Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 52
Lu Guang selesai bersembahyang pada Buddha dengan menancapkan dupa pada pendupaan. Dia kemudian berbalik untuk menatap aula. Semua rahib di kuil itu telah berkumpul sesuai dengan perintahnya. Dia mengangguk puas dan memanggil Pusydeva, yang berdiri di sebelahku, ke arahnya.
Wajahku tertutup cadar. Aku tetap berada di belakang bersama dengan rombongan yang lain. Seseorang ingin melakukan percakapan denganku, namun aku berpura-pura tak mengerti Bahasa Tokaria dan hanya menggumam dengan jawaban tidak jelas. Rajiva berdiri di bagian depan kelompok rahib dan meski pipinya memar, dia masih tampak setenang dan seterkendali biasanya.
Lu Guang berdehem. Seluruh aula pun menjadi sunyi.
“Atas titah dari Raja Langit Qin Yang Agung, Raja Kucha yang tirani (Bai Chun) telah dihukum dengan tepat. Hal ini juga sesuai dengan keinginan rakyat. Lu-mou (T/N: 某 :-mou , adalah istilah untuk menyebut diri sendiri secara merendah, dengan konotasi kau bukan siapa-siapa, hanya orang biasa dengan marga ***) telah menerima kehendak Langit, dibantu oleh keperkasaan Raja Langit, dan karenanya mampu mengalahkan para musuh. Raja Langit dari Qin Yang Agung telah menganugerahkan kepada Lu-mou yang rendah ini gelar Pengurus Luar Biasa Kavaleri, Jenderal Anxi (Jenderal Penenang Barat), Kolonel Xi Yu, dan memberiku tigas untuk mengatur urusan di Xi Yu. Sebagai rasa terima kasih atas kebaikan dari Langit ini, aku telah datang ke Kuil Cakuri untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, untuk mendoakan kemakmuran Kucha sepanjang tahun, dan agar rajaku bisa hidup seribu tahun.”
(Author note: Fu Jian tak pernah memakai gelar ‘Kaisar’ dan malah menyebut dirinya sendiri sebagai ‘Raja Langit (天王 – Tian Wang ) Qin Yang Agung’. Bila dibandingkan dengan para bajingan berumur pendek selama periode Enam Belas Kerajaan, Fu Jian cukup rendah hati)
Lu Guang menjeda dan berpaling pada Pusydeva, “Guru Negara, harap terjemahkan kata-kataku ke dalam Tokaria.”
Pusydeva melakukan seperti yang disuruhnya.
Lu Guang kemudian meneruskan, “Lu-mou telah berada di kota ini selama hampir dua bulan. Kucha telah kembali ke hari-hari damainya, sungguh beruntung! Raja Kucha yang baru tidak keberatan dengan kesusahan; Beliau telah bekerja siang dan makam serta telah berkontribusi besar.”
Dia kemudian membungkuk pada Bai Zhen dalam pameran kepura-puraan. Bai Zhen buru-buru membalas dengan bungkukannya sendiri.
“Lu-mou juga mendapatkan kesempatan langka di Kucha. Sang Guru Agung, Rahib Kumarajiva yang bijak dan penuh welas asih, telah memberikan pengajaran (agama) kepada Lu-mou, dan seakan awan telah berpencar untuk menampakkan langit biru di baliknya. Lu-mou merasakan kekaguman yang mendalam serta ingin mengekspresikan rasa terima kasihku. Akan tetapi, sang Guru Agung telah menolak perak dan emas juga menolak penganugerahan gelar. Lu-mou mendapatkan masa-masa sulit dalam memikirkan hal ini.”
Dia kemudian terdiam dan menunggu hingga Pusydeva selesai menerjemahkan sebelum meneruskan, “Reputasi sang Guru dikenal di seluruh dunia dan Beliau telah memiliki pencapaian yang sangat tinggi meski masih berusia muda. Lu-mou secara tulus ingin membantu penyebaran ajarannya dan telah menawarkan seorang wanita cantik kepadanya. Sang Guru memang adalah sosok yang luar biasa, karena Beliau tidak merasa gentar dan dengan senang hati menerima tawaran tersebut.”
Rona di wajah Pusydeva berubah. Matanya berubah menjadi pelototan dan dia melontarkan raut marah pada Lu Guang. Para rahib yang bisa berbahasa Mandarin di dalam kerumunan telah berbisik-bisik marah. Aku mengintip pada Rajiva. Matanya setengah terpejam dan ekspresi di wajahnya tak berubah – gambaran kedamaian, dia tampak menonjol di antara kerumunan. Sepertinya tak peduli apa pun yang Lu Guang lakukan, dia akan menghadapinya dengan tenang.
“Perkataan Jenderal Lu tidak tepat,” Pusydeva angkat bicara dengan marah, “Sang Guru telah melanggar Sila karena Beliau dipaksa oleh Jenderal. Dipaksa untuk minum dan dikurung di dalam kamar tertutup.”
Lu Guang menaikkan sebelah sudut mulutnya membentuk cibiran dan menaikkan alisnya pada Rajiva, “Namun sang Guru tetap tinggal bersama si wanita cantik dan tidak keluar dari kamarnya selama sebulan penuh, bersenang-senang dalam kumala dan aroma yang harum. Tentunya tidak semuanya merupakan tekanan dari Lu-mou?”
“Itu karena Jenderal telah menjadikannya tahanan rumah-”
“Pusydeva!” Rajiva menyelanya keras-keras. Wajah Rajiva telah sedikit memucat, namun suaranya tetap tegas, “Rajiva telah melanggar Sila. Ini adalah kebenarannya. Tak perlu menyembunyikannya.”
Dia berbalik untuk menghadapi semua orang. Matanya yang jernih menyapu ke seluruh ruangan dan semua suara pun langsung berhenti. Seluruh aula menjadi sunyi senyap. Mereka semua menatap dirinya dengan curiga. Rajiva memejamkan matanya selama sesaat, dan ketika dia membukanya kembali, terdapat kesedihan yang tampak kentara dalam tatapannya. Dengan nada suara yang tenang dan terkendali, dia berujar dalam Bahasa Tokaria, “Rajiva memang telah melanggar Sila untuk hidup selibat dan tidak minum-minuman memabukkan.”
Seluruh aula pun langsung gempar. Semua orang menatapnya dengan sorot tak percaya, campuran antara kekagetan dan kekecewaan. Seseorang berseru, “Guru yang Terhormat, bagaimana hal ini bisa terjadi?” Beberapa bahkan menangis.
Yang paling ganas dari mereka semua adalah seorang rahib muda yang menudingkan jarinya pada Rajiva, sarat dengan kesedihan dan kedukaan, “Aku memujamu sebagai guruku secara sia-sia! Kau telah melakukan pelanggaran semacam itu, bagaimana bisa pintu Buddha masih menerimamu!”
Guru yang paling terkemuka di seluruh Xi Yu, Kumarajiva, telah lama menjadi pembimbing spiritual para rahib muda ini. Hari ini, simbol kebajikan ini telah terkena noda yang tak terhapuskan, dan pujaan dalam hati mereka telah runtuh. Aku bisa mengerti reaksi mereka dan bagaimana mereka tak mampu menerima kenyataan ini, namun pernahkah mereka memikirkan tentang seperti apa batin Rajiva untuk mengakui bahwa dirinya telah melanggar Sila di tempat umum seperti itu, di depan begitu banyak orang? Aku merasa pilu saat melihat dirinya, namun aku bisa melihat kalau wajah tenangnya tetap tak berubah. Aku juga bisa merasakan tatapannya beralih kepadaku, dan bagaimana dia dengan lembut menyentuh lengan kirinya, pada tonjolan kain yang terbelit di balik lengan bajunya.
Dia sedang menghiburku! Syal sutra Atlas yang telah dia ikatkan pada lengan kirinya adalah sebuah sinyal, caranya untuk menenangkanku. Aku mengangguk samar dan dengan sengaja mengangkat tanganku untuk membelai rambutku, menampakkan seuntai manik-manik akik jernih di bawah lengan bajuku. Begitu menerima pesanku, seulas senyum samar muncul di sudut mulutnya sebelum menghilang dengan cepat.
“Keberanian sang Guru dalam mengakui hal itu sungguh terpuji!” Lu Guang tertawa dan menepukkan tangannya, menatap puas pada kerumunnan. “Lu-mou sebenarnya berniat untuk membawa wanita yang telah menghabiskan siang dan malam bersama dengan sang Guru untuk memberikan penghormatan kepada sang Buddha hari ini, namun tidak tahu apa yang telah sang Guru lakukan untuk membuat wanita itu melarikan diri.”
Inikah efek yang Lu Guang inginkan? Pengumuman publik ini sehingga Rajiva takkan pernah bisa mengangkat kepalanya di hadapan para rahib lagi. Reputasi Rajiva telah ‘jatuh menyapu ke tanah’ ( 威望扫地 – idiom yang berarti secara drastis kehilangan reputasi); tidak lagi ‘satu seruan seratus jawaban’ (T/N: 一呼百应 – berarti reputasi yang begitu hebat sehingga seratus jawaban akan langsung menanggapi satu panggilannya). Aku gemetar dalam amarah. Dia bahkan ingin memakaiku sebagai senjata, sebagai bukti bahwa Rajiva telah melanggar Sila-nya! Kalau aku tidak melarikan diri, aku akan sudah diarak ke sekeliling aula ini. Akan jadi seberapa besar pukulan itu bagi Rajiva! Rajiva pasti telah memperkirakan hal ini, yang menjadi sebab kenapa dia begitu bertekad untuk membuatku pergi dan bahkan mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan hatinya untuk bisa melakukannya. Lalu untukku, aku disibukkan oleh pikiran seorang gadis kecil dan tidak sudi memikirkan tentang rasa sakitnya yang lebih buruk dariku.
Rajiva benar: Dia tak bisa lari! Bukan hanya karena sejarah tak bisa berubah, namun yang lebih penting, karena Lu Guang akan senang bila melihat Rajiva melarikan diri! Kalau Rajiva melarikan diri bersamaku, Lu Guang akan punya lebih banyak lagi alasan untuk sepenuhnya menghancurkan reputasi Rajiva. Rajiva takkan punya tempat yang tersisa di antara langit dan bumi. Aku tak mau melihat Rajiva dipermalukan, tetapi aku hanya berpikir dari sudut pandang seorang manusia modern. Kalau hal yang buruk semakin memburuk, aku punya peralatan untuk melindungi diriku sendiri, aku bisa mengenakan jaket anti-radiasiku, menyalakan jam perjalanan waktu dan langsung kembali ke abad ke-21.
Tetapi bagaimana dengan Rajiva? Tidak mungkin baginya untuk meninggalkan eranya sendiri. Jadi bagaimana dia akan bertahan hidup di dalam keempat dinding serta di bawah semua mata yang penuh tuduhan ini? Aku tak pernah mempertimbangkan hal ini. Aku selalu berpikir kalau aku lebih bijak daripada orang-orang di masa kuno, namun kenyataannya adalah aku telah menganggap terlalu tinggi diriku sendiri. Kebijaksanaan yang kumiliki bukanlah penemuanku, melainkan produk dari periode waktuku. Saat dihadapkan dengan krisis, aku tetap seorang gadis kecil yang tidak dewasa.
Aku menatapnya. Berdiri di antara ratusan orang, dia tampak tak tergoyahkan namun juga sendirian. Diam-diam aku berkata dalam hatiku: Maafkan aku, Rajiva! Aku akan berhenti bersikap begitu naif dan egois. Aku akan mengubah cara pikir modernku yang hanya untuk diriku sendiri dan akan berusaha mempertimbangkan segalanya dari sudut pandangmu. Cintamu telah membantuku bertumbuh, telah membantuku jadi lebih berpikiran terbuka dan pengertian, jadi terima kasih!
Seorang rahib berbahasa Mandarin berbisik kepada orang di sampingnya, mungkin menerjemahkan apa yang baru saja Lu Guang katakan. Pusydeva, yang telah memelotot sepanjang waktu ini, tiba-tiba menaikkan suaranya untuk bicara, namun rentetan kata-kata marahnya bukan menggunakan Bahasa Tokharia; melainkan dalam Bahasa Sansekerta. Ekspresi para rahib pun berubah menjadi tatapan kaget dan kebingungan saat mereka meletus dalam bisik-bisik marah. Atmosfer kesedihan dan kekecewaan yang sebelumnya dengan cepat menghilang. Wajah Rajiva tetap tenang saat mendengarnya, namun sorot dalam diam yang dia berikan kepada Pusydeva sarat dengan rasa terima kasih serta setitik peringatan.
“Apa yang Guru Negara ucapkan? Mari pakai Bahasa Han sehingga Lu-mou bisa mendengarnya juga,” nada suara Lu Guang tidak terlalu senang.
“Saya hanya menerjemahkan sesuai dengan perintah Jenderal.” Pusydeva menatap Lu Guang, dengan sikap tidak merendah juga tidak angkuh, dan meneruskan, “Secara kebetulan, saya juga telah menginformasikan kepada para guru tentang latar belakang luar biasa wanita itu, tentang kenyataan bahwa dia adalah bidadari yang dikirimkan oleh Sang Buddha untuk membantu sang Guru menghadapi cobaannya.”
Wajah Lu Guang merosot. Dia kemudian mencibir dan berkata, “Sungguh tak terduga bagi Guru Negara untuk menunjukkan kesetiaan membuta seperti itu! Hanya demi melindungi kakakmu, kau berani membuat pernyataan palsu di pintu Buddha. Bagaimana mungkin Lu-mou tak pernah mendengar sepatah kata pun tentang hal ini saat Guru Negara mempersembahkan wanita itu kepadaku?”
“Si wanita muncul entah dari mana, dan ada suara yang berbisik dari dalam benak saya, mengatakan kepada saya bahwa dia dikirim turun untuk menyelamatkan sang Guru. Tentu saja, saya tak berani membuat tebakan sembarangan tentang kehendak sang Buddha. Namun bila Jenderal Lu berpikir bahwa saya sedang mengarang cerita, maka….” Tatapan Pusydeva memutari ruangan sebelum kembali pada Lu Guang dalam sorot mata tajam yang tak kenal rasa takut, “Bisakah Jenderal Lu menjelaskan bagaimana seorang wanita yang ‘kekurangan baja di tangannya (T/N: 手无寸铁 – Shǒu wú cùn tiě: secara literal artinya tangan kecil tanpa baja; berarti lemah dan tak berdaya) mampu melarikan diri dari istana yang dijaga dengan ketat?”
“Ini….” Tenggorokan Lu Guang tercekat. Dia berbalik dan memelototi Lu Zuan (putranya) yang membungkuk ketakutan.
Gumam-gumam di dalam aula menjadi semakin dan semakin keras, membuat Lu Guang jadi semakin gelisah. Itu berarti kata-kata Pusydeva telah terbukti efektif. Mata Lu Guang telah menyorotkan kilau keji dan penuh perhitungan ini saat dia mendongak. Jelas memiliki muslihat baru di dalam benaknya, dia mencibir, “Bagi sang Guru untuk melanggar Sila, itu pasti berarti bahwa dia tak mampu berpisah dengan dunia fana. Bagaimana kalau membiarkan Lu-mou melakukan perbuatan baik sampai akhir, dan mengatur pernikahan sang Guru dengan salah satu anggota keluarganya?”
Semua orang di dalam aula yang mengerti Bahasa Mandarin mengangkat kepala mereka dengan kaget, dan permainan bisik-bisik pun dengan cepat dimulai di antara para rahib.
“Kenapa Jenderal Lu harus bersikeras untuk menyiksa Rajiva? Tentu saja tidak!” Nada suara Rajiva tegas. Kau bisa melihat dalam matanya bahwa hal ini lebih daripada yang bisa ditoleransinya (T/N: 忍无可忍 – Rěn wú kě rěn – berarti sudah berada di ujung kesabarannya), dan dia kini marah.
“Guru tak perlu begitu merendah. Ayahmu juga meninggalkan kebiarawanan, menikahi istri, dan melahirkan kalian dua bersaudara, Guru dan Guru Negara, kan?” Lu Guang terdiam untuk berpikir sejenak, kemudian mengangguk dan meneruskan, “Bagaimana kalau begini, karena ayah Anda yang terhormat telah menikahi seorang putri, dan Guru memiliki status yang terkemuka, maka Lu-mou takkan melayani Anda dengan buruk.”
Dia kemudian berpaling pada Bai Zhen, yang telah berdiri diam tanpa mengatakan sepatah kata pun, dan bertanya, “Apakah Raja kebetulan memiliki putri yang belum menikah?”
“Ini….” Bai Zhen dikejutkan oleh pertanyaan Lu Guang, jadi dia berakhir menggumamkan jawabannya, “Putri-putri raja yang rendah ini semuanya telah menikah.” Matanya yang nyalang menghidari tatapan Lu Guang, dan butuh sejumlah upaya sebelum dia bisa menyuarakan kata-kata berikutnya, “Jenderal, mohon jangan siksa sang Guru lebih jauh lagi.”
“Oh? Apakah tidak ada putri lain? Lu-mou dengar ada satu putri yang bernama Asuyamati. Apakah tak mau menikahkan dia kepada sang Guru?” Lu Guang mencibir dan melirik pada sekelompok selir Kucha yang telah dibawa serta oleh sang Raja, “Kalau begitu, maka Lu-mou akan secara asal memilih salah satu dari wanita-wanita cantik di sini untuk menikahi sang Guru!”
Kebimbangan melanda wajah Pusydeva. Dia mencondongkan diri ke arah Bai Zhen dan membisikkan beberapa patah kata, kemudian berbalik dan menaikkan suaranya pada Lu Guang, “Bila Jenderal Lu tidak mengingatkan Beliau, Beliau pasti sudah lupa. Rajaku sebenarnya memang punya seorang putri yang belum menikah bernama Agayamati.”
(T/N: Asuyamati vs. Agayamati: Pada naskah aslinya, karakter Mandarin untuk kedua nama ini adalah 阿素耶末帝 (ā sù yé mò dì) dan 阿竭耶末帝 (ā jié yé mò dì). Lebih jauh lagi pada catatan penerjemah di chapter 30, ini adalah perkiraan berdasarkan kamus Buddhis Mandarin-Sansekerta, karena Haru tak bisa menemukan biografi Kumarajiva yang menyatakan nama asli sang Putri.)
“Oh, benarkah itu? Hebat sekali!” Lu Guang tertawa dan bertanya, “Jadi di mana sang putri sekarang berada?”
Ketakutan, Bai Zhen berusaha berdiri namun dihentikan oleh sentuhan lembut dari Pusydeva. Dia pun memberi tatapan pada Bai Zhen yang berarti ‘tetap tenang, jangan terlalu bersemangat’, sebelum menjawab Lu Guang, “Sang putri berada di dalam kota.”
“Kalau begitu mari jemput dia sekarang juga, pergi hari ini dan pulang besok. Luar biasa. Besok lusa, Lu-mou akan mengadakan pernikahan yang megah dan mewah untuk sang Guru di kuil ini juga.” Dia menatap sekeliling dan tersenyum puas, Haha, pasti belum pernah ada upacara pernikahan di dalam kuil, kan? Sang Guru adalah orang pertama yang telah melanggar Sila. Hari itu, semua guru harus menghadiri pernikahan guru kalian. Tanpa diragukan lagi, ini akan menjadi pernikahan yang paling megah!”
“Niat Jenderal Lu, harap maafkan saya, tetapi Rajiva harus menolak.” Wajah Rajiva menghijau. Dia menangkupkan kedua tangannya dengan erat saat berusaha menekan kegeramannya, “Rajiva telah menjadi rahib saat dia masih seorang anak, dan sejak saat itu telah mendedikasikan jiwa dan raga kepada Buddha; Rajiva tak berani melecehkan sang Putri.”
“Guru salah paham,” Lu Guang tersenyum dingin, “Terutama pada cinta kasih antara pria dan wanita. Kalau ayah Guru bisa meninggalkan kebiarawanan dan menikah, maka Guru tentu saja bisa menirunya. Apakah ada perlunya untuk menolak?”
“Jenderal Lu tidak perlu repot-repot, karena Rajiva takkan pernah setuju. Kalau Jenderal Lu bersikeras, maka Rajiva akan berhenti makan dan minum mulai dari hari ini, hingga datangnya saat kematian,” Rajiva menyatakan dalam kemutlakan, tanpa menghiraukan amarah di wajah Lu Guang.
Dengan nada tenang, dia mengulang pernyataan yang sama dalam Bahasa Tokaria kepada semua rahib yang hadir. Dia kemudian duduk dalam posisi teratai, memejamkan matanya dan mulai melantunkan sutra.
Para rahib juga sama geramnya dan mengikuti contoh Rajiva dengan duduk pada saat saat bersamaan. Tak lama kemudian, tak ada tempat kosong yang tersisa baik di dalam maupun di luar aula. Sesaat kemudian, seiring dengan rapalan Rajiva yang semakin dan semakin keras, rapalan para rahib juga jadi semakin merata, teratur dan berkumandang, membuat Lu Guang tampak seperti ada telur di wajahnya*.
(T/N: idiom aslinya adalah 狼狈不堪 – Láng bèi bù kān; yang sulit diartikan secara harafiah. Maksudnya secara garis besar adalah berada dalam dilema / malu)
Lu Guang memelototi Rajiva. Wajahnya tampak garang dan tatapannya tanpa belas kasihan. Diam-diam aku menjangkau ke balik lengan bajuku dan memastikan tuas pengaman pistol biusnya lepas. Jarak di antara kami berada dalam jangkauan tembak. Kalau dia berusaya menyakiti Rajiva, aku akan menjatuhkan dia dan baru kemudian memikirkan langkah berikutnya.
Wajah Lu Zuan tampak penuh perhitungan. Dia tiba-tiba membisikkan sesuatu ke dalam telinga ayahnya. Lu Guang mengangguk. Lu Zuan menyerukan sesuatu dan beberapa orangnya langsung meninggalkan posisi mereka. Aku penasaran tentang apa yang mereka rencanakan ketika Lu Guang tiba-tiba tersenyum licik dan berkata pada Rajiva, yang masih merapal, “Kalau Guru bersikeras melakukan perlawanan, maka jangan salahkan Lu-mou karena tak punya perasaan.”
Aku sudah akan mengeluarkan pistol biusnya saat tiba-tiba kudengar suara-suara dentangan dan sesuatu yang pecah di belakangku. Aku berbalik dan melihat kalau Lu Zuan dan orang-orangnya sedang mendorong berbagai rupang Buddha. Begitu bergeser dari tatakannya, rupang-rupang itu langsung jatuh dan pecah berkeping-keping. Patung-patung indah yang terbuat dari tanah liat serta berhiaskan emas itu kini tak lebih dari kepingan-kepingan hancur dan berantakan di lantai.
“Buddha Gautama!” Semua rahib berteriak penuh kesedihan, tangan mereka terjulur ke arah rupang-rupang itu. Wajah mereka sarat dengan kedukaan mendalam dan suara-suara tangisan bergema di aula.
“Jenderal Lu, menghancurkan rupang Buddha akan menghasilkan karma. Kejahatan semacam ini akan mengirim orang ke neraka. Harap Jenderal Lu mempertimbangkan kembali perbuatannya,” Rajiva berusaha sebaik mungkin untuk menjaga agar suaranya tetap tenang saat dia berbicara. Wajahnya berkerut oleh amarah.
Mereka berdua pun saling bersitatap.
“Oh? Benarkah itu?” Lu Guang mendongak, kepuasan tampak di wajahnya, dan mencibir, “Aku, Lu Guang, tidak percaya dengan yang disebut dengan karma. Kalau Buddhamu itu begitu hebat, maka biarkan dia menjatuhkan karmanya. Aku akan menunggu.”
Di samping, wajah Bai Zhen menjadi kelabu. Gemetaran, dia berusaha untuk membujuk, “Jenderal Lu, ini adalah biara Buddha, harap hentikan perbuatan Anda!”
“Raja Agung membujukku… bukankah akan lebih baik bila Anda membujuk keponakan Anda saja? Begitu sang Guru menyetujuinya, Lu-mou akan berhenti.”
Lu Guang memberikan anggukan samar para Lu Zuan. Lu Zuan dan keponakan-keponakan Lu Guang yang lain, Lu Long dan Lu Chao, menyeringai dan lanjut melompat dari landasan satu rupang ke yang berikutnya. Rupang-rupang Buddha Amitābha dan Bhaiṣajyaguru juga didorong jatuh, membubungkan badai debu di dalam aula.
Lu Guang tergelak di antara jerit tangis para rahib, “Aku ingin lihat, aku menghancurkan rupang-rupang Buddha seperti ini, apa yang bisa kau lakukan terhadapku?”
Rajiva menekan amarahnya dan bicara lantang dalam Bahasa Tokaria kepada para rahib. Tangisan-tangisan itu pun berhenti. Para rahib kembali pada posisi teratai mereka dan mengikuti rapalan Rajiva. Suara rapalan dalam Bahasa Sansekerta semakin lama semakin meninggi, menggema ke seluruh sudut aula. Suara rapalan ini benar-benar memiliki kekuatan untuk menenangkan hati – ini adalah metode yang dipakai para penganut Buddha untuk melawan kekejaman dan menunjukkan ketahanan diri. Ini sama seperti sebuah deklarasi kepada Lu Guang: Rupang Buddha bisa dihancurkan, namun bakti mereka kepada sang Buddha tidak akan pernah bisa.
“Bagus, teruslah merapal. Aku ingin lihat berapa lama kalian bisa bertahan!” Merasa gelisah, Lu Guang berseru, “Prajurit, hancurkan batu kumala dengan jejak kaki Sang Buddha itu untukku!”
Wajah Rajiva tetap dingin dan tatapannya tidak berubah sedikit pun, mengindikasikan kalau dia masih tak tergoyahkan. Dia berkata perlahan dan jelas, “Jenderal Lu, rupang Buddha bisa diukir lagi bila dihancurkan, dan batu kumala bisa ditemukan lagi meski dipecahkan. Bahkan bila Anda meruntuhkan Kuil Cakuri, Rajiva akan mengumpulkan semua bata dan ubin yang dibutuhkan untuk membangunnya kembali. Hati Rajiva kepada Buddha sama tak tergoyahkannya seperti batu karang.”
“Kau benar-benar rahib yang menjengkelkan!” Lu Guang meledak marah, “Kau bisa membangun kembali kuil yang sudah hancur, tapi bisakah kau menghidupkan kembali orang yang sudah mati?”
Dia menangkap rahib yang berada paling dekat dengannya, menghunuskan pedangnya, dan menempelkannya pada leher si rahib yang gemetaran seperti sehelai daun.
“Hari ini, Lu-mou akan bersaing denganmu hingga akhir. Kalau kau tak setuju, aku akan membunuh satu orang rahib setiap separuh shichen (T/N: 1 shichen = 2 jam). Mari kita lihat ada berapa banyak orang yang ada di kuil ini untuk Lu-mou bunuh,”
“Kau….” Rajiva berdiri. Sudut matanya mengencang, dan tangannya yang mengepal gemetar. Aku tak pernah melihat dia semarah itu. “Hidup manusia adalah hal yang paling berharga di antara langit dan bumi. Melakukan dosa pembantaian, kau akan dikirim ke Neraka Avīci, takkan pernah terlahir kembali!”
(T/N: untuk penjelasan lebih detilnya, silakan baca ulang chapter 19)
“Pah!” Lu Guang meludah pada sebuah rupang yang rusak. “Memang apa berharganya nyawa manusia? Lantas kenapa kalau aku tak pernah terlahirkan kembali? Lu-mou telah membunuh orang tak terhitung jumlahnya, kepala seekor keledai gundul tak ada artinya!”
(T/N: 秃驴 lit. ‘keledai gundul’ adalah istilah yang dipakai untuk menghina rahib Buddhis)
“Lu Guang, apa kau kira Kucha kami sama sekali tak berdaya?” Mata Pusydeva memerah karena amarah saat dia mencabut sebilah pedang panjang dari pinggangnya, bersiap untuk menyerang Lu Guang. Akan tetapi, dia dihentikan oleh putra tertua Lu Guang, Lu Shao, beserta jenderalnya, Du Jin. Mereka semua telah menghunus pedang mereka. Situasinya jadi luar biasa tegang.
“Pusydeva, turunkan pedangmu!”
Seruan itu berasal dari Bai Zhen, si raja pengecut, yang begitu ketakutan hingga kakinya gemetar dan kata-katanya nyaris tak terdengar jelas. Dia berpaling pada Lu Guang dan berseru seraya menangis, “Jenderal Lu, puluhan ribu kali jangan!”
Melihat bahwa dirinya tidak berada dalam bahaya (dari Pusydeva), Lu Guang lanjut memegangi si rahib tawanan dan berkata pada Rajiva, “Guru lebih baik segera membuat keputusan. Kesabaran Lu-mou ada batasnya. Satu, dua, tiga-”
“Tunggu!”
Lu Guang menghentikan tangannya. Aula itu pun menjadi sunyi, dan atmosfernya terasa seakan bisa meledak pada satu sentuhan saja*. Semua mata tertuju pada Rajiva. Bibir bergetar, dia menatapku dengan air mata di matanya. Tatapan yang rumit dan sedih yang mengandung ribuan kata. Semua yang berada di sekitarku sepertinya melambat, waktu seakan berhenti, seolah hanya dia dan aku yang ada, saling berpandangan.
(T/N: 一触即发 – Yī chù jí fā; idiom mennggambarkan situasi yang begitu tegang sehingga apa pun bisa terjadi pada provokasi sekecil apa pun)
Jariku sudah menempel pada pelatuk pistol, tetapi sepertinya aku tak mampu menariknya. Semua yang bisa kulakukan adalah membuat Lu Guang tertidur selama satu hari. Apa yang akan terjadi setelah dia terbangun? Lebih banyak siksaan lagi? Bahkan perang, mungkin? Dia memiliki begitu banyak orang di belakangnya, hanya menjatuhkan dia saja takkan memadai. Aku tak bisa bersikap egois dan menyebabkan Kucha terlibat ke dalam perang yang lainnya lagi. Dengan air mata mengaliri wajahku, mata tak meninggalkan matanya, aku perlahan mengangguk.
Dia memalingkan kepalanya. Sudut mulutnya gemetar dan jakunnya naik turun. Dia mendongak menatap langit untuk menarik napas dalam-dalam dan kemudian berkata dalam suara yang paling suram:
“Rajiva setuju.”
“Guru!” semua rahib jatuh berlutut. Ratapan mereka menggema di seluruh Kuil Cakuri dan di bawah langit biru.
Rajiva kembali menatapku. Kepedihan yang tak terperikan terbit di matanya. Tanpa suara aku menyeka air mataku dan memberinya cengiran bodoh yang merupakan ciri khasku. Meski wajahku tertutup cadar, aku yakin dia masih bisa melihatnya. Mataku sepertinya tak bisa meninggalkan dirinya. Hanya satu kali lagi. Biarkan aku mengukirkan sosoknya ke dalam benakku, segores demi segores, sehingga takkan pernah memudar.
Kali ini aku benar-benar harus pergi. Betapa aku membenci roda takdir ini dan kekejiannya. Roda takdir yang terus berputar lagi dan lagi. Pada akhirnya, aku hanyalah orang lewat dalam kehidupannya. Akan tetapi, Rajiva, kau tak membuat pilihan yang salah. Kau tak membutuhkan aku pada bagian berikutnya dalam sejarahmu, jadi aku akan pergi….