Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 51
Jarak dari benteng Kucha menuju Kuil Cakuri hanya empat puluh li dan biasanya akan membutuhkan waktu perjalanan satu hari. Akan tetapin menunggu Lu Guang telah membuat kami berangkat cukup telambat pagi itu dan kecepatan perjalanan kami seperti kecepatan kura-kura, jadi sekitar pukul empat siang, kami harus berhenti dan menginap di sebuah desa kecil. Ini berarti kami takkan tiba di kuil itu hingga keesokan harinya.
Desa itu sangat kecil, jadi sekelompok besar pelayan pun sibuk mendirikan perkemahan dan memasak di samping Sungai Tongchang. Segera, kepulan asap melayang naik dan menyebar ke seluruh barisan tenda.
Aku diberitahu agar jangan meninggalkan tenda begitu aku berada di dalam. Meski aku benar-benar ingin melihat Rajiva, aku harus bersabar dan tidak membiarkan identitasku ketahuan. Pusydeva sudah pergi untuk bergabung dengan Lu Guang dan Bai Zhen untuk makam malam. Dia telah berjanji akan membantuku memberi Rajiva krim obat untuk memar. Kemarin, aku sudah meminta Xiao Xuan untuk mencarikan salep obat terbaik untuk berjaga-jaga. aku tak menyangka akan harus memakainya begitu cepat.
Xiao Xuan telah mengatur seorang gadis kepercayaan yang dia bawa bersamanya dari Chang’an, seorang gadis Han bernama Mi-er, untuk melayaniku. Aku makan malam tanpa benar-benar merasakan apa pun, sebelum membiarkan Mi-er melepaskan aksesoris rumit yang telah Xiao Xian jalin ke rambutku pagi ini, sehingga aku bisa menggerai rambutku seperti biasanya. Di luar sudah semakin gelap, di mana kau bisa mendengar suara-suara nyanyian, tarian, dan tawa cerah nan ceria. Lu Guang memperlakukan perjalanan untuk mengamati ritual Buddhis ini seperti sedang bertamasya dan telah membawa bersamanya begitu banyak wanita penghibur untuk bernyanyi. aku penasaran apakah dia menghentikan siksaannya kepada Rajiva selama makan malam.
Rajiva, begitu dekat namun tak bisa melihat dan menghiburmu.
Aku sungguh membenci diriku sendiri karena begitu tak berguna. Semua pengetahuan sejarah di kepalaku ini, namun aku tak bisa menyelamatkan orang yang kucintai.
Aku menatap pintu masuk tenda dengan pikiran kosong dalam waktu lama. Waktu berlalu dengan perlahan. Aku tak tahu lagi sudah berapa lama aku duduk seperti itu. Tiba-tiba, seseorang mengangkat kelepak tenda. separuh dari tubuh Pusydeva muncul. Wajahnya merona dan langkahnya terhuyung. AKu bergegas mendekat dan bahkan dari jarak yang jauh, aku masih disergap oleh bau kuat alkohol pada dirinya.
Tepat saat aku akan mengulurkan tangan untuk memapahnya, aku menyadari kalau sudah ada seseorang yang memeganginya dari belakang. Aku tak bisa melihat siapa orang itu dalam kegelapan, jadi aku buru-buru menaikkan cadarku, takut kalau aku akan dikenali.
Saat tepian jubah coklat terlihat, jantungku mulai berdebar gila-gilaan. Sosok tinggi kurus itu memapah Pusydeva. Cahaya redup dari lampu minyak menegaskan kontur tajam di wajahnya serta mata sedih nan dalam yang sedang mengamatiku lekat-lekat.
Seakan seeorang telah menekan semua titik totokanku, aku berdiri membeku di sana, tak mampu membentuk kata-kata. Aku tidak melihat dia hanya selama dua hari. Bagaimana bisa dia menjadi begitu kurus?
“Ai Qing, aku sudah membawa dia kembali padamu.”
Pusydeva tiba-tiba membuka matanya dan menggumamkan sesuatu dengan tidak jelas.
Kami sama-sama pulih dalam sekejap. Dengan susah payah, Rajiva membawa Pusydeva ke dalam tenda dan menurunkan dia ke atas ranjang darurat. Dia kemudian mengedarkan pandangan dan menyuruh Mi-er keluar untuk beristirahat.
“Biar kukatakan padamu, aku memberikan dia kepadamu sepuluh tahun yang lalu karena kau mencintai dia lebih dalam dan lama daripada aku,” Pusydeva menolak untuk berbaring diam, terus menggumam dan berusaha untuk duduk. Rajiva harus memeganginya agar berbaring. Dia kemudian mencengkeram jubah Rajiva dan berteriak, “Dia tak seharusnya jatuh cinta kepadamu! Lihatlah bagaimana keadaannya sekarang gara-gara kamu! Dia belum memejamkan matanya selama berhari-hari, bahkan jatuh pingsan hari ini.”
Rajiva memberi adiknya tatapan lembut dan berbisik, “Kamu telah bekerja keras hari ini, jadi tidurlah.”
“Aku sudah berjanji kepadanya kalau aku akan menemukan seorang wanita yang baik dan hidup bahagia. Aku menepati janjiku, tapi bagaimana dengan dia?” Pusydeva menjatuhkan kepalanya ke ranjang, namun tangannya masih memegangi jubah Rajiva erat-erat, tidak mau melepaskan, matanya tidak fokus, “Dia mencintaimu, tapi cinta itu tak ditakdirkan untuk berhasil. Kamu tak bisa melindungi dia, kamu tak bisa memberinya apa pun, aku tak seharusnya menyerah….”
Rajiva menolehkan kepalanya untuk menatapku dan membiarkan Pusydeva memegangi jubahnya tanpa mengatakan apa-apa. kesedihan di dasar matanya membuncah bagai sungai yang akan meluap, namun dia berusaha mendorongnya ke belakang ke dalam kolam-kolam tak berdasar itu.
“Dia tak seharusnya jatuh cinta kepadamu….” Pusydeva melepaskan tangannya, masih menggumamkan sesuatu yang tidak jelas dengan mata terpejam, dan pada akhirnya tertidur.
Kami tetap duduk seraya saling berpandangan. Mata kami menyampaikan ribuan kata. Waktu seakan berhenti, suara menjadi sunyi, seolah hanya dia dan aku yang ada di antara langit dan bumi ini. Kuharap kami bisa saling menatap seperti ini saja hingga akhir masa, tanpa kekhawatiran, tanpa memikirkan tentang masa depan.
Aku tak tahu sudah berapa lama aku menatap dirinya, sebelum aku ingat untuk bertanya kepadanya:
“Bagaimana lukamu?” / “Kenapa kamu pingsan?”
kami sama-sama terdiam, tertegun pada bagaimana kami telah mengajukan masing-masing pertanyaan pada saat bersamaan.
“Aku baik-baik saja.” / “Aku baik-baik saja.”
Kami bahkan saling menjawab pada saat bersamaan. Hal itu membuat kami tertegun, pemahaman dalam diam samar yang kami miliki ini. Kami kemudian saling menatap mata satu sama lain sebelum meraih maju untuk merangkum diri kami ke dalam pelukan. Begitu wajahku menyandar pada dadanya, aku memejamkan mataku dengan tidak percaya. Sudah lewat berapa lama sejak kali terakhir aku berada dalam dekapannya? Aku tak lagi ingin membuka mataku, takut kalau semua ini hanyalah ilusi. Seandainya saja pelukan ini bisa berlangsung selamanya, aku bersedia tinggal di dalam pelukannya hingga lautan mongering.
“Ai Qing….” Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sebelum dia memecahkan kesunyian, “Kenapa kamu tidak kembali?”
“Kalau kau menyuruhku pergi dan aku pergi, maka aku masih punya muka macam apa?”
Aku harus memakai taktik ini untuk mengubah subyek dan menghindari pertanyaan yang tak ingin kujawab.
“Tapi kau telah meletakkan dirimu dalam bahaya dengan berada di sini, dan Rajiva tak punya cara untuk melindungimu….” Dia mengesah sedih, teguran tampak di matanya namun hanya sebagian, karena sisanya adalah ketidakberdayaan.
Terdapat bekas cakaran di tulang pipi kanannya, yang telah menjadi merah dan bengkak. Dibuat pilu oleh pemandangan itu, dengan lembut aku menyentuh pipinya namun masih berupaya membiarkan seulas senyum tampak di wajahku, “Jangan lupa, meski aku mungkin bukan makhluk kahyangan, aku masih berasal dari masa depan. bahkan bila aku tak bisa membawamu pergi, aku masih bisa melindungi diriku sendiri.”
“Ai Qing!” Dia menangkupkan tangannya pada jemari yang membelai wajahnya dan mengamatiku secara seksama. Menelan perasaan-perasaannya tampaknya telah membuat suaranya menjadi parau, “Aku tak bisa pergi bersamamu karena –”
“Aku mengerti. Karena prinsip dan aspirasiku. aku takkan lagi menyuruhmu untuk menyerah atas semua itu. Sebelumnya aku terlalu tamak, ingin mengubah sejarah sehingga kita bisa terbang bebas bersama-sama. Aku tahu sedikit tentang masa depanmu. Catatan sejarah hanya berisi beberapa baris, samar dan dipenuhi oleh banyak rumor. Aku ingin melarikan diri, takut menghadapi masa depan yang penuh dengan ambiguitas. Tetapi aku sudah lupa kalau kau bukan orang biasa. kalau kau harus menyerah atas prinsip dan aspirasimu, kau takkan lagi menjadi dirimu. Bahkan bila catatan-catatan sejarah tentang dirimu penuh dengan kesalahan, ada satu hal yang pasti: Semua naskah yang telah kau terjemahkan elegan dan jelas, dan semuanya masih beredar luas 1.650 tahun kemudian. Kalau takdir telah mengatur semuanya untuk menjadi demikian, maka aku akan mengikuti dan berhenti menentang kehendak Langit.”
Aku melepaskan diri dari dadanya sehingga aku bisa menatap sepasang matanya yang jernih dan sedalam danau. Pria ini, aku tak mampu mencari cara untuk mengurangi cintaku kepadanya. Andai aku bisa, aku takkan menemukan keberanian untuk meninggalkan semuanya dan mengikuti dirinya.
“Tapi kumohon jangan ucapkan kata-kata seperti itu lagi kepadaku. Aku tidak takut pada apa pun, tapi aku takut mendengarmu mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata itu membuatku luar biasa sedih….”
Dia mengulurkan tangan dan membelai wajahku, matanya sarat dengan permintaan maaf dan penyesalan. bibirnya bergetar saat dia berkata, “Maafkan aku….”
“Tidak apa-apa,” aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum. Ini adalah mekanisme bertahanku di hadapan kesukaran. Tak peduli apa pun yang terjadi, aku akan menyambutnya dengan senyuman, bahkan bila tersenyum takkan berguna untuk memperbaiki situasi.
“Di masaku, kaum wanita bebas untuk membuat keputusan mereka sendiri dan tidak harus mengandalkan lelaki untuk semua hal. Aku adalah diriku sendiri. Tak satu pun kata yang kau ucapkan yang akan bisa menghentikan aku bertindak sesukaku. Bahkan bila aku jatuh dengan kepala duluan di masa mendatang, itu akan menjadi akibat dari perbuatanku sendiri dan takkan ada hubungannya denganmu. Kau tak perlu membuat janji apa pun, tak perlu melindungiku, dan juga tak perlu merasa cemas kalau aku akan menyalahkanmu suatu hari nanti.”
“Ai Qing, kau – Bagaimana Rajiva bisa setidakbertanggungjawab itu!”
Dalam kemarahannya, dia tak mampu mengendalikan suaranya dari meninggi. Jakunnya baik turun dengan marah dan matanya menyala-nyala. dia menarik napas dalam-dalam sebelum melepaskanku dan berjalan beberapa langkah, menghadapkan punggungnya padaku. Bahunya gemetar saat dia menatap lampu minyak dan berkata dengan suara rendah “Memang, Rajiva telah mengucapkan kata-kata itu untuk memaksamu pergi. Penghinaan, aku bisa menahannya. Tetapi Rajiva tak bisa membiarkanmu menderita bahkan sedikit pun. Kalau orang yang telah mengalami kejadian-kejadian hari ini adalah dirimu….”
Dia berhenti, bernapas berat dengan kepala setengah terangkat. Lama kemudian, napasnya akhirnya menjadi tenang dan dia berbalik untuk menghadapku, matanya sarat dengan kesedihan dan kesepian, pemandangan yang tak sanggup kulihat.
“Kamu harus meninggalkan keluargamu, meninggalkan masa depan cerah di depanmu, untuk datang kemari dan berada bersamaku. Jadi bagaimana bisa aku tak tahu apa yang harus kau korbankan. Tetapi Rajiva tidak punya kemampuan….”
Kubuka mulutku, hendak bicara, tetapi dia menyelaku, “Pusydeva memang benar. Kalau Rajiva tak bisa melindungimu, maka aku harus melepaskanmu, membiarkan kamu melindungi dirimu sendiri.”
Aku telah bersumpah untuk takkan pernah menangis lagi, tetapi setelah mendengar kata-katanya, aku jadi tak mampu mempertahankan sumpahku. Jadi dia benar mengucapkan kata-kata dingin itu untuk mengusirku – hal itu bagiku lebih bermakna daripada apa pun yang lainnya. Aku melangkah mendekatinya dan mengulurkan tangan untuk perlahan menyentuh punggungnya, suaraku lembut, “Rajiva, kau tidak begitu….” Aku berusaha untuk tersenyum demi menutupi air mata, “Kau adalah seorang pria yang memiliki kemauan dan kegigihan terkuat yang pernah kutemui. Aku akan selalu berada di sisimu, hingga kau tak lagi membutuhkan aku dalam hidupmu.”
“Bagaimana bisa kamu tidak dibutuhkan?”
Aku tak pernah melihat dia begitu gelisah. dengan tak terlalu lembut dia menarikku ke dalam dekapan erat dan menyandarkan wajahnya di puncak kepalaku: “Mata Rajiva belum pernah menutup sejak kamu pergi. Selama dua hari terakhir ini, aku terus bertanya kepada diriku sendiri: Pemikiran macam apa yang kumiliki untukmu? Selama lebih dari dua puluh tahun, gambaran dirimu selalu berada dalam hatiku bersama dengan sang Buddha. Kalau aku tidak melanggar sumpah tidak melakukan hubungan badan, maka hanya Sang Buddha yang akan mengetahui pikiran ini. Buddha mahapengampun dan telah mengizinkanku untuk merindukanmu pada setiap kesempatan. BIsa memikirkan dirimu dalam masa hidup ini, Rajiva merasa lebih dari puas!”
Dia memisahkan diri dari bahuku dan dengan seksama menatapku. jemari yang ramping membelai wajahku saat dua jejak air mata bergulir turun di pipinya, sebelum menyatu pada dagu tajamnya, yang sudah dibayangi oleh pangkal janggut.
“Setelah melanggar sumpah tidak melakukan hubungan badan, keinginanku tak lagi bisa ditekan. Sebelumnya, hanya memikirkan tentang dirimu sudah cukup karena aku tak pernah memilikimu. Tetapi sekarang, setelah mengalami kesenangan yang paling menggembirakan di dunia ini, Rajiva telah menyadari betapa tamaknya dia. Aku menginginkan lebih banyak daripada sekedar memikirkanmu. Tubuhmu, hatimu, aku menginginkan semuanya. Keinginan ini menakuti Rajiva. Sejak saat itu, kamu menjadi lebih penting daripada Buddha di hati Rajiva. Bagaimana bisa hal itu terjadi? Maka Rajiva pun mencari alasan untuk menghibur diri: Kamu adalah makhluk kahyangan. Kalau kamu dikirim turun oleh Sang Buddha, maka Buddha takkan menyalahkan.”
“Setelah mengetahui yang sebenarnya, Rajiva seharusnya mengaku pada Buddha. Tetapi pemikiranku yang pertama adalah bahwa bila kamu bukan makhluk kahyangan, maka itu berarti kamu tak memiliki kekuatan apa pun dan hanya akan menderita nantinya. Kata-kata yang waktu itu diucapkan kepadamu adalah kebohongan pertama yang pernah Rajiva ucapkan. Rasanya seakan sebilah pisau tengan dipuntir ke dalam tubuhku, begitu buruk rasa sakit karena telah mengucapkan kata-kata palsu seperti itu. Selama dua hari tanpamu, Rajiva tidak punya minat untuk membaca sutra apa pun. Hanya bisa berbaring di dipan yang pernah kita tiduri bersama, tidak memedulikan tentang makan, penuh pemikiran dan penyesalan karena melepaskanmu. Aku belum pernah merasakan kenestapaan semacam itu dalam hidupku.”
Hal itu menjelaskan bagaimana dia telah menjadi begitu kuyu dan dengan mata merah hanya dalam waktu dua hari. Siksaan yang dialaminya lebih parah daripada aku. dengan suara tercekat, aku berseru, “Rajiva….”
Dia sedikit melangkah menjauh dariku dan menaikkan lengan baju kirinya, menampakkan syal sutra Atlas yang terikat pada lengan bagian atasnya. warna-warna cerah syal itu sangat kontras dengan kulit sewarna madunya, menciptakan pemandangan yang dengan anehnya memikat.
Mata memandang lurus, dia berkata dengan penuh kesungguhan, “Saat Pusydeva memberikannya kepadaku, aku tahu kalau kamu berada di dekat sini, bahwa kamu secara diam-diam menyemangatiku untuk bertahan. Dengan itu, Rajiva akhirnya mengerti: Dari mana kamu berasal, siapa dirimu, semua hal ini tak lagi penting. Yang penting adalah bahwa kamu telah datang kepadaku, telah memberiku cinta antara pria dan wanita yang tak pernah aku minta dalam hidupku. Itu sudah cukup.
“Ai Qing, tak ada tempat lain untuk menyembunyikan perasaan Rajiva, jadi karenanya aku akan mengaku pada Buddha: aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan hati seorang pria; telah mencintaimu selama lebih dari dua puluh tahun. Bulan karena kamu adalah makhluk kahyangan. Bukan karena asal usulmu yang aneh. Tetapi karena kamu adalah Ai Qing, seorang wanita yang memiliki cengiran bodoh tetapi selalu begitu berani dan kuat, dan orang yang telah memasuki hatiku sejak aku masih kecil.”
“Rajiva….” Aku menatapnya seraya tersenyum, namun air mata terus berjatuhan, memercik ke atas lipatan-lipatan bajuku seperti bunga teratai yang merekah. Itu adalah kali pertama dia pernah mengucapkan ‘aku mencintaimu’. Kata-kata seterus-terang itu, betapa sulit pastinya untuk dia ucapkan. Kata-kata itu menyentuhku lebih daripada kata-kata manis lain yang bisa ditawarkan oleh dunia; kata-kata itu membuatku mabuk kepayang.
“Karenanya, Rajiva takkan lagi menyembunyikan perasaannya untukmu, akan berhenti mencari alasan-alasan konyol (untuk membantahnya). Aku selalu berharap untuk menjauhkanmu dari masalah, namun kau tetap saja berada di sini. Ai Qing, Rajiva tidak ingin dan tidak akan lari dari misi hidupnya. Namun Rajiva egois. Kamu telah memilih untuk datang kemari. Rajiva tak mau melepaskanmu. Akan tetapi, Rajiva sendiri tidak tahu apa yang dibawa oleh hari esok dan tak bisa membuat janji apa pun kepadamu. Jalan setelah ini hanya akan menjadi lebih sulit. Apa kamu bersedia menanggungnya bersamaku?”
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diriku sendiri, kemudian tersenyum cerah, “Beberapa ratus tahun setelahmu, dua orang rahib Han bernama Hanshan dan Shide melakukan percakapan sepertii berikut: Hanshan bertanya kepada Shide,’Di dunia ini, bila seseorang memfitnahku, menyiksaku, menghinaku, mengolokku, meremehkanku, merendahkanku, menyerangku, atau menipuku, bagaimana harus menanganinya?’ Shide menjawab, ‘Cukup tolerir dia, izinkan dia, biarkan dia, hindari dia, hormati dia, tidak memperhatikan dia, kemudian tunggulah selama beberapa tahun, dan pergilah menemui dia’.”
(T/N: Hanshan (atau 寒山 secara harafiah berarti ‘Gunung Dingin’, adalah nama yang dia berikan untuk dirinya sendiri) adalah seorang penyair yang ambil bagian dalam sebuah kumpulan puisi dari Dinasti Tang, dan Shide dikenal sebagai teman dekatnya. Xiao Chun di sini menyebutkan – lewat Ai Qing – bahwa dia adalah seorang rahib, namun itu tampaknya adalah fakta yang diperdebatkan, meski sejumlah besar puisinya memang mengacu pada Taoisme dan Buddhisme Zen. Menurut Haru, percakapan di atas tidak ada dalam salah satu puisi yang ada, dan riset lebih jauh tidak mengungkapkan sumbernya. Terjemahan inggrisnya adalah penggabungan dari milik You Zai seperti yang tertera pada 65 Days for Travelers: Wisdom from Chinese Literary and Buddhist Classics (2015), dan juga milik Xiao Laozhuo, ditambah pembacaan dari terjemahan Vietnamnya.)
Aku menggenggam tangannya dan berusaha menyampaikan rasa kegigihan dan harapan: “Yang harus kita cemaskan bukanlah kejadian pada hari esok ataupun janji-janji kosong, melainkan apakah kita akan tidur dengan baik malam ini. Kita harus menjaga semangat kita dengan baik untuk menghadapi hari esok. Sejarah segera akan membuktikan bahwa Lu Guang hanyalah seorang badut, dan bahwa kau adalah orang yang akan dihormati oleh generasi-generasi mendatang.”
“Ai Qing, orang yang membawamu ke Rajiva, tak peduli apa pun tujuannya, Rajiva berharap untuk berterima kasih kepadanya.”
Dia membungkuk dan menciumku kuat-kuat. Bibirnya seakan menyalakan mataku, alisku, pipiku; semua bagian yang disentuhnya, terasa menyengat. Ini adalah ciuman yang paling sepenuh hati yang pernah kami lakukan, di mana kami telah meninggalkan semua kekhawatiran untuk dengan tenang menghadapi angin dan hujan di luar.
“Bagus, kalau begitu mari kita menghadapi semuanya bersama-sama. Kita harus makan dengan baik dan tidur dengan nyenyak, supaya bisa memiliki tenaga besok.”
Mendadak, kami mendengar gumaman dari Pusydeva. Terperanjat, kami langsung saling memisahkan diri. Aku sudah lupa kalau Pusydeva juga ada di dalam renda ini. Setelah mengamati dia dengan seksama, aku melihat kalau dia masih tertidur, mendengkur malah. Kami pun bersitatap dan tertawa. Tiba-tiba, aku teringat dan bertanya, “Apa yang terjadi pada Pusydeva? Bagaimana dia bisa jadi semabuk ini?”
“Lu Guang memaksaku melanggar Sila untuk tidak minum-minuman yang memabukkan. Pusydeva berdiri di depanku dan meminum semua arak dari meja semua orang hingga sang Raja menyela dan membujuk Lu Guang.”
Perasaan hangat merayap naik dalam diriku, diikuti oleh sakit hati. Dia….
“Meski dia tak pernah mengucapkannya, dalam hatinya, dia sangat mencintaimu….”
“Aku tahu….” Rajiva meletakkan sehelai selimut ke atas tubuh adiknya dan memandangi wajah tidur Pusydeva dengan sayang, sebelum mengeluarkan desahan pelan, “Aku juga….”
Dia berdiri dan memelukku lagi. “Aku benar-benar ingin tidur sekarang, karena sudah tidak tidur dalam waktu sangat lama.” Dia melepaskanku dan berkata pelan, “Rajiva akan kembali ke tendanya.”
Aku mendongak, agak tertegun, “Kau… kau membiarkan aku tinggal di sini bersama dia?”
“Jangan lupa, kamu sekarang (menyamar sebagai) istrinya. Di luar semuanya adalah orang-orang Lu Guang. Aku adalah sang kakak. Tinggal terlalu lama di dalam tenda adikku akan menyebabkan kecurigaan.”
“Tapi aku… dia….”
“Aku memercayai adikku….” Setelah terdiam sejenak, dia meneruskan, “Kau harus istirahat lebih awak dan tidur dengan nyenyak. Besok, akan ada lebih banyak kesukaran yang harus kita hadapi.”
“Rajiva!” aku memanggilnya, “Ada memar-memar di tubuhmu dan luka di wajahmu. Biarkan aku mengoleskan obat padamu sebelum kau pergi.”
Dia tersenyum, mengeluarkan botol obat yang kuberikan pada Pusydeva dan mengguncangnya di depanku. “Aku sudah tinggal terlalu lama. Aku harus pergi. Tenang saja, aku akan ingat untuk mengoleskan obatnya saat aku kembali.”
“Kau harus ingat untuk mengoleskannya….”
Dia tampak teringat sesuatu, berhenti, melepaskan untaian manik akik pada tangan kirinya, dan memasangkannya ke tanganku. Benang untuk manik-maniknya terlalu panjang, jadi dia harus melingkarkannya dua kali di pergelangan tanganku. Dia membantuku mengencangkan simpulnya dan berkata, “Kelak, mari kita bagi ini menjadi dua untai, satu untuk kita masing-masing.”
Aku mengangguk. Raut licik tiba-tiba muncul di wajahnya. Dia mencondongkan tubuh dan mencuri-curi kecupan cepat di bibirku. Sebelum aku bahkan bisa bereaksi, orangnya sudah pergi, dan aku ditinggalkan sendirian, linglung dan larut dalam kenangan akan gestur yang begitu intim d antara pasangan kekasih. Aku menyentuhkan jemariku pada bibirku dan mengulas cengiran bodoh.
Meski Pusydeva begitu mabuk hingga telah hilang kesadaran, aku masih menutupi wajahku dengan cadar dan pergi ke tenda pelayan untuk tidur bersama Mi-er. Aku tidak merasa cemas untuk Pusydeva, namun untuk istrinya yang baik hati. Mi-er adalah pendamping terdekat Xiao Xuan. Meski dia dikirim kemari untuk melayaniku, sulit untuk memastukan apakah ada niatan yang lain. Bagaimanapun juga, aku masih berterima kasih atas kemurahan hatinya dalam mengizinkan suaminya melakukan perjalanan bersama wanita lain, bahkan mengizinkan wanita itu untuk berpura-pura menjadi dirinya. Karena itu aku harus bersikap sepatutnya sehingga dia bisa merasa tenang.
Malam itu, aku jatuh ke dalam tidur yang nyenyak, seakan aku tak pernah tidur dengan baik sebelumnya. Pusydeva terbangun beberapa kali di tengah malam dan muntah-muntah, yang semuanya diurus oleh Mi-er, yang mana akan dia katakan kepadaku pada keesokan hatinya. Aku hanya ingat pada satu pemikiran sebelum aku pergi tidur: Aku harus memulihkan diri sehingga aku bisa lanjut berjuang esok hari!