapa kamu harus membuat dirimu sendiri menderita seperti ini? Kalau dia sungguh mencintaimu, maka dia seharusnya tidak ragu untuk meninggalkan kehidupan biara.”
Air mata mengalir di wajahku.
“Sudah terlambat, Pusydeva….”
Luka-luka yang lama sembuhnya, dua kali mimisan, dan kini bahkan muntah darah; jelas-jelas kesehatanku telah menderita kerusakan parah setelah lompatan-lompatan waktu ini. Meski aku tak tahu apa tepatnya penyakit yang mengenaiku, aku tahu kalau aku tak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Aku harus bergegas untuk pulang. Aku tak berpikir kalau lukaku ini hanya terbatas pada lengan yang segera akan patah. Dengan pahit aku menyadari bahwa inilah harga yang harus dibayar oleh seseorang akibat mengubah sejarah.
“Ke-kembalikan gelang itu padaku,” aku berjuang dengan setiap kata yang kuucapkan, “kalau kau t-tak ingin aku ma-mati….”
“Ai Qing!”
Pusydeva menarikku dalam dekapan erat, suaranya pecah.
“Semua ini salahku. Aku telah memaksamu untuk tinggal, melupakan bahwa bidadari bukanlah milik alam dunia ini….”
Perlahan dia menurunkan kepalaku ke bantal. Matanya sarat dengan air mata panas, bibirnya bergetar: “Aku akan mengembalikan kamu ke langit.”
***
Hujan tidak terlalu sering turun di Kucha dan semakin jarang lagi pada musim gugur. Tetapi pada ahri terakhirku di sini, hujan deras turun tanpa henti. Awan gelap yang muram menggantung di langit, sama gelap dengan perasaan dalam hatiku saat ini. Pusydeva menyuruh agar semua orang di Kediaman berlibur sehari, sehingga tak seorang pun yang akan terganggu oleh kehilanganku yang mendadak.
Aku telah menjadi terlalu lemah, dan hanya dengan satu tangan yang bisa berfungsi, aku tak mampu mengenakan pakaian anti-radiasiku dengan benar. Pusydeva mengambil pakaian itu dan membantuku mengenakannya.
Kalau saja aku tak sesakit saat ini, wajahku mungkin akan menjadi semerah tomat. Ini adalah kali pertama aku membiarkan seorang lelaki membantuku mengenakan pakaian, dan dalam jarak yang begitu dekat. Aku menyandar pada lengan Pusydeva, pipi seperti terbakar, saat aku membimbingnya tentang cara menaikkan beragam resleting. Meski tangannya kikuk, dia sangat terfokus pada tugasnya, dan gerakannya begitu lembut, terus-terusan bertanya apakah aku kesakitan.
Wajahnya juga memerah, namun matanya sarat dengan kepedihan. Aku memalingkan wajah, tak sanggup menghadapi pemandangan itu. Lenganku yang terluka terlalu bengkak, membuatnya sukar untuk dimasukkan ke dalam lengan baju. Keringat membanjir saat aku berjuang. Dia langsung menghentikan pertolongannya dan mengangkat lenganku untuk diamati, matanya teramat pilu. Aku mengisyaratkan padanya agar melanjutkan. Dia menggertakkan giginya, terlihat seakan memakai segenap upayanya untuk membantuku memasukkan lengan ke dalam lengan baju. Saat kainnya menyapu lukaku, rasanya aku akan pingsan akibat luka yang membakar itu.
“Ini adalah pertama kalinya aku membutuhkan waktu begitu lama untuk berpakaian.” Aku menahan rasa sakitnya dan berkata padanya sambil tersenyum kecil.
Pusydeva agak terkejut dibuatnya, wajahnya berkerut membentuk senyum miring.
“Ini juga kali pertama aku membantu seorang wanita untuk berpakaian.” Matanya berhenti pada liontin singa kumala di leherku. Dia mengulurkan tangan dan menyentuhnya dengan hati-hati. “Berjanjilah padaku bahwa kamu akan selalu mengenakannya, agar kamu bisa mengingatku dari waktu ke waktu.”
Aku mengangguk. Merasa seolah aku akan tercekik dalam udara yang penuh kesedihan ini, aku berusaha memasang senyum bodoh ciri khasku untuk kali terakhir.
“Pusydeva, biar kukatakan padamu tentang ‘hukum tiga rumput’ yang harus diingat para anak laki-laki di sekolahku saat mengejar para gadis.”
Seperti yang telah kuduga, Pusydeva jadi penasaran. “Hukum tiga rumput’?”
Dengan sebuah cengiran, aku berkata padanya, “Seekor kelinci tak memakan rumput yang ada di depan liangnya. Seekor kuda yang baik tak kembali ke petak rumput yang sama. Dan terakhir, di dunia ini tak kekurangan rumput yang bagus.”
(T/N: ketiganya adalah idiom Tiongkok, yang dalam konteks percintaan berarti: Yang pertama berarti kau tak boleh mengencani seseorang dalam setting sosial yang sering kau temui, seperti teman sekerjamu, atau kekasih temanmu (atau dalam kasus ini, ‘love interest’ saudaramu). Yang kedua berarti sebuah perpisahan harus dilakukan dengan bersih; juga berarti kau tak seharusnya berusaha mendapatkan kembali cinta yang telah hilang. Dan yang terakhir serupa dengan pepatah ‘masih ada banyak ikan di laut’, yang berarti masih ada banyak pria / wanita di sekelilingmu, jadi tak perlu merasa putus asa. Tahu kan kenapa Ai Qing mengatakan idiom-idiom ini kepada Pusydeva?)
Terpana, dia menggumamkan idiom-idiom ini pada dirinya sendiri beberapa kali, terlihat agak lucu saat melakukannya, dan berkata padaku dalam gaya bercanda, “Ini adalah kesempatan terakhirmu. Begitu aku menjadi seekor kuda yang bagus, aku takkan pernah kembali untuk memakan rumput semacammu.”
Aku meledak tertawa, mengabaikan rasa sakit yang menyengat lenganku dalam prosesnya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku melihat Pusydeva terlihat seperti dirinya sendiri.
Pada akhirnya, dia membantuku mengenakan pakaian Han, lalu membawakan dua buah tas ransel Northface padaku.”
“Aku benar-benar tak mau kamu mengenakan kedua tas raksasa ini. Tubuhmu sudah begini lemah –“
“Tak usah khawatir, bantu saja aku mengenakannya.”
Setelahnya, Pusydeva menarikku dalam pelukan lembut, pergerakannya lebih berhati-hati daripada sebelumnya.
Mendapati bahwa dia tak juga melepasku setelah cukup lama, akhirnya aku angkat bicara, “Aku harus pergi.”
Perlahan Pusydeva melepasku, lalu menolehkan kepalanya untuk beranya, “Kamu tak menunggu sampai dia kembali? Seharusnya dia bisa muncul di sini kapan saja sekarang.”
Aku menggelengkan kepala.
Aku teringat pada malam itu di Kota Subashi, Rajiva telah bertanya padaku apakah aku ingin agar dia kembali ke kehidupan duniawi (berhenti menjadi rahib). Anggap saja aku sama sekali mengabaikan sejarah dan membuat Kumarajiva sang rahib penerjemah besar menghilang, lalu apa? Akan menjadi apa dirinya? Dia memiliki aspirasinya sendiri, memiliki tujuan hidup untuk diikuti. Kalau dia harus meninggalkan tempat yang telah ditinggalinya sejak lahir dan menyeberang ke dunia modern lalu menjadi orang ‘biasa’, apakah dia bisa menerimanya? Apakah dia akan bisa beradaptasi pada kehidupan semacam itu?
Kisah-kisah dongeng seringkali berakhir dengan sang putri dan sang pangeran hidup bahagia selamanya, tetapi bagaimana dengan kehidupan setelah halaman terakhir itu? Akan seperti apa kehidupan bersama bagi mereka? Perjuangan sehari-hari dalam kehidupan modern akan segera mengambilalih ketakjuban apapun yang mulanya dia rasakan. Dia akan segera merasa terasing, tak tahu bagaimana harus bertindak, kehilangan arahnya, jalannya, dalam hidup. Tak peduli seberapapun besar cinta yang ada, tetap takkan cukup untuk memulihkan semangat yang patah dari seseorang yang telah kehilangan jalan mereka. Aku tak sedemikian kejam sampai memaksa dia membuat pilihan seberat itu..
Aku adalah orang yang sangat praktis. Aku kembali ke masaku untuk mempertahankan nyawaku. Kalau aku benar-benar harus pergi dengan cara seperti ini dan tak mau dia merasa bimbang, maka akan lebih baik bila tidak bertemu dengannya. Melihat dia lagi hanya akan membawa rasa sakit yang tidak perlu bagi kami berdua. Terlebih lagi, bila aku melihat dia lagi, aku tak yakin kalau aku akan sanggup bertahan pada keputusanku. Pergi tanpa kata-kata mungkin adalah perpisahan yang terbaik bagi kami berdua….
“Kapan kamu akan kembali?”
“Aku tak tahu.”
Aku tersenyum lemah. Itu benar, aku sungguh tidak tahu. Aku tak tahu penyakit macam apa yang yang akan menimpaku setelah lompatan waktu ini. Aku tak tahu apakan tim peneliti akan membiarkanku melakukan perjalanan waktu lagi. Dan bahkan bila mereka mengijinkanku, aku tak yakin kalau aku akan bisa kembali ke waktu dan tempat tertentu ini. Ada terlalu banyak ketidakpastian, terlalu banyak kemungkinan, hingga probabilitasnya saat ini nyaris mendekati nol. Jadi kami mungkin takkan bisa bertemu kembali….
“Pertama, lebih baik tak berjumpa,
Karena perjumpaan membawa pada cinta.
Kedua, lebih baik tidak tahu,
Karena tahu membawa pada rindu.”
Aku menggumamkan pada diriku sendiri sebuah puisi karya Tsangyang Gyatso, Dalai Lama keenam dari Tibet. Kepedihannya, beban dari kata-kata tersebut, menancap tepat dalam diriku. Rasanya aku telah menua beberapa dekade.
(T/N: bila pembaca ingat, judul dari novel ini juga berasal dari salah satu puisi Tsangyang Gyatso. Bagi yang familiar dengan kisah Bu Bu Jing Xin mungkin akan bisa mengenali puisi di atas. Puisi aslinya memiliki empat baris seperti di atas, tetapi kemudian diadaptasi ke dalam sebuah puisi Sepuluh Baris oleh seorang pengarang di web, lalu kemudian menjadi sebuah lagu….)
Kupikir aku telah meninggalkan jiwaku di tempat ini. Satu-satunya yang benar-benar kubawa adalah tubuh yang lelah ini – bukan, hatiku yang sudah hampa ini….
“Ai Qing….”
Pusydeva memelukku untuk kali terakhir sebelum memberiku sebuah kecupan ringan di dahi. Aku bisa merasakan hawa panas dari kecupan itu bertahan di kulitku, seakan mengandung seluruh kesedihan dari perpisahan kami. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya dia melepasku. Terakhir, dia membantuku mengenakan helm, menutup resletingnya, dan perlahan berjalan ke arah pintu. Tetapi dia masih bertahan sebentar di ambang pintu, tampak tak ingin pergi.
“Pusydeva!” aku berteriak saat pintu itu akhirnya menutup. “Berbahagialah! Pergi dan temukan seorang wanita yang akan mencintaimu dengan segenap hatinya!”
“Aku j-janji,” suaranya merambat melewati pintu dengan terpatah-patah, “saat ka-kamu ke-kembali, kamu akan melihat be-betapa bahagianya hidupku….”
Kutekan tombolnya. Cahaya hijau mulai memancar dan hitung mundur pun dimulai. Aku menatap ke sekeliling kamar untuk terakhir kalinya, pada lembar-lembar aksara Han cakar ayam di dinding yang telah ditempelkan Pusydeva saat dia masih kanak-kanak, pada potret-potretku yang digambar oleh Rajiva, yang Pusydeva telah berjanji untuk mengembalikannya. Seluruh dunia ini akan lenyap dalam waktu kurang dari satu menit. Kepergianku, semoga saja akan menghapus semuanya….
Tepat sebelum aku melakukan lompatan waktu, tiba-tiba kudengar sebuah pekikan menusuk yang datang dari jauh. Siapa itu? Suara siapa yang memanggil namaku dengan sedemikian putus asanya, yang membuat hatiku terasa begitu sakit? Kenapa aku tak bisa melihat –