Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 47
Kami menjalani kehidupan yang penuh setiap hari. Pertama, Rajiva akan menyalin satu baris dalam Bahasa Sansekerta, kemudian kami akan mempertimbangkan bagaimana menerjemahkannya kata demi kata. Terkadang akan butuh waktu setengah hari bagi kami untuk menerjemahkan satu kata. Kemajuan kami tak terlalu cepat, karena meski Rajiva bisa berkomunikasi dengan fasih dalam Bahasa Han, lebih sulit untuk memasukkan kata-katanya ke dalam tulisan, terutama pada gaya penulisan Han dari 1,650 tahun yang lalu. Bahkan aku, meski aku bisa membaca naskah literatur kuno, tidak berarti kalau aku bisa menulis, jadi aku juga berjuang dalam hal ini.
Tapi kami tidak terburu-buru. Belakangan, dengan dukungan dari Yao Xing (T/N: sebutan formalnya adalah Kaisar Wenhuan dari Qin (Akhir), putra dari Kaisar pendiri, Yao Chang), Rajiva akan bisa membentuk sebuah kelompok penerjemah besar di Chang’an dengan ribuan partisipan. Dikatakan bahwa Vimalakirti Nirdesa Sutra sendiri telah memiliki lebih dari 1,200 orang yang berpartisipasi dalam penerjemahannya. Yang sedang kami lakukan sekarang ini hanyalah latihan, untuk membantu membangun fondasi atas karir penerjemahan Rajiva nantinya. Tanpa tekanan apa pun, kami hanya bekerja sembari menikmati kesukacitaan dari kehadiran satu sama lain. Hanyalah saat para pelayan wanita datang untuk membawakan makanan serta menyalakan lentera, baru kami menyadari berlalunya waktu.
Ada komponen penting lain dari kehidupan sehari-hari kami: bercinta. Saat kami menjadi lebih mengenal tubuh serta reaksi masing-masing, percintaan kami jadi lebih harmonis. Dia bukannya tanpa pertentangan, karena perang psikologis selalu menemani batinnya. Tapi selain dari menjadi siswa Buddha, dia juga seorang lelaki, dengan kebutuhan dan keinginan seorang lelaki. Perlawanannya setiap kali selalu berakhir dalam menyerah atas keinginan-keinginan tubuhnya. Cinta menang, atau setidaknya untuk sementara menang terhadap agama.
Berapa lama kemenangan ini akan bertahan, aku tak tahu. Tidak melakukan hubungan seksual telah menjadi Sila sejak masa Sang Buddha. Aku tak bisa mengubah nilai-nilai dan pandangan-pandangan atas kehidupan yang telah dia bentuk sejak berusia tujuh tahun. Waktu yang telah dia habiskan sebagai siswa Sang Buddha lebih lama daripada waktu dia mencintaiku. Aku tak mau memakai cinta untuk mencabutnya dari aspirasinya. Aku hanya ingin memasukkan ke dalam alam bawah sadarnya bahwa cinta bukanlah dosa. Bahwa cinta dan aspirasi bisa berjalan seiringan.
Tapi, bisakah cinta dan aspirasi benar-benar berjalan seiringan? Bisakah orang memiliki sirip ikan sekaligus cakar beruang*? Seperti sebuah pertanyaan filosofis yang tak terpecahkan, paradox ini, entah kita mengakuinya atau tidak, selalu ada. Kami bisa melupakannya untuk sementara dalam lingkungan tertutup yang merupakan penjara rumah kami ini, namun setelah kami keluar dari sangkar emas ini. Bagaimana kami akan menghadapi dunia? Aku tersenyum pahit. Tampaknya sangkar emas ini memang memiliki manfaatnya sendiri.
(T/N: Dari idiom Tiongkok, 鱼与熊掌,不可兼得, yang artinya ‘Kau tak bisa memiliki sirip ikan sekaligus cakar beruang’, yang berasal dari sebuah baris dalam ‘Mencius’, Gaozi I. Cakar beruang dan sirip ikan (hiu) adalah makanan lezat yang langka di Tiongkok kuno.)
Jadi saat aku menulis di dalam catatan diariku, aku terus memikirkan tentang kenapa Buddhisme sebegitu kerasnya menentang seks, dan apa hubungan antara agama dan seks.
Agama-agama prasejarah memiliki sikap positif terhadap hubungan seksual dan pada kenyataannya, memujanya, dan ingin orang-orang menikmati kesenangan dari alam. Hubungan seksual dianggap sebagai salah satu dari ritual paling mulia dan mistis dalam agama-agama ini. Alasan utamanya adalah bahwa agama-agama prasejarah dilahirkan pada masa-masa produksi yang primitif dan kondisi hidup yang sulit. Hubungan seksual membantu meningkatkan populasi, karenanya menciptakan lebih banyak pekerja bagi sukunya.
Saat sistem produksi meningkat, dan pengejaran duniawi tak lagi memuaskan kebutuhan spiritual manusia. Agama-agama yang sistematis dengan fondasi-fondasi teoretis mulai bermunculan. Hampir semua agama modern mengajarkan tentang melepaskan masa kini, memuja kehidupan setelah kematian, dan mengejar keabadian. Namun seks membawa kesenangan yang tak tergantikan bagi manusia. Jadi penerimaan atas kegiatan ini berarti sebuah persetujuan atas masa kini, yang pada gilirannya akan memengaruhi keimanan dan pengabdian terhadap konsep ‘relijius’ dari keselamatan.
Agama memuja para dewa, dan para dewa lebih unggul daripada manusia biasa. Agama menasihatkan sebuah kehidupan spiritual, namun orang biasa suka memuaskan diri dalam nafsu-nafsu dasar dan kesukacitaan seks. Agama tak bisa berada pada tingkatan yang sama seperti orang biasa. Demi menaikkan agama pada tingkatan terhormat dari kehidupan spiritual, kita harus meninggalkan kesenangan duniawi, menaikkan keinginan-keinginan fisik menjadi tahapan spiritual, menghaluskannya, sehingga manusia bisa memuja dan mengejarnya.
Hinduisme menyarankan pertapaan, namun kuil-kuil (Hindu) di Khajuraho (sebuah kota di daerah Madhya Pradesh, berlokasi di Distrik Chattarpur di India) terkenal dengan ukiran-ukiran erotisnya. Hampir seribu tahun yang lalu, kuil-kuil ini diukir dengan ratusan ukiran dalam beragam pose seksual. Pose-pose seksual ini tidak bisa diraih oleh manusia dan hanya bisa dinikmati oleh para dewa.
(T/N: Jangan googling. Pokoknya JANGAN!)
Ada sebuah kisah dalam Hinduisme tentang seorang pria muda yang suka menikmati kesenangan-kesenangan duniawi dan tak bersedia berlatih agama. Seorang dewa datang untuk menanyainya, dan dia menjawab kalau dia menikmati semua kesenangan dalam hidup ini, tak mau melepaskan satu pun untuk melatih pertapaan demi bisa pergi ke alam surga. Sang dewa kemudian membawanya ke surga, di mana dia melihat tak terhitung banyaknya wanita cantik yang tak bisa ditemukan di alam manusia, dan mencicipi makanan lezat yang tak bisa dibuat di alam manusia. Semuanya sungguh tak tertandingi. Setelah kembali ke alam manusia, si pria kehilangan minat pada wanita-wanita di sekitarnya juga makanan yang biasanya dia makan. Sejak saat itu, dia mulai berlatih dengan tekun dan setelah dia wafat, dia pun naik ke surga yang selalu diimpikannya.
(Catatan Haru: Aku sudah berusaha mencari asal mula dari kisah yang dikatakan sebagai kisah Hindu ini, tapi aku tak bisa menemukannya. Juga, maaf atas terminologi Kristen tentang surga dan bumi, tapi tanpa mengetahui dari mana cerita ini berasal, aku tak bisa memastikan istilah Hindu yang benar. Konsep ‘surga’ dalam agama Hindu jauh lebih rumit dan tidak terbatas pada satu alam fisik)
“Aku melihat kamu menulis setiap hari. Tentang apa itu?”
Kututup buku catatanku dan berbalik untuk tersenyum cerah pada Rajiva.
“Perasaan-perasaanku. Kalau aku harus meninggalkanmu suatu hari nanti, setidaknya akan ada kata-kata hitam di atas putih ini yang bisa mengingatkanku pada masa-masa yang telah kuhabiskan bersamamu.”
“Ai Qing, kita takkan terpisah lagi….”
Dia gemetar dan memelukku erat-erat, seperti orang tenggelam yang berpegangan pada tiang patah di tengah laut. Kepalanya menyandar di bahuku, pipinya menekan leherku, dan pangkal janggutnya yang baru saja tumbuh menggelitik kulitku.
Apakah itu benar-benar mungkin? Kenapa aku selalu mendapatkan firasat buruk? Rajiva, IQ-mu lebih tinggi daripada aku, jadi takutnya kau pasti sudah mencium datangnya badai.
“Jenggotmu sudah tumbuh lagi. Ayo, biarkan kau mencukurnya untukmu.”
Pertanda badai datang dua puluh hari setelah penahanan rumah kami dimulai. Lu Guang ingin bertemu dengan Rajiva. Aku ingin mengikuti dia, tapi dia tak membiarkanku. Aku sudah akan bersikeras, tapi dia membungkamku dengan kata-kata lebih jauh lagi:
“Ai Qing, apa kamu ingin Lu Guang tahu betapa pentingnya kamu bagiku?”
Melihat dia pergi dengan langkah penuh tekad, hatiku gemetar oleh rasa cemas. Aku sudah bisa menerka alasan Lu Guang atas pemanggilan ini: untuk melihat apakah Rajiva telah dilahap oleh kehidupan mewah. Aku juga bisa menerka hasil dari pemanggilan itu: Rajiva sekali lagi akan menolak untuk melegitimasi Lu Guang. Dan aku tahu konsekuensi dari penolakan itu. Lu Guang akan mempermalukan Rajiva di muka umum untuk menekan kedudukan agamanya di mata rakyat Kucha.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku menunggu sebelum Rajiva muncul di pintu masuk kediaman dengan langkah-langkah berat dan wajah pucat. Hatiku hancur saat melihatnya.
“Kau masih menolak, kan?”
Rajiva mendongak, mata sarat dengan kelelahan, “Tidak usah cemas, aku baik-baik saja….”
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling tempat yang mewah dan megah iini, di mana kami telah ditawan selama dua puluh hari terakhir ini.
“Hari-hari damai dengan perut kenyang kita telah berakhir….”
Kemudian aku menolehkan kepalaku kembali pada Rajiva dan berkata dengan hati-hati: “Rajiva, kalau kau terus menolak, dia akan kehilangan kesabaran dan kemudian hanya akan ada satu jalan yang tersisa.”
Wajahnya menjadi seputih kertas. Karena dia cerdas, dia pasti sudah menerka kalau metode terakhir Lu Guang takkan menyenangkan.
“Kalau dia tak bisa memanfaatkanmu, dia akan mencari setiap cara untuk menghancurkan reputasimu, melecehkan nama baikmu di mata orang-orang di Xi Yu. Dengan begitu, kalau akan kehilangan pengaruhmu pada rakyat dan berhenti menjadi ancaman baginya.”
“Ai Qing, hal-hal ini, Rajiva sudah memikirkannya. Tapi kalau aku menyerah kepadanya, hasil apa yang akan dibawa oleh hal itu?”
Dia melihat ke atas dan menatap langit biru di luar jendela, seluruh wajahnya sarat dengan kesenduan.
“Jutaan nyawa akan jatuh dalam kesukaran, penderitaan tanpa akhir dan bahkan kematian. Akan lebih baik bagiku untuk menanggung semua ini daripada menjadi kaki tangan sang harimau (T/N: 为虎作伥 – Wèi hǔ zuò chāng – sebuah idiom yang kira-kira artinya adalah membantu penjahat melakukan kejahatan)
Dia akan memaksamu menunggangi kuda-kuda liar dan ssapi-sapi gila di depan orang banyak, sehingga kau bisa terjatuh lagi dan lagi serta menjadi bahan tertawaan bagi dunia.”
“Itu hanyalah penderitaan fisik, apa yang perlu ditakutkan?”
Dia menatapku dengan sorot jernih, dan sudut-sudut mulutnya terangkat membentuk senyuman.
“Ai Qing, kau telah membocorkan rahasia Langit gara-gara aku, apa kau tak takut kalau Buddha akan menghukummu?”
“Aku juga tak punya rahasia lebih banyak lagi untuk dibocorkan.”
Tepian mataku memerah, hanya memikirkan tentang siksaannya di masa mendatang saja rasanya tak tertahankan. Tapi kenapa catatan-catatan sejarah hanya menuliskan beberapa baris sederhana? Andai saja mereka lebih mendetil, maka kami bisa mencari cara untuk mencegah semua kejadian ini.
“Rajiva, aku hanya tahu kalau dia akan memaksamu menunggangi kuda-kuda liar dan sapi-sapi gila, tapi aku tak tahu kapan dan di mana hal itu akan terjadi. Aku juga tak tahu metode-metode kejam apa lagi yang akan dia pakai untuk menyiksamu.”
“Tidak usah cemas. Bukan itu yang paling Rajiva takutkan.”
Aku terdiam dan memberinya sorot penuh tanya. Lantas apa yang paling dia takuti? Dia menghindari mataku dan menatap pada langit di luar jendela lagi. Terkadang, beberapa ekor burung putih terbang melintas, bebas dan riang. Kapan kami akan bisa terbebas dari sangkar ini? Tempat ini bukan hanya mengurung raga kami; namun juga mengurung jiwa kami.
Setelah itu, hari-hari kami mulai jatuh ke dalam penderitaan yang tak tergambarkan. Kami sering jadi teralihkan saat kami menerjemahkan sutra namun tetap saja, kami tersenyum pada satu sama lain. Malamnya, kami menjadi lebih berhasrat dan ganas, seakan setiap waktu adalah saat tepat sebelum dunia berakhir, hingga kami sepenuhnya kelelahan dan berpelukan untuk tidur.
***
Lima hari kemudian, Lu Guang kembali memanggil Rajiva, dan kali ini dia sudah pergi jauh lebih lama lagi. Saat dia kembali dengan langkah-langkah berat, ada tanda bengkak kemerahan di dahinya. Tapi yang menakutiku bukan luka itu, melainkan keputusasaan, yang tak pernah kulihat sebelumnya, di matanya.
Aku melompat berdiri dan membantu menopang tubuhnya yang kelelahan untuk duduk, seakan ada simpul yang terbelit dalam perutku. Aku bertanya kepadanya apa yang telah terjadi, tapi dia tak menjawab, matanya nanar. Aku bergerak untuk mengambil obat-obatan, tapi dia menangkapku.
Dia menatapku dengan sorot mendamba dan menggerakkan tangannya untuk membelai wajahku.
“Ai Qing, begitu kamu bebas, pergilah ke tempat Pusydeva. Dia akan melindungimu dengan semua yang dia miliki.”
Dia tiba-tiba menarikku ke dadanya. Jantungnya berdebar lebih kencang daripada biasanya.
“Buddha yang Maha Pengasih telah mendengar doaku dan mengirimkanmu kemari. Meski kurang dari satu bulan, Rajiva sangat bersyukur sehingga dia tak meminta apa pun lagi.”
Finalitas dalam kata-katanya membuat darahku mendingin. Hal yang paling kucemaskan telah terjadi. Aku berbalik dan menatap matanya dalam-dalam, menggigit bibirku untuk membantu diriku sendiri merasa lebih tenang dan berkata:
“Rajiva, katakan padaku, apa kau sedang memikirkan cara untuk mati?”
Dia berjengit dengan kaget, kedukaan menggelora untuk memenuhi matanya, namun dia buru-buru memalingkan muka. Berusaha sebaik mungkin untuk mendiamkan bahunya yang gemetar.
“Ai Qing, jangan bicara sembarangan. Bagaimana bisa aku -”
“Rajiva, apa kau sudah lupa tentang misi hidupmu untuk mempromosikan Buddhisme dan membantu orang-orang dalam menyeberang (T/N: mencapai Nirvana)?” Aku menyelanya dan berseru dengan ssegenap kekuatanku, “Apa kau sudah lupa kalau masih ada tak terhitung banyaknya orang yang menderita di Dataran Tengah? … Dan aku, aku bersedia meninggalkan keluargaku, tanpa memedulikan radiasi, dan menyeberangi seribu tahun demi bisa berdiri di sisimu, semua itu bukan untuk ditukarkan hanya dengan satu bulan bersamamu.”
Aku menggeram, tak pernah merasa semarah ini. “Kalau kau mencintaiku, hiduplah seperti kalau merupakan hal luar biasa untuk melakukannya demi cinta! Mati adalah hal termudah untuk dilakukan. Untuk bertahan hidup, untuk hidup dan memenuhi misi hidupmu, hanya orang paling kuat yang bisa melakukannya.”
Aku mencengkeram tangannya dan menggigit keras-keras. Rasa asin menyerbu ke dalam mulutku bersamaan dengan air mata, pahit dan asam.
Kuangkat kepalaku dan mengamati dia berusaha menekan getaran pada tubuhnya. Aku berteriak, “Rajiva, jangan lupa, misimu itu lebih penting daripada hidupmu!”
Rajiva akhirnya menatapku secara sejajar, awan menyingkir dari matanya untuk memberi jalan bagi berkas cahaya harapan yang hangat. Dia tiba-tiba meledakkan tawa ceria, kemudian berkata dengan suara yang santai:
“Baiklah! Ai Qing, mari kita hidup, mari kita sama-sama hidup!”
Melirik ke bawah pada bekas gigi di bagian punggung tangannya, dia mengangguk dengan lebih tegas, “Setelah ini, Rajiva takkan pernah menyebutkan kata ‘mati’ lagi.”
Kemudian dia kembali pada kelembutannya yang biasa, tawanya berubah menjadi seulas senyum lembut, “Ai Qing, kau selalu tahu bagaimana cara untuk menyadarkan Rajiva.”
Aku menghembuskan napas dengan lega, tapi langsung pergi untuk mencari obat untuk dioleskan pada lukanya. Aku mulanya hanya berniat meninggalkan bekas gigitan, tapi aku tak tahu kenapa aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri tadi.
“Ai Qing, kamu bersedia meninggalkan keluargamu, tak memedulikan radiasi, dan menyeberangi seribu tahun demi bisa bersamaku. Apakah seribu tahun adalah jarak antara bumi dan Langit? Apakah keluargamu sedang menunggumu di Langit? Dan apa itu ‘radiasi’?”
Tangan yang sedang mengoleskan krim obat padanya tiba-tiba gemetar. Aku mendongak menatap sepasang matanya yang bertanya-tanya.
“Rajiva….”
Dengan lembut dia meletakkan satu jari pada bibirku, dan tangan lainnya menarikku ke dadanya.
“Membocorkan rahasia Langit bukanlah hal kecil. Kamu akan dihukum oleh Sang Buddha. Jadi kamu harus berhati-hati di masa mendatang. Bahkan denganku, kamu tak seharusnya mengatakannya.”
Malam itu, aku berusaha untuk tidur. Kalimat yang paling umum diucapkan oleh para tokoh utama wanita pada kisah-kisah perjalanan waktu Dinasti Qing adalah: aku tahu hasilnya tapi tidak prosesnya. Bagiku, 1.650 tahun bila dibandingkan dengan masa kekuasaan Dinasti Qing itu memiliki perbedaan yang terlalu jauh dalam sejarah. Bahkan ribuan kata singkat dalam buku-buku sejarah (tentang Dinasti Qing) tidaklah memadai untuk memastikan kebenaran, apalagi beberapa baris yang kami punya tentang Rajiva dari autobiografi yang ada. Apa proses yang ada di balik beberapa patah kata itu, aku bahkan tak bisa menerkanya.
Di tengah malam terdengarlah desahan samar. Itu adalah desahan Rajiva. Mungkin dia juga bisa merasakan kegelisahanku. Akan tetapi, kami saling memahami satu sama lain dan dalam diam menantikan datangnya pagi.
Hanya sehari setelahnya, Rajiva kembali dipanggil oleh Lu Guang. Begitu dia pergi, seorang gadis pelayan langsung membawakan baju ganti untukku, berkata bahwa baju ini adalah gaya paling baru. Dia bahkan menepuk-nepuknya, mata dan pergerakannya jelas-jelas memberiku petunjuk. Dengan penasaran, aku mengangkat baju-baju itu dan menemukan sehelai kain yang terdapat tulisan di atasnya tersembunyi di dalam lapisan-lapisan baju.
Karakter-karakter Tokharia-nya merupakan coretan berantakan dan terburu-buru:
Kemarin, Kakak telah berdebat ganas dengan Lu Guang. Lu Guang kemudian memakaimu untuk mengancam dia. Kakak membenturkan kepalanya pada pilar dalam kemarahan, berusaha membunuh dirinya sendiri, namun dengan cepat berhasil dihentikan. Lu Guang telah menyerah dalam usahanya membujuk Kakak dan sebagai gantinya sekarang akan mencari cara untuk mencelakainya. Dalam waktu tiga hari, Kakak akan dibawa ke Kuil Cakuri bersama dengan satu rombongan dari Lu Guang. Tak peduli apa pun yang Lu Guang minta, kamu harus meyakinkan Kakak agar menyetujuinya untuk sementara ini. Sekarang, hanya kamu yang bisa membujuk Kakak. Ingatlah itu!
Membenturkan kepalanya pada pilar dalam kemarahan… jadi memar itu adalah…. Kain itu terjatuh dari tanganku dan berkelepak jatuh ke tanah seperti sehelai daun mati. Langit di luar masih biru, angin panas siang hari berhembus masuk. Punggungku berkeringat dan membuat pakaianku menempel pada kulitku, amat sangat tidak nyaman.
Lu Guang memakaimu untuk mengancam dia.
Apakah ini yang paling Rajiva takutkan? Semuanya tiba-tiba menjadi samar di depan mataku, dan hidungku terasa menyengat. Tubuh sekurus itu bersedia menahan badai hanya demi memberiku satu hari tanpa hujan. Ai Qing, oh Ai Qing, kau adalah orang dari abad ke-21, jadi lupakanlah soal sejarah dan pakai semua kekuatanmu untuk menyelamatkan orang yang kau cintai!
Kali ini dia kembali dengan cepat, wajahnya masih pucat seperti sebelum-sebelumnya, namun tatapannya tegas.
“Ai Qing, dia telah berjanji untuk melepaskanmu. Kamu bisa pergi besok.”
Kesukacitaan melintas di wajahnya yang berduka. Dia mengangkat sebelah tangan untuk menyentuh pipiku – sebuah gestur yang sering dipakainya saat kami bersama.
“Begitu kamu keluar, pergilah cari Pusydeva. Aku akan menemuimu saat aku bebas.”
“Rajiva, apa yang telah kau janjikan kepadanya agar dia melepaskanku?”
“Tiga hari kemudian, aku akan menemani Lu Guang untuk pergi ke Luil Cakuri.”
Aku memalingkan wajahku dan menelan air mata yang sudah siap untuk mengalir. Menarik napas, lalu berbalik padanya.
“Rajiva, kau bersedia mencelakai dirimu sendiri di depan dia demi aku. Tidakkah dia akan tahu kalau dia bisa dengan mudah memanfaatkan aku untuk mengancammu, jadi kenapa dia mau melepaskanku?”
Aku mendesah. Rajiva memang pintar, tapi dia selalu percaya kalau manusia terlahir baik, jadi dia tak memahami metode-metode licik ini.
“Aku takut kalau begitu aku meninggalkan pintu ini, aku takkan bisa mencapai tempat Pusydeva.”
Wajahnya memucat. Dia menggigit bibirnya dan memejamkan matanya dengan pilu.
“Kukira setidaknya aku bisa menolongmu. Bukannya Rajiva belum memikirkan tentang bahaya itu, tapi sejujurnya aku tak tahu cara lain untuk membantumu keluar dari sini, jadi aku hanya bisa menyuruh diriku sendiri untuk percaya pada Lu Guang sekali ini saja.”
Dia membuka matanya dan menatap sedih padaku,. “Maaf, Rajiva tidak berguna dan tak bisa melindungimu….”
“Jangan cemas tentang aku. Aku punya cara untuk melarikan diri.” Aku menyandar ke dalam pelukannya dan mendengarkan detak jantungnya, “Hanya saja, aku sedang memikirkan cara tentang bagaimana kita bisa melarikan diri bersama-sama.”
Kami meringkuk bersama di atas karpet saat malam tiba. Para gadis pelayan masuk untuk menyalakan lentera, tapi Rajiva menyuruh mereka untuk pergi. Sekarang adalah bulan sembilan, musim panas yang gerah sudah lama pergi, dan malam di musim gugur tak seperti hari-hari di musim dingin dengan suhu minus celsius. Di dalam istana yang besar ini, kami hanya bisa mencari kehangatan dari satu sama lain.