Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 46
Ada sebatang pohon delima di halaman dan setiap hari, aku akan pergi ke sana untuk menggosok gigiku. Aku membawa sikat gigiku pada perjalanan ini tapi tidak ada pasta gigi, karena takut pada radiasinya, jadi aku harus melakukan sebisanya dengan air garam yang kasar di sini. Setelah selesai mandi, Rajiva menyandar pada pintu dan memandangiku. Aku balas tersenyum padanya, kemudian memiringkan kepalaku ke atas dan berkumur dengan suara keras.
Hal itu membuatku teringat kembali pada artikel lucu yang pernah kubaca. Seorang pria meminta pacarnya untuk menikahinya namun gadis itu menggelengkan kepala dan bilang tidak. Si pria sangat terkejut: “Kita sudah memiliki hubungan yang begitu intim, kenapa kau bilang tidak pada pernikahan?” Si pacar menjawab: “Karena aku tak mau menggosok gigiku di depanmu!”
“Seorang wanita akan merias diri untuk seseorang yang menyukainya”* adalah perkataan umum. Sudah barang tentu kalau para wanita selalu ingin tampak cantik di mata orang tercinta mereka. Namun untuk hidup seperti wanita Jepang yang mengenakan riasan sebelum suami mereka bangun, berdandan bahkan saat berada di rumah: itu bukan kehidupan, namun menjadikan hidup sebagai profesi. Kalau kau tak bersedia menunjukkan hal yang paling memalukan pada dirimu, memperlihatkan dirimu yang berantakan pada orang tercintamu, itu berarti cintamu tak cukup dalam dan kau bahkan tak semestinya berpikir tentang hidup bersama. Untuk benar-benar mencintai seseorang bukan berarti kau harus mencintai semua kekurangan mereka, namun untuk mencintai jiwa di balik semua bungkus yang cantik itu.
(T/N: Pengarang dari kutipan di atas adalah Sima Qian, dan kutipan itu ditemukan dalam dua karyanya: Surat untuk Ren An dan Catatan Sejarawan Agung. Kalimat penuhnya adalah 士为知己者死,女为悦己者容 – Seorang pria sejati akan berusaha sekuat tenaga untuk seseorang yang menghargai dirinya, seperti seorang wanita akan merias diri untuk seseorang yang menyukainya.)
Bagaimana denganku? Kapan pun aku punya tenggat laporan, aku sering melewatkan gosok gigi, rambutku berantakan, terus terpancang di depan komputer. Pada akhir pekan, aku suka berbaring di ranjangku dan tidur sampai rasa lapar menyerang dan membuatku pusing. Saat musim dingin, aku menggertakkan gigiku dan mengabaikan tumpukan cucian setinggi gunung yang telah kubiarkan terendam di baskom selama beberapa hari, dan saat aku mencucinya, akan dilakukan secepat mungkin. Aku juga sering duduk di toilet dengan buku di tangan hingga kakiku mati rasa dan aku nyaris tak bisa berdiri. Apa aku bersedia menunjukkan hal-hal ini pada Rajiva?
Bagaimana dengan dirinya? Sekarang saat dia telah melangkah turun dari mimbar, mungkin dia juga memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk yang tak ingin dia tunjukkan pada orang lain. Akankah dia bersedia menunjukkannya di hadapanku?
Begitu adegan percintaannya berakhir, kami harus menghadapi permasalahan sehari-hari dari tinggal bersama. Kami harus mencari cara untuk menyesuaikan gaya hidup dari dua orang dari zaman yang berbeda. Perbedaan yang menjangkau berabad-abad jauhnya. Harus belajar untuk beradaptasi, saling menerima satu sama lain. Ini adalah tugas yang jauh lebih sulit daripada bercinta.
Setelah menggosok gigiku, aku mendongak pada langit biru nan jernih di sudut halaman, sedikit dilanda oleh emosi. Sangkar emas yang tak terlihat ini tanpa dipungkiri telah menempatkan kami dalam situasi di mana kami harus memikirkan tentang ujian dari hidup bersama, sesuatu yang sekali pun tak pernah berani kami pikirkan. Rajiva berdiri di sampingku dalam diam. Menatap dirinya, aku tiba-tiba teringat sesuatu dan tertawa.
“Apa yang membuatmu begitu senang?”
“Aku ingin tanya sesuatu padamu,” aku meraih lengannya, “tadi, rasanya tak terlalu enak, iya kan?”
“Apanya yang tidak enak?”
“Karena aku belum menggosok gigiku….”
Aku telah menciumnya sebelum menggosok gigi; aku penasaran apakah dia keberatan.
“Aku tidak keberatan….” Sesuatu tampak menggelitik di matanya. “Malam itu, Rajiva mabuk, bahkan sudah muntah, pastinya tidak menyenangkan. Apa kamu keberatan?”
“Ya, itu tidak menyenangkan.” Aku memiringkan kepalaku pada ingatan itu, “Tapi waktu itu hal itu tak terpikirkan olehku.”
Aku menatapnya, pada mentari musim panas yang terpantul pada wajahnya, dan merasakan senyumnya membasuh pergi setiap kecemasan dan kegelisahan dalam hatiku. Kami akan bahagia, kan? Meski cara hidup dan kebiasaan makan kami berbeda, serta pembawaan kami berbeda sejauh seribu tahun, cinta adalah benang tak terputuskan yang mengikat kami.
Kamulah yang ingin kukecup bahkan tanpa menggosok gigiku; siapakah aku yang bersedia menunjukkan seluruh diriku, yang baik, yang buruk, yang malas; siapa yang untuknya aku akan bersedia berusaha sekuat tenaga untuk menemukan keseimbangan di antara gaya hidup kami.
Dan keseimbangan ini dimulai dengan satu kebutuhan paling mendasar manusia: tidur.
Kami baru saja mulai hidup bersama, jadi masih ada beberapa penghalang fisik di antara kami. Pada malam kedua, aku telah berusaha tidur di atas ranjang yang lebih besar dan lebih mewah, meninggalkan dia pada dipan. Tapi kami berdua sama-sama membolak-balikkan tubuh dengan gelisah pada malam itu, tak bisa tidur. Aku, pada akhirnya, mendapati diriku sendiri berada di atas dipan bersamanya. Setelah itu, kami pun menghentikan saling tukar tempat tidur dan tidur bersisian sejak saat itu.
Jadi, Ronde Pertama: Cinta menang!
Setelah mencicipi buah terlarang, kami jadi sangat mendambakan tubuh satu sama lain. Akan tetapi, Rajiva telah tinggal di kuil Buddhis selama lebih dari dua puluh delapan tahun. Hidup selibat adalah salah satu dari Sila utama Buddhisme. Itu adalah konsep yang mengakar jauh dalam benak para siswa. Itulah sebabnya, meski berbaring berdampingan dan meski dia memiliki hasrat membara, benaknya terus-menerus berperang, hatinya kacau balau. Namun, pada akhirnya akal kalah atas raga. Frekuensi di mana dia menahan keinginan raganya menjadi lebih pendek dan semakin pendek. Lagi dan lagi, akal menyerah pada keinginan. Setelah kira-kira sepuluh hari hidup bersama, aku mulai melihat bahwa dia telah mulai mengerti dan menerima keinginan seksualnya dalam caranya sendiri, dan bahkan mulai menikmati kesenangan yang diberikannya.
Jadi, Ronde Dua: Cinta menang!
Namun, setelah malam yang penuh dengan gairah, dia tak tampak senang dengan berpelukan setelah bercinta. Aku bisa mengerti hal ini. Dia tak pernah menghabiskan waktu untuk memahami wanita sehingga dia tak tahu bahwa saat melakukan hubungan seksual, hal yang paling wanita inginkan bukanlah prosesnya, melainkan perasaan terhubungnya. Semua ini, aku bisa mengajarinya perlahan-lahan. Tapi dia ingin tidur dengan satu selimut untuk masing-masing, dan hal itu membuatku kesal. Dia bilang dia telah terbiasa tidur seorang diri selama tiga puluh tahun terakhir, dan sekarang karena aku ada di sini, dia takut kalau kebiasaan tidurnya akan menggangguku. Aku kemudian harus menjelaskan kepadanya dengan sabar bahwa bagi pasangan, berbagi bantal membawa kebahagiaan. Aku juga sudah tidur sendirian selama lebih dari dua puluh tahun dan kebiasaan tidurku juga tidak cantik. Tapi aku benar-benar menyukai perkataan hidup dan mati di tempat yang sama. Kedekatan itu memberitahuku bahwa aku benar-benar telah mengintegrasikan diriku dan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Jadi, Ronde Tiga: Ai Qing menang!
Setelah argumen kecil itu, kami selalu tidur bersama setiap malam. Tapi masalah lain pun muncul. Postur tidurnya benar-benar buruk. Dia suka tidur telentang, tapi karena sangat tinggi, dia berakhir dengan harus meringkuk seperti eekor udang raksasa, sementara aku suka menempel pada dirinya dan merasakan kehangatannya. Ranjangnya kecil, kami berpelukan di sudut dan pada tengah malam, aku sering akan terbangun dengan kedinginan dan menyadari bahwa dia telah menarik selimut ke sisinya. Aku berusaha untuk menariknya kembali, tapi karena dia sedang tidur nyenyak, dia tak mau melepaskannya. Setelah perang selimut ini terjadi selama beberapa hari, dia pun mengusulkan sebuah solusi. Dia berusaha tetap meluruskan pungungnya sehingga dengan demikian, aku bisa menempel ke bahunya, dan kami bisa menghindari selimutnya ditarik. Tapi Rajiva yang malang, setiap pagi saat dia terbangun, dia akan harus menggoyang-goyangkan bahu serta lehernya untuk meringankan rasa kebas. Aku merasa tidak enak, tapi dia hanya tersenyum padaku, berkata bahwa dia akan terbiasa dengan hal itu.
Jadi, Ronde Empat: Ai Qing menang!
Lalu ada satu hal lagi yang harus disesuaikan, yaitu waktu tidur.
Seperti banyak teman pada abad ke-21, aku terbiasa tidur larut dan sesukanya. Ada masa-masa saat aku akan begadang semalaman untuk menulis esai. Tapi semenjak aku pergi ke era ini, kebiasaan kerja dan istirahatku telah berubah. Sekarang aku tidur pada pukul sepuluh atau sebelas, karena aku hanya bisa menuliskan catatan pengamatanku pada sore hari. Tapi kebiasaan tidurku sepertinya tak bisa diperbaiki. Pukul tujuh atau delapan pada masa ini sudah dibilang kesiangan, tapi aku masih berusaha bertahan di ranjang, menikmati setiap menit tambahan yang kubisa. Sementara Rajiva terbiasa pada rutinitas: Tidur ada pukul tujuh atau delapan di sore hari, dan terbangun pukul empat pagi. Pada beberapa hari pertama tinggal bersama, Rajiva akan pergi tidur terlebih dahulu, dan aku akan tetap melek untuk menulis dalam diariku hingga lewat pukul sepuluh. Tapi aku mulai menyadari bahwa saat aku benar-benar pergi tidur, Rajiva akan masih terbangun. Setelah banyak ditanyai, dia akhirnya mengakui bahwa dirinya sensitif pada cahaya dan suara, jadi hanya setelah aku memadamkan lampulah dia baru bisa tidur. Untuk memastikan supaya dia bisa istirahat dengan baik, aku kemudian berusaha untuk mengikutinya dan tidur begitu malam mulai turun. Kemudian yang membuatku sangat kesal, aku mendapati bahwa aku tak bisa lagi bermalas-malasan. Pada pukul empat, begitu Rajiva bangun dan memberikan kecupan pada dahiku, aku akan langsung terbangun, dan tidur lebih lama lagi akan menyebabkan sakit kepala. Setelah itu, dia akan memulai bacaan mantra paginya dan terkejut saat melihatku berolahraga seperti berlari kecil di halaman.
Aku mulai mengambil kebiasaan orang-orang di masa kuno, bangun saat matahari terbit dan pergi tidur saat matahari terbenam. Aku mengatakan pada diriku sendiri: Aku harus membiasakan diri!”
Jadi Ronde Lima: Rajiva menang!
Dalam hal kebiasaan sehari-hari, kami telah berusaha sebaik kami untuk menyesuaikan dengan keberadaan satu sama lain, mengamati gaya hidup yang lain dengan penasaran, dan mengorbankan beberapa kebutuhan serta keinginan pribadi demi satu sama lain. Kehidupan seperti ini membuatku gembira. Lalu untuk Rajiva, aku juga bisa merasakan kegembiraannya dengan pengaturan ini, bagaimana dia dikagetkan pada suatu waktu, dan betapa cepat dia menyesuaikan serta menerima keberadaan orang lain dalam lingkup hidupnya. Kami sama-sama bekerja keras untuk menciptakan sebuah dunia bagi kami berdua.
Tapi dalam hidup bukan hanya ada itu saja. Kami masih memiliki satu masalah lagi yang perlu dipecahkan. Satu masalah yang sangat mendesak dan penting: Apa yang harus dilakukan selama masa senggang kami di dalam sangkar ini? Kalau kami tidak berada dalam tahanan rumah, aku akan sudah menghabiskan hari-hariku untuk melanjutkan riset lapangan. Semua hal tentang masa kuno, dari makan hingga berjalan, bisa menjadi subyek pembelajaran. Rajiva juga memiliki banyak hal yang harus ditangani di kuil: Ada siswa-siswa untuk dibimbing, diajari, dijelaskan mengenai naskah-naskah; juga para rahib dari Kabul, Tianzhu, tempat-tempat lain di Xi Yu ataupun di Dataran Tengah untuk diajak bertukar debat, untuk mempromosikan Buddhisme Mahayana; untuk pergi menyelami masyarakat demi mempelajari dan memahami penderitaan mereka, menyebarkan ajaran Buddha hingga jauh dan luas sehingga ada lebih banyak orang lagi yang bisa mengikuti ajaran-ajaran-Nya.
Namun sangkar emas ini telah menjungkirbalikkan kehidupan kami. Terkadang, aku melihat matanya menatapku dengan sejumlah kesedihan. Pada kali lain, aku melihat dia berdiri di tengah-tengah kebub bunga, dalam dia menatap langit di atas untuk waktu yang lama. Pemandangan semacam itu membuatku menyadari bahwa aku harus membuat sesuatu untuk dia lakukan.
Jadi pada suatu hari, setelah selesai sarapan, aku menariknya ke meja baaca, kemudian mengeluarkan kertas dan pena dari tas ranselku yang membuatnya terkejut.
“Kita sudah makan hingga kenyang. Saatnya bekerja!”
“Kerja macam apa?”
“Kita sekarang berada di dalam sangkar, harus memikirkan sesuatu untuk dikerjakan, kalau tidak kita akan berubah menjadi ampas. Jadi kau harus menuliskan naskahnya, dan pikirkan tentang bagaimana menerjemahkannya dalam Bahasa Han.”
“Menerjemahkannya dalam Bahasa Han?”
“Buddhisme dimulai di Tianzhu, dan setiap naskahnya dituliskan dalam Bahasa Sansekerta. Kalau kau ingin ajaran Buddhis berkembang di Dataran Tengah, kau harus menerjemahkannyaa ke dalam Bahasa Han sehingga orang-orang Han bisa membaca dan memahaminya.”
Aku tersenyum dan lanjut menjelaskan, “Hampir semua naskah Buddhis yang digunakan di Dataran Tengah pada saat ini diterjemahkan dari bahasa-bahasa beragam kerajaan di Xi Yu. Naskah-naskah Buddhis ini sudah kehilangan sebagian maknanya ketika diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke bahasa lokal, yang mana kemudian jadi semakin buruk saat diterjemahkan untuk kedua kalinya ke dalam Bahasa Han. Kesalahan-kesalahan dalam penerjemahan, dalam menyalin, juga mengubah bentuk dan makna kata-katanya, yang amat memengaruhi penyebaran Agama Buddha. Bahasa Sansekerta dan Bahasa Han sama-sama merupakan bahasa yang rumit. Para rahib yang melakukan perjalanan ke Dataran Tengah dari Tianzhu dan Xi Yu untuk mengajar harus seringkali mengandalkan pada naskah-naskah yang ada di Dataran Tengah. Mereka mungkin bisa memahami maknanya dari mendengarkan, tapi frase dan gaya aslinya lenyap dengan cara ini. Hingga saat ini, tak ada seorang pun yang memahami kedua bahasa itu sekaligus untuk mengubah kesulitan ini. Rajiva, bagi sebuah agama untuk menyebar, pertama-tama harus memastikan bahwa orang biasa bisa memahami ajaran-ajarannya. Gaya penerjemahan saat ini harus diubah, dan bahkan bila kau tak tahu bagaimana menerjemahkan, hal itu akan diubah olehmu.”
(T/N: Haru: Uhuk, lihatlah bagaimana proyek terjemahanku ini secara harafiah adalah penerjemahan kali kedua (dari terjemahan Bahasa Vietnam). Kurenai: Uhuk uhuk… dan terjemahanku ini adalah terjemahan kali ketiga….)
Mata Rajiva bersinar saat dia menatapku, kekaguman tampak jelas dalam sorot matanya. Dia sudah mengerti bahwa demi mempromosikan Agama Buddha di Dataran Tengah, betapa pentingnya untuk memastikan agar penerjemahan sutra-sutra dalam Bahasa Han sangat akuran juga mudah untuk dimengerti.
“Tapi aku takut kalau kemampuanku dalam Bahasa Han takkan memadai untuk menghasilkan terjemahan semacam itu.” Dia mencengkeram bahuku, matanya penuh harap: “Ai Qing, bisakah kau membantuku?”
Aku menggelengkan kepalaku, merasa malu. Aku bukan murid Buddha. Sutra-sutra itu, aku sudah merasa pusing hanya dari melihatnya saja. Akan tetapi, pengetahuanku tidak sepenuhnya tak berguna bagi terjemahannya. Terlebih lagi, aku akan bisa bekerja bersamanya, sebuah fakta yang membuatku sangat gembira. Siapa tahu, aku mungkin telah menjadi salah satu penerjemah dalam sutra pertama Rajiva! Detil-detil kecil ini yang sering terlupakan dalam arus sejarah, jadi siapa yang tahu apa kebenarannya!
“Yah, kita bisa mulai berlatih dengan sutra-sutra paling sederhana.”
“Sutra-sutra yang paling sederhana?”
Dia larut dalam pemikiran. Sutra yang mana?
“Rajiva, ada sebuah naskah yang bernama 维摩诘经 [Wéi Mójí Jīng]*, apa kau tahu apa judulnya dalam Bahasa Sansekerta?”
(T/N: Vimalakīrti Nirdeśa)
Aku bertanya kepadanya, karena aku tak tahu apa judul Sansekertanya. ‘Wei Moji Jing’ adalah sebuah terjemahan dan dirinyalah yang menerjemahkan judul itu, jadi mungkin dia akan bisa menebak berdasarkan pelafalanku.
“Wei Moji Jing adalah seorang umat awam yang kaya, amat berpengetahuan dalam pembelajaran Buddhisme, sehingga banyak bodhisattva yang datang kepadanya untuk bertanya.”
Sutra ini adalah salah satu sutra paling penrting dalam karir penerjemahan Rajiva. Sutra ini juga merupakan salah satu dari sutra-sutra klasik Buddhisme Mahayana, bersama dengan “Da Bore Jing” [Mahāprajñāpāramitā Sūtra]. Naskah ini memiliki pengaruh amat besar bagi orang-orang Han di Dataran Tengah, yang mana menjadi lebih lazim dalam berlatih Buddhisme di rumah. Budaya Tiongkok menjunjung tinggi bakti kepada orang tua: ‘Ada tiga jalan untuk menjadi tidak berbakti, yang paling buruk adalah tidak punya keturunan’. Praktik menjadi seorang rahib oleh karenanya amat bertentangan dengan etika dan budaya di Dataran Tengah. Terlebih lagi, menjadi rahib berarti menyerahkan banyak kesenangan duniawi, yang mana merupakan keputusan sulit bagi banyak orang. Itulah sebabnya, di mata umat Buddha Han. Orang seperti Wei Moji, yang bisa menikmati kesenangan dalam hidup dan masih unggul dalam pembelajaran Buddhisme, merupakan seorang model hebat untuk diikuti.
“Ah, itu adalah sutra yang ini!” Rajiva mengucapkan pelafalannya dalam Bahasa Sansekerta, yang kedengaran sama dalam Bahasa Han. “Tapi esensi dari sutra ini sama sekali tidak sederhana.”
Aku hanya tersenyum sebagai jawabannya. Dengan lembut dia meraih tanganku dan berkata hangat, “Ai Qing, Rajica mengerti niatmu. Kau ingin memakai contoh Vimalakirti untuk menenangkanku, benar kan?”
Dia berdiri dan berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan. Dia menimbang-nimbang selama sesaat, kemudian mendongak menatapku, mata bersinar cerah dengan kebijaksanaan baru:
“Sang Buddha pernah bertanya kepada Vimalakirti: ‘Kamu adalah seorang bodhisattva namun memiliki keluarga, bagaimana kamu akan mencapai ketenangan?’ Vimalakirti menjawab:
‘Kebijaksanaan adalah ibu bodhisattva,
Kearifan adalah ayahnya;
Dari mereka yang membimbing dan mengajar semua makhluk yang ada,
Tak ada satu pun yang terlahir darinya.
Kebahagiaan Dharma adalah istrinya,
Welas asih dan kasih sayang dalam batin adalah putri-putrinya,
Pikiran baik dan ketulusan adalah putra-putranya,
Kekosongan mutlak dan ketenangan adalah tempat tinggalnya.
Bagi para siswa dia memiliki banyak kekotoran dan keinginan;
Mereka mengikuti tuntunan keinginannya.
Tiga puluh tujuh bagian sang Jalan adalah sahabat-sahabat baiknya.
Melalui mereka dia memperoleh pencerahan yang benar.
Paramita (kesempurnaan) adalah pendamping Dharmanya,
Empat cara untuk memenangkan orang lain, adalah para gadis penyanyinya.
Untuk lagu-lagu pujian mereka atas ajaran Dharma;
Demikianlah musik itu dibuat untuknya.’
(T/N: Empat bait ini berasal dari bagian delapan sutra tersebut, diterjemahkan dari versi Bahasa Tiongkok milik Kumarajiva ke dalam Bahasa Inggris oleh Watson, Burton (1997), The Vimalakirti Sutra, Columbia University Press. Terjemahan Indonesia saya buat sendiri, jadi ada kemungkinan tidak tepat. Bagi yang ingin tahu lebih lengkap dan tepat, bisa mencari sendiri di internet. Saya tidak mengambil dari internet karena untuk mendownloadnya dari scribd harus bayar dulu dan tidak menemukan yang gratisan. Ahahaha~…. *modal gratisan*)
Aku tersenyum dan mengangguk. Seperti yang sudah diduga, aku hanya perlu menyebutkan sutra ini dan Rajiva akan mengerti maksudku.
“Rajiva, Vimalakirti memiliki istri dan menjalani kehidupan duniawi, tapi Beliau masih menjadi ‘ketenaran tanpa noda’ dan mencapai kebebasan.”
Matanya masih bersinar terang, namun kini juga terdapat setitik kekaguman. “Ai Qing, bagaimana kau tahu kalau Vimalakirti berarti ‘ketenaran tanpa noda’?”
Ahh, aku sekali lagi telah terkena penyakit ‘menamai sesuatu sebelum sesuatu itu dilahirkan’! Xuanzhang juga menerjemahkan sutra ini namun Beliau menamainya ‘說無垢稱經[Shuō wú gòu chēng jīng]’ (T/N: Wu Gou berarti tanpa noda). Tapi aku tahu arti dari nama Vimalakirti dalam Bahasa Sansekerta adalah karena Wang Wei*. Nama kecilnya adalah Wei tapi memilih nama sopannya sebagai Moji, dengan referensi pada Vimalakirti. Koleksi puisinya berjudul ‘Koleksi Wang Moji’. Tapi Wang Wei tak mengerti Bahasa Sansekerta. Dia tidak tahu kalau 维 [Wéi] dalam Sansekerta berarti ‘tidak memiliki’, 摩 [Mó] berarti ‘kotor’, dan 诘 [Jí] berarti ‘secara proposional’. Jadi Wang Wei berarti ‘Wang Tidak Punya’, dan nama kesopanan Moji berarti ‘Kotor secara Proporsional’, ‘Benar-benar Kotor’. Jadi saat aku membaca penjelasan atas nama ini pada ‘Perjalanan Xuanzhang ke Barat’ milik Qian Xuanzhong, aku pun tertawa sampai perutku sakit. Itulah kenapa aku ingat dengan julukan ‘tenar tanpa noda’ ini.
(T/N:*Wang Wei (699-759 Masehi) adalah penyair, musisi, pelukis, dan politisi Tiongkok pada masa Dinasti Tang. Dua puluh sembilan dari antara puisinya termasuk dalam antologi ‘Tiga Ratus Puisi Tang’ yang terkenal.)
Akan tetapi, Wang Wei belum dilahirkan pada masa ini (saat ini baru abad keempat), jadi bagaimana aku bisa memberitahu Rajiva tentang anekdot lucu ini?
“Ai Qing, kamu tak tahu Sansekerta, tapi kamu memahami beberapa kata dalam sutra Buddhis. Kamu tak pernah pergi ke tempat-tempat seperti Kabul, Khotan, tapi kau tahu apa yang ada di sana. Kau tampaknya tahu tentang masa depan, tapi tak mengetahui detilnya. Penampilanmu tidak berubah selama dua puluh tahun terakhir ini, Rajiva tentu saja percaya kalau kamu pasti adalah makhluk kahyangan. Tapi kenapa makhluk kahyangan hanya memiliki separuh pengetahuan. Bukankah kau seharusnya serba mengetahui, serba melihat? Atau….”
Dia memeluk bahuku dan tersenyum penuh makna: “Karena kamu malas, abai pada pelajaranmu, sehingga kemampuanmu kurang?”
Apa? Aku tak menyangka kalau imajinasi Rajiva begitu penuh warna. Berpikir kalau dia telah memunculkan bayangan seorang makhluk kahyangan pemalas ini berdasarkan pada sifatku….
“Rajiva, aku bukan makhluk kahyangan -”
Dia menyelaku dengan gelengan kepalanya, “Ai Qing, pertanyaan ini telah berputar-putar dalam kepalaku selama dua puluh tahun terakhir. Tapi mengungkapkan rahasia Langit adalah sebuah dosa. Jadi Rajiva tidak akan pernah memaksamu untuk mengatakan kebenarannya kepadaku.”
“Rajiva, kau adalah orang terdekat yang kumiliki, aku tak mau menyembunyikan identitasku darimu. Tapi bisakah kau memberiku lebih banyak waktu?” Aku menatap matanya yang dalam dan mengucapkan dengan penuh ketulusan, “Aku perlu memikirkannya, bagaimana cara mengatakannya kepadamu.”
“Tidak, tidak perlu.”
Dia menarikku ke dalam dekapannya.
“Aku tahu bahwa merupakan welas asih Sang Buddha-lah yang telah mengirimkanmu untuk menyelamatkanku dari masa-masa sulit ini.”
Dalam pelukannya, aku bisa merasakan kegairahan atas detak jantungnya yang kuat. Aku yakin kalau dia sudah mulai mempertanyakan identitas ganjilku saat dia berusia tiga belas tahun. Tapi tak peduli seberapa tinggi pun IQ-nya, dirinya masih terbelenggu oleh batasan masanya, oleh sejarah. Dia telah menginterpretasikan keberadaanku dengan caranya sendiri dan telah mendapatkan kesimpulan alamiah bahwa aku pasti adalah makhluk kahyangan. Tapi aku mencintainya, aku ingin menjalani sisa hidupku bersamanya, jadi aku tak boleh menyembunyikan apa pun darinya. Mungkin sekarang sudah waktunya aku harus memberitahunya tentang asal-usulku. Tapi, bagaimana cara memberitahunya? Dan akankah dia bisa menerima asal-usul seaneh itu?
“Rajiva….”
Aku memain-mainkan tasbih doa di pergelangan tangannya, yang telah memudar dan cacat karena telah dipakai selama bertahun-tahun, namun masih menguarkan aroma cendana yang kuat.
“Ayo mulai kerja, kerja, kerja!”