Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 38
Aku menatap dalam kesunyian saat pemandangan memelesat dari jendela kereta. Sekarang sudah bulan Januari, dan musim dingin sedang berat-beratnya. Dedaunan menjadi getas dan pepohonan tak lebih dari dahan-dahan kering – keseluruhannya membentuk sebuah gambaran yang sehampa jiwaku pada saat ini.
Secangkir teh hijau yang mengepul diletakkan di depan mataku.. aku mengambilnya dnegan kedua tanganku sambil menggumamkan terima kasih singkat.
Bosku duduh di sebelahku dan mengesah panjang.
“Berhenti memikirkannya. Setelah kau pulang, baca saja buku-bukunya dan belajar dengan baik. Kau akan lulus pada bulan Juli, lebih baik mulai memikirkan tentang segera menemukan pekerjaan.”
Aku membuat suara sekenanya sebagai balasan dan membungkuskan tanganku ke sekeliling cangkir untuk mendapat kehangatan, mataku tak pernah meninggalkan jendela.
***
Aku terbaring di ranjang selama tiga bulan setelah aku kembali ke masa ini. Para dokter bilang bahwa untung saja aku berhasil kembali tepat pada waktunya, kalau tidak aku takkan berhasil menyelamatkan lenganku. Dia tas ransel Northface raksasa yang kukenakan di punggung telah meringankan hantaman jatuhku, jadi lenganku tak perlu menderita luka lebih banyak lagi. Para dokter harus melakukan operasi untuk memotong bagian lenganku yang membusuk, yang membantu menstimulasi pertumbuhan jaringan yang baru. Bahkan setelahnya, lenganku tak lagi selentur sebelumnya. Mungkin ini adalah harga yang harus dibayar seseorang karena mengubah sejarah?
Aku menyerahkan sebuah laporan mendetail tentang kondisi fisikku kepada para peneliti, yang kemudian memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan tubuh secara menyeluruh. Setelahnya, mereka menyimpulkan bahwa jumlah keracunan radiasi di tubuhku setelah empat kali melakukan perjalanan waktu telah mencapai tingkat di luar batas. Aku tak lagi sesuai untuk meneruskan proyek itu. aku telah berusaha membujuk mereka untuk mengijinkanku menyeberang satu kali lagi. Tetapi aku bahkan tak bisa menyeberangi penghalang yang merupakan bosku, apalagi para peneliti. Bos bilang kalau aku harus memulihkan diri, meminum obatku secara teratur untuk membuang racun radiasi dari tubuhku. Aku masih muda, dan bos jelas tak ingin aku harus berhadapan dengan komplikasi kesehatan nantinya.
Rasa bersalah terus menghantui bosku. Aku sudah mendengar kalau dia telah berdebat begitu intens dengan tim peneliti tentang kepulanganku, dan setelahnya dia memutuskan untuk mundur dari proyek. Dia menyuruhku untuk meninggalkan semua pemikiran tentang omong kosong perjalanan waktu sejak saat ini, karena universitas kami telah memotong semua hubungan dengan proyek itu, dan bahwa begitu kesehatanku menjadi lebih stabil, dia akan membawaku kembali ke kampus. Tentu saja, aku telah menerima ‘gaji bonus’ untuk semua kesulitan yang telah kualami, cukup untuk membayar biaya hidup minimal selama beberapa tahun bahkan meski aku tak bekerja. Begitu buku rekening bank-nya sampai ke tanganku, bagaimanapun juga, aku tak merasakan apa-apa selain kepedihan.
Kembali ke kampus? Sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku terakhir ke kampus? Aku sudah melewatkan begitu banyak kelas, apa aku akan bisa menyusul? Bos berusaha menenangkanku, berkata bahwa dia akan membantuku dengan studiku.
Tas-tas ransel berat yang kubawa pulang itu memiliki nilai monumental. Catatan-catatan dan buku-buku kuno yang telah kusalin itu akan membutuhkan penelitian lebih jauh jauh lagi, dan aku perlu membantu para ahli dalam hal ini. Aku telah menyerahkan hampir semuanya, hanya menyimpan syal sutra Atlas yang pernah diberikan oleh Rajiva padaku, saputangan-saputangan yang telah dia taruh di laciku untuk kubawa saat aku keluar, dan liontin singa kumala dari Pusydeva.
Beginikah karir penjelajah-waktuku akan berakhir? Sejak aku memulai program pasca-sarjana, aku jarang sekali menghadiri kelas, dan malah mengabdikan sebagian besar waktuku pada proyek perjalanan waktu ini. Pada usia 22 tahun, aku mulai mempersiapkan eksperimen; pada usia 23, aku menyeberang dengan sukses; dan pada usia 24, aku kembali dengan babak-belur. Dua tahun terakhir ini, apkah aku hanya hidup dalam mimpi? Jika bukan karena syal sutra Atlas dan liontin kumala yang tergantung di leherku, aku takkan mampu percaya bahwa aku sebenarnya telah bernapas, tinggal, dan mencintai seseorang pada masa 1,650 tahun yang lalu…. Kalau aku harus membandingkannya dengan impian Zhuang Zi, apakah aku adalah Zhuang Zi yang bermimpi bahwa dirinya adalah kupu-kupu, ataukan kupu-kupu yang bermimpi menjadi Zhuang Zi?
Kepulanganku ke kampus terbukti menjadi suatu sensasi. Guru-guruku, teman sekelas dan kawan-kawanku, yang sudah lama tak bertemu denganku, mereka semua menoleh dengan mata melebar saat aku muncul. Sore itu, teman-temanku mengajakku keluar untuk sebuah perayaan kecil-kecilan di tempat karaoke. Kami berpesta dan menyanyi sepuas hati sampai aku menyadari dengan tersentak bahwa waktu telah menunjukkan jam dua pagi. Jam dua pagi? Sudah lama aku tak pergi tidur lewat dari jam 10 malam.
Butuh waktu cukup banyak bagiku untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan. Ada begitu banyak hal mengagetkanku beberapa hari terakhir ini.
Rasanya seakan aku adalah Chang’e yang kembali ke bumi untuk pertama kalinya, hanya untuk menemukan bahwa semua yang dulu dikenalnya telah berubah. Ekonomi telah dicengkeram oleh inflasi. Harga sebuah roti kukus di kafetaria sekolah kami telah naik sepuluh kali lipat sebagai hasilnya. Pasar saham yang biasanya menjadi tempat bermain bagi kaum elit kini telah berubah menjadi penjara bagi semua orang. Harga BBM sudah naik, yang menjelaskan kenapa para guru mulai memakai bis untuk pergi kerja, dan beberapa bahkan memakai BMW Motorrad mereka. Hal-hal paling populer di antara para siswa sekarang ini adalah film ‘Lust, Caution’, sementara topik yang paling ngetren sekarang adalah adanya kemungkinan bahwa pemerintah akan mengurangi hari libur tanggal 1 Mei tahun depan.
(T/N: Chang’e adalah Dewi Bulan dari Tiongkok dan kisahnya merupakan asal mula Festival Pertengahan Musim Gugur. ‘Lust, Caution’ adalah film espionase erotis tahun 2007 dengan sutradara Ang Lee. Tanggal 1 Mei adalah hari Buruh Internasional. Saat novel ini dibuat, tahun 2007, Hari Buruh di Tiongkok merupakan liburan tiga hari. Sejak tahun 2008 berubah menjadi hanya 1 hari)
Nyaris semua anak perempuan yang kukenal di asrama siswi sekarang telah punya pacar. Begitu mentari terbenam, mereka semua akan mengenakan riasan dan bergegas keluar bersama-sama. Biasanya aku adalah satu-satunya yang tertinggal di asrama selama akhir pekan. Yang lainnya baru kembali di pagi hari berikutnya dengan seulas senyum lebar di wajah mereka.
Mereka semua merasa bersalah padaku, berkata bahwa bila saja aku tak menghilang begitu lama, aku pasti sudah punya pacar sekarang, dan sayang sekali karena para anak lelaki di kelas kami yang pernah menunjukkan ketertarikan mereka padaku tak bisa menungguku kembali. Aku membalas dengan nada menggoda, bilang pada mereka bahwa kalau aku tidak pergi, bagaimana lagi mereka akan bisa mendapatkan para lelaki itu?
Saat aku pergi berbelanja dengan para gadis, mereka semua bilang kalau aku terlalu bergaya kuno dan tak tahu cara mengikuti tren. Bukannya aku yang kuno. Dunianya saja yang terlalu cepat berubah. Ada saat-saat ketika aku amat merindukan dunia itu – sebuah dunia tanpa polusi, tnapa keriuhan kota, di mana kehidupan itu sederhana, berjalan dengan tenang, di mana langit biru begitu jernih, anggur dan melon begitu segar dan manis. Aku merindukan dunia itu. Merindukan sebagian besar orang di sana, senyuman cerah dan hati murni mereka.
Terkadang saat aku melangkah di jalanan, tiba-tiba aku akan berhenti, merasa seakan aku baru saja menangkap sekilas siluet tinggi kurus yang kesepian di antara kerumunan orang. Aku lalu akan mengejar orang itu, hanya untuk menyadari bahwa dia adalah orang yang tak kukenal. Terkadang, sebuah suara rendah akan melintas di telingaku, dan aku lalu akan melihat panik ke sekeliling dengan sia-sia setiap kalinya, bibir penuh permintaan maaf kepada orang-orang karena telah merepotkan mereka. Pada saat yang lain, aku akan berkeliaran tanpa tujuan, mataku melihat ke mana-mana sekaligus tidak menatap apa-apa, sebelum aku roboh di pinggir jalan dengan tangis meledak, mengabaikan tatapan-tatapan kaget yang diarahkan orang-orang lain terhaapku. Para manusia modern telah berevolusi hingga pada titik di mana tulang punggung mereka menjadi kokoh dan kuat tak peduli apapun situasinya. Begitu aku sudah cukup menangis, aku hanya akan menyeka mataku dan lanjut berjalan. Tak satu orang pun yang pernah berhenti untuk bertanya padaku ada masalah apa saat melihat air mataku.
Ternyata kesepian bukanlah bawaan lahir, tetapi sesuatu yang terlahir pada saat kau jatuh cinta pada seseorang.
Daun adalah sayap yang takkan pernah bisa terbang
Dan sayap adalah daun yang yang jatuh dari surga
Surga harusnya bukanlah khayalan
Tetapi aku sudah lama terlupa
Bagaimana dulu aku bisa terbang
Kesepian adalah sebuah karnaval tunggal
Dan sebuah karnaval adalah kumpulan yang kesepian
Mencintai adalah bersama dengan seseorang
Hanya saja aku telah mulai lupa
Bersamamu, bagaimanakah rasanya
Aku makan, bepergian, dan berjalan seorang diri
Aku juga membaca, menulis surat, dan bercakap seorang diri
Namun hatiku sepertinya telah pergi
Ke suatu tempat yang jauh di luar penglihatanku
Sepertinya yang hilang dariku bukan hanya kamu
(T/N: yang di atas adalah lirik dari lagi ‘Ye Zi’ /葉子/‘Daun’ yang dinyanyikan oleh Ah Sang (OST dari film drama Taiwan, The Rose. Di media adalah lagunya)
Aku telah berkali-kali mendengarkan lagu ‘Ye Zi’ ini di malam-malam yang sepi. ‘Namun hatiku sepertinya telah pergi ke suatu tempat yang jauh di luar penglihatanku. Sepertinya yang hilang dariku bukan hanya kamu’,setiap kali aku mendengar bagian ini dari lagu tersebut, aku jadi tak tahan untuk menangis. Aku masih bisa merasakan kehangatan bibirnya di bibirku, tetapi kami telah saling kehilangan satu sama lain. Apa yang telah hilang dariku? Apakah hanya cinta? Bukan, aku telah kehilangan seluruh hatiku….
***
Aku pulang untuk merayakan Tahun Baru Imlek selama libur musim dinginku. Melihat bekas luka di lenganku, ibuku merepet dengan cemas, tetapi aku segera meyakinkannya dengan berkata bahwa ini semua gara-gara jatuh. Setelah keriuhan Tahun Baru berakhir, seperti biasa, orangtuaku merayakan ulangt tahunku yang ke-25 pada tanggal sepuluh (Lunar), di mana aku meniup lilin dan makan kue. Rasa lembut frosting-nya membuatku tiba-tiba teringat pada gambar-gambar Rajiva. Saat ini, apakah dia sedang menggambarku? … Tidak, tidak, tidak ada ‘saat ini’. Semua tentang dirinya adalah milik masa lalu.
Begitu libur Musim Dingin berakhir, aku kembali ke kampus, tetapi sudah tak ada kelas. Semua orang sibuk mencari pekerjaan. Tidak mudah bagi orang-orang dalam fakultasku untuk menemukan pekerjaan setelah lulus. Tetap di universitas untuk menjadi seorang profesor, bergabung dengan institut arkeologis atau museum… pekerjaan-pekerjaan ini tak menghasilkan banyak uang. Banyak dari kawan-kawanku yang menjadi tidak sabar dan berakhir dengan menjadi sekretaris atau tenaga penjual di suatu perusahaan. Topik tentang ‘masa depan’ kami adalah topik yang paling banyak didiskusikan pada pertemuan-pertemuan sosial, sebuah subyek yang aku tak berminat untuk bergabung di dalamnya.
Artikel yang telah kutulis tentang Gua-Gua Kizil telah menjadi sensasi yang lumayan di dunia akademis, bahkan menjadi sebuah topik kontroversi. ‘Bos’ku berusaha membujukku untuk tetap tinggal di universitas dan meraih gelar PhD sambil mengajar. Aku tak memberinya jawaban secara langsung karena aku masih ingin mengalami sebuah kehidupan di mana ‘aku makan, bepergian, dan berjalan seorang diri’, di mana ‘aku juga membaca, menulis surat, dan bercakap seorang diri’.
Waktu berlalu dengan lambat. Terkadang saat aku merasa bosan, aku akan online dan membaca novel-novel tentang perjalanan waktu, hanya saja aku cuma membaca yang lucu. Yang seperti ‘x dan x melompati waktu secara terbaik’, ‘Saat x bertemu dengan orang kuno’, ‘Aku adalah nenek buyutnya x’, dan semacamnya. Aku selalu tertawa habis-habisan setelah membaca novel-novel itu. Sepenuh hati aku mengharapkan yang terbaik kepada para tokoh utama wanita yang melakukan perjalanan waktu; mereka jauh lebih beruntung daripada aku! Aku telah belajar tentang seni melupakan dengan cara seperti itu.
Begitu bulan April tiba, aku langsung mengatur perjalanan sebagai backpacker. Aku tak berani pergi ke Xinjiang karena aku tahu bahwa aku takkan bisa menahan diri untuk mengunjungi Kucha saat aku di sana. Pemikiranku saat melihat reruntuhan-reruntuhan 1.650 tahun kemudian itu takkan menjadi perasaan jauh yang tenang seperti yang pernah kumiliki saat aku ke sana untuk melakukan riset. Masih merupakan tempat yang sama, namun terpisah dalam waktu 1.650 tahun. Saling mencintai tapi tak bisa bersama…. Aku akan menjadi gila bila terus tenggelam dalam pemikiran-pemikiran ini. Pada akhirnya, aku memilih untuk pergi ke Tibet, sebuah tempat di mana aku bisa memurnikan jiwaku.
Aku memasuki Tibet dengan mengikuti rute Selatan dari Jalur Tinggi Sichuan-Tibet, yang dimulai dari Chengdu, melewati Ya’an, Kangding, dan saat kami mencapai Litang, aku tak bisa untuk tidak teringat pada Dalai Lama ke-6 dari Tibet – Tsangyang Gyatso. Berkat dari baris-barisnya ini, ‘Bangau putih, pinjamkan aku sayapmu. / Aku takkan terbang jauh. / Begitu mengelilingi Litang, / dan aku akan pulang.’, telah membuat pemandangan Litang menjadi lebih puitis dan memukau. Hanya dengan melihat Puncak Niege serta Padang Rumput Maoya yang indah yang terletak sekitar 4.000 m di atas eprmukaan laut, luas dari semua itu akan membuat semua kekhawatiranmu menghilang.
(T/N: Jalur Tinggi Sichuan-Tibet dikenal sebagai jalan yang paling berbahaya, paling tinggi, dan paling kejam akibat seringnya terjadi tanah longsor, longsoran batu, angin kencang, dan sebagainya (sumber: BBC Travel). Rute Utara panjangnya 2.320 km dan rute selatan panjangnya 2.140 km. Kedua rute dimulai dari Chengdu, dengan ketinggian 500 m, melewati Kangding di ketinggian 2.560 m, menuju Jembatan Xinduqiao pada ketinggian 3.460 meter di atas permukaan laut (sumber: Tibet Vista). Butuh sekitar dua minggu untuk menempuh perjalanan ini. Meski berbahaya, masih ada banyak orang yang mengambil Jalur Tinggi ini karena pemandangannya yang menakjubkan di sepanjang perjalanan.)
Saat melewati Markam, Bomi, Bayi, secara harafiah kau bisa menekan tombol foto di kameramu kapan saja dan berhasil bendapatkan foto yang indah. Pemandangannya begitu menakjubkan dan luas sehingga mampu membuatmu berhenti bernapas. Begitu Istana Potala mulai terlihat, aku tahu bahwa aku telah sampai di tanah suci – Lhasa, ibukota Tibet.
Sepanjang perjalanan, aku telah bertemu dan berteman dengan banyak orang muda. Kami menempuh perjalanan bersama-sama di sepanjang bagian jalur tinggi dan mengikuti sistem menghitung kepala dengan sangat baik. Bila pada suatu titik ada yang berpencar untuk pergi secara terpisah, sisanya hanya akan bergabung dengan kelompok baru untuk menggantikan onomor-nomor yang hilang. Kami mungkin masih muda, namun berkat hasrat kami untuk melakukan perjalanan, semua orang jadi cukup berpengetahuan tentang banyak hal, jadi ada banyak yang bisa dibicarakan di sepanjang perjalanan. Juga tidak aneh bila orang jadi berpasangan dalam perjalanan semacam ini. Ada satu malam di mana seorang gadis yang berbagi kamar denganku tidak kembali hingga pagi hari. Bagaimanapun, percintaan di jalan semacam ini datang dengan cepat dan pergi dengan cepat juga; orang jarang mempertahankan hubungan setelahnya.
Satu malam, aku pergi dengan sekelompok teman yang baru kukenal di sebuah hostel anak muda di Lhasa ke sebuah bar di Beijing E Rd. Setelah minum beberapa putaran, kami pun memutuskan untuk memainkan permainan ‘Truth or Dare’. Pada mulanya aku cukup antusias, tetapi setelah melihat bahwa semua pertanyaan untuk ‘Truth’ ada hubungannya dengan sex dan ‘Dare’ sebagian besarnya melibatkan ebrciuman, aku jadi mulai kehilangan minat.
Saat tiba giliranku untuk menjawab pertanyaan ‘Truth’, seorang pria muda dari Beijing bertanya padaku: “Kapan ‘saat pertama’mu, di mana itu terjadi dan bagaimana rasanya?”
Aku mengesah sebelum menjawab tertahan, “Aku belum pernah melakukannya.”
Suara tawa pun terdengar di sekitarku. Ada beberapa orang pria yang menatapku seakan mereka ingin menelanjangiku dengan mata mereka. Salah satunya bahkan berkelakar kalau dia bisa ‘membantu’ku.
Aku nyaris memelesat keluar dari bar saat itu juga. Aku tak mengerti apa yang dipikirkan oleh orang-orang muda saat ini. Sepertinya orang-orang seumuranku yang masih perawan dianggap seamcam spesies alien. Jaman sekarang, tren-nya adalah memperlakukan cinta dan sex seperti makanan cepat-saji: makan dengan cepat, seka mulutmu, dan berpundah ke makanan berikutnya bahkan bila kau belum selesai mengunyah. Diriku yang mencari cinta ‘sejati’ bertanya-tanya apakah seorang pria yang ragu-ragu dalam waktu lama sebelum bertanya ‘bolehkah?’ saat dia ingin menciumku masih ada. Atau mungkin di abad ke-21 ini, jenis cinta semacam ini telah menjadi spesies yang hampir punah?
Aku memutuskan untuk berhenti bergabung dengan pertemuan sosial di bar seperti ini. Tingkat keributan dan kebejatan seperti itu, bukankah hanya sebuah karnaval dari orang kesepian? Kalau demikian, maka aku akan memilih untuk sendirian dan menemukan kebahagiaan dengan ditemani oleh diriku sendiri.
Berkeliaran tanpa tujuan di sepanjang jalanan Lhasa di waktu malam, dan kau bisa melihat betapa jernihnya langit malam, di mana bintang-bintang berbinar begitu terang di atas sana sehingga rasanya bisa diraih. Ada sangat sedikit kota yang tersisa di mana kau bisa mengamati bintang-bintang sejelas ini. Aku jadi tak bis amenahan diri untuk mengingat kembali langit malam memukau yang pernah kulihat di kerajaan kuno itu, kerajaan yang terletak di samping sebuah oasis di padang pasir.
Aku mengamati Buddhisme Tibet dan berdoa bersama mereka di hadapan rupang-rupang di Kuil Jokhang, di Istana Potala, juga di Biara Drepung. Setiap kali terompet keong dibunyikan, aku akan terperanjat dan tubuhku akan gemetar. Pada saat itu, aku merasa seakan jiwaku telah berpindah ke tempat lain di langit yang lain. Setelah mengamati sekitar seratus upacara kuil, setelah begitu banyak berkowtow, akhirnya aku menyadari bahwa tak peduli seberapa jauh pun aku berlari, aku takkan pernah bisa lepas dari penyakit cinta yang telah berakar amat sangat jauh di dalam hatiku.
Saat aku kembali ke kampus, aku didekati oleh seseorang yang juga berada dalam jurusanku tetapi setahun di atasku. Dia sekarang bekerja di sebuah institut arkeologi. Butuh waktu lama sebelum dia mampu menyatakan perasaannya padaku… yang mana langsung kuterima. Wajahnya yang merona mengingatkanku pada seseorang tertentu….
Aku tak mau mengarang-ngarang alasan, seperti berkata bahwa aku tak sanggup lagi menanggung rasa kesepian ini, atau bahwa aku sangat merindukan orang itu. Alasan kenapa aku menerima pernyataan dari kakak kelas itu cukup sederhana: dia adalah pria dari realitasku dan aku, pada akhirnya, harus hidup dalam realita ini….