Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 41
- Home
- Faithful to Buddha, Faithful to You
- Chapter 41 - Di Tepi Han Para Gadis Berkeliaran Bebas, Namun Tak Satu Pria Bisa Mendapatkannya
Begitu banyak tahun telah berlalu, entah bagaimana kabar Pusydeva sekarang. Apakah dia masih baik-baik saja di masa penuh kekacauan ini? Perutku sarat dengan ketegangan saat kami mencapai Kediaman Guru Negara. Duan Ye membawa yaopai-nya dari Lu Guang. Prajurit Kucha tak berani menyinggung orang-orang Lu Guang, jadi dia pun segera masuk ke dalam untuk melaporkan kedatangan kami.
(T/N: yaopai / 腰牌 adalah plakat berukir yang digantungkan di pinggang pada masa Tiongkok kuno untuk menentukan otoritas dan hak khusus seseorang, bisa dibuat dengan beragam material seperti kayu, perunggu, atau gading.)
Bangunan dalam halaman itu sudah dicat ulang. Tak ada yang mewah, namun memberikan kesan yang cukup elegan. Melihat bagaimana Kediaman itu tampak dalam kondisi yang cukup baik dan bahkan ada penjaga di depan, tampaknya kekhawatiranku sia-sia. Pusydeva jelas hidup dengan sangat baik.
Sembari menunggu, aku mencondongkan tubuh dan berbisik pada Duan Ye, “Sebuah lingkaran cahaya akan muncul di Jiankang, dan sebuah pencapaian besar menanti di Hexi. Canjun, harap ingatlah jangan sampai Anda membocorkan takdir, kalau tidak semuanya takkan menjadi kenyataan.”
Iniah yang berhasil kupikirkan setelah berpikir panjang sepanjang perjalanan. Meski penggunaan kata-kataku tak terlalu puitis ataupun mulus, yang namanya ramalan adalah tentang menjadi samar dan ambigu. Jiankang mengacu pada bagaimana Duan Ye pada suatu hari nanti akan menjadi Administrator di sana. Hexi tentu saja berarti Koridor Hexi, yang merupakan wilayah tempat negara Liang Baratnya nanti akan berkuasa, di mana dia akan menjadi pendirinya. Tetapi pada saat ini, Duan Ye mungkin memikirkan Jiankang sebagai wilayah Jin Timur, dan Hexi adalah suatu tempat yang jauh dan tak dikenal. Kupikir aku telah melakukan hal yang lumayan bagus dengan ramalan semacam itu, karena tidak terlalu banyak membocorkan sejarah.
Sejujurnya, Duan Ye takkan hidup lebih dari lima tahun setelah dia naik tahta. Dia akan terbunuh dalam pertempuran dengan Juqu Mengxun, yang kemudian akan mengangkat dirinya sendiri sebagai raja Liang Utara selanjutnya. Duan Ye akan berusia sekitar empat puluh tahun saat dia wafat. Tentu saja, aku tak mengatakan satu pun dari hal-hal ini kepadanya. Kata-kata yang tadi kubeberkan sudah dipilih dengan seksama. Itulah sebabnya, saat berpisah denganku, Duan Ye masih memasang ekspresi cerah di wajahnya.
Oh, aku mengenali orang yang menghampiriku. Dia adalah si pengurus rumah tua yang dulu itu. dia sudah jadi begitu tua dan ringkih! Tercengang, dia menatapku selama sesaat namun tak mampu mengingat namaku. Aku balas tersenyum dan bertanya padanya apakah Pusydeva ada di rumah.
Dia membimbingku masuk dan menjelaskan bahwa Pusydeva masih di istana, dan akan kembali pada sore harinya. Dia lalu mengatakan padaku kalau dia akan pergi memanggil Nyonya. Nyonya? Aku terkejut selama sesaat sebelum menjadi paham. Pusydeva sekarang seharusnya berusia tiga puluh dua tahun, jadi dia pasti sudah menetap dan membangun sebuah keluarga. Aku penasaran seperti apa istrinya itu.
Aku melihat sekeliling Kediaman sembari menunggu. Banyak yang sudah berubah sejak saat masih dikepalai oleh Kumarayana. Penataannya masih elegan, dan semua perabot rumah tangga sepertinya telah dipilih dengan teliti – jelas menunjukkan sentuhan seorang wanita. Atmosfer yang dulu pernah sarat dengan unsur Buddhisme sekarang telah berkurang menjadi hanya sebuah rupang Buddha di sebuah sudut Kediaman tersebut.
Merasakan keberadaan seseorang di belakangku, aku pun berbalik untuk melihat dan mendapati seorang wanita Han, tubuhnya ramping dan tingginya rata-rata, datang menghampiriku. Wajahnya tidak terlalu istimewa, namun matanya besar dan cerah, juga ada aura lembut dan baik hati pada dirinya. Saat melihatku, dia sedikit membungkuk, matanya melirikku sekilas, mungkin berusaha mencari tahu apa tujuan dari kunjunganku ini. Menerka bahwa dia pastilah istri Pusydeva, aku segera membalas bungkukannya dan menyalaminya dalam Bahasa Han:
“Nyonya, harap maafkan saya atas kunjungan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu ini. Saya telah melakukan perjalanan kemari untuk meminta bantuan Tuan agar bisa bertemu dengan Guru Kumarajiva.”
Kukatakan langsung niatku padanya untuk menyingkirkan kecurigaan yang mungkin akan timbul, kalau-kalau dia berpikir bahwa aku adalah mantan Pusydeva yang datang untuk membuat masalah.
Dia sedikit terkejut, “Dia saat ini sedang bersama Jenderal Lu Guang. Boleh saya bertanya mengapa Anda mencari dia?”
“Karena sebuah hutang-piutang,” aku menjawab samar. “Nyonya, harap beritahu padanya bahwa Ai Qing telah kembali.”
“Ai Qing?” Wanita itu mengulang namaku dan tampak mencari-cari sesuatu di wajahku, sebelum kesadaran menerpanya bagai gelombang kejut dan dia pun menatapku dengan rasa tak percaya.
“Mungkinkah Anda adalah nona muda yang dulu pernah menempati kamar itu?”
Aku balas menatapnya dengan kaget. Kamarku itu, mereka masih mempertahankannya?
“Nyonya, harap jangan salah paham. Kamar saya itu diatur oleh Guru Kumarajiva dan tak ada hubungannya dengan Pusydeva.”
“Saya mengerti. Setiap kali kakak pulang ke rumah, dia selalu akan bermeditasi di dalam kamar itu untuk waktu lama.” Dia tersenyum, “Saya tak mengira kalau Anda ternyata begini muda!”
Aku balas tersenyum lemah. Sebenarnya, di masa ini, orang seusiaku biasanya sudah menjadi seorang ibu dengan beberapa orang anak. Hanya saja jangka hidup rata-rata orang-orang pada masa ini tak lebih dari lima puluh tahun, dan kosmetik juga masih belum berkembang, sehingga bagi mereka aku terlihat seperti seorang gadis berusia tak lebih dari 17-18 tahun.
Dia mengirim seorang pelayan ke istana untuk mencari Pusydeva. Setelah itu, dia menyuruhku duduk terlebih dahulu. Setiap kata-kata, setiap gesturnya begitu tenang dan elegan. Aku harus menyelamati Pusydeva karena bisa menemukan seorang wanita sebaik itu sebagai istrinya.
Saat kami duduk, kulihat sepasang anak-anak memunculkan kepala mereka keluar dari pintu, amta mereka bulat dan cerah dan menatapku lekat-lekat. Wanita itu memanggil mereka dan seorang anak lelaki kecil yang gemuk pun maju sambil mengajak seorang anak perempuan yang lebih kecil di belakangnya.
Anak-anak yang begitu menggemaskan! Si anak lelaki adalah kakak dan si anak perempuan adalah adiknya, yang satu berusia lima tahun dan satunya lagi tiga tahun. Keduanya memiliki nama Tokharia, tetapi Pusydeva juga memberi mereka nama Han. Si anak lelaki bernama Qiu Si [求思], dan si anak perempuan Yong Si [泳思].
“Tuan sering membaca Puisi Klasik (Kitab Lagu-Lagu), jadi dia pun memakai puisi ‘Han Guang’ untuk memberi nama anak-anak.”
Wajahnya sedikit memerah, dan ada seulas senyum kecil di wajahnya. Dia pasti sedang mengingat suatu kenangan indah.
Aku terpana oleh pengungkapan ini. Puisi yang dia sebutkan itu disukai oleh banyak orang karena gayanya yang romantis dan penuh perasaan. Puisi itu menceritakan kisah tentang seorang pria muda yang dengan tanpa daya mendambakan seorang gadis di sisi lain Sungai Han. Sungai Han dalam dan lebar, dan tak ada yang bisa berenang menyeberanginya. Bahkan rakit pun tak berguna. Pada akhirnya, si pria harus melihat si gadis menikahi orang lain. Terlebih lagi, dia masih terus memotong rumput untuk kuda-kuda gadis itu agar dia bisa berada di dekat si gadis.
(T/N: Sungai Han di sini mengacu pada salah satu sungai di wilayah Hubei di Tiongkok, dan dalam Bahasa Mandarin disebut Hanshui atau Han Jiang. Sungai ini adalah anak Sungai Yangtze, yang merupakan sungai terpanjang nomor tiga di dunia. Nama sungai ini merupakan asal dari nama DInasti Han dan, kemudian, menjadi orang Han.
汉广HAN GUANG
南有乔木、不可休息。
汉有游女、不可求思。
汉之广矣、不可泳思。
江之永矣、不可方思。
翘翘错薪、言刈其楚。
之子于归、言秣其马。
汉之广矣、不可泳思。
江之永矣、不可方思。
翘翘错薪、言刈其蒌。
之子于归、言秣其驹。
汉之广矣、不可泳思。
江之永矣、不可方思。
(T/N: yang di-bold adalah nama dari anak-anak Pusydeva)
Begitu tinggi pepohonan negara Selatan,
tak ada bayangan untuk tempat beristirahat.
Di tepi Han para gadis berkeliaran bebas,
namun tak satupun pria bisa mendapatkannya.
Begitu lebar, Sungai Han
Aku tak bisa menyeberanginya;
Sungainya terlalu panjang
untuk diarungi dengan sampan.
Tinggi, tinggi, ranting bertumpuk;
memotong semak belukar.
Andai dia menjadi mempelaiku,
kan kuberi makan bagi kudanya.
Begitu lebar, Sungai Han
Aku tak bisa menyeberanginya;
Sungainya terlalu panjang
untuk diarungi dengan sampan.
Tinggi, tinggi, ranting bertumpuk;
memotong semak belukar.
Andai dia menjadi mempelaiku,
kudanya takkan kekurangan makan
Begitu lebar, Sungai Han
Aku tak bisa menyeberanginya;
Sungainya terlalu panjang
untuk diarungi dengan sampan.
(Terjemahan Inggris oleh Stephen Owen, dari Antologi Literatur Tiongkok (awal hingga 1911) halaman 31-32)
Kupeluk anak-anak itu ke dadaku dan menatap mata abu-abu mungil mereka yang tak diragukan lagi diwarisi dari ayah mereka. Pada saat itu, rasanya seakan aku tengah menatap Pusydeva saat dia masih kecil, pada bocah kecil yang selalu merengek padaku agar bermain dengannya, agar aku menyanyi untuknya. Dalam sekejap mata, dua puluh tahun telah berlalu, dan bocah kecil yang dulu itu sekarang telah menjadi seorang ayah yang punya anak-anak untuk dijaga. Sebelum aku pergi, dia telah berjanji padaku bahwa dia akan bahagia dan kini, kebahagiaannya berada tepat di hadapanku, dalam bentuk istri dan anak-anaknya.
Kudengar suara-suara langkah kaki menghampiri kami. Sebuah bayangan tinggi pun muncul, tangannya berpegangan pada rangka pintu, menatapku dengan penuh kekagetan:
“Ai Qing, apa itu benar-benar kamu?”
Aku berdiri sambil tersenyum tapi untuk suatu alasan, hidungku seperti tersengat.
Dia bergegas mendekat. Melihat kecepatannya dan mengenal dirinya, mungkin dia akan memelukku. Aku tak tahu bagaimana harus bertindak, karena istrinya tepat berada di sebelahku. Syukurlah, anak-anak itu menyelamatkanku. Mereka berlari maju dengan kaki-kaki mungil mereka dan menghambur ke dalam pelukan ayah mereka, menghalangi lengan yang sedang menggapaiku.
Istrinya juga ikut berdiri, seulas senyum manis terkembang di wajahnya, saat wanita itu menatap anak-anak dalam pelukan Pusydeva. Lalu dia pun menghampiri dan mengambil alih anak-anak itu darinya, sebelum berkata lembut, “Aku akan membawa mereka untuk mandi. Mereka sudah bermain di halaman sepanjang hari dan sebagai hasilnya telah mengumpulkan begitu banyak kotoran.”
Dia lalu berpaling padaku, “Nona Ai Qing, nikmatilah kunjungan Anda. Saya akan permisi dulu sekarang.”
Kekagumanku padanya semakin bertambah. Sungguh seorang wanita yang penuh pengertian. Tak mengherankan kalau dia mampu membuat Pusydeva si playboy ini bertekuk lutut padanya.
Saat tinggal kami berdua, aku memanfaatkan sedikit waktu untuk mengamati Pusydeva dari sepuluh tahun kemudian ini. Dia bahkan tampak lebih gempal daripada sebelumnya, dan sepertinya mengikuti gaya pria Kucha lainnya dalam menumbuhkan jenggot. Ada kerutan di sudut matanya, dan saat dia tersenyum, tanda-tanda usia dan pengalaman jadi lebih terlihat jelas. Ada suatu pesona kejantanan dalam dirinya.
“Semakin tua, ternyata,” aku berkata padanya.
Dia tertawa, alisnya terangkat dan dia pun mengedip padaku persis seperti dulu.
“Memangnya siapa yang bisa terus awet muda seperti kamu?”
“Tidak tua,” aku meralat, “sebenarnya kau berada pada usia di mana pria menjadi paling menarik.” Aku ikut tertawa, karena melihat dia bahagia membuatku bahagia juga.
“Kami masih mengenakannya, jadi itu berarti kamu belum melupakan aku, benar kan?” Suaranya terdengar sedikit pecah. Dia sedikit menundukkan kepala untuk menarik napas dalam-dalam sebelum menatapku kembali sambil tersenyum.
Aku memandanginya dengan kebingungan, sebelum mengikuti arah tatapannya pada liontin kumala yang masih menggantung di leherku. Dia juga mengenakan miliknya, tetapi ada warna hitam samar pada talinya. Aku ingin balas mengatakan sesuatu, tapi rasanya tangisku akan meledak begitu aku membuka mulutku. Pusydeva menarikku dalam pelukannya. Aku berusaha melepaskan diri, tetapi suara di atas kepalaku menghentikan upayaku itu.
“Diamlah, biar aku memelukmu sebentar saja. Aku tahu kalau kau tak kembali karena aku. Aku hanya ingin memelukmu sebentar.”
Merasa tergerak, akhirnya air mata pun bergulir turun di pipiku. Aku tetap berada dalam pelukannya selama sesaat tetapi karena takut kalau-kalau seseorang akan memergoki kami, kuseka air mataku dan berkata, “Tampaknya kau punya mata yang bagus ya bisa menemukan istri seperti itu!”
Dia melepaskanku dan berbalik untuk menutul-nutul matanya dengan lengan baju. “Beberapa tahun yang lalu, aku mengikuti paman terkecil (Bai Zhen) untuk mengantarkan upeti dan dalam perjalanan, telah menyelamatkan Xiao Xuan. Dia berasal dari keluarga baik-baik, tetapi dalam masa penuh kekacauan, dia harus bekerja dengan menyanyi untuk bertahan hidup.”
Seulas senyum hangat menyebar di bibirnya, “Seorang gadis yang rapuh, tetapi dia selalu tersenyum bahkan saat berhadapan dengan kesukaran. Aku jadi diingatkan dengan kekuatanmu. Matanya mirip denganmu.”
Aku menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan diriku.
“Pusydeva, kau pasti sangat menghargai dia dan anak-anak!”
Dia mengangguk. “Mereka adalah orang-orang yang bahkan bila aku harus menukarkan nyawaku, pasti akan kulindungi hingga napas terakhirku.”
Pada akhirnya, kuungkapkan apa tujuan kedatanganku. “Rajiva… bagaimana keadaannya?”
“Kamu ada di sini untuk menyelamatkan dia, kan?” Pusydeva menghela napas panjang, wajahnya tampak galau. “Tapi aku takut kamu mungkin datang terlambat….”
Jantungku seakan membeku dan dunia mendadak berpusing. Dia buru-buru maju untuk menangkapku. Aku gemetaran dan menangkap lengan baju Pusydeva, “Apa dia… apa dia sudah melanggar Sila?”
“Bagaimana kamu tahu kalau Lu Guang telah memaksanya untuk melanggar Sila? Ah, benar juga, kamu adalah bidadari, tentu saja kamu sudah tahu semuanya.”
“Dia… dia dan Putri Asuyamati….”
“Belum.”
Dia membantuku duduk.
“Tapi mungkin tidak lama lagi, karena sekarang sudah tiga hari….”
Lagi-lagi aku mencengkeram lengan baju Pusydeva. Dia menepuk pelan bahuku untuk mengatakan agar aku jangan panik.
“Lu Guang sudah mendengar tentang reputasi kakakku sejak lama, tapi dia masih tak memercayai bakti kakak kepada Buddha. Dia telah membuat pertaruhan dengan para jenderalnya bahwa bila dalam tiga hari dia bisa membuat kakakku melanggar Sila, maka ratusan selir dari raja yang terdahulu akan menjadi miliknya. Kalau dia kalah, semua wanita itu akan dibagi-bagi di antara orang-orangnya.”
Aku terpana, karena buku-buku sejarah tak pernah menyebutkan hal ini. Jadi Lu Guang memaksa Rajiva melanggar Sila ternyata hanya karena pertaruhan atas para wanita? Bahwa seorang pria seperti Rajiva, yang kehormatannya telah diraih dengan susah payah selama tiga puluh tahun terakhir, ternyata harus mengalami penghinaan seperti ini, ternyata semuanya hanya gara-gara ini? Betapa absurdnya ini!
“Kakak terus bertahan selama dua hari terakhir. Tetapi hari ini adalah hari terakhir. Kudengar Lu Guang telah memerintahkan agar semua pakaian mereka dilepas. Aku baru saja kembali dari istana, dan dari kabar yang kuterima, kakak masih mempertahankan martabatnya. Aku belum pernah mengaguminya sebesar ini! Hanya dia yang mampu menahan hal semacam ini. Tetapi….”
Dia meragu lalu mengesah panjang, “Tetapi bila kakak terus keras kepala seperti ini, Lu Guang akan mencekoki mereka dengan arak. Lu Guang selalu menepati perkataannya, jadi bila kakak terus seperti ini dan membuat Lu Guang kalah taruhan, takutnya… kakak hanya akan mengalami penghinaan yang jauh lebih parah setelah ini.”
Aku melompat dan menarik lengannya. “Pusydeva, kumohon selamatkan dia!”
“Ai Qing, percayalah padaku, aku telah berusaha memikirkan jutaan cara selama tiga hari terakhir ini. Aku telah memohon kepada Lu Guang, sang raja, dan bahkan telah memakai uang dan wanita untuk menyuap putra dan jenderal-jenderal terdekatnya, tetapi semuanya sama sekali tak berguna. Kalau saja ini terjadi beberapa tahun yang lalu, aku pasti sudah menerobos masuk dengan pedangku, menolong kakak dan membawanya ke suatu tempat yang aman.”
Dia lalu menggelengkan kepala dengan sedih dan melirik ke belakangnya. “Namun sekarang, aku juga harus memikirkan tentang istri dan anak-anakku.”
“Kalau begitu bawa aku menemui Lu Guang.”
“Tak ada gunanya. Lu Guang itu sama keras kepalanya dengan keledai, berusaha membujuknya hanya akan membuat situasinya menjadi lebih buruk. Kamu tampak tak lebih dari seorang gadis muda, jadi bagaimana kamu bisa membuat dia mendengarkanmu?”
“Kalau begitu…,” aku menarik napas panjang, “Tukarkan aku dengan Putri Asuyamati.”
Jemarinya bergerak untuk mengesampingkan beberapa helai rambut liar di dahiku.
“Ai Qing, mungkin inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dia.”
Pusydeva dan aku sudah akan meninggalkan halaman saat Xiao Xuan keluar dari dapur. Saat melihat kami, dia segera berlari menghampiri dan memanggil, “Tuan, waktu untuk makan malam sebentar lagi akan tiba, lebih baik kita makan sebelum kalian pergi. Nona Ai Qing mungkin perlu mengganti pakaiannya.”
Tiba-tiba aku ingat kalau aku baru saja mendaki keluar dari lubang yang penuh dengan mayat, dan pakaianku bernoda darah juga kotor, tidak sesuai bagiku untuk menemui Lu Guang. Xiao Xuan mengajakku ke kamarnya, di mana sebuah pakaian telah disiapkan di atas ranjang. Kulepas jaket anti-radiasi dan pakaianku, lalu mengenakan baju yang telah dia persiapkan untukku. Baju itu adalah pakaian Han dengan warna-warna terang, elegan dan nyaman untuk dikenakan. Bila dibandingkan denganku, Xiao Xuan ternyata punya pemikiran yang jauh lebih cerdik dan cerdas.
Aku tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi, jadi aku buru-buru makan beberapa suapan sebelum mendesak Pusydeva untuk segera berangkat. Dia menggumamkan beberapa kata perpisahan pada istrinya sebelum pergi denganku ke istana. Lu Guang sudah menempati istana sejak dia menakhlukkan Kucha, memberikan separuhnya kepada Bai Zhen (raja yang sekarang).
Butuh waktu beberapa saat agar kami bisa menemui Lu Guang. Untung saja, Pusydeva dekat dengan Bai Zhen, jadi tak seorang pun yang berani mempersulitnya. Sembari menunggu Lu Guang memanggil kami, Pusydeva menggunakan kesempatan ini untuk mengumpulkan informasi dari ‘mata dan telinga’nya di istana dan mendapati bahwa Rajiva telah dipaksa meminum arak, tetapi dia masih bertahan.
Pusydeva menatapku, wajahnya serius, “Ai Qing, nanti saat kita bertemu dengan Lu Guang, kau tak boleh mengucapkan sepatah kata pun. Dia itu adalah seorang tiran berdarah panas dan tak tahu apa arti dari belas kasihan. Kita harus menyesuaian diri dengannya, karena siapapun yang berani menentangnya akan berakhir dengan kematian.”
Dia mengesah, “Bertemu dengan tiran semacam itu, kakakku sungguh bernasib malang!”
Juqu Mengxun, pria yang nantinya akan membunuh Duan Ye dan menempatkan dirinya sendiri di atas tahta sebagai raja Liang Utara, telah menyebutkan tentang Lu Guang sebagai ‘seorang pria bodoh yang siap memercayai kebohongan orang lain’. Tepat setelah mendengar keponakannya berkata bahwa ‘orang-orang Hexi hanya kenal Du Jin dan bukan Lu Guang’, dia pun langsung membunuh Du Jin, seorang jenderal setia dengan jasa-jasa besar, dengan tangannya sendiri. Dalam memilih pewaris, Lu Guang juga membuat pilihan yang absurd, hasilnya adalah bahwa hanya dalam waktu beberapa tahun setelah dia meninggal, Liang Akhir harus menyaksikan tiga orang raja mengambil alih tahta dalam suksesi cepat, dan pada akhirnya membawa keruntuhan pada dinasti tersebut.
Itulah sebabnya, setelah mendengar perkataan Pusydeva, ilusiku tentang bisa membujuk Lu Guang pun lenyap. Kalau aku ingin agar dia menyerah atas niatnya mempermalukan Rajiva, takutnya aku akan harus menukarkan nyawaku untuk itu. Orang seperti dia, yang tak memercayai sepatah katapun ucapan Sang Buddha, menyerah atas ide ini berarti tidak hanya tentang dia tak bisa mendapatkan para wanita itu; yang lebih penting lagi, semua ini adalah tentang dia yang kehilangan muka.
Meski telah mengirim beberapa orang untuk mengumumkan kedatangan kami, barulah setelah kegelapan menelan seluruh langit, Lu Guang akhirnya memberi kami ijin untuk menghadapnya.
Pria yang selamanya mengubah jalan hidup Rajiva ditemukan sedang membaca laporan atas pasukannya di aula utama. Di sebelahnya terdapat empat orang pria berusia dua puluhan, wajah mereka mirip dengan Lu Guang. Kutebak mereka pasti adalah para putra tak setia itu yang nantinya akan saling membunuh demi memperebutkan tahta setelah Lu Guang mangkat. Meski dia adalah keturunan Di, sosoknya tampak kasar, seperti orang Han yang tumbuh besar di bagian utara Dataran Tengah. Pada saat ini, usianya sekitar empat puluh tujuh tahun, rambut menipis di bagian atas, dan apapun yang tersisa disatukan ke dalam sanggulan di bagian belakang. Di dagunya terdapat jenggot yang lebat dan alisnya menukik naik, menampakkan gambaran yang garang.
Saat melihat Pusydeva, dia pun mengisyaratkan agar Pusydeva duduk.
Pusydeva berkowtow lalu berkata padanya dalam Bahasa Han, “Kakak saya begitu keras kepala dan tak memahami niat baik Anda, menyebabkan Jenderal mendapat banyak kesulitan.”
Lu Guang mengangkat satu sudut mulutnya membentuk senyuman, namun matanya dingin dan penuh perhitungan. “Melihat bahwa kakakmu ternyata begitu bertekad sungguh membuat orang mengaguminya. Tampaknya aku telah sangat meremehkan dia!”
Pusydeva mengangkat kepalanya dan berkata dengan hati-hati, “Saya datang malam ini untuk membantu Jenderal memenangkan pertaruhan ini.”
“Oh?” Lu Guang mengerutkan alisnya, “Taktik apa yang ada dalam benakmu, Guru Negara?”
Gelar itu membuatku kaget. Aku sudah melihat bahwa Pusydeva sudah hidup dengan baik selama bertahun-tahun ini, tapi aku tak mengira kalau dia akan mewarisi posisi ayahnya yang dulu dan menjadi Guru Negara bagi Bai Zhen.
“Saya datang untuk meminta Jenderal menukar sepupu saya, Asuyamati, dengan gadis yang ada di sini ini.”
Lu Guang akhirnya melirikku, sedikit kekagetan tampak di matanya.
“Guru Negara, katakan padaku, kualitas apa yang dimiliki gadis ini bila dibandingkan dengan sang putri yang cantik sehingga akan membuat kakakmu bersedia melanggar sumpahnya?”
“Jenderal Lu tidak tahu, tetapi ada suatu sisi tersembunyi pada kisah ini,” Pusydeva terdiam sesaat, menatap Lu Guang dengan sorot penuh percaya diri, lalu melanjutkan, “bibi dari gadis ini dulu pernah menjadi guru Bahasa Han kakak saya, yang menyimpan perasaan terhadap kakak tetapi karena status kakak sebagai rahib, dia pun berakhir menikahi orang lain. Namun selama sepuluh tahun terakhir ini, kakak saya tak pernah sekalipun melupakan tentang dirinya. Meski kakak merupakan seorang pengikut Buddha yang taat, dia tetaplah seorang manusia biasa. Dia memiliki keinginan, tahu cara mencintai. Hanya saja orang luar tak memahaminya. Gadis ini tampak sangat mirip dengan bibinya bertahun-tahun yang lalu. Saya yakin bahwa begitu kakak melihat dia, kakak takkan lagi berusaha melawan Jenderal Lu. Sepupu saya Asuyamati masih terlalu muda dan tak pernah dekat dengan kakak saya. Kalau Jenderal Lu menukar dia dengan gadis ini, Anda pasti akan memenangkan pertaruhan Anda.”
Lu Guang sepertinya tergerak. Pusydeva segera menambahkan, “Jenderal Lu hanya butuh supaya kakak melanggar sumpahnya, dengan siapa dia melakukannya itu tidak penting, benar kan?”
Lu Guang melirikku beberapa kali lagi sebelum tiba-tiba meledak tertawa. “Kau benar. Para wanita Kucha tinggi dan montok, jadi mereka pasti tak mampu menggerakkan hati kakakmu bila dibandingkan dengan seorang gadis Han seperti yang satu ini, mungil dan tampak lemah lembut.”
Dia lalu berpaling pada pria yang sepertinya merupakan putra tertua dari keempatnya, “Er Zuan, bawa Guru Negara dan gadis ini ke tempat di mana rahib itu berada.”
Pria ini adalah Lu Zuan? Dengan cepat aku meliriknya. Juga memiliki wajah kasar dan menakutkan seperti ayahnya. Ini adalah putra tertua Lu Guan, yang terkenal sadis dan menikmati kehidupan berfoya-foya. Setelah Lu Guang meninggal, Lu Zuan telah menjadikan dirinya sendiri sebagai raja dan memaksa Lu Shao, sang Putra Mahkota, menuju kematiannya. Namun dalam suatu kejadian, hanya beberapa bulan setelahnya, Lu Zuan kemudian dibunuh oleh keponakan Lu Guang, Lu Chao.
Wajah Lu Guang membentuk seringaian buas saat dia berkata pada putranya, “Jangan lupa untuk kembali dan melapor padaku.”
Dia lalu berpaling pada Pusydeva, “Kuharap Guru Negara takkan mengecewakanku!”