Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 44
Rajiva menatap silet Gillette di tanganku dengan kaget. Suatu ketika, saat berbelanja dengan para gadis dari asramaku, aku melihat mereka membeli silet-silet ini untuk pacar mereka dan hal itu membuatku juga ikut-ikutan membelinya secara impulsif. Karena aku tak mengharapkan akan bertemu dengannya lagi, kukira aku takkan pernah punya kesempatan untuk memberikannya pada Rajiva. Sebenarnya aku sudah akan membawa krim cukur bersama dengan silet ini, tapi pada akhirnya memutuskan untuk tak melakukannya karena aku tekut kalau krim itu akan diracuni oleh radiasi.
Tentu saja Rajiva tak tahu cara memakai silet ini. Aku menyuruhnya duduk, lalu memabsahi saputangan dengan air hangat sebelum menekankannya pada dagunya untuk melunakkan pangkal janggut di sana. Aku menyuruhnya untuk memiringkan kepalanya ke belakang dan tetap diam, lalu perlahan menggerakkan silet itu di atas dagunya. Aku sudah belajar cara melakukan ini dari seorang peneliti pria di lab. Rajiva mengawasiku dengan sorot hati-hati. Aku bisa melihat bayanganku di matanya dan hal itu membuat jantungku berdebar kencang. Kulitnya sangat halus. Setiap kali aku menyentuhnya, benakku jadi sedikit kosong. Takut kalau kelengahanku mungkin akan melukai dirinya, aku berusaha memenangkan diriku dan memantapkan tanganku sebelum meneruskan mencukur.
Begitu semuanya selesai, wajahnya tampak sangat bersih dan segar. Sementara aku terlalu sibuk terpukau oleh paras tampannya, perut bodohku malah harus bergemuruh tepat pada saat itu di tempat itu. Sekarang sudah pukul tiga siang dan aku belum makan sejak semalam. Pipiku memerah karena malu, tapi Rajiva telah mengenggam tanganku dan tersenyum lembut padaku.
“Ayo kita makan.”
Kami duduk saling berseberangan saat makan. Meski makanannya sekarang sudah dingin, aku masih mendapatinya sangat lezat untuk beberapa alasan tertentu. Aku terus memandanginya saat aku makan dengan cengiran bodoh yang sama itu di wajahku dan setiap kali, dia akan tersenyum balik padaku. Waktu sepuluh tahun terakhir ini telah meninggalkan beberapa tanda usia di sudut mata dan dahinya, jadi saat dia tersenyum, kerut-kerutnya bahkan jadi terlihat lebih jelas. Kuharap aku bisa menghapus semua tanda itu dari wajahnya. Aku tak mau mengalami lagi sepuluh tahun lagi berlalu baginya dan hanya beberapa bulan untukku. Kali ini, aku ingin menemaninya hingga akhir perjalanan hidup ini.
“Apa masih sakit?”
Setelah kami selesai makan, dengan lembut dia menyentuh punggungku, matanya tampak berduka. Kugelengkan kepalaku. Kalau aku tak melakukan itu, siapa yang tahu berapa lama lagi dia akan terperangkap dalam semua pertentangan batin itu? Demi alasan itu, aku tak merasakan sakit sedikit pun.
Wajahnya tiba-tiba memerah saat dia bertanya lirih:
“Bisakah Rajiva melihat?”
Tercengang, wajahku juga memanas dan sebuah perasaan ganjil merayapi hatiku. Setelah ragu sesaat, mendapati bahwa tatapannya masih terpancang padaku, aku berbalik dan menyapu rambutku ke samping sebelum menjatuhkan pakaianku hingga ke bawah pinggang.
Dia duduk menghadap punggungku tapi tak mengatakan sepatah kata pun dalam waktu lama. Aku merasa amat kelabakan karena menunjukkan punggung telanjangku kepadanya seperti ini dan sudah ingin segera menaikkan pakaianku, tapi dengan lembut dia menghentikanku.
Tiba-tiba ada perasaan dingin di punggungku, membuatku merinding. Tangannya lah yang dengan lembut membelai bilur dari cambuk itu. Sesaat kemudian, tangannya digantikan oleh sebuah tekanan bibir yang hangat dan lembab, perlahan meluncur dari bagian atas hingga ke ujung bawah bilur tersebut – sebuah ciuman yang sangat panjang yang membuat sekujur tubuhku gemetar.
“Ai Qing….”
Dia menyeret bibirnya hingga ke daun telingaku dan berkata dalam suara mendesah lirih:
“Rajiva takkan membiarkanmu terluka lagi.”
Atmosfer di sekitar kami membuat tersipu dan berat dengan perasaan-perasaan yang tak terucap, membuat syaraf-syarafku menegang kencang. Titik-titik air mulai mengumpul di tulang hidungku.
Mendadak, pintu terayun membuka. Terperanjat, aku langsung menarik pakaianku ke atas dan merapikannya. Bagaimana aku bisa begitu ceroboh, lupa kalau ini adalah penjara dan seseorang bisa datang kapan saja. Bagaimanapun, Rajiva telah memakai tubuhnya untuk menutupiku supaya tak terlihat.
Prajurit Di yang telah menjaga kami itu melongokkan kepalanya ke dalam dan berkata, “Guru Besar, Jenderal Lu telah mengundang Anda.”
Lu Guang tidak bilang kalau dia ingin menemuiku, tapi karena mencemaskan Rajiva, aku pun jai memutuskan untuk ikut bersamanya. Kami berakhir di aula yang sama dengan kemarin. Begitu sampai, aku melihat bahwa Lu Guang sedang dikelilingi oleh sekelompok anak-anak haram yang sama seperti sebelumnya.
“Bagaimana malam pertamamu, Guru Besar? Putraku telah menyaksikannya dengan mata kepalanya sendiri saat-saat ketika kau meraih kesenangan tertinggi di dunia.”
Lu Guang meledakkan tawa kejinya tanpa peduli, terlihat sangat puas.
“Orang harus tahu bagaimana cara menikmati kesenangan hidup. Hanya merapalkan mantra sepanjang hari, apa yang menyenangkan dalam hal itu? Bila bukan berkat Lu Guang, takutnya Guru Besar takkan pernah tahu seperti apa rasanya kesenangan badaniah itu!”
Meski aku telah siap secara mental dan tahu kalau aku hanya akan mendengarkan hinaan saat aku melihat Lu Guang, tetapi saat mendengar sendiri kata-kata keji semacam itu, aku dilanda oeh rasa jijik seakan baru saja menelan seekor lalat di mulutku. Kulirik Rajiva lewat sudut mataku dan melihat bahwa wajahnya telah sedikit berubah warna, namun ekspresinya tetap tenang dan bermartabat. Aku berusaha menekan amarahku sendiri. Kami harus menderita penghinaan semacam ini semuanya adalah karena status kami lebih rendah!
Lu Guang akhirnya mengarahkan perhatiannya padaku dan berkomentar sambil mengerling:
“Ternyata Guru tidak berbeda denganku dan lebih memilih gadis-gadis Han dengan sosok halus mereka. Di kediamanku di Chang’an, aku telah mengambil cukup banyak gadis-gadis Han. Bila Guru dapat kesempatan untuk mengunjungi Chang’an nantinya, aku pasti akan memberikanmu beberapa orang gadis.”
Rajiva tetap diam, bibir terkatup membentuk garis rapat, punggungnya setegak tonggak. Meski dia mengenakan pakaian orang biasa, tatapan tenang dan terkendalinya, aura bermartabat dan di luar duniawinya, semua itu membuat orang kasar seperti Lu Guang terlihat cukup kecil bila diperbandingkan.
Mendapati tak adanya respon dari Rajiva setelah waktu yang lama pastilah telah membuat Lu Guang tidak sabar, karena dia terbatuk untuk membersihkan tenggorokannya dan berkata, “Beberapa hari lagi, Guru harus beristirahat di istana. Aku akan memastikan akan selalu ada para pelayan di sekitar untuk mengurus keperluanmu.”
Lalu dia berpura-pura peduli dan bertanya, “Apa Guru butuh sesuatu?”
Rajiva sedikit menundukkan kepalanya dan merangkapkan tangannya sebelum menjawab tenang, “Rajiva sudah terlalu lama berada jauh dari kuil, jadi hati saya tidak merasa tenang. Bila Jenderal Lu bersedia mengizinkan saya untuk kembali ke Kuil Tsio-li atau Cakuri, Rajiva akan amat berterima kasih.”
“Guru tak perlu begitu terburu-buru! Aku punya beberapa pertanyaan tentang ajaran Buddha yang akan memerlukan bimbingan Guru.”
“Pertanyaan-pertanyaan Jenderal Lu bukanlah pertanyaan yang Rajiva bisa bantu menjawabnya. Pembelajaran chenwei* bukan salah satu ajaran Sang Buddha. Rajiva hanya mengenal sutra dan tidak mampu membantu Anda meramalkan keberuntungan.” Nada suaranya seakan tak memberi ruang untuk argumen lebih jauh lagi saat dia meneruskan, “Rajiva adalah seorang rahib dan urusan mengenai keduniawian berada di luar kami. Jenderal Lu mungkin mampu memaksa Rajiva melanggar Sila, tetapi bakti saya kepada Buddha bukanlah sesuatu yang bisa Anda tekuk sesuka Anda. Harapan apapun yang Jenderal Lu punya untuk saya, Rajiva tak mampu membantunya, jadi akan lebih baik bila Anda membuang pemikiran semacam itu dari pikiran Anda.”
(T/N: chenwei adalah salah satu jenis ramalan. Lihat bagian akhir bab 40)
Aku cukup bingung. Saat Buddhisme pertama kali diperkenalkan ke Dataran Tengah, orang-orang Han memandang Buddhisme sebagai sesuatu yang serupa dengan Taoisme dan agama-agama rakyat lainnya di wilayah itu. Dari Dinasti Han hingga Dinasti Utara dan Selatan, praktek chenwei cukup umum, jadi Lu Guang berusaha memakai Rajiva sebagai tukang ramal bukannya tak pernah diperkirakan sama sekali. Tapi kata-kata yang dipakai oleh Rajiva membuatku bertanya-tanya. Apa yang dia maksud dengan ‘harapan Jenderal Lu’? Mungkinkah Lu Guang berusaha membuat Rajiva melanggar Sila sebenarnya bukan karena suatu pertaruhan sepele? Tapi aku tak punya waktu untuk menekuri pemikiran semacam itu pada saat ini. Aku mendongak dan berusaha memberi sinyal kepada Rajiva supaya jangan memprovokasi Li Guang lebih jauh lagi.
Seperti yang sudah diduga, kata-kata Rajiva membuat Lu Guang cukup marah.
Dia berteriak pada kami, “Beraninya kau!”
Namun, Lu Zuan telah menghentikan ayahnya sebelum dia bisa menyerang kami dan membisikkan sesuatu kepada Lu Guang. Sesaat kemudian, sebuah sorot penuh perhitungan mulai melintas di wajah sang jenderal dan dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Guru pasti sudah lelah karena beberapa hari terakhir ini, kau harus beristirahat.” Meski berucap demikian, tak sedikitpun terdengar keramahan atau kelembutan dalam nadanya. Dia meneruskan, “Guru telah membantuku memenangkan pertaruhan semalam sehingga semua gundik Raja Kucha sekarang jadi milikku. Aku akan menghadiahkan beberapa dari mereka keapdamu nanti.”
Rajiva menatapku kemudian kembali pada Lu Guang sebelum berkata dalam nada hati-hati, “Jenderal Lu tidak perlu cemas. Rajiva telah melatih cara hidup biarawan selama bertahun-tahun dan tak memiliki keinginan semacam itu.” Dia terdiam sesaat sebelum menambahkan, “Rajiva berharap Jenderal Lu akan berbaik hati kepada para wanita itu.”
Lu Guang hanya tertawa di depan wajahnya.
“Guru sungguh sebaik hati seperti yang mereka bilang.”
Kemudian dia menatap ke arahku.
“Gadis-gadis Han di Kucha adalah barang langka. Kalau kelak Lu Guang menemukannya, aku akan memastikan untuk mengantar mereka kepada Guru.”
Wajah Rajiva mengeras tetapi dia tak mengucapkan kata-kata lain untuk meresponnya.
***
“Rajiva, Lu Guang dan para bawahannya sudah menang, jadi kenapa mereka masih menawanmu? Apa yang dia inginkan darimu?”
Kami sudah kembali ke kamar tempat kami berada sebelumnya, dna begitu aku telah memastikan bahwa tak ada orang di sekitar kami, aku buru-buru mengajukan kepadanya pertanyaan yang telah berada dalam benakku sepanjang waktu ini.
“Ai Qing, apa kau tahu tentang kekalahan Qin (Awal) dalam perang mereka melawan Jin (Timur)?”
Tentu saja aku tahu tentang itu. Pertempuran Sungai Fei praktis dikenal oleh setiap orang Tiongkok. Malam sebelum pertempuran, Fu Jian dikenal sebagai Kaisar yang paling berhasil pada masa Enam Belas Kerajaan. Dalam hal wilayah kekuasaan, dia adalah orang pertama yang menguasai Tiongkok Utara yang bersatu (yang areanya bahkan lebih besar daripada waktu berada di bawah kekuasaan Shi Le*). Dalam hal karakter, bisa dibilang kalau Fu Jian itu adalah penguasa yang baik hati dan adil, sosok langka dalam masa kacau tersebut, di mana hampir setiap penguasa ataupun pangeran pada masa itu dikenal sebagai seorang tiran. Dalam hal kebijakan etnis, pada sebuah masa di mana yang diyakini adalah ‘bila bukan dari etnis yang sama, maka hatinya pasti berbeda’, dia memiliki kebijakan yang cukup maju, yang mana secara drastis telah membantu meringankan ketegangan antara beragam kelompok etnis yang berbeda. Bagaimanapun, Pertempuran Sungai Fei telah mengubah segalanya, hingga pada titik di mana telah menenggelamkan semua kejayaan serta pencapaian Qin Awal yang sebelumnya.
(T/N: Shi Le (274-333 Masehi) atau Kaisar Ming dari Zhao Akhir adalah kaisar pendiri negara Zhao Akhir, yang bangkit dari sseorang budak menjadi seorang jenderal kuat di bawah wilayah Xiong Nu, Han Zhao, di mana dia menakhlukkan sebagian besar Tiongkok Utara dan pada akhirnya memisahkan diri untuk membentuk negaranya sendiri)
Pertempuran yang aneh itu terjadi kira-kira setahun sebelum aku tiba di sini (dalam perjalan waktu kali ini), tepatnya pada November 383. Perbedaan di antara kedua pasukan tersebut adalah perbedaan yang paling mencolok dalam sejarah Tiongkok: rasionya 87:18. yang paling mencengangkan adalah cara seluruh pertempuran itu terjadi, di mana pihak pemenang tak punya ekspektasi untuk menang dan tak bisa menjelaskan bagaimana mereka bisa mendapatkan kemenangan mereka, dan pihak lain kalah, tetapi kalah dalam kebingungan, dengan terbengong-bengong. Hanya seperti itu saja, Kekaisaran Qin Awal runtuh hanya dalam semalam.
Ekspedisi Lu Guang ke Xiyu terjadi pada Januari 383, dan Pertempuran Sungai Fei terjadi pada akhir tahun itu. Lu Guang menakhlukkan Karasahr (atau Ārśi dalam Bahasa Tokraria dan Yanqi dalam Bahasa Mandarin), kemudian melanjutkan untuk menyerang Kucha pada tahun 384. Diketahui bahwa ekspedisi ke Barat ini menyebabkan banyak pertentangan dalam pemerintahan Fu Jian. Banyak mentri yang menganggap bahwa tidak bijaksana untuk membagi pasukan pada masa seperti itu, karena mereka membutuhkan semua sumber daya mereka untuk berurusan dengan Jin (Timur). Tetapi serentetan kemenangan perang yang berturut-turut telah membuat Fu Jian menjadi arogan, dan dalam ketergesaannya untuk menjadi Qin Shi Huang (Kaisar pertama Dinasti Qin, juga Kaisar pertama yang menyatukan seluruh Tiongkok) berikutnya, juga Kaisar Wu dari Han berikutnya, dia memutuskan bahwa apsukan yang tersisa sudah cukup untuk mengalahkan Jin Timur. Bila bukan gara-gara Ekspedisi Barat ini, orang mungkin hanya akan bisa bertemu dengan Lu Guang pada Pertempuran Sungai Fei. Dan bila hal itu terjadi, negara Liang Akhir takkan pernah terbentuk.
Tetapi hubungan macam apa yang dimiliki oleh pertempuran itu, seberapapun signifikannya dalam sejarah Tiongkok, dengan Kerajaan Kucha yang jauh ini serta dengan Rajiva sendiri?
“Lu Guang telah mendengar tentang kekalahan Kaisar dari Qin (Awal). Saat ini, Qin sama sekali berantakan: Yan (kerajaan orang-orang Xianbei) ingin memulihkan negara mereka, orang-orang Qiang juga memberontak, dan sang Kaisar tak lagi punya kemampuan untuk menekan perlawanan-perlawanan ini.”
Mata Rajiva bersinar cerah saat dia meraih tanganku, “Ai Qing, menurut pendapatmu, dengan Qin berada dalam kekacauan seperti itu dan secara putus asa membutuhkan pasukan, kenapa Lu Guang memilih untuk tetap berada di Kucha bersama dengan pasukannya alih-alih kembali untuk menolong Kaisarnya?”
Setelah memikirkannya sesaat, semuanya menjadi jelas bagiku, “Dia ingin menjadi penguasa di Xiyu?”
Selama periode Enam Belas Kerajaan, hampir semua orang yang memegang kekuasaan militer ingin menjadi penguasa atau semacamnya. Lu Guang tidak kalah dari Shi Le dalam hal keberanian; dia juga tak sepengkhianat Yao Chang (yang nantinya membunuh Fu Jian), dia juga tak selicik Murong Chui. Bila bukan gara-gara Pertempuran Sungai Fei, bagaimana dia akan berani bahkan untuk memikirkan tentang mengkhianati Fu Jian. Namun situasinya sekarang berbeda, dengan dia memegang benteng di sebuah tempat yang jauh dan tangan Fu Jian terikat karena harus berurusan dengan pemberontakan di mana-mana, jadi bagaimana bisa Fu Jian bahkan sempat memikirkan tentang Lu Guang? Itulah sebabnya jadi tidak sulit untuk melihat bagaimana Lu Guang jadi bisa mengembangkan ambisinya. Di bawah langit yang luas ini, di sebuah tempat di mana bayangan sang Kaisar tidak menjangkau, dia bisa dengan mudah mendominasi kerajaan kecil di Barat ini tanpa rasa takut.
Rajiva mengangguk.
“Itu benar! Ambisi Lu Guang adalah ambisi dari serigala yang rakus. Semua gelar yang telah diberikan Kaisar Qin kepadanya tidak cukup untuk memuaskan keserakahannya atas kekuasaan yang terus bertumbuh.”
Inilah kenapa ada idiom ‘lebih baik menjadi kepala ayam daripada menjadi ekor sapi’!
(T/N: kepala berarti pemimpin dan ekor adalah pengikut. Jadi idiom ini berarti lebih baik menjadi pemimpin dari wilayah kecil (ayam) daripada menjadi pengikut dari penguasa wilayah besar (sapi).)
Hal ini membuatku teringat kembali pada sebuah cerita lucu yang terjadi di Yan Selatan selama masa Enam Belas Kerajaan: Ada seorang pria bernama Wang Shi yang berhasil memindahkan puluhan ribu orang dan menetap di Tai Shan (Gunung Tai). Dia kemudian mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai Taiping Huangdi (yang berarti Kaisar Kedamaian dan Keamanan), mengangkat ayahnya sebagai Taishang Huang (Kaisar pensiunan), saudara-saudaranya sebagai Zheng Dong dan Zheng Xi Jiangjun (Jenderal Penakhluk Timur dan Penakhluk Barat), dan juga menggelari ratusan orang lainnya. Setelah dia dikalahkan oleh pasukan Yan Selatan (403 Masehi), pada saat dia dieksekusi, seseorang telah bertanya kepadanya, “Di mana ayah dan saudara-saudaramu?”, yang mana dia menjawab, “Taishang Huang sedang mengungsi ke tempat yang aman dan Zheng Dong serta Zheng Xi Jiangjun sudah terbunuh dalam perang.” Istrinya meneriaki dirinya dengan marah: “Hingga kita mendapati diri kita sendiri dalam keadaan seperti ini semua gara-gara mulut kendormu, tapi kau tetap tak mau sadar juga?!” Dia kemudian menjawab, “Permaisuriku sayang, sejak awal mula waktu, adakah dinasti yang tidak runtuh, negara yang tidak musnah? Sekarang negara kita sudah menjadi puing-puing, tak peduli apapun yang harus kuderita, aku menolak mengubah nama negara kita!”
Konyol sekali! Kebenarannya adalah bahwa dalam sejarah selama 130 tahun ini, Tiongkok tak hanya terdiri dari enam belas kerajaan. Keenam belas kerajaan itu tak lebih dari suatu wilayah dengan nama yang dideklarasikan secara resmi dan dengan garis keturunan penguasa yang dikenal. Tetapi bila kita mau lebih akurat, mungkin semuanya ada dua puluh, tiga puluh negara. Wang Shi adalah seorang pria bodoh, tetapi apa yang dia katakan telah menggemakan keserakahan umum atas kekuasaan yang dimiliki banyak penguasa pada waktu itu: Tak seorang pun yang dilahirkan sebagai Kaisar! Semua dinasti pada akhirnya akan runtuh, demikian pula dengan negara mereka, jadi mari deklarasikan dirimu sendiri sebagai Kaisar terlebih dahulu dan urus sisanya belakangan. Lu Guang memiliki seluruh pasukan di tangannya, jadi tak mengherankan kalau dia akan memiliki ambisi semacam itu.
Tapi apa hubungan antara hal ini dengan memenjarakan Rajiva?
Melihat bahwa aku masih kebingungan, Rajiva lantas menjelaskan, “Lu Guang adalah orang asing, dan pasukannya hanya berjumlah 70.000, jadi bagaimana mungkin dia mendapatkan kekuasaan jangka panjang di sini?”
Ah, aku mengerti sekarang! Ini pasti berkenaan dengan hubungan antara politik dan agama. Lu Guang ingin memiliki akar di sini, tetapi dengan pasukan sekecil ini, dia takkan pernah bisa menakhlukkan dan memerintah seluruh Xiyu dengan kerajaan-kerajaan kecilnya yang berjumlah lebih dari selusin ini. Itu berarti dia harus menggantungkan diri pada pengaruh agama untuk melegitimasi kekuasaannya di wilayah tersebut – sebuah wilayah yang kental dalam Buddhisme. Dan Rajiva secara kebetulan adalah figur agamis yang paling menonjol di wilayah itu. Bila Rajiva secara terbuka mengakui pemerintahan Lu Guang, maka dia bukan hanya akan mendapatkan kesetiaan dari Kucha tetapi juga semua kerajaan lainnya. Saat hal itu terjadi, dia takkan perlu lagi harus mengandalkan hanya pada kekuatan paksaan untuk menakhlukkan wilayah tersebut.
“Rajiva, Lu Guang ingin menguasai Xiyu, tetapi karena pasukannya sendiri tidak memadai untuk meraih tujuan ini, dia harus menyuruhmu untuk membantunya. Tapi kau tak menakhluk padanya dan menolak mengakui posisinya, benar kan?”
Secercah sinar persetujuan menyala di matanya. Rajiva memberikan anggukan samar dan memegangi bahuku, “Hanya kamu yang paling mengerti Rajiva. Lu Guang inign Rajiva menyebarluaskan kabar bahwa dia adalah titisan dari Bodhisattva Guanyin, dan bahwa dia diminta untuk turun kemari demi membebaskan orang-orang Xiyu.”
Kugelengkan kepalaku. Mereka yang berambisi merebut tahta selalu suka mengarang suatu alasan ilahiah di balik perbuatan mereka, seperti bahwa mereka adalah titisan seorang dewa. Tetapi gaya semacam ini seringkali perlu didukung oleh sosok agamis yang memiliki pengaruh. Lu Guang tak tahu kalau Rajiva bukan Buddhasimha (Fótúchéng, 232–348 Masehi), seorang rahib India yang hidup pada masa Shi Le, Shi Hu dari Zhao Akhir, yang menyerahkan dirinya sendiri kepada kekuasaan mereka. Rajiva juga bukan Xuanzang, yang menyanyikan puji-pujian tentang keluarga Istana dan dengan sengaja memilih untuk mempunyai ikatan dekat dengan sang Kaisar (Kaisar Taizong dari Dinasti Tang). Rajiva adalah keturunan bangsawan dan telah menjadi sosok ternama sejak masih muda, jadi dia selalu memandang rasa hormat dan kehormatan yang diberikan kepada dirinya oleh keluarga yang berkuasa sebagai hal yang semestinya. Mungkin itulah sebabnya kenapa dia tak pernah berpikir bahwa politik pada suatu hari akan berani melangkahi agama.
“Kau menolak dan karena tak mampu memikirkan apapun lagi, dia memutuskan untuk memaksamu melanggar Sila?”
Dia mengangguk, wajahnya tampak keras:
“Dia tak tahu bahwa membuatku melanggar Sila tidak berarti bahwa Rajiva akan menakhluk padanya. Rajiva bukan melakukan ini karena dia adalah orang asing. Bila Lu Guang adalah seorang penguasa berkebajikan yang memikirkan dan peduli kepada rakyat, Rajiva pasti akan mendukungnya. Tapi dia telah membuktikan dirinya sebagai seorang pria yang kejam, keras kepala, dan egois, dan tak pernah sekali pun dia memikirkan tentang kepentingan masyarakat. Bila Rajiva mengakui kekuasaannya, aku tidak hanya akan mencelakai ratusan ribu rakyat Kucha, tetapi juga ratusan ribu rakyat di Xiyu.”
“Ai Qing, apakah kamu tahu, ini adalah orang yang memilih untuk mengubur hidup-hidup 20.000 prajurit Kuai Hu yang sudah menyerah kepadanya.” Amarah dan kedukaan berkumpul di alisnya saat Rajiva mengepalkan tangannya membentuk tinju. “Membunuh orang di medan perang sendiri sudah merupakan perbuatan rendahan, tetapi dia telah melakukan yang lebih jauh lagi dengan mengubur hidup-hidup mereka yang telah menyerah atas kemauan sendiri. Dia telah mengambil nyawa 20.000 orang. Orang semacam itu takkan pernah lolos dari lingkaran karma kehidupan dan kematian. Bila Rajiva memberikan bantuan kepadanya dan mencelakai rakyat, lalu bagaimana Rajiva bisa menyebut dirinya sendiri sebagai siswa Sang Buddha?”
Mengubur orang hidup-hidup di dalam liang adalah salah satu cara paling umum untuk mengurus pasukan yang menyerah pada periode Enam Belas Kerajaan. Jumlah orang yang mengalami takdir semacam itu totalnya puluhan ribu. Ini terjadi karena selama periode ini, hampir semua perang yang terjadi adalah antara kelompok-kelompok etnis yang berbeda. ‘Bila etnisnya tidak sama, maka hatinya pasti berbeda’ adalah kepercayaannya, jadi mereka memilih untuk mengubur orang untuk melemahkan pasukan musuh dan demi mencegah pemberontakan di masa yang akan datang.
Kejadian paling parah atas praktek semacam itu terjadi seusai Pertempuran Lereng Canhe (395 Masehi), di mana Wei Utara mengubur 50.000 prajurit Yan Akhir hidup-hidup. Pada tahun kedua setelah perang tersebut, Murong Chui sendiri telah memimpin kampanye melawan Wei Utara sebagai pembalasan, tetapi saat dia melewati liang di Tebing Canhe di mana orang-orangnya dikubur, dia dan para prajuritnya menjerit dan menangis dengan seluruh tubuh mereka terlihat jelas. Setelah itu, dia memuntahkan darah dan jadi sakit parah, dan tak lama setelahnya, dia meninggal, mengakhiri kehidupan legendarisnya serta kekuasaan Yan Akhir.
Sebelumnya, saat aku membaca baris-baris ini di buku-buku sejarah, biasanya aku akan menangis, tapi itu bukan apa-apanya bila dibandingkan dengan rasa takut yang kurasakan kemarin, saat aku mendapati diriku sendiri berada di dalam liang penguburan. Begitu angka-angka berubah menjadi barisan mayat asli di depan mataku, adalah momen ketika aku akhirnya mengerti sifat mengerikan perang yang sesuangguhnya di balik angka-angka tanpa jiwa itu. Apa yang telah kualami kemarin telah membuatku bersumpah untuk takkan pernah menjadi penonton di hadapan kejadian-kejadian semacam itu. Bila aku punya kemampuan untuk mencegah tragedi semacam itu, maka aku takkan ragu untuk melakukannya bahkan bila hal itu mengubah sejarah.
Dipenuhi oleh ketetapan hati dan rasa memiliki tujuan, aku menatap pada pria pendiam namun tabah di hadapanku. Ini adalah kali pertama aku melihat Rajiva jadi begitu berkeras hati melawan sosok yang berkuasa. Orang yang kucintai ini sekarang juga merupakan orang yang paling kukagumi.
Kugenggam tangannya dan menatapnya dengan seulas senyum lebar, “Kau harus ingat, tak peduli apapun yang kau putuskan, aku akan selalu mendukungmu.”
Dia meletakkan tangannya di atas tanganku dan rasanya seakan aku bisa merasakan emosi-emosinya.
“Sebelum kamu muncul, Rajiva tidak takut pada apapun. Rajiva bahkan berpikir bahwa bila punggungku didesak hingga ke dinding, maka aku akan menggigit lidahku –“
“Jangan!”
Aku bergegas maju dan menempatkan tanganku pada bibirnya.
“Kumohon jangan katakan hal seperti itu! Aku akan melindungimu.”
Dia balas tersenyum manis padaku dan menggenggam tanganku kembali, sebelum berkata lembut, “Tapi kamu sudah kembali, jadi Rajiva tak lagi punya pemikiran seperti itu. Apa kamu ingat pelajaran yang kamu berikan kepadaku dari ‘Mencius’? ‘Karenanya, saat Langit hendak memberikan tempat yang besar kepada manusia manapun, pertama-tama Langit akan melatih batinnya dengan penderitaan, dan otot serta tulangnya dengan bekerja keras. Memapar tubuhnya pada kelaparan, dan menjatuhkan dirinya pada kemiskinan terburuk. Mengacaukan usaha-usahanya. Dengan semua metode ini merangsang batinnya, mengeraskan sifatnya, dan mengisi ketidakmampuannya.’* Kesengsaraan-kesengsaraan ini hanyalah ujian bagi Rajiva dari Sang Buddha. Bagaimana bisa aspirasiku dibuat lelah oleh orang-orang semacam Lu Guang?”
(T/N: baris di atas berasal dari Gaozi II dari kitab ‘Mencius’. Terjemahan inggiris oleh James Legge.)
“Tapi Lu Guang takkan berhenti hanya pada membuatmu melanggar Sila. Dia pasti akan memakai cara-cara kejam lainnya untuk membuatmu takhluk kepadanya.”
Catatan-catatan sejarah menyebutkan bahwa Lu Guang akan memaksa Rajiva menunggangi seekor kuda gila, seekor sapi gila, demi untuk menjadikan dirinya bahan tertawaan di mata masyarakat umum. Tetapi semua itu hanyalah sebuah baris singkat dalam buku, sementara metode yang sebenarnya mungkin akan jauh lebih parah.
“Rajiva tidak takut.” Dia membelai pipiku lalu menghela napas, sebuah sorot ragu melintas di matanya, “Tapi takutnya hal itu akan berat bagimu….”
“Rajiva, kau tak perlu mencemaskan tentang aku. Aku bisa melindungi diriku sendiri.”
Kami berdiri di sana, saling terhanyut dalam sorot mata yang lainnya, tangan kami bergandengan erat. Berkas-berkas cahaya dari matahari terbenam telah merayap di dalam ruangan dan menerakan kilaunya pada dahi lebar Rajiva. Seulas senyum kebahagiaan mengembang di bibirku. Rajiva, tak peduli betapapun beratnya jalan di depan kita, aku akan selalu berada di sisimu.