Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 45
Kami memandangi semua yang ada di hadapan kami dengan takjub. Ada dekorasi dari emas dan perhiasan di mana-mana. Bahkan tirai dan taplak meja ditenun dengan benang emas. Di bagian tengah, terdapat sebuah meja raksasa yang diukir dari kumala putih. Semuanya berkilauan di bawah cahaya matahari, yang kecemerlangannya membuat mataku sakit. Lebih dari selusin dayang istana berbaris di depan kami dalam postur setengah membungkuk dan serta merta, mereka berkata:
“Kami ada di sini untuk melayani Anda, Tuan!”
Aku berbisik pada seorang dayang yang berada paling dekat denganku, “Tempat apa ini?”
Selama sedetik dia dibuat lengah oleh pertanyaanku, sebelum menjawab dengan penuh hormat, “Ini adalah kamar dari raja sebelumnya dan selir yang paling disayanginya, Putri Wusun!”
Aku tersenyum pahit. Begitukah? Sebelumnya, saat para penjaga Di menyuruh kami untuk mengumpulkan barang-barang kami dan mengikuti mereka, aku mengira kalau kami akan dimasukkan ke dalam penjara atau sesuatu semacam itu. Siapa yang akan mengira kalau kami akan berakhir dalam ruang mewah ini? Jangan membuat kesalahan, kami masih ditawan, meski ‘penjara’ kami ini lumayan megah – bisa dibilang sebagai sangkar emas. Tampaknya langkah pertama Lu Guang dalam berusaha memenangkan Rajiva adalah dengan memakai perhiasan dan wanita cantik.
Rajiva tampak acuh tak acuh seperti biasa dan meski dia bicara tanpa ada perubahan nada, suaranya tegas dalam mengatakan kepada para dayang bahwa kami tidak membutuhkan mereka untuk melayani kami dan bahwa mereka bisa pergi.
Saat tinggal kami berdua yang tersisa, dia mengedarkan pandangan ke sekitar kamar satu kali sebelum mengeluarkan desahan panjang:
“Ini terlalu mewah. Sebelum Ibu pergi ke Tianzhu (India), Ibu telah memberitahu raja bahwa bila urusan-urusan internal diabaikan, pihak dari luar akan memperoleh kekuatan, kerajaan akan melemah dan pada akhirnya akan mengalami keruntuhan.”
Dia merenungkannya selama sesaat sebelum menggelengkan kepalanya: “Mungkin sang raja bertemu dengan akhir semacam itu tidak bisa dihindarkan.”
“Rajiva, sudah cukup jelas apa niat Lu Guang dalam memindahkanmu ke tempat ini.”
Aku menautkan tangannya dan tanganku menjadi satu. Kami melihat ke sekeliling kamar ini yang penuh dengan begitu banyak kemewahan sehingga membuat kepala berputar.
“Dia ingin kau menakhluk pada kehidupan yang penuh dengan kemewahan dan kesenangan dengan semua harta benda serta wanita cantik ini, sehingga kau akan melemah.”
“Rajiva percaya diri tidak akan dikalahkan oleh rencana keji ini. Semua emas dan kumala ini hanyalah benda yang keberadaannya terpisah dari tubuh, tidak ada bedanya dengan debu. Lalu untuk wanita cantik -”
Dia terdiam dan menatap ke dalam mataku, seulas senyum lembut mengembang di sudut bibirnya:
“Rajiva dipenjarakan dengan sang putri selama tiga hari dan tidak bergerak bahkan sekali pun. Jadi tentu saja, wanita cantik tak bisa menggoyahkan hatiku.”
Dia menarikku ke dalam pelukannya dan memakai satu tangan untuk membelai puncak kepalaku menuju rambutku lalu turun ke pinggangku, sebelum berbisik ke dalam telingaku:
“Dalam hidup ini, satu-satunya wanita yang bisa membuat Rajiva bersedia melanggar Sila, untuk dijebloskan ke dalam neraka, hanya kamu….”
Wajahku terasa panas. Kalimatnya itu terdengar lebih manis daripada pernyataan sumpah apa pun. Kata-kata itu merasuk ke dasar jiwaku dan membangkitkan suatu perasaan aneh pada sekujur tubuhku.
Tangan yang berada di pinggangku memelukku lebih erat. Kusandarkan kepalaku ke dadanya dan mendengarkan suara debar jantung kami berdetak beriringan.
“Rajiva,” aku memanggil. Tapi kenapa suaraku kedengaran begitu parau?
Dia tiba-tiba melepaskanku dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali sebelum mengalihkan matanya ke jendela.
“Sudah malam. Kamu harus mandi dan beristirahat.”
Kediaman ini memiliki ruang mandi yang besar. Aku merona begitu aku berjalan ke dalam. Cermin-cermin tembaga ditempatkan pada keempat sisi dinding, yang berarti bahwa tubuh telanjangmu akan terlihat dari segala sudut, dan bersamaan dengan uap dari air, sesmua itu membuat semuanya jadi berkabut serta imajinasimu berkeliaran bebas. Seorang dayang istana masuk dan menawarkan untuk membantu, tapi aku langsung menolak.
Terdapat kelopak-kelopak bunga dalam berbagai warna mengambang pada permukaan air, yang aromanya cukup harum. Seraya berendam di dalam bak mandi, mau tak mau aku jadi memikirkan tentang fakta bahwa raja sebelumnya dan Putri Wusun juga pernah mandi di sini, dan bagaimana pemandangan itu pasti akan terlihat saat dipantulkan dalam cermin-cermin itu…. Aku tak berani membayangkan lebih jauh lagi. Menggelengkan kepala, aku berusaha mengusir pemikiran-pemikiran itu sehingga aku bisa selesai mandi dengan cepat.
Akan tetapi saat aku melihat pakaian-pakaian yang telah dipersiapkan oleh si dayang untukku, wajahku pun kembali memanas. Pakaian itu adalah gaun yang terbuat dari sutra, warnanya merah muda pupus, dan garis lehernya begitu rendah sehingga kau bisa melihat belahan dadaku dengan cukup mudah. Terdapat belahan pada sisi roknya yang mencapai hingga ke pahaku. Jelas-jelas gaun ini dibuat untuk menggoda orang lain! Aku hanya akan mengenakan kembali gaun Han yang telah dipilihkan oleh istri Pusydeva untukku.
Aku menjaga agar langkah kakiku tetap ringan saat aku keluar dari kamar mandi, sedikit cemas tentang bagaimana segalanya akan berlangsung malam ini. Tapi kemudian aku melihat Rajiva sedang duduk bersila di atas karpet dan melantunkan mantra. Wajahnya tenang. Ah, untuk apa aku jadi begitu gugup?
Mendengar suara pergerakan, Rajiva membuka matanya dan begitu melihatku, wajahnya tiba-tiba memerah serta kepalanya sedikit menunduk.
“Kamu tidur di atas ranjang yang besar malam ini. Aku akan pakai dipannya.”
Ranjang besarnya berhias mewah dan diletakkan secara mencolok di tengah kamar. Di bawah cahaya lilin, tirai merah muda yang menggelantung tampak lebih menggoda. Pipi terasa membara, aku melangkah lebih dekat ke arah dipan wanitanya. Ranjang itu dibuat dengan seksama dan cukup indah, cukup lebar untuk dua orang berbaring di atasnya.
(T/N: dipan wanita di sini berada di antara dipan dan kursi, sejenis ranjang kecil pada Dinasti Han tempat para wanita beristirahat.)
“Aku yang akan pakai dipannya.”
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung memanjat ke atas dipan dan menarik selimut ke atas tubuhku, membalikkan tubuhku menghadap dinding, dan memejamkan mataku. Aku tak mendengar suara apa pun dalam waktu lama, tapi aku bisa merasakan kalau dia sedang duduk sangat dekat denganku. Bagian dalam telapak tanganku berkeringat, tapi aku tak tahu apa tepatnya yang kuharapkan.
Lama kemudian, aku mendengar suara langkah-langkah kaki di dekatku, kemudian jadi semakin jauh dan makin jauh lagi, lalu berakhir dengan suara pintu ditutup. Kubuka mataku dan berbalik. Dia sudah meninggalkan kamar. Di luar kamar adalah sebuah halaman kecil, yang mana masih berada dalam jangkauan pergerakan kami.
Aku bisa menerka apa niatannya jadi aku tak berusaha mengikutinya, takut kalau-kalau aku akan mengganggu ketenangannya. Kututup kembali mataku dengan lelah. Aku belum tidur dengan baik semalam pun semenjak aku kembali ke laboratorium percobaan. Syaraf-syarafku teregang kencang sebagai hasilnya. Jalan di depan kami penuh dengan duri dan bebatuan, aku harus beristirahat dengan baik bila ingin menghadapi semuanya.
Dengan pemikiran seperti itu, tubuhku menjadi rileks dan aku pun tertidur nyenyak. Beberapa saat kemudian, dalam kekaburan tidurku, kurasakan sebuah tekanan ringan pada dahiku dan suara yang bagaikan hembusan angin sepoi melintasi telingaku:
“Tidurlah dengan nyenyak, kamu sudah banyak menderita selama beberapa hari terakhir ini.”
Aku menggumamkan jawaban tidak jelas dan berbalik tanpa sadar. Sepertinya aku sudah bergeser pada sesuatu yang empuk dan lunak. Merasa gembira, aku pun terbang untuk bertemu dengan Zhou Gong.
(T/N: Zhou Gong adalah istilah untuk menunjukkan mimpi indah)
Di hadapanku tampak sebuah wajah yang begitu dekat. Alis panjang, dagu runcing, mata terpejam, napasnya yang tenang menghembus wajahku. Terkejut, aku terduduk, menarik tanganku keluar dari selimut dengan terlalu cepat hingga tanpa disengaja aku memukulnya. Dia meringkuk di belakangku, mata berkilat membuka saat dia mengerang kesakitan, namun kemudian berbaring diam dan kembali memejamkan matanya.
“Apa yang terjadi?”
Aku mencondongkan tubuh untuk menatapnya. Aku tak tahu di bagian mana aku telah memukulnya. Dia kelihatan seperti masih kesakitan.
“Tidak ada apa-apa.” Dia menggigit bibirnya, mata masih terpejam, wajahnya merah membara, kemudian berbalik ke sisi lain. “Kamu harus bangun lebih dulu.”
Aku tetap berada di atas dipan. Jadi dia tidak tidur di ranjang yang lebih besar dan malah tidur di sisiku.
“Bagaimana kau sampai bisa tidur di sini?” Aku bertanya padanya dengan suara kecil.
“Rajiva hidup sesuai dengan Sila Buddha dan tidak bisa tidur di atas ranjang yang tinggi dan mewah. Tapi melihat kamu sudah tertidur, karena tidak ingin membangunkanmu, aku pun jadi tetap seperti ini semalaman.”
Aku ingat pada Sila itu karena dia pernah menyebutkannya padaku (T/N: baca chapter 13). Aku penasaran apakah dia segugup diriku saat aku pertama kali tidur di sisinya. Apakah dia tidur dengan baik. Semua pertanyaan ini berputar-putar dalam kepalaku, berbelitan dengan semua jenis pemikiran, bergulung menjadi sebuah rasa kehangatan. Mau tak mau aku tersenyum. Aku ingin menggodanya, “Itu cuma alasan, kan? Sekali lihat pada dirimu dan aku sudah tahu.”
Dia berbalik, melihatku tersenyum, wajahnya pun jadi semakin memerah. Tatapan diturunkan, dia nyaris tak bisa mengeluarkan kata-kata berikutnya, “Kamu… masih ketahuan olehmu. Semalaman, membaca sutra, semuanya sia-sia….”
Aku tertegun. Maksudnya….
Tanpa sadar, mataku beralih ke tubuhnya. Meski dirinya ditutupi oleh selimut, aku masih bisa menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Wajah membara, aku jadi merasa seperti ingin menggali lubang untuk diriku sendiri.
Aku tahu kalau disiplin dan pengendalian dirinya luar biasa, tak ada seorang pun yang bisa menandinginya, karena dia tak menyentuhku sepanjang malam. Tapi menahan dirinya sendiri seperti itu sepanjang malam, pastinya dia telah merasa sangat tidak nyaman?
Aku mengumpulkan keberanianku dan bertanya padanya dengan hati-hati, “Ka-kau mau?”
Dia menatapku dengan kaget, kemudian dengan gembira, dia duduk dan mencodongkan tubuhnya padaku. Mata kelabunya, yang biasanya setenang danau musim gugur, kini bergelora oleh gelombang. Bernapas cepat dan jelas-jelas gemetaran, dia menemukan bibirku, tapi kemudian tiba-tiba berhenti, berbalik dan menundukkan kepalanya rendah-rendah.
“Tidak boleh….” Dia memejamkan matanya, merana: “Kamu akan terluka… dan berdarah lagi….”
Sekali lagi aku tertegun. Jadi dia telah melarang dirinya sendiri dari menyentuhku gara-gara hal ini. Bagaimana bisa dia begitu murni? Dia bergabung dalam kebiarawanan pada usia tujuh tahun, menjadi terkenal di seluruh Xi Yu, tapi itu hanyalah sebuah pencapaian dalam Buddhisme. Saat dia melangkah ke atas mimbar, dirinya adalah seorang guru terkemuka di hadapan orang banyak dengan kebijaksanaan tak tertandingi. Namun dia hampir tak punya pengetahuan tentang seks, sama sekali. Mungkin dalam tiga puluh lima tahun terakhir ini, dia tak pernah berpikir kalau dia bahkan akan perlu mempelajari tentang topik ini, ataupun tentang biologi wanita.
“Rajiva, lihatlah aku!”
Aku memakai satu tangan untuk mendorong diriku bangkit. Tangan lainnya kupakai untuk dengan lembut menaikkan dagunya sehingga dia menghadapiku.
“Seorang wanita hanya akan berdarah pada kali pertamanya, tapi tidak lagi setelah itu. Jadi kau tak perlu khawatir tentang aku yang terluka.”
“Ai Qing….”
Dia tak berani menatapku. Bibirnya gemetar saat dia bertanya, “Kamu tidak jijik?”
“Kenapa?” Aku tercengang.
“Karena Rajiva tidak suci, tidak mampu memadamkan keinginan.”
Dia memejamkan matanya, alisnya bergetar.
“Semalam, takut kalau aku tak bisa menahannya, aku berjalan keluar ke halaman dan bermeditasi dalam waktu lama. Tapi saat aku kembali ke dalam kamar, aku tak bisa menahan diri untuk ingin menyentuhmu. Kamu tertidur dalam pelukanku, membuatku teringat lagi pada bagaimana saat kamu pertama kali kembali sebelas tahun yang lalu, kamu juga berbaring di atas pangkuanku dan tertidur. Memikirkan tentang hal itu, hatiku jadi dipenuhi oleh keinginan. Rajiva mandi berkali-kali semalam, tapi kapan pun kamu ada, aku tak mampu menghalau pengaruh dari hawa nafsu. Aku tak bisa tidur dan terus terjaga hingga tiba waktunya untuk mantra pagi…. Takut kalau suara-suara itu akan membangunkanmu, Rajiva pun keluar untuk membaca mantra. Kukira kalau aku tidak melihat sosok tidurmu, keinginan takkan mencengkeramku dan aku akan bisa bermeditasi. Tapi suatu kekuatan gaib membuatku kembali dan berbaring di sisimu lagi. Kamu memang benar, Rajiva sedang membuat alasan untuk berada dekat denganmu.”
Dia membuka matanya, akhirnya bersedia menatapku, namun wajahnya merupakan campuran antara rasa malu dan keinginan.
“Rajiva telah mencemarimu, kamu pasti merasa jijik?”
Aku tersenyum. Bagaimana bisa aku tak mencintai orang ini! Dia hanya tahu bagaimana menguburkan kepalanya dalam mantra-mantra untuk menyingkirkan keinginannya. Bila bukan karena dibantu oleh situasi, aku yakin kalau dia akan menjaga martabatnya hingga akhir. Karena dia telah mengerahkan semua pikirannya untuk menyebarkan ajaran Buddha, itulah sebabnya, meski telah berusia tiga puluh lima, dirinya masih begitu murni dan polos. Dia tidak berubah dalam dua puluh tahun terakhir ini. Mau tak mau aku jadi tergerak. Apakah ada pria semacam ini lagi di abad ke-21?
Aku ingin dia bisa mengalami perasaan jiwa dan raga menjadi satu, jadi aku harus mengambil inisiatif. Meski pengetahuanku hanya berdasarkan dari buku-buku, aku masih adalah orang dari abad ke-21, jadi pemahamanku masih lebih baik dari dirinya. Kupikir aku serupa dengannya dalam banyak hal, karena sejak kecil, aku hanya dengan sepenuh hati mengejar satu sasaran: membaca seribu buku dan melakukan perjalanan sejauh seribu mil, jadi aku tak pernah jatuh cinta. Buku-buku dna film-film R-18 (dewasa) itu, aku juga tak pernah membaca atau menontonnya. Karena tujuan itu telah melahap pikiranku, aku tak pernah memiliki ruang untuk memikirkan tentang hal lainnya. Mungkin aku juga bisa dianggap sebagai orang yang aneh bahkan dengan standar abad ke-21, sebuah abad di mana segalanya adalah tentang keinginan dan kesenangan instan.
Setelah berpikir seksama, aku memberitahunya, “Seks itu tidak mengerikan ataupun kotor. Tubuh pria dan wanita dibuat oleh Langit. Seks adalah bagian dari alam, hal paling indah di dunia. Kau menginginkanku bukan berarti kau mencemariku, itu berarti kau mencintaiku.”
Aku terdiam dan dengan penuh kasih menatap wajah yang sepertinya takkan pernah puas kupandangi, lalu bertanya, “Rajiva, apa kau mencintaiku?”
Dia membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu namun tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Lehernya yang bagaikan angsa memerah sepenuhnya.
Kutempatkan satu jari pada bibirnya dan menggelengkan kepalaku. “Kau tak harus mengatakan apa-apa. Aku sudah tahu jawabannya. Seks itu bukan keinginan sepihak, melainkan dua orang yang saling mencintai dan menginginkan satu sama lain.”
Jariku membelai alisnya, matanya, kemudian hidung mancungnya, lalu akhirnya berhenti pada bibirnya yang gemetar.
“Aku mencintaimu, jadi aku juga ingin menyentuhmu. Aku juga telah memimpikan kita bersama. Aku juga menginginkanmu….”
Aku tak tahu bagaimana suaraku bisa berubah jadi begitu menggoda. Tersenyum, aku merunduk untuk menciumnya. Perasaan lembut dan rasa dari bibirnya seakan membekas dalam hatiku. Dia mengeluarkan sebuah suara pelan, membuka mulutnya untuk membiarkan aku masuk, dan kemudian menjadi sebuah tarian yang serasi di antara kami. Dia setengah memejamkan matanya, bulu matanya mengepak, getaran menjalar, kemudian dia menggerakkan satu tangan ke belakang punggungku dan menekanku lebih dekat pada dirinya.
Aku tiba-tiba menjauh dari bibirnya, dan melihat kekecewaan membanjiri matanya, aku jadi tak tahan untuk tertawa. Kutangkupkan satu tangan pada pipinya dan berbisik, “Dengarkanlah insting dan keinginanmu. Pada saat ini, lupakanlah statusmu. Saat ini kau hanya seorang lelaki dan aku adalah wanitamu. Selama kau menginginkannya, aku takkan menolakmu.”
“Ai Qing!”
Dia memanggil namaku dengan penuh gairah. Keraguan dan rasa malu yang sebelumnya kini telah lenyap. Dia berbalik untuk melingkupi tubuhku. Matanya bagaikan api yang membara, dia menyapukan bibirnya yang panas pada mataku, hidungku, bibirku, kemudian bermain dengan lidahku di dalam. Satu tangannya telah bergerak pada kancing-kancing di bahu kiriku, tetapi dia terus berkutat, tak bisa membukanya.
Dia bergeser menjauh, dengan seksama memandangi kancing-kancing itu. Sebuah sorot ketidakberdayaan menguasainya, persis seperti tampang Rajiva pada usia remajanya dua puluh tahun yang lalu. Tak bisa lagi menahannya, aku pun tertawa kecil, sebuah perasaan hangat menyebar di seluruh tubuhku.
Akhirnya mampu menakhlukkan kancing-kancing itu, dia melepaskan sabuk pada pinggangku dan menarik keluar tanganku dari masing-masing lengan baju. Saat bagian depan tubuhku terbuka, hembusan angin dingin seakan bertiup lewat entah dari mana, tapi bahkan itu juga tak cukup untuk mendinginkan hawa panas membara dari tubuhku. Aku menghembuskan napas keras-keras, bulir-bulir keringat berkumpul di dahiku, tapi aku tak memalingkan wajahku, karena aku ingin melihat dirinya saat dia menatap tubuhku.
Pergerakannya hati-hati, seakan dia sedang memegang sebuah pusaka pada kedua tangannya. Aku masih mengenakan pakaian dalamku. Dia mengerjap beberapa kali tapi masih tak bisa menemukan cara untuk melepaskannya, berkutat untuk mencari simpul pada sisi tubuhku. Aku berbalik. Dia melihat kancing-kancingnya namun kini tingkat kesulitannya lebih tinggi daripada kancing pada baju luarku. Dia mencoba lagi dan lagi tapi masih tidak berhasil, kemudian berpaling untuk menatapku dengan sorot memohon.
Aku tersenyum namun tanganku gemetaran saat aku melepas kaitan kancingnya dan begitu aku selesai, tanganku sudah basah. Melihat matanya terarah pada area itu, aku merasa malu dan menggerakkan kedua tanganku untuk menutupi, tapi dihentikan oleh tangannya yang dengan lembut memisahkan mereka. Tangannya juga gemetaran saat dia menjelajah dengan hati-hati, kemudian bibirnya mencium satu sisi dari dadaku.
“Ai Qing, kamu cantik.”
Kata-kata lembutnya, bersama dengan sentuhan halusnya, membuat sekujur tubuhku gemetar. Tangannya bergerak dalam belaian perlahan di seluruh tubuhku, dan bibirnya menjelajah dari dadaku menuju leherku, lalu berhenti pada telingaku. Begitu dia menggigit telingaku, aku tiba-tiba bergidik dan merunduk.
“Ada apa?”
Dia mengangkat kepalanya dan menatapku dengan cemas.
“Bukan apa-apa. Ha-hanya saja,” aku terbata-bata, merasa malu, “hanya saja… telingaku, aku sangat sensitif di sana. Jadi begitu seseorang meniup telingaku, sekujur tubuhku akan jadi mati rasa.”
Ini adalah kali pertama aku memberitahu seseorang tentang kelemahan ini.
Dia tertegun selama sesaat, kemudian tertawa lantang, sebuah suara gembira. Sebelum tawanya berakhir, aku sudah bisa melihat matanya berubah jadi nakal (sebuah raut yang tak pernah kulihat sebelumnya) saat dia mengamatiku. Suaranya tak selembut sebelumnya:
“Kalau begitu… untuk pertama kalinya, Rajiva ingin melakukan sesuatu yang buruk.”
Aku mendapatkan perasaan kalau ada sesuatu yang salah dan berusaha untuk menjauh, tapi langsung dikelilingi oleh lengannya. Dia meniup telingaku. Sehembus udara yang terasa seperti air es menjalar turun pada tulang punggungku, yang begitu menggelitikku sehingga aku jadi tak tahan untuk terkikik, meminta belas kasihan darinya. Dia berhenti menggodaku dan tersenyum padaku dengan sorot sabar yang sarat dengan kehangatan dan kelembutan.
Kulingkarkan lenganku pada lehernya dan merengut, “Tidak adil. Kau sudah melihatku sepenuhnya….”
Kuarahkan tatapanku pada tubuhnya: “Di tempatku tinggal, kesetaraan antara pria dan wanita itu sangat penting, jadi… aku ingin melihatmu juga….”
Dia tiba-tiba mendongak dan di dalam matanya yang bagaikan kolam air, pantulanku seperti sebuah perahu kecil di dalamnya. Dia menatapku dalam waktu lama sebelum perlahan mengangguk.
“Baiklah.”
Dia duduk dan melepaskan jubahnya, matanya tak pernah meninggalkanku. Cahaya mentari memancar ke dalam kamar lewat tirai tipis dan menyorotkan kilaunya pada kulit sewarna madunya, memperjelas setiap garis pada tubuh rampingnya. Mataku berkelana menyusuri garis-garis itu. Dipenuhi oleh emosi, aku berseru, “Rajiva, tubuhmu juga indah….”
Dia menarik tatapannya dan tiba-tiba berpaling. Raut malu muncul pada wajahnya yang sudah merah, membuat hati kembali berdesir. Dia sudah berada pada usia dewasa, namun masih pemalu seperti remaja. Meski dia tampak penuh percaya diri saat dia memberikan ceramah dari atas panggung tinggi, dirinya kini ragu-ragu dan pemalu dalam ukuran yang sama. Dalam hati, aku dilanda berbagai emosi dan rasa syukur karena Langit telah menganugerahiku seorang pria yang semenakjubkan ini!
“Jangan, jangan bersembunyi,” ujarku lembut, memegangi lengannya. “Aku ingin melihat seluruh dirimu….”
“Ai Qing….” Matanya masih tampak menghindariku, “Rajiva kelihatan buruk saat ini….”
“Apa kau suka tubuhku?”
Dia akhirnya berbalik untuk menatapku. Matanya perlahan menjelajahi tubuhku sebelum dia mengangguk malu-malu, “Suka….”
Aku tersenyum dan memakai tanganku untuk membelai kulitnya yang mulus, merasakan otot-ototnya menegang di bawah telapak tanganku.
“Aku juga menyukai tubuhmu. Sangat indah…. Jadi kau tak seharusnya merasa malu. Biarkan aku melihatmu, ini adalah gestur cintamu untukku.”
Dia menggigit bibirnya namun seulas senyum pun terbentuk. Dia berbalik untuk menghadapku sepenuhnya, wajahnya masih merah membara, namun tampak semakin percaya diri dan seperti dirinya yang biasa. Tubuhnya indah, senyumnya indah, dan bahkan kepercayaan dirinya, kesediaannya untuk menunjukkan seluruh dirinya kepadaku, juga indah. Aku mencintai semua tentang dirinya….
Kami membaringkan diri kami dan saling berhadapan sepenuhnya saat kami bermandikan dalam tatapan dan sentuhan satu sama lain. Perasaan dari ujung-ujung jemariku menjalar ke hatiku dalam gelombang-gelombang lembut. Aku membimbingnya untuk memasuki tubuhku, dan begitu dia berada di dalam, aku mengeluarkan rintihan. Dia berhenti, matanya mengamatiku.
“Aku baik-baik saja….”
Kupikir aku harus memberitahunya bagaimana perasaanku: “Aku hanya, aku tak pernah merasa sebahagia ini….”
Kegembiraan mencerahkan senyumnya. Dia merunduk untuk menciumku, kemudian berbisik ke telingaku, “Rajiva juga merasakan hal yang sama.”
Waktu mulai kehilangan makna. Jam, menit, detik, semua pudar menjadi ketiadaan. Hanya ukuran kedalaman yang tersisa. Aku tak lagi sendirian di dunia ini. Kini seorang pria ada di sini bersamaku, untukku.
Menatap bulir-bulir keringat saat dia terengah kuat, mendengarkan erangan dan lenguhannya saat dia mencapai puncaknya, mataku menjadi basah dengan air mata.
“Ada apa?”
Dia menyangga tubuhnya dengan satu tangan, masih bernapas dengan berat, bergegas menyeka air mata di pipiku. “Aku menyakitimu, kan? Maafkan aku….”
“Tidak, jangan lepaskan aku. Lanjutkan.”
Kukaitkan pergelangan kaki dan lenganku pada dirinya. Aku ingin menciptakan tali untuk mengikat kami menjadi satu. Aku bergeser lebih dekat ke telinganya dan berkata, suaraku tercekat, “Aku tidak terluka. Aku gembira…. aku tidak berduka, aku bahagia….”
Suaraku jadi lebih tertahan, tapi aku ingin mengucapkan semua yang kurasakan saat ini: “Aku sangat gembira, luar biasa gembira, lebih gembira daripada yang pernah kualami sebelumnya. Kau dan aku bersama, menjadi satu, aku sangat menyukai perasaan ini….”
“Ai Qing…,” dia memanggil terengah, kemudian menciumku dengan hasrat yang telah diperbaharui.
Keringat mengumpul di dahiku, di bibirku, kemudian mendarat pada lidahnya dan meresap ke dalam mulutku. Rasa asin yang memualkan itu bagaikan aroma mawar di kebun. Kecupan-kecupan penuh gairahnya yang tanpa akhir membuatku merasa seakan sayap telah terpasang pada tubuhku, mengangkatku tinggi-tinggi ke langit biru yang luas. Kukepakkan sayapku kuat-kuat, menyelam dan berputar, kemudian terbang lurus ke arah matahari.
Aku berpikir pada diriku sendiri: Ngengat-ngengat itu, pada saat mereka melemparkan diri mereka sendiri ke dalam api dan membiarkan tubuh mereka terbakar, apakah mungkin mereka juga mengalami perasaan bahagia yang membara seperti yang kualami saat ini?