Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 42
Kami dibawa ke sebuah aula kecil di sisi istana. Begitu melihat Lu Zuan, kedua penjaga di pintu masuk langsung berdiri dan membungkuk hormat. Lu Zuan memerintahkan mereka untuk membuka pintu. Tak bisa menahan diri, aku berusaha mengintip ke dalam. Bagaimanapun Rajiva tak ada di mana-mana. Di atas ranjang terdapat seorang gadis muda tanpa mengenakan selembar kain pun, lengan menekuk rapat untuk menyembunyikan dadanya. Aku hampir tak bisa mengenali dia sebagai gadis kecil Asuyamati dari waktu itu. Saat melihat kami, dia langsung merapatkan diri ke satu sudut ranjang, kepala ditundukkan, rambut merah keritingnya menjuntai untuk menutupi wajahnya.
“Bagaimana situasinya?” Lu Zuan bertanya pada para penjaga.
Kedua pria itu menyeringai saat melaporkan, “Sesuai dengan perintah Jenderal, kami telah menelanjangi pakaian mereka tetapi tak ada hasilnya. Jadi kami harus memaksa Kumarajiva untuk minum arak lebih awal. Kami bahkan telah mencampurnya dengan sedikit ‘obat’. Dihadapkan pada seorang putri yang begitu putih dan lembut seperti itu, bila orang lain, mereka pasti akan langsung menyerbu maju, apalagi seseorang yang telah mengkonsumsi arak yang telah diberi ‘obat’. Kami tadinya mengira si rahib itu impotenm tetapi sepertinya bukan itu masalahnya. Dia hanya memaksa dirinya sendiri untuk memuntahkan semua yang telah kami minumkan padanya. Sungguh sebuah kemauan yang tak tertakhlukkan. Namun semangat seperti ini sungguh membuat orang mengaguminya. Mungkin dia sungguh seorang Guru Agung –“
Lu Zuan memelototi mereka. Para penjaga itu langsung tutup mulut. Dia lalu berpaling padaku dan memerintahkan dengan nada dingin:
“Kalau dia masih tak melanggar sumpahnya malam ini dan ayahku kalah taruhan, kau tahu dengan jelas apa akibatnya, kan?”
Melihat betapa keterlaluannya mereka telah menyiksa Rajiva membuat darahku mendidih. Buku-buku sejarah menulis bahwa Rajiva melanggar Sila karena dia dipaksa melepaskan pakaiannya dan dipaksa minum arak, namun mereka tak menuliskan tentang kenyataan bahwa araknya juga dibubuhi obat perangsang. Sekarang, setelah mendengar kata-kata yang demikian biadab keluar dari mulut Lu Zuan, kepalaku tersentak naik, segenap amarah di dalam diriku siap untuk meledak.
Namun sebelum aku bisa melakukannya, Pusydeva telah bergerak dengan cepat untuk berdiri di depanku.
“Jenderal Muda, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena dia pasti akan mengerahkan seluruh kemampuannya malam ini. Para selir dan pelayan itu pasti akan menjadi milik ayah Anda.”
Pusydeva melirik ke sekeliling, lalu bergerak ke tempat di mana terdapat sebuah meja panjang dan melepaskan taplaknya. Setelah itu, dia melangkah masuk ke dalam kamar, membungkuskan kain itu pada sang Putri dan membantu gadis itu berdiri. Saat dia berjalan keluar, Pusydeva berhenti sesaat, wajah mengarah ke sebuah sudut dan membiarkan ekspresinya tampak selama sekejap ketika sebuah desahan pelan terlolos dari mulutnya. Wajah Putri Asuyamati nyaris sepucat mayat dan jelas-jelas ketakutan. Saat melewatiku, Pusydeva berkata keras-keras dalam Bahasa Han:
“Cepat masuk dan jangan mengecewakan Jenderal Lu!”
Dia lalu beralih pada bahasa Tokaria dan berbisik, “Dia telah menunggumu selama sepuluh tahun terakhir ini. Buat dia bahagia.”
Wajahnya begitu tenang hingga tampak menakutkan, namun ada kesedihan yang apsti di sudut matanya. Aku menatap Pusydeva, menghimpun seluruh keberanian sebisaku sebelum mengangguk dan berjalan ke dalam. Perlahan pintunya menutup.
Kuarahkan mataku menuju sudut di mana Pusydeva tadi menatap dan akhirnya melihat sebuah sosok kurus sedang meringkuk di sana. Napasku terhenti. Aku tak berani melihat dia. Rajiva, bagiku waktu baru berlalu sembilan bulan, namun bagimu, sudah sepuluh tahun. Sembilan bulan yang sarat dengan kerinduan itu telah membuatku menjadi sekam kering dari diriku sendiri. Tetapi kau, kau telah menghabiskan malam-malam yang panjang itu sendirian hanya dengan Sang Buddha sebagai temanmu selama sepuluh tahun! Bagaimana caramu menanggung kesepian semacam itu? Bila dibalik, kurasa aku takkan mampu bertahan selama ini. Maafkan aku karena telah menunggumu selama ini. Maafkan aku karena memilih untuk datang padamu pada titik waktu ini di hidupmu. Kuharap ini adalah waktu di mana kau paling membutuhkanku. Bila memungkinkan, aku takkan meninggalkanmu lagi kali ini. Biarkan aku membayarmu untuk sepuluh tahun terakhir.
Kutahan napasku dan tanpa bersuara menghampiri sisinya. Belum juga aku melihat dia dan tanda-tanda usia di wajahnya, tetapi hatiku telah berdebar kencang dan teremas erat.
Tak ada sepotong pun kain yang menutupi Rajiva. Dia duduk dengan lutut ditarik rapat ke dadanya, kepala menunduk, seperti janin yang masih berada di dalam rahim seorang ibu. Kulitnya yang sewarna sarang madu berkilau di bawah cahaya yang ada di atas kepala. Aku melihat sekeliling dan melihat ketiadaan tirai di jendela, tak ada taplak meja, tak ada selimut di atas ranjang, sama sekali tak ada apa-apa yang bisa dipakai untuk menutupi dirinya. aku tersenyum pahit. Lu Guang jelas sekejam seperti yang telah disebutkan di dalam buku-buku itu!
Kukeluarkan sebuah jaket dari ranselku dan melangkah mendekatinya. Aroma menyengat alkohol menguar dari dirinya, dan pada lantai di sampingnya terdapat serakan dari muntahan. Aku berlutut dan memasangkan jaket ke atas tubuhnya. Jariku menyapu kulitnya dan mendapati bahwa kulit itu terasa membakar. Sedikit sentuhan itu mengejutkannya, emmbuat dia menengadah. Sepasang mata abu-abunya yang dahulu bagaikan dua kolam air tak berdasar kini begitu merah. Dia telah menjadi jauh lebih kurus, wajahnya lebih tirus, dan ada sedikit pangkal janggut menyebar di dagunya. Wajahnya merah terang seolah dia akan terbakar. Sepuluh tahun telah berlalu, namun dia masih tetap begitu tampan. Bagaimanapun, waktu bertahun-tahun sayangnya telah meninggalkan beberapa garis kerutan dangkal pada dahinya. Kondisi menyiksa selama beberapa hari terakhir ini telah membuatnya kurus kering, bibirnya pucat dan pecah-pecah. Ada setitik darah kering di sudut mulutnya, yang pasti akibat dia menggigit bibirnya dengan terlalu kuat, karena juga ada bekas gigitan di bibir itu.
“Rajiva….”
Semakin aku menatapnya, semakin hatiku teremas dengan menyakitkan. Harus menderita penghinaan dan kekejaman semacam ini, akankah orang biasa mampu bertahan selama dirinya? Semua ini bukan tentang berusaha berpegang teguh pada sumpahnya, semua ini adalah tentang dia yang berusaha sekuat tenaga untuk melindungi keyakinannya seumur hidup. Bagaimana bisa Lu Guang membuat dia menderita seperti itu hanya demi suatu pertaruhan konyol?
Sepasang matanya yang kelelahan menatapku cukup lama sebelum melebar. Secercah cahaya tampaknya bersinar menembus pupil abu-abu itu, sarat dengan ketidakpercayaan ketika dia menatap wajahku. Bibirnya yang pecah-pecah perlahan membuka dan sebuah suara lirih pun keluar, bergetar bagai sehelai daun kering dihembus angin.
“Ini aku, aku kembali,” ujarku padanya.
“A-Ai… Qing….” Setiap suku kata yang terucap keluar sebagai napas yang terbata, nyaris tak bisa dikenali, setelah dia cukup lama menatap wajahku. Namun tiba-tiba, wajahnya berkerut oleh rasa malu. Bahunya tertarik mundur dan sekujur tubuhnya bergetar saat dia berpaling. Suaranya terdengar lagi, sarat dengan penderitaan:
“Jangan…. Jangan lihat aku.”
“Rajiva….”
Hatiku hancur pada kata-katanya. Bahwa seorang guru besar seperti dia harus menderita seperti ini, bagaimana mungkin hati ini tidak sakit!
“Jangan menangis….”
Dia berbalik, satu tangan menjangkau seakan hendak menangkup wajahku, namun ketika jemarinya nyaris menyentuhku, dia langsung menariknya kembali. Dia menutup matanya, tangan kanan mengcengkeram seuntai tasbih doa, manik-maniknya kini sudah begitu tua hingga kau nyaris tak bisa melihat warnanya. Jarinya memutar tasbih itu saat dia merapalkan mantra, seolah aku ini hanya udara. Tasbih itu adalah tasbih yang telah kuberikan kepadanya lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Di pergelangan tangan kirinya juga terdapat seuntai tasbih akik yang jernih, dan bahkan yang ini juga sudah berusia lebih dari sepuluh tahun.
“Rajiva, ada apa?”
Melihat bahwa benda yang tersisa di tubuhnya hanyalah untaian tasbih dari bertahun-tahun yang lalu, kugigit bibirku untuk menghentikan supaya air mata tak mengalir.
“Keinginan melahirkan ilusi, yang tidak memiliki dasar pada kenyataan. Sebuah ilusi hanyalah penutup mata. Semua hal adalah kosong dan tidak nyata.” Dia terus menutup rapat matanya, suaranya semakin lemah dan semakin lemah saat dia merapalkan mantra dalam Bahasa Han.
Kuseka air mataku. Dia pasti mengira kalau aku adalah sebuah ilusi. Da masih dudu di lantai. Meski lantainya dilapis karpet dan saat ini musim panas, malam hari di wilayah oasis masih sangat dingin. Aku berdiri dan melangkah keluar pintu, hanya untuk mendapati bahwa Lu Zuan masih ada di sini dan sedang bicara pada para penjaga. Aku memanggil mereka untuk minta dibawakan selimut. Lu Zuan tertawa keji dan berkata mencemooh, “Kau harus membuat dia melanggar Sila tanpa mengenakan apa-apa!”
Wajahku mengelap mendengar hal itu. Tetap saja, aku bersikeras meminta secangkir air. Lu Zuan memerintahkan seseorang untuk mengambilkannya, lalu berbalik padaku dengan sorot mata dingin. “Kau harus bergegas sehingga aku bisa kembali dan segera melapor kepada ayahku. Juga, kau harus memastikan untuk melakukan ‘hal itu’ di atas ranjang!”
Dia menyentakkan dagunya ke arah jendela. Kuikuti tatapannya pada lubang berbentuk belah ketupat di dinding, di mana kau bisa melihat ranjang di dalam ruangan dengan jelas. Mesum sekali! Haruskah dia benar-benar menyaksikan kejadiannya sebelum bisa merasa puas? Mereka memperlakukan hal ini seperti semacam lelucon, sekedar permainan taruhan untuk dimenangkan! Semua ini membuatku mual dengan rasa jijik.
Kebencian yang membuncah di dalam diriku membuatku hampir melemparkan cangkir air di tanganku ke wajahnya. Aku harus menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diriku sendiri sebelum kembali ke dalam kamar. Lu Zuan berseru dari arah belakang, terbahak-bahak, “Kalau kau tak mampu membuatnya melanggar, kemari dan layanilah aku setelahnya!”
Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan amarahku pada saat ini. aku begitu berharap bisa mengatakan padanya dengan detil yang mengerikan tentang bagaimana dia akan mendapatkan akhir dari hidupnya kelak (sesuai sejarah).
“Rajiva, minumlah sedikit air.”
Dengan lembut aku memanggilnya dan meletakkan pinggiran cangkir ke bibirnya. Mungkin dia memang terlalu haus, karena dia tak menolak dan menenggak seluruh isinya. Kukeluarkan sapu tanganku dan menyeka tetesan air di mulutnya.
Dia menatap sapu tanganku lekat-lekat. Aku tersenyum, “Apa kau masih ingat dengan sapu tangan ini? kau lah yang memberikan ini padaku. Kau pernah bilang kalau kau tak pernah melihatku memakainya, dan betapa tidak baiknya bila selalu menyeka mulutku dengan tangan. Aku selalu menyimpannya bersamaku, tak pernah memakainya sekalipun, karena aku tak sanggup membuat diriku untuk –“
Tiba-tiba, kurasakan diriku ditarik ke dadanya yang membakar. Jantungnya berdebar kencang di samping telingaku. Wajahnya menggosok leherku, urat-uratnya tertarik kencang dan bergetar seakan tengah memetik dawai-dawai ke hatiku. Satu tangannya menyisir rambutku saat dia menghembuskan namaku dalam napasnya.
Aku terjatuh dalam dekapannya, yang dahulu pernah terasa akrab kini entah bagaimana jadi terasa aneh bagiku. Kulit telanjangnya menyentuhku, sekujur tubuhnya bergetar, gelombang demi gelombang. Aku merasa seakan diriku sedang dibakar oleh hawa panas kulitnya.
Dengan lembut dia melepaskanku selama sedetik untuk memberi sedikit jarak di antara kami. Matanya memindai wajahku dengan lapar. Sebelum aku mampu mengucapkan sepatah kata pun, dia mencondongkan diri ke depan lagi dan menabrakkan bibirnya padaku.
Ciumannya tak selembut seperti yang ada dalam ingatanku. Alih-alih, dia terangah dan berusaha membuka bibirku dengan bergairah. Rasa arak menyebar di dalam mulutku ketika dia menggerakkan lidahnya di dalam. Aku bisa merasakan pangkal janggut di dagunya menggesek pipiku. Napasnya semakin cepat ketika dia menekanku ke lantai, seluruh tubuhnya melingkupiku.
“Rajiva….” Aku mencengkeram lengannya dan berbisik di telinganya, “Ayo pindah ke ranjang.”
Dia berhenti. Satu momen kesadaran telah kembali, dan dia pun melepaskanku. Dia menggigit keras-keras bibirnya yang sudah pecah-pecah. Setetes darah keluar dan mewarnai bibirnya yang kering dengan warna merah.
Air mata mengalir turun, dia berusaha menahan dirinya sendiri dengan segenap kekuatan yang tersisa pada dirinya. Bila saja ada jalan lain, aku pasti akan menghargai keinginannya. Tetapi orang-orang di luar sana itu sudah gila dan nyawa kami berada di tangan mereka. Dia dan aku hanyalah bidak-bidak catur dalam masa yang penuh kekacauan ini. Demi bertahan hidup, kami harus menyelesaikan ‘upacara pendewasaan’ kami malam ini di depan mata orang-orang itu.
Kuseka air mataku dan sesaat berusaha menenangkan diriku sendiri. Menetapkan hati, kupungut jaket yang telah terjatuh ke samping dan menyelimutkannya kembali pada Rajiva. Kemudian kuletakkan lengannya pada bahuku dan menuntunnya menuju ranjang, setiap langkah terasa berat dan lambat. Buddha Gautama, mohon mengertilah pada hati siswamu yang beriman ini, kasihanilah dia. Dia telah menahan dirinya sendiri, telah menanggung begitu banyak penderitaan, telah melakukan apa yang tak mampu dilakukan oleh orang biasa. Itulah sebabnya, kumohon padamu, hukumlah aku saja. Aku bersedia menanggung semua dosa-dosanya.
Tubuhnya sungguh berat, dan seluruh bobotnya membebani pundakku. Dalam langkah kikuk kami, mataku terarah pada tubuhnya dan merasa denyut nadiku jadi semakin cepat. Tak peduli betapa besar pun tekadnya, di bawah pengaruh obat perangsang, tubuh bagian bawahnya tetap memiliki reaksi yang sama seperti pria normal. Ini adalah insting manusia, satu hal yang tak bisa dihapus oleh Buddha. Maka setidaknya malam ini, biarkan dia menjadi manusia biasa. Hanya untuk malam ini.
Dia terjatuh ke atas ranjang, masih menggigit bibirnya, namun matanya menatapku lekat-lekat, dan bersinar di kedalamannya adalah hasrat membara seorang lelaki. Kutarik napas dalam-dalam dan mulai melepaskan pakaianku. Pakaian Han sangatlah sederhana, jadi begitu aku selesai membuka semua kancing, pakaian dalam modernku pun terungkap di hadapannya. Dengan wajahku terasa seperti terbakar dan keringat mengumpul di hidungku, aku terdiam, tak mampu meneruskan, tahu bahwa di luar jendela kecil itu, beberapa pasang mata sedang menonton kami dengan niat menjijikkan.
Tangan kanan Rajiva masih menggenggam untaian tasbih itu erat-erat. Aku ingin mengambilnya dari dia tetapi dia malah mencengkeramnya lebih erat lagi tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan setelah aku berusaha membujuknya dengan nada lembut, akhirnya aku hanya bisa menggulung tasbih itu ke pergelangan tangannya.
Dia berbaring menyamping, satu lengan jauhnya dariku. Mata abu-abunya berkilau dengan hsrat yang hampir tak terbendung. Tangannya membelai tubuhku, sentuhannya canggung ketika merayap dari dadaku menuju pinggang. Kulingkarkan tanganku padanya dan menjilat sudut bibirnya yang tergigit. Aku bisa merasakan asinnya di ujung lidahku. Dia merintih pelan sebelum mendadak mengisap seluruh lidahku ke dalam. Tubuh kurusnya bergerak untuk menindihku sementara dia menghembuskan napas tajam.
Rasa arak di dalam mulutnya begitu tidak mengenakkan. Entah sudah berapa banyak arak yang telah mereka paksakan untuk dia minum. Seseorang yang tak pernah menyentuh setetes arak pun seperti dia, di bawah pengaruh alkohol dan perangsang, apakah dia masih mengenali bahwa akulah yang berada di hadapannya? Aku ingin percaya bahwa masih ada sedikit dari dirinya yang masih cukup awas untuk menyadari bahwa ini adalah aku, dan karena itu, akhirnya dia bisa mengakhiri siksaan yang telah dia tanggung selama beberapa hari terakhir ini dan menunjukkan hasratnya dengan begitu terbuka.
Aku tersenyum pahit dan memaki diriku sendiri atas pikiran semasam itu. apakah ini sungguh merupakan waktu bagiku untuk memiliki pemikiran seperti itu? Aku harus memikirkan tentang bagaimana cara melakukan ‘hal’ ini secepat mungkin, karena hanya dengan begitulah para monster di luar itu akan bersedia melepaskan kami. Kalau tidak, para bajingan tanpa jiwa itu akan memunculkan taktik yang bahkan lebih parah lagi untuk menyiksa dia lebih jauh. Dia telah bertahan sedemikian banyaknya dalam tiga hari terakhir ini, kelelahan baik batin maupun raga, dia perlu beristirahat.
Buku-buku sejarah menulis bahwa dia telah melanggar Sila, dan aku bersedia menjadi orang yang menggantikan Putri Asuyamati. Cinta itu selalu egois. Jadi kenapa kalau aku mengubah sejarah? Aku hanya tahu kalau aku mencintai dia dan ingin menjadi orang yang membuatnya melanggar Sila. Bahkan bila setelah ini dia menyesalinya, aku tidak.
Pemikiran-pemikiran itu membantuku mendapatkan sedikit keberanian. Aku mulai membelai punggungnya. Kulitnya halus saat disentuh. Perlahan, ketika tanganku berkelana lebih ke bawah lagi, aku bisa merasakan otot-ototnya bergerak di bawah kulitnya. Seluruh ototnya bergelung, tegang bagai tali busur, jelas ingin maju lebih jauh padaku tetapi tak tahu caranya, wajahnya ragu dan malu.
Tangannya bergerak menuju celana dalamku dan berusaha menariknya lepas namun aku menghentikannya.
“Jangan terburu-buru, biar aku yang melakukannya.”
Setelah melepaskan celana dalam, jemariku menjadi basah dan lengket. Tak mampu melihat pada dirinya, kupejamkan mataku dan berharap bahwa dia akan menyelesaikan ini dengan cepat.
Tetapi setelah beberapa saat, hawa dingin mulai terasa di kulit telanjangku dan masih saja tak ada pergerakan. Kubuka mataku dan mendapati bahwa dadanya bergerak naik turun dengan kuat saat dia terengah, matanya tampak sedikit liar namun masih penuh dengan keraguan. Kemauan yang begitu gigih, ini bukan sesuatu yang mampu dilakukan oleh sembarang orang. Bahkan pada titik ini, batinnya masih berjuang melawan insting badaniahnya. Kugigit bibirku dan berpahan menggerakkan tanganku ke bawah. Pipiku serasa terbakar. Ah, jadi pada saat-saat ini, ‘bagian itu’ dari seorang pria menjadi cukup keras dan panas seperti arang yang terbakar.
Dia melenguh, keraguan tampaknya telah menghilang dari matanya ketika mata itu menyorot terang. Dengan lutut sedikit ditekuk di dekat pahaku, dia membiarkanku perlahan membimbingnya ke dalam bagian paling pribadi dari tubuhku. Kupejamkan mataku dan membiarkan instingnya mengambil alih kendali. Begitu dia memasukiku, dunia seakan berputar di sekelilingku dan tubuhku terasa seperti sedang dicabik-cabik. Aku memekik dan ingin meraih sesuatu untuk membantuku mengatasi rasa sakitnya, berakhir dengan tangan kosong karena tak ada apa-apa di atas ranjang. Aku hanya mampu menggertakkan gigiku dan menahan gelombang demi gelombang rasa sakit.
Mendengar jeritanku, dia berhenti dan berusaha mundur untuk menatapku. Dadanya berkilau oleh keringat, dengan lebih banyak lagi keringat yang mengalir di wajahnya dan mengumpul di dasar dagunya, sebelum menetes ke atas dadaku. Matanya yang merah masih tampak liar namun ada setitik keraguan pada ekspresinya.
“Aku baik-baik saja….”
Aku meyakinkan dia dengan tenggorokan kering. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak membiarkan setetes air mata pun terjatuh, aku tersenyum lemah padanya, ala Ai Qing, berharap bahwa senyum yang familier itu akan tetap berada di dalam ingatannya sebagai sesuatu yang menghangatkan saat dia terbangun besok.
Setelahnya dia tak bertahan terlalu lama. Pada saat dia mencapai puncaknya, dia memekikkan dua suku kata dengan parau:
“A-Ai Qing….”
Meski air mataku telah mengering, saat mendengarnya, air mata itu pun mulai tertumpah lagi dan kali ini, aku tak berusaha menahannya ketika terjatuh ke atas ranjang. Sebuah perasaan manis sekaligus pahit menyebar di dalam diriku. Jadi selama ini dia masih mengingatku….
***
Aku menengadah menatap langit malam melalui atap yang jernih. Rasanya seakan langit sedang runtuh di atas kami. Jutaan bintang dan lebih dari seribu tahun di antara kami, kini kami berada di sini, bersama, tepat pada saat ini. Aku telah melengkapi ritual pendewasaanku dari seorang gadis menjadi wanita tetapi yang lebih penting lagi, sejak saat ini, jiwaku akan selamanya terikat dengan dia, selamanya takkan melepaskan.
Dia tertidur nyenyak setelah tiga hari mengalami begitu banyak penderitaan. Dengan lembut kubelai sisi wajah kurusnya dan menyapukan jariku pada alis kuatnya, ke atas kelopak matanya, hidung elegannya, dan bibir tipisnya. Orang ini yang senantiasa kurindukan setiap malam ada di sini, tertidur nyenyak di sisiku. Aku takkan pernah berani membayangkan pemandangan semacam ini bahkan dalam mimpi terliarku.
Aku duduk dan mengenakan pakaianku. Bagian bawah tubuhku sangat kesemutan dan terasa seakan terbakar, dan dengan setiap gerakan, rasanya seakan seratus jarum sedang menusuk-nusuk kulitku. Darah di atas ranjang telah mengering, namun darah di bagian dalam pahaku masih tampak merah cerah. Kutelan rasa sakitnya, merayap turun dari ranjang dan menyeret diriku sendiri ke arah pintu. Setiap langkah membawa gelombang rasa sakit baru yang mencabikku. Tak heran bila deskripsi hampir semua wanita tentang ‘malam pertama’ mereka serupa.
Setelah mendorong pintu hingga terbuka, dengan dingin aku berkata pada sekelompok pria bajingan yang sedang terbahak itu, “Sekarang, apa kalian bisa membawakanku selimut?”