Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 37 (2)
- Home
- Faithful to Buddha, Faithful to You
- Chapter 37 (2) - Cerita Tambahan Pusydeva (Part 3)
….
Setelah memikirkannya dengan seksama, aku jadi menyesali apa yang sudah kulakukan hari itu. Aku tak tahu tentang luka-lukanya, dan perbuatan kasarku hanya mengacaukan semua upayaku sebelumnya untuk mendapatkan hatinya. Setelah kami kembali ke kediaman Guru Negara, Ai Qing mulai menghindariku seperti wabah. Ini semua salahku. Tepat saat kupikir dia akhirnya telah terbiasa dengan sentuhan-sentuhanku, aku malah melakukan itu…. Tetapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan topik itu lebih jauh lagi karena ayah jatuh sakit. Aku berpikir pada diriku sendiri kalau aku akan meminta maaf padanya dengan sepantasnya setelah ayah pulih.
Tetapi ayah tak mampu melewati penyakit itu. Ayahku tercinta meninggal, membawa bersamanya semua rasa sakit dan penderitaan akibat merindukan ibuku. Aku tak terlalu merasakan apa-apa saat ibu meninggal, tapi rasa sakit karena kehilangan ayah tetap bertahan dalam diriku untuk waktu yang lama. Barulah saat ini aku akhirnya mengerti penderitaan ayah, karena pernah merasakan jatuh cinta. Seharusnya aku lebih menuruti ayah saat dia masih hidup, bukannya melakukan hal-hal yang membuat dia kecewa. Sayangnya, dia meninggal tanpa melihat penyesalan tulusku.
Aku melamar Ai Qing, bahkan meski sebulan yang lalu dia telah mengatakan padaku kalau tak ada tempat untukku di hatinya. Aku ingin memberikan kepadanya satu hal yang tak bisa diberikan oleh kakakku. Tetapi sudah terlambat. Aku tak bisa menang, pada kenyataannya aku sekalipun tak pernah menang. Rasanya seperti ada lubang dalam dadaku saat aku mendengar dia mengakui cintanya kepada kakak. Ai Qing, kamu sudah mengajariku apa itu cinta antara pria dan wanita, tapi tepat saat aku akhirnya mempelajari bagaimana caranya mencintai, kamu kemudian bilang padaku kalau kamu tak pernah mencintaiku.
Selama aku menunggunya kembali dari Kota Subashi, aku telah berpikir keras dan lama tentang banyak hal. Dia memilih untuk pergi karena dia ingin kakak mewujudkan aspirasinya. Au bukan orang sehebat itu. aku mencintai dia, jadi aku akan mencari semua cara yang memungkinkan untuk membuatnya tetap tinggal. Waktu bisa mengubah apapun.
Dengan pemikiran itu, aku memutuskan untuk mencuri gelangnya. Orang-orang Han memiliki legenda tentang seorang bidadari dari khayangan yang pada suatu hari turun ke bumi dan kemudian pakaiannya dicuri oleh seorang manusia laki-laki saat dia sedang mandi di nahau. Tanpa pakaiannya, sang bidadari tak bisa kembali ke khayangan, dan karenanya dia pun tinggal bersama dengan si lelaki (tak tahu kalau lelaki ini adalah pencurinya) dan menikahinya. Kuharap legenda itu adalah nyata.
(T/N: oh foolish boy, kau hanya tahu awal ceritanya, tapi tak tahu bagaimana akhirnya….)
Dan ternyata, dia benar-benar tak bisa pulang ke khayangan tanpa gelang itu. aku lalu mengatur agar dia ikut denganku melihat Benteng Tagan. Sayangnya, dia terluka sekali lagi. Aku menangis saat tabib mengumumkan bahwa lengannya terlalu terinfeksi dan amputasi akan dibutuhkan demi mempertahankan nyawanya. Tak diragukan lagi, ini adalah hukuman karena menentang Langit dan berusaha memaksa seorang bidadari untuk tetap tinggal di sini. Tetapi kenapa hukumannya jatuh pada dirinya dan bukan padaku? Aku bersedia memberikan lenganku untuknya. Tak tak tahan bila harus melihat dia menderita seperti ini.
Aku sudah banyak memikirkan tentang itu sebelum memutuskan untuk mengirim seseorang mencari kakak. Saat aku melihat Ai Qing menatap gambar-gambar itu, aku tahu kalau aku sudah kalah telak. Aku sudah kalah sejak sepuluh tahun yang lalu. Kalau begitu, sebaiknya aku memenuhi harapannya. Yang terpenting adalah menghilangkan penderitaannya.
Sayangnya, kami tak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Luka-lukanya hanya bisa disembuhkan dengan kembali ke khayangan. Aku mengembalikan gelangnya dan membantu dia mengenakan pakaian aneh itu, lalu membantu dia mengumpulkan semua barang miliknya ke dalam tas yang dalamnya tak terukur itu. sejak saat ini, dengan langit dan bumi memisahkan kami, aku takkan pernah bisa melihatnya lagi. Aku takkan pernah bisa menemukan kehangatan dan ketulusan seperti itu dalam diri orang lain.
Tetapi aku harus melepaskan, karena bidadari ini tak pernah menjadi milikku. Aku meninggalkan satu tanda terakhir di dahinya sebagai perpisahan dan menatapnya sekali lagi untuk yang terakhir kalinya sambil berdiri di ambang pintu. Satu hari di atas sama dengan sepuluh tahun di bawah sini. Kali ini, aku tak boleh melupakan bagaimana rupanya. Pada saat dia kembali, aku mungkin telah menjadi seorang pria tua dengan rambut kelabu, ompong dan dengan pandangan yang kabur, tetapi kuharap dia akan masih bisa mengenaliku pada saat itu.
Kututup pintunya dan berjalan mundur ke halaman. Kuangkat kepalaku ke atas dan menatap angkasa, ke mana sebentar lagi dia akan kembali. Dengan air mata mengalir di wajahku, kukatakan pada diriku sendiri, aku harus hidup dengan baik, karena aku bukan anak-anak lagi.
Gerbang luar tiba-tiba terbanting membuka. Kakak tersandung-sandung melewatinya dengan wajah pucat pasi. Sekali lihat pada wajahku sudah cukup untuk membuat kakak bergegas maju menuju kamar Ai Qing. Aku berusaha memeganginya dengan sekuat tenagaku, mengingat kembali kata-kata Ai Qing tentang tak seorang pun yang boleh melihat secara langsung pada cahaya yang memancar saat dia pergi.
Tidak mampu melawan kekuatanku, tak ada hal lain yang bisa kakak lakukan selain memekikkan namanya ke arah pintu. Sejenis ratapan yang menyerupai jeritan menusuk, suara yang sarat dengan begitu banyak ketidakberdayaan dan keputusasaan yang bahkan membuatku terperanjat oleh kekuatannya. Pada saat itulah, aku menyadari bahwa tak ada gunanya merasa cemburu kepada kakak. Dia sama denganku. Hanya sebuah jiwa malang yang tak mampu mewujudkan cintanya.
Saat kami melangkah masuk ke dalam kamar itu setelahnya, tiba-tiba aku mendapat sebuah pemikiran panik: Apakah Ai Qing benar-benar ada? Atau dia hanya sebuah ilusi dalam hatiku? Sang Buddha berkata bahwa semua hal yang berkondisi adalah kosong… lalu bagaimana dengan dia?
Tangan kakak bergetar saat dia memungut gambar-gambar di atas meja. Ada bercak darah di atasnya, yang telah mengering menjadi merah gelap, tetapi bahkan itu pun tetap tak bisa menutupi senyum murninya yang cerah. Kakak ambruk ke atas ranjang dan menjatuhkan kepalanya ke atas gambar-gambar itu, bahunya jelas-jelas berguncang. Aku meninggalkan kamar dalam kesunyian, menengadah menatap angkasa dan menarik napas dalam-dalam, lalu berangkat untuk mencari pamanku, Bai Zhen. Aku harus hidup dengan baik sampai saat dia kembali.
Kakak berakhir dengan bermeditasi dalam kamar Ai Qing selama tiga hari berturut-turut. Kuperintahkan kepada para pelayan untuk membawakan kakak makanan setiap hari tetapi selain itu membiarkan dia tetap tak terganggu. Kapanpun orang-orang dari istana ataupun kuil datang mencari dia, aku mengarang berbagai alasan bahwa dia jatuh sakit dan harus beristirahat. Sekarang aku adalah kepala keluarga, jadi aku harus mengurus semua hal dan semua orang dalam kediaman ini, dan itu juga termasuk dirinya.
Kakak akhirnya keluar dari kamar itu tiga hari kemudian, terlihat jauh lebih rapuh daripada biasanya, namun matanya tetap sejernih sebelumnya. Mereka berdua, meski memiliki warna mata yang berbeda, keduanya mempunyai aura dan kemurnian yang sama dalam tatapan mereka. Aku mungkin tidak kalah dengan kakak dalam hal penampilan, tetapi aku takkan pernah bisa memiliki kejernihan semacam itu dalam sorot mataku, jenis sorot mata yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang mempunyai jiwa murni seperti mereka.
aku pernah mengira kalau kejadian seperti itu akan membuat kakak terjatuh dari jalannya, bahwa hal itu akan terbukti menjadi pukulan yang terlalu berat dan dia takkan lagi mampu mengikuti jalan Sang Buddha. Tetapi barulah lama kemudian, ketika aku pergi ke Kuil Cakuri untuk menjenguknya, aku jadi menyadari bahwa dia masih tetap sama seperti sebelumnya, masih menyebarkan Mahayana segigih sebelumnya, bila tak bisa dibilang lebih gigih lagi sekarang.
Ketika kami hanya berdua saja, aku menatap wajah tenangnya dan berkata pelan, “Kakak sepertinya telah memulihkan kembali semangat Kakak.”
Dia membalas tatapanku dan menjawab dengan nada tenang, “Sepuluh tahun itu tidak lebih dari angka. Kalau aku terus menyibukkan diriku dengan kembali menyebarkan jalan Sang Buddha, sepuluh tahun akan berlalu dalam sekejap mata.”
“Bagaimana kalau dia tak kembali setelah sepuluh tahun berlalu?”
“Maka aku akan pergi ke Dataran Tengah. Bahkan tanpa niat untuk mencari dia, aku tetap harus pergi ke sana dan membantu membebaskan umat manusia dari penderitaan. Ajaran Sang Buddha tak boleh berhenti di Kucha saja.”
Melihat sorot teguh di matanya, aku jadi merasa yakin kalau sepuluh tahun akan berlalu secepat yang dia katakan. Saat kakak menggerakkan tangannya, lengan bajunya tersibak dan menampakkan tasbih doa yang sudah memudar yang masih dia kenakan di pergelangan tangannya. Apakah dia berencana untuk menyimpannya selama sepuluh tahun lagi? Kalau aku jadi dia, aku pasti takkan mampu hidup seperti ini, selamanya menanti dengan harapan yang memudar. Bila dibandingkan dengan kakak, aku merasa seakan aku tak pernah sngguh-sungguh mempelajari apa arti dari mencintai. Aku tak lebih dari orang luar bagi hubungan mereka.
Tiba-tiba, kakak bertanya padaku, “Kenapa kamu bertengkar dengan sang raja dan membuat beliau begitu marah sampai-sampai beliau melepas posisimu sebagai pengawal istana?”
Hari saat aku mengajak saudara-saudaraku sesama pengawal istana serta Ai Qing ke Benteng Tagan, sebenarnya merupakan hari giliranku menjaga istana. Saat aku kembali, aku hanya mencemaskan kesehatan Ai Qing yang menurun dan tak pergi ke istana bahkan satu kali pun. Sang waja telah memanggilku berkali-kali tetapi aku tak memedulikannya. Barulah setelah Ai Qing pergi, akhirnya aku menampakkan diri di istana dan menerima semua kesalahan atas nama saudara-saudaraku.
“Dia hanya melakukan itu sebagai pembalasan, karena dia berpikir kalau aku telah bermain-main dengan wanita-wanitanya.” Satu sudut mulutku terangkat. “Sekarang karena ayah dan ibu kita sudah tak ada, tak ada lagi yang dia takuti.”
“Aku akan pergi dan membujuknya.”
“Tak usah!” Kuayunkan tanganku sambil berdiri. “Aku toh sudah lelah menjadi seorang prajurit.”
“Lalu sejak saat ini –“
“Entahlah, mungkin aku lebih cocok berdagang.’
Aku melangkah keluar dari Biara Cakuri. Musim dingin sudah tiba dan angin dingin begitu menggigit. Menatap langit kelabu di atas kepala, aku menghela napas dalam-dalam. Saat ini, kamu pasti sudah berada di atas langit. Apakah lenganmu sudah sembuh? Apakah kamu pernah memikirkan tentangku?
Kunaikkan kerah jubah wolku, memanjat ke dalam kereta, lalu berkata kepada si kusir:
“Ke kediaman pamanku!”