Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 40
Punggungku mendarat pada sesuatu yang tidak rata. Saat aku berusaha menjangkau ke belakang, tanganku malah mengenai sesuatu di punggungku. Pada saat bersamaan, suatu bau anyir dan busuk mulai memasuki hidungku, membuat otakku langsung tersadar dan pada akhirnya menyentakkanku hingga terbangun.
Di hadapanku terdapat sepasang mata lebar, darah kering terlihat jelas di puncak kepala itu, wajahnya tampak marah dan sejujurnya cukup mengerikan. Karena syok, aku pun tersentak bangkit dan berusaha berdiri, namun tanah yang tidak rata membuatku terjatuh lagi. Kuarahkan telapak tanganku ke bawah untuk menopang tubuh, tetapi suara dari sesuatu yang berderak membuatku melihat ke bawah. Sepertinya aku sudah meremukkan kaki seseorang dengan mendudukinya. Telapak tanganku basah dengan darah merah pekat. Ya Tuhan, aku ada di mana? Kutatap sekelilingku dan lambungku seakan melompat pada pemandangan tersebut.
Aku ternyata mendarat dalam sebuah lubang yang penuh dengan mayat, dengan lebar sekitar 10 meter. Sepertinya hanya aku makhluk yang masih hidup di sini. Mayat-mayat saling tumpang tindih dalam tumpukan tinggi. Bau mayat yang membusuk memenuhi udara. Aku muntah-muntah di pinggir hingga yang keluar hanya tinggal deru napas tersengal. Memijit hidung, aku pun melihat sekeliling dengan rasa horor. Melihat dari pakaian dan wajah mayat-mayat tanpa anggota tubuh dan bahkan tanpa kepala ini, kudapati bahwa mereka apsti adalah para prajurit dari Kucha dan suku-suku nomaden dari Asia Tengah. Bila waktu dan tempat yang kami masukkan ke dalam mesin waktu memang tepat, maka pemandangan di depanku ini pasti adalah hasil akhir pertempuran antara Bai Chun (Raja Kucha, paman Rajiva) dan Lu Guang.
Bukannya aku belum pernah melihat mayat sebelumnya. Aku pernah melihat mumi di museum Mesir, kerangka di museum Xinjiang, dan aku bahkan pernah mengikuti para arkeolog saat mereka menggali mausoleum. Itu belum menghitung mayat-mayat tanpa kepala yang pernah kulihat di gua-gua pada Kerajaan Guge kuno di Tibet Barat (abad ke-10 Masehi), karena letaknya tinggi di atas dataran, udaranya tipis, jadi bahkan setelah lebih dari 600 tahun sejarah, mayat-mayat itu masih belum selesai membusuk, membuat baunya jadi amat tak tertahankan. Atau juga lubang seribu mayat dari Pembantaian Nanjing (13 Desember 1937 – Januari 1938), di mana Aula Memorial dibangun tepat di dekatnya, dan saat kau memasukinya, kau pun dikelilingi oleh sisa-sisa kerangka putih yang tak terhitung jumlahnya, suatu pemandangan yang begitu mengerikan sehingga membuatmu mau tak mau menutup mata, takut untuk melihatnya.
Aku bukan orang yang punya jantung lemah, kalau tidak aku takkan pernah memilih jurusan sejarah. Tetapi aku belum pernah merasa sengeri saat ini, melihat begitu banyak orang mati di sekelilingku, hidung sarat dengan bau busuk mayat-mayat yang baru saja mulai membusuk. Apalagi fakta bahwa saat ini aku sedang berada di tempat di mana tak ada ruang bahkan untuk melangkahkan satu kaki pun. Aku menengadah dan melihat bahwa permukaan tanahnya terlalu jauh di atas tinggi tubuhku.
Di dalam ranselku, aku punya segulung tali dengan pengait dan beberapa barang serupa lainnya yang cocok untuk mendaki gubung. Sebelum melakukan lompatan waktu ini, para peneliti telah mengundang beberapa pelatih kebugaran dan para prajurit Regu Khusus untuk mengajariku cara untuk bertahan hidup pada era ini di mana nyawa manusia diperlakukan tak lebih dari sampah. Mengenakan pakaian-pakaian berwarna cerah, aku sudah berlatih cara mendaki dinding batu, cara melimpati lubang, dna segala jenis teknik untuk pertahanan diri wanita. Meski waktu pelatihanku terbilang singkat dan tingkatanku masih pemula, aku masih berhasil mendapatkan beberapa teknik berguna. Kecuali, satu-satunya masalah adalah, lengan dan kakiku gemetar hebat saat ini; aku bahkan tak punya kekuatan untuk mengeluarkan peralatan mendaki dari dalam tasku. Aku harus menutup mataku dengan sangat erat agar aku tak perlu melihat anggota-anggota tubuh yang termutilasi di sekelilingku, dan memencet hidungku kuat-kuat agar tak lagi mencium bau yang paling mengerikan ini. Tetapi saat melakukan itu, otakku justru jadi semakin buntu, sedemikian parahnya hingga aku bahkan tak sanggup membuat diriku membuka resleting tas ranselku. Merasa kewalahan, aku jadi ingin menangis gara-gara ketidakbergunaanku.
Satu mayat lagi dilemparkan ke dalam dan nyaris menggencetku pada prosesnya. Tunggu. Itu berarti ada orang di atas! Seperti orang tenggelam yang baru saja menemukan sepotong kayu yang terapung, tanpa berpikir, aku pun mulai berteriak meminta bantuan. Beberapa kepala tersembul untuk melihat ke dalam lubang, tampak sangat ketakutan. Mungkin mereka berpikir kalau aku adalah mayat yang kembali bangkit. Aku segera menjelaskan kalau aku masih hidup dan terjatuh di sini akibat tidak hati-hati saat melangkah. Setelah aku berteriak-teriak cukup lama, akhirnya kulihat seutas tali dilemparkan ke bawah.
Apa yang telah kulihat di dalam lubang masih menghantuiku bahkan setelah aku mencapai permukaan, membuatku berdiri sambil terbengong-bengong. Setelah beberapa saat, aku berhasil memulihkan kesadaranku, hanya untuk menyadari bahwa situasiku di atas permukaan tanah sebenarnya tidak lebih baik. Orang-orang yang menarikku ke atas sepertinya adalah para prajurit Lu Guang yang ditugaskan untuk membersihkan medan pertempuran, menguburkan yang telah mati dan semacamnya, yang berarti mereka lemah, tua, atau sakit. Mendapati diriku sendiri dikelilingi oleh para prajurit yang tak terlalu bersahabat ini, aku jadi tak tahan untuk meratapi nasibku yang bagai ‘keluar dari penggorengan, masuk ke dalam api’ ini.
Aku masih belum pulih sepenuhnya dari pengalaman mengerikan yang tadi, dan sekarang aku harus segera memikirkan cara untuk mengatasi situasi saat ini. Dalam peperangan, para wanita seringkali diperlakukan sebagai hadiah. Para prajurit yang penyakitan ini, yang biasanya takkan pernah diberi hadiah seperti wanita atau emas seperti para prajurit garis depan, pastilah melihatku sebagai semacam hadiah pemberian dewa yang jatuh dari Langit. Aku punya stun gun, tetapi pada jarak sedekat ini dan dengan orang sebanyak ini, aku tak tahu ada berapa banyak yang sanggup kurobohkan.
Wajah-wajah di hadapanku semuanya adalah orang Han, jadi aku berusaha memasang senyum tercerah, merangkapkan tanganku dalam sikap paling hormat, dan bicara pada mereka dalam bahasa Han:
“Kakak-kakak sekalian, saya adalah selir baru Duan Ye, seorang bawahan Jenderal Du Jin. Hari ini saya keluar untuk mencari tanaman obat tetapi dalam perjalanan saya pulang, saya terjatuh ke dalam lubang ini akibat kurang berhati-hati, dan berakhir dengan menjadi pengganggu pada pekerjaan Anda semua, saya minta maaf dengan setulusnya.”
Di antara para prajurit Han yang mengikuti Lu Guang menakhlukkan Xi Yu, aku hanya tahu tentang Du Jin dan Duan Ye. Du Jin adalah salah satu jenderal terbaik Lu Guang, yang pencapaian terhebatnya adalah membantu Lu Guang menenangkan Koridor Hexi. Belakangan, Du Jin diangkat menjadi Jenderal Pembantu Pertahanan ([辅国将军, fu guo jiangjun), dan kemudian menjadi Administrator (太守, taishou) dari Wuwei (Gansu). Tetapi dengan naiknya peringkat, naik pula ‘bulu-bulu’nya (arogansi), Du Jin berkeliaran seakan dirinya sejajar dengan Lu Guang, jadi Lu Guang pun harus membuat suatu alasan untuk membunuhnya demi mempertahankan otoritasnya.
(T/N: Koridor Hexi / Koridor Gansu, mengacu pada rute historis di Provinsi Gansu, Tiongkok. Sebagai bagian dari Jalur Sutra yang membentang ke arah Barat Laut dari tepi Sungai Kuning, koridor itu merupakan rute penting dari Tiongkok Utara menuju Tarim Basin dan Asia Tengah bagi para pedagang serta pasukan militer – sumber: wiki)
Sementara Duan Ye, sebelum dia mendirikan Liang Utara pada masa Enam Belas Negara, dia hanya seorang pejabat rendahan di bawah Du Jin saat kampanye Lu Guang untuk menakhlukkan Kucha. Belakangan, Duan Ye dipromosikan menjadi Administrator Komando Jiankang (sekarang Zhangye, gansu). Pada tahun 397 Masehi, Juqu Nancheng, orang Xiongnu yang meruntuhkan Liang Akhir milik Lu Guang, menjadikan Duan Ye sebagai Adipati Jiankang demi untuk memenangkan hati rakyat. Inilah bagaimana cara seorang Han yang dikenal sebagai ‘seorang cedekiawan Konfusius, tanpa kekuasaan di tangannya’, Duan Ye, tiba-tiba menjadi raja pertama dari Liang Utara pada epriode Enam Belas Kerajaan.
Pasukan Lu Guang terdiri dari orang-orang yang berasal dari beragam etnis. Lu Guang sendiri memiliki latar belakang etnis Di, sama dengan Fu Jian (kaisar pendiri Qin Awal). Wajahku adalah wajah suku Han, jadi tentu saja aku harus menemukan seorang Han untuk menghubungkan diriku demi bisa menipu sekelompok prajurit di hadapanku ini. Aku memilih Duan Ye dan bukannya Du Jin karena peringkat yang terakhir itu terlalu tinggi, jadi bila kubilang kalau aku adalah seorang selir milik Du Jin, tentunya hal itu akan menimbulkan kecurigaan. Duan Ye pada saat ini seharusnya berusia sekitar dua puluh tahun, seorang pejabat cendekiawan bertingkat rendah di bawah Du Jin, jadi akan ada lebih sedikit kemungkinan orang-orang akan mengetahui siapa saja istri-istri dan selir-selirnya. Para prajurit dalam kampanye militer umumnya tak diijinkan membawa serta keluarga mereka, tetapi karena Lu Guang berencana untuk tinggal di Kucha dalam waktu lama, dia pun mengijinkan orang-orangnya mengambil wanita selama dalam perjalanan.
Orang-orang di depanku tentu saja menjadi kesal setelah mendengar perkenalanku, tahu bahwa mereka tak bisa bermain-main denganku kalau mereka tak mau menyinggung para atasan. Aku mendesah lega dan sudah akan berbalik pergi, tetapi satu dari pimpinan kelompok itu menarikku kembali, menyatakan bahwa dia ingin menemaniku sebagai pelindung untuk kembali ke sisi Duan Ye. Dia pasti ingin menjilat Duan Ye! Tak mampu menolak tanpa alasan yang bagus, dan dengan mempertimbangkan bahwa toh akan sulit bagiku untuk masuk ke dalam kota sendirian, akhirnya aku pun setuju untuk pergi bersamanya.
Jalan menuju kota sarat dengan sisa-sisa pembantaian perang. Ada mayat-mayat orang dan kuda yang belum dibersihkan, yang menguarkan bau yang tak tertahankan. Beragam peralatan pengepungan dan bebatuan yang dipakai untuk menyerbu tembok telah ditinggalkan begitu saja. Pedang-pedang dalam berbagai jenis bertebaran di mana-mana, sebagian besarnya menghitam oleh darah yang mengering. Tembok-tembok benteng Kucha penuh dengan lubang, dan menara-menara penjagaan kini hanya cangkang-cangkang rusak.
Karena aku tak menyaksikan peperangannya, aku hanya bisa membayangkan gambaran-gambaran dari apa yang tertulis dalam buku sejarah:
Pasukan Lu Guang yang terdiri dari 70.000 infantri dan 5.000 kavaleri, bersama dengan para prajurit dari Shanshan dan Cheshi (dua wilayah di Xi Yu), berjumlah sekitar 100.000 orang. Bai Chun menghabiskan semua perbendaharaan negara untuk meminta bantuan dari Kuai Hu, yang menawarkan 200.000 prajurit sebagai balasannya, dan bersama dengan bala bantuan dari Wensu, Shantou, pasukan Bai Chun berjumlah lebih dari 700.000 orang.
Meski selisih jumlahnya amat besar, Lu Guang masih berhasil mendapatkan kemenangan mutlak, yang sesuai dengan gelarnya sebagai jenderal dengan pencapaian paling tinggi milik Fu Jian. Kitab Jin menulis bahwa sebelum perang, semua pejabat Lu Guang telah berpikir bahwa dengan mempertimbangkan betapa kalah jumlahnya mereka, mereka harus membuat perkemahan, menyebar kekuatan mereka dan merencanakan strategi jangka panjang. Tetapi Lu Guang tak menyetujuinya, berkata bahwa karena mereka kalah jumlah, berkemah dan menyebar kekuatan bukanlah strategi yang baik.
Lu Guang telah memerintahkan para prajurit untuk memasang perkemahan di sisi selatan benteng Kucha, satu batalion setiap lima li, dan di antaranya terdapat parit-parit dalam dan markas-markas tinggi. Sebagai taktik pengalih perhatian, patung-patung kayu dibuat dan ditanamkan ke tanah, dilengkapi dengan helmet dan zirah dengan bendera-bendera dikibarkan, yang dimaksudkan untuk menipu orang-orang Kucha yang ada di belakang benteng agar berpikir bahwa patung-patung itu adalah prajurit sungguhan. Sementara itu, satu unit harus melancarkan serangan kejutan terhadap para prajurit Kuai Hu yang ada di sebelah selatan kota. Bagaimanapun, pasukan kavaleri Kuai Hu yang ada di depan mengenakan zirah berat dan dilengkapi oleh perisai-perisai besi, membuat panah-panah pasukan Lu Guang kesulitan dalam menembusnya. Ditambah lagi, pasukan kavaleri Kuai Hu di bagian belakang adalah para penunggang cepat yang memakai cambuk kulit untuk menjatuhkan lawan dari kuda mereka, luar biasa akurat dan efisien. Jadi pada hari-hari awal perang, Lu Guang berada dalam kondisi tidak menguntungkan.
Tak lama setelahnya, Lu Guang mulai melihat bahwa meski kavaleri Kuai Hu adalah pasukan elit, sebagian besar dari pasukan mereka merupakan para penggembala yang dipaksa untuk menjadi prajurit. Jadi dia pun mendapatkan ide untuk memotong kaki kuda lawan sebagai taktik penyerangan. Pasukan kavaleri pun menjadi tak berguna begitu mereka terjatuh dari punggung kuda mereka, dan zirah-zirah berat mereka hanya semakin menyulitkan mereka dalam menggerakkan kaki. Kabar tentang bagaimana pasukan Lu Guang telah membantai lebih dari 10.000 prajurit Kuai Hu pun masuk ke dalam kota, membuat Bai Chun gemetar ketakutan. Raja Kucha itu segera mengumpulkan semua hartanya dan meninggalkan kota untuk kabur seorang diri. Begitu mendengar bahwa Kucha telah ditakhlukkan, para penguasa pada lebih dari tiga puluh kerajaan di Xi Yu langsung bergegas maju untuk memohon pengampunan.
Pada saat dia dikalahkan, Bai Chun berusia hampir enam puluh tahun. Ke mana dia kabur tak tertulis dalam catatan sejarah. Lu Guang mengambil alih dan menempatkan adik terkecil Bai Chun, Bai Zhen, ke atas tahta.
Sebelum perang, Kucha dikenal sebagai kerajaan yang paling makmur di Xi Yu, sebuah fakta yang menyebabkan ketidakpuasan bagi banyak kerajaan tetangga. Jadi saat menerima panggilan agar pergi ke Chang’an untuk memberikan upeti, raja Shanshan, raja Cheshi, dan Bai Zhen (atas nama Bai Chun), telah meminta pertemuan pribadi dengan Fu Jian, di mana mereka meminta sang Kaisar untuk mempertimbangkan ide tentang sebuah ‘ekspedisi’ ke Xi Yu, bahkan mereka menawarkan diri mereka sendiri sebagai ‘penunjuk jalan’. Fakta bahwa pasukan Lu Guang bisa dengan selamat melewati gurun pasir demi gurun pasir sejauh tiga ratus li di Xi Yu utamanya adalah berkat para penunjuk jalan ini, di mana Bai Zhen merupakan bagian darinya, karena adik terkecil ini telah cukup lama memiliki keinginan untuk menjadi raja.
Saat aku membenamkan diriku sendiri dalam mengingat kembali catatan-catatan sejarah ini, waktu berlalu dengan begitu cepat dan sebelum aku menyadarinya, kami telah sampai ke gerbang kota. Kota Kucha yang dulu pernah makmur kini tak lebih dari sekam atas kejayaannya yang dahulu. Amat sedikit orang yang terlihat berjalan di jalanan, dan pintu-pintu dari sebagian besar rumah tertutup rapat. Para prajurit Lu Guang yang berwajah merah berkeliaran dalam sikap mabuk dan tidak pantas, secara paksa memasuki rumah-rumah penduduk sesuka mereka, menghasilkan banyak jeritan dan tangisan.
Setelah memasuki kota, melihat betapa megahnya istana Bai Chun, Lu Guang telah memerintahkan Duan Ye untuk menulis sebuah fu yang berjudul ‘Istana Kucha’, yang isinya sarat dengan cemoohan dan ejekan. Orang-orang Kucha kaya dalam kehidupan dan lebih kaya lagi dalam kesehatan. Mereka semua tahu bagaiamana menikmati kesenangan hidup yang sederhana, dan minum anggur adalah salah satunya. Banyak rumah yang masing-masing memiliki sekitar seribu gentong anggur, dan setelah sepuluh tahun atau lebih, aroma anggur menguar dari setiap tempat yang ada di halaman. Lu Guang, ingin menghadiahi orang-orangnya karena telah memberinya kemenangan, telah mengijinkan mereka melakukan apa saja dan mengambil anggur sebanyak yang mereka inginkan. Alhasil, jumlah orang yang roboh akibat alkohol, terkadang berakhir dengan kematian, meningkat cukup tajam.
(T/N: Fu adalah bentuk prosa ritmis atau lagu Tiongkok yang menonjol pada masa Dinasti Han.)
“Duan canjun!”
(T/N: Canjun / 参軍 adalah gelar seseorang, yang sederhananya adalah administrator tingkat rendah)
Benakku disela oleh teriakan orang Han yang telah kuikuti, yang kini sedang membungkuk hormat kepada seseorang bergaya cendekiawan di depannya. Marga Duan… mungkinkah ini adalah Duan Ye?
Kalau aku tak menemukan cara untuk kabur sekarang juga, aku akan ketahuan. Tetapi gang terdekat hampir 20 meter jauhnya. Kalau aku berusaha pergi di tempat seterbuka ini, aku akan tertangkap sebelum aku bahkan bisa mengambil satu langkah pun. Bahkan saat aku memaksakan diriku sendiri untuk mencari cara meloloskan diri, setitik rasa penasaran masih timbul dalam hatiku – sebagian dari diriku ingin melihat dengan mata kepala sendiri orang ini yang suatu hari nanti akan menjadi raja pertama Liang Utara. Tak seorang pun yang pernah mengatakan padamu bisa seberapa berbahayanya mengambil jurusan sejarah itu, dan oh betapa pada saat-saat seperti ini, rasa ingin tahumu bisa dengan mudah menyebabkan kematianmu.
Duan Ye sepertinya berusia sekitar dua puluh tahun, tingginya kira-kira 1,75 meter, berwajah persegi, dan membawa diri dalam sikap bermartabat. Saat ini dia sedang memegang beberapa lembar kertas dan kuas sambil bicara kepada seorang prajurit. Begitu mendengar teriakan orang Han itu, dia segera berbalik untuk membalas salamnya.
“Duan canjun, bagus sekali Anda ada di sini. Saya sudah mencari-cari Anda. tidak aman bagi seorang wanita untuk berkeliaran di luar kota demi mencari obat-obatan, bagaimana bisa Anda membiarkan istri yang baru Anda nikahi keluar dari pengawasan Anda?”
Duan Ye tentu saja sangat terkejut dengan perubahan kejadian ini, melirikku dan sudah akan membuka mulutnya untuk menyangkal, tetapi aku berpura-pura kegirangan atas pertemuan kembali kami dan langsung bergegas maju, lalu bicara padanya dalam suara rendah, “Saya membawa kata-kata dari seorang Guru Agung yang mampu membaca takdir. Kalau Anda menolong saya, saya pasti akan membalas kebaikan tersebut.”
Buku-buku sejarah menulis bahwa Duan Ye adalah orang yang memercayai takhayul dan mengikuti Buddhisme. Aku hanya bisa berdoa semoga tindakanku adalah hal yang benar.
Dia menatapku dengan penuh kewaspadaan, terlihat meragukan pernyataanku. Namun tentu saja begitu. Aku kelihatan terlalu muda, dan tubuhku bau karena mendarat dalam lubang yang tadi itu, sehingga mungkin tak ada sedikit pun aura mistis yang terlihat. Dengan gugup, aku perlahan bertanya:
“Malam sebelum beliau membobol tembok-tembok Kucha, Jenderal Lu telah bermimpi tentang seekor gajah emas yang terbang keluar dari dalam kota, benar?”
Ini adalah catatan yang tertulis dalam Kitab Jin. Berkat mimpi ini, rasa percaya diri Lu Guang naik drastis, percaya bahwa itu adalah pertanda bahwa ‘Sang Buddha sudah pergi, yang artinya orang Hu akan punah’. Karena Kitab Jin penuh dengan kisah-kisah fantastis tentang kekuatan-kekuatan aneh, belakangan banyak sejarawan yang sering mengabaikannya sebagai catatan sejarah yang sebenarnya. Tapi aku sedang membuat pertaruhan di sini. Aku bertaruh bahwa saat harus berhadapan dengan jumlah lawan yang jauh lebih banyak, Lu Guang telah mengarang mimpi aneh itu untuk membantu membangkitkan semangat orang-orangnya. Kalau aku kalah dalam pertaruhan ini, maka takkan ada jalan untuk lolos bagiku.
Duan Ye menatapku dengan kaget, dan terus menimbang-numbang selama sesaat, tidak menyangkal maupun menyetujuiku. Bagaimanapun, dia berterima kasih kepada si prajurit Han lalu mengantar kepergian prajurit yang tadi berbicara dengannya, kemudian mengajakku pergi di tengah-tengah godaan mereka.
Saat aku berjalan bersama Duan Ye, mau tak mau aku jadi merasa gelisah. Bila menurut catatan sejarah, Duan Ye bukan orang bertemperamen panas dan kejam seperti Lu Guang. Jika situasinya berubah buruk, seharusnya aku masih bisa mengatasi dia.
Duan Ye membawaku menuju sebuah rumah warga. Di dalamnya ada banyak orang yang sepertinya merupakan cendekiawan, dan mereka semua memberi salam kepada Duan Ye saat dia muncul. Orang-orang Lu Guang pasti telah mengambil alih rumah ini untuk dipakai sebagai tempat pertemuan para pejabat cendekiawan.
Begitu hanya tinggal kami berdua dalam sebuah ruangan, aku pun merangkapkan tanganku di hadapan Duan Ye:
“Dalam ketergesaan saya, saya telah menyamarkan diri sebagai milik Duan canjun demi untuk mempertahankan nyawa, harap maafkan kelancangan saya.”
“Nona muda, tak perlu meminta maaf, karena saya mengerti kesulitan situasi Anda.”
Nadanya yang lembut dan sopan membantu meningkatkan pendapat baikku tentang dia.
“Sang Guru Agung yang tadi saya bicarakan sebenarnya adalah guru besar yang terkenal di Xi Yu, Kumarajiva. Meski saya adalah orang yang tidak penting, saya memiliki keberuntungan besar karena telah bertemu dengan beliau dan mempelajari banyak hal hebat darinya. Saya telah melakukan perjalanan ke Kucha dengan harapan bahwa saya bisa bertemu dengan beliau satu kali lagi dan mengembangkan keahlian meramal saya lebih jauh.”
Aku tak tahu apa yang dilakukan Kumarajiva pada saat ini, jadi aku hanya bisa mengorek informasi tentangnya dengan menyesuaikan pada masa lalu kesukaan Duan Ye.
“Nama Kumarajiva selalu menjadi bagai petir di telinga. Setelah mendengar kemampuannya untuk bisa melihat menembus takdir dan pengetahuannya tentang yin yang serta kelima elemen, sudah lama saya menjadi pengagumnya.”
“Oh? Duan canjun belum pernah bertemu dengan sang Guru Besar sebelumnya? Saya dengar beliau saat ini tinggal dengan Jenderal Lu, jadi canjun seharusnya bisa bicara dengan beliau secara rutin.”
Aku menahan napas, tak mampu melihat raksinya.
Dia bicara dengan nada frustrasi, “Merupakan keinginan besarku untuk bisa bertemu dengannya, tetapi sang guru sedang ditahan, jadi saya tak bisa menemuinya.”
“Sang guru dan saya punya hubungan di masa lalu. Kalau canjun membantu saya menemuinya, saya pasti akan meminta sang guru untuk membacakan masa depan Anda.”
“Takutnya hal itu takkan mungkin,” dia bicara dengan penuh perasaan, namun nada suaranya ragu-ragu, “Kabarnya, Jenderal menahan sang guru di dalam istana. Orang dengan kedudukan rendah seperti saya takkan pernah bisa bertemu dengannya.”
Kekecewaan melandaku. Aku hanya tahu kalau Rajiva ditawan di dalam istana, tapi sama sekali tak tahu apakah Lu Guang sudah memaksa dia melanggar sumpahnya atau belum. Duan Ye bukan hanya sekedar pejabat tingkat rendah, dia juga bukan tangan kanan keturunan Di bagi Lu Guang, jadi tak banyak kesempatan baginya untuk memiliki akses pada informasi penting apapun.
Aku mulai menanyai Duan Ye beberapa pertanyaan lain dan mendapati bahwa pengepungannya terjadi lima hari yang lalu, dan pada hari ketiga setelahnya, Bai Zhen dijadikan raja Kucha.
Setelah berpikir beberapa lama, kuputuskan untuk meminta bantuan yang berbeda kepada Duan Ye:
“Duan canjun, apakah mungkin bagi Anda untuk mengirim seseorang menemani saya mencari Pusydeva, adik laki-laki dari Guru Kumarajiva?”
Melakukan perjalanan sendirian di masa penuh kekacauan ini sama saja dengan mencari masalah. Stun gun-ku tak terlalu berguna untuk melawan para prajurit yang tak tahu aturan di luar sana.
Takut bahwa Duan Ye mungkin akan menolak, segera kurendahkan suaraku dan berkata padanya dalam apa yang kuharap sebagai nada penuh teka-teki: Dari pengamatan saya, saya bisa melihat bahwa roman muka Anda bukan milik seorang ‘udang kecil dalam kolam yang penuh dengan kepiting’, karena aura emas yang anda pancarkan memberitahu saya bahwa Anda memiliki sebuah masa depan yang hebat di masa yang akan datang.”
“Apa ini benar?”
Sungguh orang yang mudah diperdaya. Ekspresinya telah berubah jadi penuh rahasia. Merendahkan suaranya, dia bertanya:
“Kapan dan di mana itu akan terjadi? Nona, harap beritahu saya.”
Aku segera mengajukan persyaratanku:
“Kalau Anda menyetujui permintaan saya, saya akan memberitahu Anda.”
Chenwei adalah praktek populer pada masa Dinasti Utara dan Selatan, satu jenis ramalan yang digabung dengan filosofi Konfusius mistis. Wang Meng ingin Fu Jian membunuh para jenderal Xianbei, jadi dia memakai chenwei untuk mengeluarkan ramalan bahwa ‘pada bulan Yiyou, tahun Jiashen, ikan dan domba akan memakan manusia’*. Fu Jian tak mendengarkan dan terus menyukai Murong Chui dan orang-orangnya, namun rencananya untuk menyatukan beragam suku-suku etnis tak kunjung berhasil. Peringatan Wang Meng ternyata amat sangat akurat. Pada tahun 384 Masehi, yang juga dikenal sebagai tahun Jiashen, Qin Awal mulai tercerai-berai. Meski Fu Jian dibunuh oleh Yao Chang yang merupakan keturunan Qiang, alasan utama yang menyebabkan kejatuhan Qin Awal adalah pemberontakan Xianbei, yang ingin menyatukan kembali negara mereka.
(*T/N: ikan dan domba atau yu yang di sini mengacu pada orang-orang Xianbei)
Fakta bahwa Duan Ye setuju membantuku menemukan Pusydeva hanya semakin menunjukkan betapa kuatnya sebuah ramalan itu.