Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 49
“Ai Qing, kamu cerdas, penuh semangat dan baik hati, mampu melakukan begitu banyak hal menakjubkan. Bagaimana mungkin bisa ada wanita seperti itu di dunia ini! Rajiva selalu berpikir kalau kamu adalah makhluk kahyangan sejak berusia tiga belas tahun. Kali ini, kamu muncul saat Rajiva dilarang melanggar Sila, membuatku lebih yakin lagi bahwa kamu diturunkan kemari oleh Sang Buddha. Karenanya, meski ini adalah pelanggaran atas salah satu Sila – menghabiskan malam bersamamu – pemikiran bahwa kamu adalah murid sang Buddha telah membantu meredakan rasa bersalahku.”
Punggungnya menghadapku dan bahunya bergetar. dia terdiam dalam waktu lama sebelum melanjutkan, “Tetapi sekarang, kamu mengatakan kepadaku kalau kamu bukan makhluk kahyangan. Semua keanehan itu adalah karena kamu berasal dari masa depan. Kamu adalah, pada kenyataannya, seorang wanita biasa dan bukan murid Sang Buddha. Bila demikian, kali pertama Rajiva melanggar Sila bisa dimaafkan sebagai berada di bawah tekanan, tetapi untuk melakukannya lagi dan lagi setelah itu, Rajiva telah merusak disiplin semumur hidup sebagai seorang praktisi. Rajiva telah berdosa karena kalah pada keinginan dan pasti akan disalahkan oleh sang Buddha. Rajiva merasa malu dan penuh dengan penyesalan.”
Seakan aku telah menabrak sesuatu, tubuhku menjadi mati rasa. Aku nyaris tak percaya kalau dia akan mengucapkan kata-kata seperti itu. Aku menatap hampa pada punggung rampingnya, lupa untuk menangis.
“Rajiva, apa kau menyesal mencintaiku, menyesal karena leluasa saat memelukku setiap malam karena berpikir kalau aku adalah bidadari? Sekarang, mengetahui kalau aku hanya seorang gadis biasa, apa kau tak lagi mencintaiku?”
“Rajiva selalu berbakti kepada Buddha dan tak menginginkan yang lainnya. Tetapi roh jahat telah membutakanku, membuatku jadi memiliki ‘hubungan’ denganmu. Bagaimana bisa saat-saat kesenangan yang singkat itu cukup bagiku untuk mundur dari jalanku! Rajiva takkan dibodohi lagi oleh kecantikan dan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk berbakti kepada Buddha. DOsa melanggar Sila takkan pernah bisa ditebus; Rajiva hanya bisa menyesali untuk seluruh sisa hidupnya. Jadi, pergilah! Rajiva takkan pergi denganmu!”
Berjuang untuk berdiri, aku terhuyung-huyung di hadapannya dan mencengkeram lengan bajunya. menatap ke dalam mata yang berusaha sekuat mungkin untuk menghindariku.
“Aku tak memercayaimu! Kau hanya mengatakan hal-hal ini untuk membuatku pergi, kan?”
“Ai Qing, terima kasih karena telah mengatakan kepadaku tentang misi hidup dan takdirku.”
Dia memejamkan matanya dan mulai merapal dalam hembusan napasnya:
“Mengenai penyebab dari semua penderitaan,
akarnya adalah keserakahan dan keinginan.
Bila keserakahan dan keinginan dilenyapkan,
penderitaan takkan punya tempat untuk tinggal.
Melenyapkan semua penderitaan –
inilah yang disebut aturan ketiga*
Demi aturan ini, aturan pemusnahan,
seseorang melatih sang jalan.
Dan saat dia terlepas dari belenggu penderitaan,
inilah yang disebut mencapai pembebasan.”
(T/N: aturan ketiga mengacu pada Empat Kesunyataan Mulia dalam Buddhisme. Rajiva membacakan sebuah bait dari Sutra Teratai, yang nantinya akan dia terjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin dan versi ini akan tersebar luas di Asia Timur. Terjemahan Inggrisnya berasal dari versi Mandarin Kumarajiva oleh Watson, Burton. “Chapter 3, Simile and Parable.” The Lotus Sutra, Columbia University Press, 1993, pp. 72)
“Ai Qing, mari kita melepaskan diri dari belenggu penderitaan! Bila ini adalah takdir, kenapa harus melawan?”
“Rajiva, aku hanya ingin kau menjawab ini: Apa kau mencintaiku?”
Dia membuka matanya, ekspresinya sarat dengan penderitaan, dan perlahan berkata, “Dahulu kala, ada seorang tawanan yang berusaha melarikan diri. Sang Raja mendengar kabar itu dan mengirimkan gajah murka untuk mengejarnya. Saat berada dalam pelarian, si tawanan bertemu dengan sumur kering dan terjatuh ke dalamnya. Beruntung, di tengah-tengah jatuhnya, dia berhasil berpegangan pada sepetak rumput yang tumbuh di dalam sumur dan bertahan menggelantung di udara. Di dasar sumur terdapat seekor naga keji yang lidahnya mengeluarkan racun. Di dekatnya terdapat lima ular berbisa yang menunggu untuk memangsanya. Juga terdapat sepasang tikus hitam dan putih yang menggerogoti rumput tempatnya berpegangan. Takut kalau si naga akan menyemburkan racun kepadanya bila dirinya jatuh, si tawanan ingin memanjat keluar namun takut bila gajah yang marah menginjak dirinya. dia ingin berpegangan pada rumput tetapi takut kalau tikus-tikus akan membuatnya putus, dan kemudian ular-ular akan menyerangnya. Tetapi betapa beruntungnya, kebetulan ada sebatang pohon besar dengan cabang-cabang menggelantung di atas mulut sumur. Pada cabang pohon itu terdapat sebuah sarang lebah. saat lebah-lebah emngumpulkan madu, setitik madu mendarat ke dalam mulut si tawanan. Pada saat itu, merasakan madu yang manis tersebut, si tawanan melupakan tentang semua kesulitan yang mengelilingi dirinya: gajah, naga, ular-ular, dan tikus-tikus.”
(T/N: kisah ini adalah sebuah parable yang berasal dariIndia kuno tapi kemudian dimasukkan ke dalam berbagai tradisi dan agama di seluruh dunia, dari timur ke barat. (Sumber: Zin, Monika, ‘The Parable of ‘The Man in the Well’. Its Travels and Its Pictorial Traditions from Amaravati to Today.’ Art, Myths, and Visual Culture of South Asia, Warsaw Indological Studies Series. diedit oleh Piotr Balcerowicz dan Jerzy Malinowski, vol. 4, Manohar Publishers & Distributors, 2011, pp. 33–93.). SUmber yang sama juga menyatakan bahwa sebuah versi Buddhis ditemukan dalam koleksi parabel dari sutra-sutra yang diterjemahkan oleh Kumarajiva.)
Sepasang matanya yang kelabu itu sejernih danau saat menatapku: “Ai Qing, tawanan itu adalah kita. Gajah yang marah mewakili ketidakkekalan (T/N: Anicca dalam Bahasa Pali atau Anitya dalam Sansekerta. Merupakan yang pertama dari tiga keberadaan / Trilakshana). Tikus putih mewakili siang dan tikus hitam mewakili malam. Sepetak rumput itu adalah kehidupan. Naga di dasar sumur mewakili dosa, dan ular-ular adalah lima kelompok kemelekatan (Panca Khandha dalam Bahasa Pali). Madu di atas pohon mewakili kesenangan karena terpuaskannya keinginan. Akibat keserakahan kita, kita menghabiskan siang dan malam dibutakan oleh keinginan, melupakan semuanya: ketidakkekalan, kehidupan, dan lima kelompok kemelekatan.”
(T/N: Panca Khandha adalah lima kelompok faktor yang membangkitkan keinginan atau kemelekatan, yaitu kelompok jasmani, kelompok perasaan, kelompok pencerapan, kelompok bentuk pikiran, kelompk kesadaran)
Dia duduk dengan kaki bersila, mata terpejam, tidak lagi menatapku saat dia berkata, “Rajiva akan menghabiskan sisa hidupnya dalam meditasi, satu hati dan satu pikiran kepada Buddha. Meditasi jauh lebih unggul daripada kesenangan lima unsur kemelekatan.”
“Berhenti… aku akan pergi….”
Aku berdiri, merasa sekujur tubuhku membeku.
“Kau telah memutuskan untuk tidak pergi, jadi bila aku tinggal, aku hanya akan menjadi beban bagimu. Kalau kepergianku bisa membuatmu melatih Buddhisme dengan sepenuh hati; bila itu bisa membantumu menghilangkan semua perasaan bersalahmu, maka aku akan pergi.”
Aku mengganti baju dengan pakaian ‘malam’ hitamku dari zaman modern dan mengenakan ranselku, tapi berakhir dengan berdiri di pintu, menatap sosoknya dengan berat hati. Saat ini sudah tengah malam; semua cahaya sudah padam kecuali untuk seberkas cahaya rembulan yang tersaring lewat jendela dan menerakan kilau lemah pada siluetnya yang sepi. Dia terus melantunkan mantra tanpa jeda, seakan bibirnya tak tahan untuk tetap diam. Suaranya rendah namun kesunyian malam mengubah suara itu menjadi bunyi kesedihan. Dia menolak untuk beristirahat, menolak untuk membuka matanya, menolak untuk bicara bahkan sepatah kata pun denganku.
Saat aku mengganti pakaian, aku sudah memutuskan tindakanku yang berikutnya, ke mana aku harus pergi dan apa yang harus kulakukan begitu aku keluar dari sini. Rajiva, kau sudah siap menerima takdirmu karena kau berpikir hal itu tak bisa diubah. Tapi aku berbeda. Aku berasal dari abad ke-21. Aku takkan menyerah atas perasaanku dengan sebegitu mudahnya. Kalau kau tak mau aku berada di sisimu, maka aku akan mengikutimu secara diam-diam. Kalau kau bertemu dengan masalah, aku akan membantumu. Hanya saat kau benar-benar tak membutuhkan aku lagi, barulah aku akan pergi.
“Rajiva, aku pergi. Ingatlah untuk makan tepat pada waktunya dan saat kau punya waktu senggang, lanjutkanlah dengan penerjemahannya.”
Aku ingin mengatakan lebih banyak hal kepadanya, tapi hidungku serasa terbakar. Aku terdiam untuk menghela napas dalam-dalam dan menelan air mataku. Aku tak bisa menangis sesukanya. Menangis takkan memecahkan apa pun.
Matanya masih terpejam, tapi suara-suara dari mulutnya sepertinya tak lagi menyerupai mantra apa pun. Dia mengangkat kepalanya dan cahaya rembulan menyorot ke wajahnya, sebentuk wajah yang bagaikan pahatan namun juga luar biasa kesepian.
“Ai Qing….” Dia akhirnya membuka mulutnya, namun suaranya terdengar jauh, seakan jarak seribu li memisahkan kami, “Kembalilah pada masamu dan lupakan semuanya yang ada di sini. Bagimu, Rajiva hanya sebuah sosok kuno yang sudah lama pergi.”
Aku menggigit bibirku dan menyuruh diriku sendiri agar tidak menangis, berjanji untuk takkan pernah membiarkan ada lagi air mata tanpa arti menitik.
一切有为法,
如梦幻泡影,
如露亦如电,
应作如是观
Semua dhamma yang terkondisi adalah bagaikan mimpi,
ilusi, gelembung, bayangan,
bagaikan titik embun, dan cahaya kilat.
Begitulah perenungan yang semestinya.
(T/N: Sebuah gatha dari Sutra Intan, Bab 17)
Aku tahu dia memejamkan matanya, namun aku masih mengulas senyum bodoh yang menjadi ciri khasku yang sering dipakainya untuk menggodaku.
“Rajiva, ini adalah bait kesukaanku dari terjemahanmu tentang ‘Sutra Intan’. Bersama selama sebulan, bagaikan mimpi, ilusi, gelembung, bayangan, setitik embun, melintas bagaikan cahaya kilat. Buddha berkata bahwa semuanya adalah hasil dari sebab-akibat dan keselarasan; kamu dan aku adalah sama. Tapi bagaimanapun, aku telah sangat gembira pada masa-masa kita bersama. Terima kasih.”
Tanpa mendengarkan jawabannya, aku dengan cepat berbalik dan pergi, takut kalau tekadku akan runtuh begitu mendengar suaranya. Begitu aku mencapai halaman, bermandikan dalam udara dingin tengah malam yang disinari cahaya bulan, aku masih bisa mendengar lantunannya, suara yang lembut bagai desah angin yang berhembus:
“Semua dhamma yang terkondisi adalah bagaikan mimpi,
ilusi, gelembung, bayangan,
bagaikan titik embun, dan cahaya kilat.
Begitulah perenungan yang semestinya.”
Pusydeva dan istriya keluar untuk menemuiku dengan masih mengenakan mantel, terkejut saat melihatku mengenakan pakaian hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pada saat ini, aku pasti tak tampak berbeda dengan para ahli beladiri wanita yang muncul di malam hari pada drama-drama TV historis itu; kecuali bahwa efeknya dengan cepat dirusak oleh adanya tas ransel Northface menggelembung di bahuku. Sekarang tengah malam dan lingkungan sekitar begitu sunyi; aku tahu kalau datang mengetuk gerbang kediaman Guru Negara akan mengundang banyak pertanyaan. Bila bukan karena aku memiliki sesuatu untuk diminta kepada Pusydeva, aku takkan datang kemari dan mengganggu kehidupan mereka yang damai.
Secara ringkas aku menjelaskan situasi pelarianku dan kemudian buru-buru bertanya, “Pusydeva, apa kau akan menemani sang Raja (Bai Zhen, raja Kucha saat ini) untuk pergi ke Kuil Cakuri?”
Dia mengangguk, tapi terdapat jejak kebingungan di matanya. Aku berdiri dan memohon, “Apa pun yang terjadi, kumohon bawa aku bersamamu!”
“Ai Qing!” Dia juga berdiri, suaranya serius, “Kamu sudah melarikan diri dari istana, jadi Lu Guang kemungkinan besar akan menyuruh orang untuk mencarimu. Tapi kau tidak bersembunyi dan malah inginmelompat tepat ke dalam bahaya. Jangan bodoh!”
“Pusydeva, justru karena aku melarikan diri, Lu Guang takkan menyangka kalau aku pergi ke Kuil Cakuri. Tempat yang paling berbahaya adalah tempat yang paling aman. Juga, di mata Lu Guang, aku hanyalah sebuah alat untuk memaksa Rajiva melanggar Sila dan tak punya nilai lebih dari itu. Dia mungkin penasaran dengan cara apa yang kupakai untuk kabur, tapi sama sekali tak mungkin dia akan mengirim pasukan untuk mencari seseorang yang tidak penting seperti aku.”
“Dia belum tentu berpikir kalau kau tidak penting,” Pusydeva menjejakkan kakinya dan menggelengkan kepalanya, “Dia telah mengirimkan begitu banyak wanita cantik kepada kakak, dan meski begitu, selama berhari-hari, kakak takkan menyentuh siapa pun kecuali kamu. Kemudian begitu Lu Guang mengancam akan mencelakaimu, kakak langsung menghantamkan kepalanya pada pilar. Lu Guang tidak bodoh. Dia pasti sudah menebak seberapa penting dirimu bagi kakak. Kau berjalan tepat ke dalam perangkap dengan membiarkan Lu Guang menemukanmu. Apa kau ingin menyulitkan kakak?”
“Pusydeva, kalau aku bisa kabur dari istana, maka aku pasti punya cara untuk melindungi diriku sendiri. Lu Guang takkan bisa menangkapku. Kalau aku tetap tinggal di sini dan menunggu, aku akan membuat diriku sendiri jadi gila. Kumohon padamu, bawalah aku bersamamu. Hanya bisa melihat dia saja sudah cukup bagiku. Aku takkan melakukan apa pun yang bodoh dan memberimu masalah.”
Sudut mataku terasa panas tapi aku berusaha untuk menahannya dengan sekuat tenaga. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membiarkan lagi air mata tanpa arti menitik.
“Ai Qing, aku tak keberatan dengan masalah. tapi kalau aku membawamu serta, apa gunanya itu?” Dia melunakkan suaranya dan mengulurkan satu tangan padaku, tapi kemudian menariknya kembali di tengah jalan.
“Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untuknya, tapi aku juga tak bisa meninggalkan dia. Aku hanya ingin mengikuti dia secara diam-diam, sehingga setidaknya aku bisa tahu kalau dia baik-baik saja.”
Aku memberi Pusydeva raut memohon yang sarat dengan keputusasaan, “Kalau Xiao Xuan dan anak-anak bertemu dengan masalah, apa yang akan kau lakukan? Kumohon mengertilah bagaimana perasaanku saat ini.”
Sorot mata Pusydeva menjadi agak berkabut, seakan dia sedang terlarut dalam suatu kenangan yang jauh, sebelum raut penuh duka melingkupi wajahnya saat dia menatapku. Lama kemudian, dia mengesah, “Ai Qing, kamu masih sama dengan dirimu sebelas tahun yang lalu….”
“Keberanian Nona Ai Qing sungguh mengagumkan. Saya memohon kepada Suami untuk membantunya.” Xiao Xuan telah duduk diam di samping kami sepanjang waktu ini, tapi tiba-tiba dia angkat bicara dalam Bahasa Han.
“Xiao Xuan….” Pusydeva menatap istrinya dengan seulas senyum sedih, kemudian lanjut bicara dalam Bahasa Han.
“Saya juga pernah merasakan pedihnya cinta dan sangat mengerti dengan baik perasaan Nona. Suamiku, mohon bantulah pasangan* malang ini!”
(T/N: Istilah mandarin di sini adalah鴛鴦(yuānyāng), yang terjemahan literalnya adalah sepasang bebek mandarin. Bebek mandarin dipercaya sebagai simbol pasangan seumur hidup)
“Bukannya aku tak mau membantu, tapi bagaimana aku bisa membawa dia bersamaku? Lu Guang dan putra-putranya pernah melihat Ai Qing sebelumnya. Apa yang harus kulakukan kalau identitasnya terbongkar?”
“Saya dengar sang Raja akan membawa serta selir-selirnya ke kuil, sehingga takkan aneh bagi Suami untuk juga membawa seseorang bersamamu. Suami bisa membiarkan Nona Ai Qing berdandan sebagai saya.”
Xiao Xuan terdiam untuk berpikir sejenak dan mengamatiku dengan seksama, sebelum melanjutkan dengan membujuk suaminya: “Semenjak kita menikah, saya jarang menginjakkan kaki di depan, tetapi semua orang tahu kalau saya adalah orang Han. Suami bisa mengatakan kepada orang-orang bahwa saya jatuh sakit dan harus mengenakan cadar. Mata Nona Ai Qing sama seperti mata saya, bentuk tubuhnya juga. Kalau dia menyamar sebagai saya, tak seorang pun yang akan curiga. Suami adalah Guru NEgara, siapa yang akan berani mengangkat cadar saya untuk memastikan identitas saya?”
Cerdas! Sungguh seorang wanita yang pintar! Kugenggam tangannya dengan gembira dan berkata padanya dengan nada suaraku yang paling tulus, “Itu hebat! Terima kasih, Nyonya!”
“Nona Ai Qing memiliki hubungan yang mengakar dalam dengan keluarga kami, jadi memanggil saya sebagai Nyonya terdengar terlalu formal. Mari kita bicara sebagai saudari. Saya lebih tua, jadi apakah Nona keberatan bila saya memanggil Nona sebagai Meimei (T/N: adik perempuan)?”
“Tentu saja aku tak keberatan! Ai Qing merasa terhormat bisa bersaudari dengan seorang wanita secerdas dan secantik Nyonya! Akan tetapi, aku tidak yakin siapa yang lebih tua di antara kita.” Aku buru-buru mengaku, “Umurku dua puluh lima tahun!”
“Xiao Xuan, dalam hal usia, kamu harus memanggil dia ‘Jiejie (T/N: kakak perempuan). Dia setahun lebih tua daripada kamu,” Pusydeva berkata seraya tertawa.
“Tapi, tapi, dia tampak tidak lebih dari delapan belas atau sembilan belas tahun!” ujar Xiao Xuan kagum saat dia mengangkat tanganku, gerakannya gemulai.
“Dia itu penuh dengan kejutan dalam banyak tempat yang tak terduga.”
Aku memberi isyarat pada Pusydeva dengan mataku. Dia berhenti tertawa dan tersenyum lembut pada istrinya, “Sekarang sudah larut. Kamu harus membawa Ai Qing beristirahat. Besok, kita persiapkan segala macamnya sehingga kita bisa berangkat lusa.”
Malam itu, aku kembali ke kamar yang sama dengan sebelumnya. Seperti yang sudah kuduga, semuanya tetap sama, bahkan lembar-lembar kertas yang berisi coretan acak-acakan Pusydeva. Waktu telah mengubah kertasnya menjadi kuning dan karakternya memudar. Kupandangi halaman-halaman itu, larut dalam nostalgia, ketika Xiao Xuan tiba-tiba mulai bersesnandung di sampingku. Meski nadanya sedikit salah, melodinya jelas familier. Lagunya adalah ‘My Dearest Baby!’ Terkejut, aku berpaling untuk menatapnya.
“Suami sering menyanyikan lagu ini untuk membujuk anak-anak tidur.”
Dia tersenyum, matanya yang jernih menatapku lurus-lurus, tampak ingin menarik perhatianku.
“Suami pernah bertanya kepada saya apakah ada lagu nina bobo semacam ini (di Han), tapi saya menyatakan tidak tahu.”
Tampaknya hal ini telah menjadi simpul di dalam hatinya.
“Xiao Xuan, memang akulah yang telah menyanyikan lagu ini, dan kedua kakak beradik itu pernah mendengarnya.” Aku bisa merasakan maksudnya, jadi lebih baik aku jujur: “Hal itu sudah lewat bertahun-tahun yang lalu, jadi semuanya hanya tinggal ingatan samar. Yang paling penting adalah masa kini. Saat ini, kau dan kedua anak itu adalah keluarga terdekatnya dan orang yang paling ingin dia lindungi.”
Dengan lembut aku meraih tangannya dan berkata tulus, “Aku, juga, punya seseorang yang paling ingin kulindungi. Aku telah kehilangan kesempatanku sepuluh tahun yang lalu. Tapi sekarang, sekarang aku takkan melepaskannya.” Aku menatap langit gelap di luar, kesedihan menggelegak dalam hatiku, “Kecuali bila dia tak membutuhkanku lagi….”
Xiao Xuan pergi dengan raut lega. Tapi tentu saja, dia seharusnya gembira.
Aku duduk di atas ranjang, larut dalam pemikiran, dalam waktu lama. Semua ingatan tentang kamar ini kembali dan memenuhi hatiku, sedikit demi sedikit. Ingatan-ingatan pada masa-masa itu bagaikan uap dan dalam sekejap mata, sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun. Si bocah kecil dari waktu itu, yang setiap pagi akan duduk bersila di samping ranjangku, menungguku terbangun, sekarang adalah seorang pria dengan kerutan di dahinya, tenang dan terkendali.
Aku tiba-tiba teringat kata-kata ayah mereka: Pusydeva genit tapi juga jenis orang yang bertanggungjawab atas setiap tindakannya, dan meski dia mungkin tampak sebagai seorang pemuda yang bodoh dan gegabah saat ini, waktu akan berlalu dan dia akan menjadi dewasa. Lalu untuk Rajiva, dia jauh terlalu pandai dan tak pernah benar-benar menderita dalam hidupnya. Berpikir terlalu banyak, tapi tak pernah membagi satu pun di antaranya dengan siapa pun. Sifat semacam itu kelak akan mendatangkan penderitaan baginya.
Aku tersenyum pahit. Sepuluh tahun kemudian, kekhawatiran Kumarayana telah menjadi kenyataan.
Rajiva, seberapa besar yang telah kau tekan di dalam hatimu? Apa yang sedang kau lakukan sekarang? Apa kau mungkin sedang menatap langit berbintang dan menunggunya berubah menjadi fajar? Saat aku pergi, dengan sengaja aku tak menatapmu, takut kalau tidak begitu aku takkan sanggup pergi. Aku menghibur diriku sendiri dengan pemikiran bahwa kau hanya mengucapkan kata-kata keras itu untuk mengusirku pergi. Meski kau tak pernah sekali pun mengucapkan kata ‘cinta’ kepadaku, aku tahu kalau kau telah mencintaiku sejak kau mengangkat kuas dan melukis potretku. Kau mencintaiku, bukan karena aku adalah bidadari, atau karena aku adalah murid Sang Buddha, tetapi hanya karena aku adalah wanita pertama dan satu-satunya yang pernah memasuki hatimu.
Aku mendesah berat dan berusaha mendorong semua kecemasan dalam hatiku ke luar. Aku hanya bisa memakai alasan-alasan itu untuk dengan mati-matian meyakinkan diriku sendiri. Kalau tidak, alasan apa yang akan kupunya untuk mengikuti dirinya?