Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 43
Aku duduk di ranjang dan menatap Rajiva dalam kesunyian.
Kemarin adalah satu hari yang melelahkan, tapi aku tetap tak bisa tidur dengan terlalu baik karena keberadaan orang lain di sampingku. Tak ada benda lain di kamar ini kujadikan tempat berbaring, jadi aku harus bergulung di sampingnya di atas ranjang. Satu malam panjang yang sarat dengan kekhawatiran – aku takut kalau aku akan membangunkan dia bila aku berbalik, bahwa aku akan secara tak sengaja menyentuh dia dalam tidurku, bahwa aku akan membuat segalanya menjadi canggung bila aku terbangun lebih lambat daripadanya. Karena itu, aku pun berbaring dengan sangat kaku di sebelahnya, sampai pada titik di mana tubuhku menjadi keram karena kurangnya pergerakan. Dan kemudian begitu matahari terbit, aku bangun dan berjalan ke sekeliling kamar, tetapi masih berhati-hati supaya tak bersuara sedikitpun.
Rajiva masih tertidur nyenyak. Meski kini dia berusia tiga puluh lima dan tak semuda dirinya pada sebelas tahun yang lalu, dia masih setampan dan seagung sebelumnya. Bila dibandingkan dengan orang lain seumurannya, dia tampak sangat muda, mungkin karena gaya hidupnya sebagai rahib Buddha. Tanda-tanda kerutan yang amat samar di dahi serta di sudut matanya hanya membuat dirinya tampak lebih dewasa dan bijak. Setelah semalam beristirahat, raut wajahnya kini tampak jauh lebih baik dan tak secekung sebelumnya. Ada seulas senyum tipis di sudut mulutnya, mencerahkan wajahnya – dia pasti sedang bermimpi indah.
Aku terus duduk di sana sambil menatapnya, pujaan hatiku. Hari sudah hampir siang namun dia masih tidur. Ini pasti kali pertama dia tidur begitu terlambat. Lalu untukku, rasa lelah telah melanda dan kepalaku menjadi lebih berat dan semakin berat lagi. Tak mampu menahan diri, aku pun berbaring dan tertidur begitu saja.
***
Seseorang sedang membelai rambutku. Mataku tersentak membuka, jantung berdebar kencang saat kudapati sepasang mata abu-abu muda sejernih danau di musim semi menatap balik padaku. Sepasang mata yang sama dengan yang telah muncul tak terhitung jumlahnya di dalam mimpiku, dan kini ada di hadapanku.
“Kau… sudah bangun….” Aku segera bangkit dan bertanya, “Apa kau lapar? Aku sudah meminta mereka untuk membawakan sesuatu –“
Kuraih mangkuk di bagian kepala ranjang tetapi mendapatinya sudah dingin saat disentuh. “Oh, sudah dingin. Biar kuminta seseorang untuk memanaskannya –“
Namun sebelum aku bisa pergi, kurasakan sebuah tarikan di lengan bajuku. Aku melirik ke belakang dan melihat dia memainkan lengan bajuku, ekspresi di wajahnya penuh kasih dan sarat dengan nostalgia tak terbendung. Pemandangan itu membuat hatiku sakit. Kusebut namanya, “Rajiva….”
“Bahwa kau akan kembali setiap sepuluh tahun… ternyata memang benar.”
Masih berbaring di ranjang, dia memejamkan matanya dan mendesah pelan, bibirnya sedikit bergetar, “Bagus kau sudah kembali.”
Berlutut di samping ranjang, kuraih tangannya dan meletakkannya ke pipiku. Sambil tersenyum, aku menjawab, “Ya, aku kembali.”
Tangan Rajiva gemetar saat dia membelai wajahku, perlahan merayap ke keloak mataku, hidungku, bibirku. Matanya bersinar lebih cerah dalam setiap gerakan. Lalu tiba-tiba, dia terduduk dan menarikku ke dalam dekapan erat. Dagunya berada tepat di puncak kepalaku, bisa kurasakan gesekan dari pangkal janggutnya, yang membuatku ingin tertawa namun yang keluar malah suara tercekik melengking.
“Buddha Gautama sungguh terlalu baik kepada Rajiva…,” dia berkata dengan suara bergetar, “mengizinkanmu kembali seperti ini….”
Dia melepaskan dan meletakkan kedua tangannya ke bahuku, matanya mengamatiku.
“Sebelas tahun dan kamu masih belum berubah sedikit pun….”
“Sebenarnya sudah. Sekarang aku berumur dua puluh lima….”
Aku menatap dia sambil tersenyum, namun hidungku seperti tersengat.
“Satu tahun di atas sama dengan sepuluh tahun di bawah sini?”
Dia menyapukan tangan pada rambutku, gerakan itu begitu lembut seakan dia sedang memegang sebuah pusaka.
“Kali pertama kita bertemu, kamu lebih tua sepuluh tahun daripada aku. Kali kedua kita bertemu, kamu berusia sama denganku. Dan sekarang, aku lebih tua sepuluh tahun darimu.”
Tangannya bergerak untuk membelai pipiku, matanya lembut, “Ai Qing, apakah kamu tahu bahwa ‘sepuluh’ ini menandakan takdir di alam sana?”
Aku tertawa. Itu benar, semuanya telah dirancang oleh para dewa.
Mataku mendarat pada dadanya yang telanjang. Ingatan yang semalam kembali membanjiri, membuat wajahku serasa terbakar. Merasa canggung, aku berkata padanya, “Ah… kau harus membersihkan diri dan makan. Kepalamu pasti terasa sangat sakit, kan? Aku sudah minta mereka membuatkanmu sup pereda mabuk.“
Begitu fajar menyingsing, aku telah meminta mereka membawakan air dan tanpa suara membersihkan diriku sendiri. Aku ingin membantunya, tetapi aku takut kalau-kalau aku membangunkannya dan yah, aku toh bukannya benar-benar punya keberanian untuk melakukan hal seperti itu. Semalam dia berkeringat, ditambah semua alkohol yang harus dia minum selama tiga hari terakhir ini – baunya sangat tidak menyenangkan.
Mendengarku, dia pun melepaskanku dengan kaget. Gerakan itu membuat selimutnya tersingkap, menampakkan bercak-bercak darah kering di atas tikar. Bahkan tanpa melihat pada dirinya sendiri, dia mencengkeram tanganku dan menggulung lengan bajuku untuk memeriksa sikuku. Setelah operasi, lukanya bisa dibilang sudah hilang, satu-satunya jejak yang tersisa hanyalah sebuah bekas luka kecil.
“Sudah sembuh sepenuhnya. Betapa hebatnya Sang Buddha, bisa membuat lenganmu menjadi utuh kembali seperti ini!”
Dia lalu menengadah menatapku, alisnya bertaut, “Jadi kalau begitu kamu terluka di bagian mana?”
Barulah sekarang aku mengerti bahwa dia membicarakan tentang bercak darah itu. Dengan malu, aku tergagap, “Aku tak terluka. I-Itu dari kali pertama seorang wanita….” Aku tak pernah merasa semalu ini saat berdiri di hadapannya. “Pokoknya, sekarang aku baik-baik saja, jadi kau tak perlu khawatir—“
“Kali pertama?”
Dia hanya kelihatan lebih bingung lagi. Mungkinkah dia tak ingat apa-apa?
Aku tak mau berpikir terlalu banyak soal ini, aku harus mencari sesuatu untuk dilakukan. Aku berdiri untuk mengambil air, tetapi gerakan yang mendadak itu mengembalikan rasa sakit di tubuh bagian bawahku, membuatku mendesis.
“Kamu terluka di mana?”
Rajiva menarikku kembali dan memperhatikan sekujur tubuhku dengan matanya yang jernih itu.
“Aku sungguh baik-baik saja!”
Dengan lembut kulepaskan tangannya, menahan rasa sakitnya dan pergi ke luar kamar untuk mengambil baskom air. Handuk di dalamnya adalah produk dari abad ke-21 karena handuk yang ada di masa ini terlalu kasar. Kuperas handuknya dan memberikannya kepada Rajiva, “Pakai ini untuk menyeka tubuhmu.”
Dia tak bergerak untuk meraihnya dan alih-alih menarik selimutnya ke samping. Begitu melihat, wajahnya tiba-tiba membara sepanas matahari musim panas. Rajiva tampak kehilangan kesadaran selama beberapa detik ketika matanya menjadi berkabut. Butuh waktu sesaat sebelum dia berpaling untuk bertanya padaku.
“Aku menyakitimu, kan?”
Aku separuh takjub dan separuh marah kepadanya. Orang yang secerdas ini, kenapa dia begitu lambat dalam hal-hal semacam ini? Bagaimana aku harus menjelaskan semua ini padanya?
“Kau tidak menyakitiku, aku melakukannya dengan sukarela!’
Dia tampak tercengang, kemudian wajahnya menjadi serius, “Ai Qing, kapan kamu kembali? Bagaimana caramu bisa kemari?”
“Aku tiba kemarin.”
Kupikir inilah saatnya aku mengatakan apa yang telah terjadi padanya. “Kemarin, Pusideva dan aku meminta bertemu dengan Lu Guang untuk membujuknya supaya menukar aku dengan Asuyamati.”
Rajiva gemetaran, wajahnya sepucat kertas, suaranya sepelan hembusan napas, “Jadi aku sungguh melihatmu kemarin?”
Aku mengangguk.
“Jadi itu bukan mimpi…. Dan di sinilah aku, bertanya-tanya kenapa mimpi itu terasa begitu nyata….”
Dia mencondongkan diri lebih dekat, hendak mengatakan sesuatu, namun tak mampu menyuarakannya selama beberapa detik.
“A… aku benar-benar telah me-melanggar Sila?”
“Rajiva, akulah yang telah menggodamu.” Kugigit bibirku dan menggenggam lembut tangannya. “Sang Buddha akan memahami kesetiaan hatimu. Kau dengan berani telah bertahan selama tiga hari, itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan sembarang orang. Mereka bahkan memaksamu untuk meminum arak yang telah dicampur dengan obat perangsang. Jadi kumohon, jangan terlalu memikirkan tentang apa yang telah terjadi semalam. Jangan salahkan dirimu juga. Kau tak melakukan kesalahan….”
Rajiva menundukkan kepalanya dalam diam. Tangan yang mencengkeram erat selimut bergetar. Aku tahu bahwa dalam beberapa saat, dia takkan mampu menerima kenyataan ini. aku hanya bisa mengesah dan meletakkan baskom serta satu set pakaian bersih ke atas meja di samping ranjang.
“Aku akan pergi keluar sebentar. Kau harus menyeka tubuhmu dan mengganti pakaianmu.”
Pakaian itu adalah pakaian orang biasa yang terbuat dari sutra. Para bajingan itu menolak untuk memberiku jubah rahib.
“Aku tak bisa mendapatkan jubah kasayamu, jadi kuharap kau pakailah ini untuk sementara.”
Dengan itu, aku pun mengambil naman makanan yang kini telah mendingin ke luar.
Selalu ada orang yang berdiri menjaga di luar. Kuminta mereka untuk menghangatkan makanannya. Mereka tak memberi terlalu banyak kesulitan, bahkan bersikap sopan terhadapku. Apapun yang kuminta, mereka telah memberikannya. Kecuali hak untuk berkeliaran bebas, tentu saja. Cahaya mentari yang cerah menyinari ke segala penjuru di dalam istana. Sulit dipercaya bagaimana sebuah perang terjadi di bawah langit biru yang indah ini, sebuah perang yang sarat dengan pertumpahan darah dan perpisahan yang berlinang air mata. Bila bukan karena perang ini, mungkin Rajiva hanya akan menjadi sekedar butir pasir di dalam sungai sejarah, dan takkan pernah ada seorang rahib penerjemah terkenal yang namanya akan diturunkan selama bergenerasi-generasi. Namun demi mendapatkan warisan ini, dia harus menjalani hidup yang sarat dengan kesulitan – apakah takdir semacam ini akan disebut sebagai keberntungan atau kemalangan?
Saat aku kembali ke dalam ruangan dengan makanan yang telah dihangatkan, Rajiva telah mengganti pakaiannya dengan yang sudah kubawakan tadi dan sedang duduk bersila, merapalkan mantra. Dengan sosoknya yang tinggi, hanya perlu mengenakan pakaian yang diikat di pinggang yang umum dipakai oleh pria-pria Kucha itu, telah membuat dirinya tampak sangat maskulin. Bila mengabaikan kepalanya yang tercukur, menatap dia dari belakang, frase ‘pohon kumala dihembus angin’* bisa dipakai untuk menggambarkan dirinya.
(T/N: Pohon kumala dihembus angin adalah idiom Tiongkok untuk mendeskripsikan seorang pria yang tinggi, tegap, dan tampan.)
Kuletakkan nampan makanan ke atas meja. Air di dalam baskom sudah berubah warna, jadi dia pasti sudah membersihkan diri. Aku memanggilnya untuk makan, tetapi dia tak menanggapi, hanya terus melantunkan mantra. Tak mau mengganggu dia, aku pun duduk dan menunggu.
***
Bagaimanapun, dua jam telah berlalu dan tetap saja dia belum berhenti merapal. Aku mulai menyadari dengan sedih bahwa dia tidak sedang melakukan rutinitas mantra paginya, tetapi sedang berusaha menghukum dirinya sendiri. Untuk berapa lama lagi dia akan terus melakukan hal ini?
Tak mampu menahannya lebih lama lagi, kutarik lengannya dan emmohon, “Rajiva, kumohon berhentilah merapal. Orang yang telah membuat seorang siswa Buddha melanggar sila adalah orang yang memiliki dosa terberat. Biarkan aku menanggung dosa ini. Kau tak melakukan kesalahan.”
Dia membuka matanya dan melirikku dengan sorot berpikiran jernih. Dengan satu gelengan lembut dari kepalanya, dia pun melepaskan tanganku dan lanjut merapal.
Melihat sekeliling, aku menemukan sebuah pengusir lalat di dalam sebuah vas. Aku mengambilnya dan membawanya pada Rajiva.
“Rajiva, bila kau berpikir bahwa dirimu telah melakukan sebuah dosa besar, aku bisa membantumu. Ada sebuah aliran kepercayaan ini yang diikuti oleh orang-orang di daerah Barat yang jauh. Dalam aliran kepercayaan ini, diyakini bahwa dosa melanggar sumpahmu bisa ditebus dengan mencambuki diri, yaitu perbuatan memukul dirimu sendiri dengan cambuk. Rasa sakit pada tubuh akan melegakan hatimu, akan membantumu meminta pengampunan dari Langit.”
Aku membungkuk di depannya dan bertanya lembut, “Apa kau mau mencobanya?”
Pencambukan diri adalah praktek yang dilakukan oleh banyak umat Nasrani sepanjang sejarah. Pihak Gereja secara terus-menerus menekankan kepada para pengikutnya betapa berdosanya melakukan hubungan seksual. Itulah sebabnya, mereka yang membenci ataupun takut pada keinginan seksual, tak peduli rahib ataupun biarawati, akan berusaha bertobat dengan mempraktekkan pencambukan diri, berharap bahwa kefanaan daging dalam hidup ini akan memberi mereka kebahagiaan di alam baka. Selama masa ‘Black Death’ (Wabah Besar) di Eropa pada abad ke-14, banyak pengikut keagamaan fanatik yang akan bergabung dan pergi mengelilingi kota-kota, sebelum berkumpul di sebuah tempat umum dan mulai mencambuki diri mereka sendiri hingga kulit mereka pecah dan darah mengalir keluar.
Dia menatapku, mata jelas tampak menderita, lalu tanpa bersuara menjatuhkan bajunya hingga ke pinggang, memejamkan matanya, dan kembali merapal.
Aku bergerak untuk berdiri di belakangnya, menggenggam gagang pengusir lalat menghadap ke atas dalam cengkeraman erat, menarik napas dalam-dalam, dan menggigit bibirku sebelum mengayunkan tananku ke bawah. Sebuah suara berderak menggema di udara begitu pengusir lalatnya membuat kontak. Rajiva berguncang karena kaget. Sebuah bilur merah yang panjang telah mulai tampak di punggungnya. Kugigit kembali bibirku saat aku menggerakkan pemukul lalat itu ke belakangku lalu memukulkannya tepat ke punggungku. Rasa sakitnya langsung terasa dan menyengat langsung ke otakku, membuat air mata mengumpul di mataku.
“Apa yang kamu lakukan?”
Dalam sekejap, dia telah mengambil pengusir lalat itu jauh-jauh dariku. Aku terjatuh ke dalam pelukannya. Meski mataku berair, aku masih bisa melihat kekagetan dan rasa sakit di wajahnya.
“Kau ingin menghukum dirimu sendiri, aku akan menanggungnya bersamamu. Kau tak mau makan, aku juga akan melakukan hal yang sama. Dan bila kau tak bisa menerima identitasku sebagai umat awam, maka aku akan mencukur rambutku dan menjadi biarawati.” Tangisan mengumpul di tenggorokanku, aku harus menarik napas untuk menelannya kembali. “Tapi Rajiva, tak peduli apapun yang terjadi, aku takkan meninggalkanmu. Tak peduli badai macam apapun yang menanti kita di depan sana, biarkan aku tetap tinggal di sisimu dan membantumu menghadapinya, kumohon?”
Dia hanya memelukku lebih erat lagi. Kurangkulkan lenganku padanya sebagai balasannya. Bila saja pelukan ini bisa membantuku menjadi satu dengannya, betapa membahagiakannya hal itu. saat aku menyandarkan kepalaku pada bahunya, air mata akhirnya menetes dan mengenai bilur merah di punggungnya. Dadanya juga bergetar, air matanya membasahi pakaianku. Sudah berapa kali kami telah saling menangis dalam pelukan yang lainnya seperti ini? aku sungguh tak tahan melihatnya menangis….
“Ai Qing, aku tidak menghukum diriku karena melanggar Sila. Tubuh ini hanyalah pembungkus. Buddhisme Mahayana tak sebegitu kakunya untuk menyalahkan para siswanya atas kejadian semacam itu, apalagi aku sedang berada dalam paksaan. Tetapi aku tetap harus melakukan pertobatan kepada Buddha, karena hatiku telah ‘melanggar Sila’ bersama dengan tubuhku….”
Dia melepaskan pelukannya terhadapku dan sedikit menjauh. Jemarinya dengan lembut membelai pipiku, ekspresi di wajahnya diwarnai oleh kepedihan.
“Tidak, itu tidak benar. Hatiku tak melanggar Sila kemarin malam. Hatiku sudah melakukannya sebelas tahun, dua puluh tahun yang lalu. Saat aku tak lebih dari seorang anak lelaki, berjumpa denganmu telah membuat hatiku kacau balau. Setelah kamu pergi, untuk suatu alasan tertentu, aku terus membuat gambarmu lagi dan lagi. Menatap rupang Sang Buddha namun semua yang bisa kulihat adalah wajahmu, pada saat itu, sudah jelas bahwa aku telah terperangkap di dalam jaring keinginan. Keinginan selalu merupakan penghalang terbesar yang harus dihadapi oleh seorang siswa. Aku amat sangat ketakutan, jadi setiap kali pemikiran tentangmu muncul ke permukaan, aku akan melakukan pertobatan dengan merapalkan mantra. Namun saat kau kembali, kebahagiaan karena keberadaanmu jauh lebih besar daripada pencarian dan pembelajaranku tentang filosofi Buddhis, dan rapalan sebanyak apapun tak mampu menekan keinginan di dalam hatiku. Dan setelah menciummu… aku tahu bahwa aku takkan pernah bisa memadamkan perasaanku untukmu….”
Air mata terus mengkristal di matanya dan perlahan menggelincir turun dari pipinya.
“Sebelas tahun yang lalu, karena tak bisa bertemu denganmu untuk yang terakhir kalinya, aku harus bermeditasi di dalam kamarmu selama tiga hari. Setelah tiga hari itu berlalu, aku telah mendapatkan kesimpulan ini: bila aku tak bisa melupakanmu, maka lebih baik kuarahkan kerinduanku ini menjadi sebuah disiplin. Dengan pemikiran semacam itu, aku bisa meredakan kesedihanku dan mengembalikan fokusku untuk melatih Buddhisme. Aku juga memiliki pemikiran ini, bahwa bila kamu tak kembali dalam sepuluh tahun, maka aku akan memenuhi harapanmu dan pergi ke Dataran Tengah untuk menyebarkan Buddhisme. Namun tepat saat aku sedang membuat persiapan untuk pergi, Kucha mengalami bencana ini dan aku harus menahan penghinaan semacam ini.”
Dia terdiam untuk menarik napas sebelum melanjutkan:
“Selama tiga hari aku ditahan, di dalam batinku hanya ada Sang Buddha. Hatiku tenang bagaikan air, dan aku memperlakukan sepupuku hanya seperti udara. Namun setelah melanggar Sila ‘tidak meminum minuman keras’, wajahmu mulai muncul di depan mataku, di dalam hatiku. Bukannya aku tidak ingat apa yang telah terjadi kemarin; aku hanya sedang berada dalam penyangkalan. Meski ingatanku samar-samar, aku masih bisa mengingat dengan jelas saat itu ketika tibuhku menerima kesenangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itulah sebabnya aku harus meyakinkan diriku sendiri, bahwa itu semua hanyalah sebuah impian rahasiaku, sebuah impian yang sering kualami. Namun kemudian kamu mengatakan padaku bahwa semua yang terjadi dalam mimpi itu adalah nyata….”
Dia mendongakkan kepalanya untuk kembali menarik napas dalam-dalam, urat di lehernya sedikit menyembul. Sesaat kemudian, dia mengalihkan tatapannya padaku dan menggelengkan kepalanya dalam kepedihan. Lebih banyak lagi air mata yang menetes ke atas pakaiannya.
“Sebelumnya, saat aku menyadari bahwa aku telah… berhubungan denganmu seperti layaknya suami istri… bila bukan karena paksaan Lu Guang, Rajiva takkan pernah berani melakukan hal semacam itu denganmu! Jadi hal pertama yang kurasakan saat mendengar kabar itu bukanlah rasa malu… namun sebuah perasaan ba-bahagia berkembang di dalam lubuk hatiku. Namun tepat setelahnya, aku jadi takut karena telah memiliki pemikiran semacam itu. Disiplin selama puluhan tahun ternyata tak membantuku menakhlukkan perasaanku terhadapmu. Dosa ini, seberapa banyakpun rapalan takkan mampu menghapusnya. Aku tidak cocok untuk menjadi siswa Sang Buddha…. Aku teringat kembali pada perkataan Guru Tua yang pernah kutemui ketika aku masih muda, saat dia memperingatkan bahwa bila aku tak mengikuti Sila dengan sungguh-sungguh, aku akan menjadi tak lebih dari seorang rahib pintar. Tadi, aku terus berpikir tentang kata-katanya saat aku merapal dan hal itu membawa lebih banyak lagi kesedihan padaku. Aku telah melanggar Sila tepat pada usia tiga puluh lima seperti yang sudah dia ramalkan – mungkinkah ini adalah kehendak Langit, bahwa Rajiva hanya akan menjadi seorang rahib pintar yang tak memiliki warisan untuk ditinggalkan?”
Aku telah menangis sampai-sampai aku kesulitan dalam bernapas. Aku tak pernah mendengar dia bicara begitu banyak, setiap kata keluar dari dasar hatinya, seriap kata lebih menyakitkan daripada sebelumnya.
“Rajiva, maafkan aku, ini semua salahku. Kehadiranku telah menimbulkan kekacauan di dalam hatimu dan membuatmu mempertanyakan baktimu terhadap Sang Buddha. Kalau kau ingin aku pergi, aku akan….”
“Sekarang sudah terlambat….”
Dia mencondongkan diri ke depan dan menciumku dengan bibir bergetar. Aku bisa merasakan suatu rasa asin di bibirku. Apakah itu berasal dari air mataku atau air matanya, aku tak tahu.
“Kalau kamu sudah kembali, mana mungkin aku bisa membiarkanmu pergi dan menanggung kerinduan selama sepuluh tahun lagi…. Ai Qing, kamu yang memukul punggungmu sendiri dengan pengusir lalat itu telah menyadarkanku. Kamu sudah siap untuk berbagi rasa sakitku dan bersedia menjalani setiap badai yang ada di depan bersama denganku, jadi bagaimana aku tak bisa setidaknya mengerahkan keberanian untuk mengakui perasaanku padamu selama dua puluh tahun? Aku hanya memikirkan diriku sendiri, merasa malu karena telah melanggar Sila, karena tak bisa menjadi seorang guru besar, dan lupa bahwa kamu telah menderita bahkan lebih besar daripada aku. Kamu telah kembali pada masa-masa paling sulitku. Kemarin malam, kamu telah menukarkan kegadisanmu untuk mengakhiri penderitaanku di bawah tangan Lu Guang. Ai Qing, bagaimana mungkin aku bisa mengukur cintamu? Aku tak mau kita terus menyiksa diri kita sendiri dengan kerinduan seperti yang telah kita lakukan selama sepuluh tahun terakhir ini. menjadi seorang guru besar, meraih pembebasan diri dan mencapai Nirvana, semua itu tak berari bila kamu tak ada di sisiku, karena aku hanya akan menjadi sebuah raga tanpa jiwa. Kehidupan semacam itu tak patut untuk dijalani!”
Dia mengangkat wajahnya dari bahuku dan menyeka aor mataku. Memegang wajahku dalam tangannya, dia menatapku dengan sorot teguh dan berkata, “Dengan kamu di sisiku, aku sudah siap untuk dilemparkan ke dalam neraka tingkat terendah.”
“Jangan lupa, aku akan ada di sana bersamamu….”
Dengan jemari kami bertautan, kami pun berciuman tanpa memikirkan tentang berapa lama waktu telah berlalu. Kami berciuman hingga air mata kami mengering, namun manisnya iuman-ciuman itu hanya membuat air mata kembai bagai air terjun tanpa akhir. Ada berapa dekade lagi yang kami punya untuk dihamburkan? Sejak saat ini, kami berjanji untuk menghargai setiap menit dan detik yang dihabiskan bersama-sama….
Aku tak tahu sudah berapa lama kami terus bertautan seperti ini, menangis dan mencium, ketika mendadak dia menjauhkan diri dan mendesah.
“Ada apa?”
“Aku tak mengira kalau setelah menguraikan simpul di hatiku setelah ditekan selama dua puluh tahun akan menghasilkan rasa sakit yang begitu parah di kepalaku.”
Aku tertawa keras-keras.
“Itu karena kau dipaksa minum arak.”
Kuambil mangkuk sup dari kepala ranjang dan memberikannya pada Rajiva.
“Ini adalah sup pereda mabuk yang telah kuminta mereka membuatkannya untukmu. Kalau kau meminumnya sejak awal, maka kepalamu takkan terasa sesakit sekarang.”