Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 54
“Kulit Ai Qing Jiejie sangat bagus – merona, halus dan lembut, benar-benar sesuatu yang pantas membuat iri para wanita!”
Xiao Xuan membantuku berdandan. Sesuai dengan adat Kucha, mempelai wanita harus menutupi kepala mereka dengan tudung setelah menyanggul rambut mereka ke atas. Aku terlahir di Jiangnan*, jadi kulitku secara alami lebih mulus daripada wanita-wanita di masa kuno. Bintik-bintik yang kudapat dari menghabiskan terlalu banyak waktu di luar sudah ditutupi dengan foundation**, memberiku penampilan seperti seorang gadis berbibir merah dan bergigi putih. Hal ini dipertegas dengan gaun pengantin Kucha, yang juga merah dan putih. Apakah wanita dengan wajah berias dan senyum yang tampak malu-malu di cermin perunggu itu benar-benar adalah diriku?
(* Jiangnan berada di bagian selatan Sungai Yangtze, merupakan wilayah dengan cuaca yang ramah dan daerah yang makmur, sehingga bila dibandingkan dengan daerah Kucha yang berada di barat laut Tiongkok, orang-orangnya tentu memiliki kulit yang lebih bagus)
(**脂粉 – bubuk lard. Secara historis dipergunakan untuk membuat krim wajah, bukan hanya di Tiongkok tetapi juga di bagian lain dunia. Di sini Haru memakai istilah foundation karena rasanya lebih cocok)
Musik ceria dimainkan di luar dan lagu-lagu pernikahan dinyanyikan, memberikan atmosfer yang sangat ceria. Pusydeva melangkah ke dalam kamar. Rona wajahnya tak terlalu bagus. aku memberinya tatapan bertanya.
Dia mendesah dan berkata, “Secara tradisi, mempelai pria harus menjemput mempelai wanita. Lu Guang telah mengirim beberapa orang untuk mengawal kakak, tetapi kakak menolak dengan keras kepala dan tak mau bergerak.”
“Tidak apa-apa. Pernikahan ini aslinya adalah lelucon….” Aku menggelengkan kepalaku perlahan. Aku tahu kalau dia tak tahu bahwa mempelai wanitanya adalah aku, namun hatiku masih merasa agak pahit.
“Ai Qing, jangan katakan omong kosong semacam itu!” Dia memberiku tatapan tajam dan berkata sungguh-sungguh, “Tak peduli apa pun yang Lu Guang rencanakan, ini tetap adalah sebuah pernikahan resmi, satu-satunya dalam masa hidup kalian berdua. Bukankah biasanya kamu sangat pemberani? Tunjukkan kepadaku dirimu sebagai mempelai wanita yang tangguh!”
Kata-katanya membuatku merinding. Melihat tatapan tegasnya, aku mengangguk penuh tekad.
Dia tampak lega saat mendengarnya, namun sedetik kemudian, alisnya kembali berkerut.
“Aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk bicara dengan kakak, jadi kakak masih tak tahu kalau dia menikahimu. Tapi aku berpikir, membiarkan dia menemukannya di kamar pengantin itu lebih baik. Kalau dia tak terlalu memprotes, takutnya Lu Guang akan menjadi curiga. Ai Qing, aku takut dia akan melawan di sepanjang upacara pernikahan, membuatmu merasa disalahi….”
Aku menarik napas dalam-dalam dan mendongak dengan memasang senyumku yang paling cemerlang, siap untuk menghadapi segalanya, “Kau benar, Pusydeva, ini adalah pernikahan untuk seumur hidup, jadi tak peduli apa pun yang terjadi, aku akan menghargainya. Aku takkan merasa disalahi. Pada kenyataannya, aku berterima kasih kepada Langit, kepadamu, karena membantuku membuat mimpi yang bahkan tak berani kuimpikan ini, menjadi nyata….”
Terdengar debuman keras dari luar. Kerumunan sudah mencapai pintu kamar. Pusydeva menyuruh Xiao Xuan menghadang mereka (dari masuk ke dalam) sebentar, karena dia masih ada sesuatu yang ingin dikatakan kepadaku. Xiao Xuan meliriknya namun tak mengatakan apa-apa dan hanya mengangguk.
Begitu Xiao Xuan pergi, sebelum aku bahkan bisa bertanya apa yang ingin dia katakan, tiba-tiba aku direngkuh dalam dekapan erat. Sebuah desahan menerpa puncak kepalaku, “Aku dahulu selalu memikirkan tentang betapa kamu akan tampak cantik dalam gaun pengantin, dan ternyata memang benar-benar tampak bagus.”
Dengan lembut dia melepaskanku namun terus menatapku sepanjang waktu, matanya hanyut dalam lamunan. Namun sesaat kemudian, dia tampak telah memulihkan diri dan seulas senyum kembali ke sudut mulutnya saat dia berkata lembut, “Kelak, aku takkan bisa lagi memelukmu, Kakak Ipar….”
Sebuah kecupan hangat mengusap dahiku, dan kemudian mataku tertutup oleh warna merah yang mewah. Dunia jadi tampak berbeda bila dilihat melalui kain merah tipis tembus pandang itu. Wajah tersenyum milik Pusydeva yang tampan tampak mencolok pada lautan merah itu….
Ligong* hanya satu dinding jauhnya dari Kuil Cakuri. Kereta menuju ke kuil tidak melewati pintu masuk tengah dan alih-alih membawaku ke jalanan Kota Subashi. Keretanya melaju pelan, dan suara suona serta genderang mengguncang langit di sepanjang perjalanan. prosesi pernikahan itu penuh dengan orang-orang Lu Guang. Mereka membagikan buah-buahan dan naan kepada kerumunan.
(*Ligong secara harafiah berarti istana terpisah, mengacu pada istana-istana di luar Ibu Kota yang akan ditempati oleh anggota keluarga kerajaan saat mereka melakukan perjalanan. Seperti yang telah disebutkan di chapter sebelumnya, di sinilah tempat mereka semua tinggal setelah seluruh kejadian di Kuil Cakuri.)
Keponakan Lu Guang, Lu Long, terus meneriakkan lantunan ini: “Hari ini adalah hari Guru Kumarajiva menikah. Sang Guru mengundang semua orang untuk datang dan menyaksikan upacaranya di Kuil Cakuri. Makanan dan minuman akan disediakan oleh sang Guru. Semua orang harus datang!”
Seseorang di samping Lu Long menerjemahkan kata-katanya ke dalam Bahasa Tokaria.
Wajah Pusydeva menggelap dan dia sudah akan menunggangi kudanya ke depan, namun aku mengangkat tirai dan memanggilnya kembali, menggelengkan kepalaku. Barulah saat itu aku akhirnya bisa melihat lewat tudung merahku semua raut benci dan muak dilontarkan ke arahku. Hatiku menjadi sedih. Jadi inilah efek yang diharapkan dari propaganda Lu Guang: agar semua orang memandang rendah kami.
Xiao Xuan, yang duduk di sampingku, menarik tanganku agar menjauh dari tirai dan memeganginya erat-erat dalam cengkeramannya. Hatiku terasa hangat. Dengan dukungan seperti itu, kenapa aku harus memedulikan tatapan marah di luar? Memikirkan tentang Pusydeva, kuangkat kepalaku tinggi-tinggi. Aku harus menjadi mempelai wanita yang kuat. Hari ini, aku menikahi orang yang kucintai.
Iring-iringan di jalan akhirnya berakhir saat kereta itu berhenti di alun-alun di depan aula utama kuil. Pusydeva membantuku melangkah turun dari kereta dan membawaku ke bagian tengah alun-alun. Ini seharusnya dilakukan oleh mempelai pria namun sebaliknya, adiknyalah yang melakukan hal itu untuknya.
Langit telah menggelap sepenuhnya. Setiap sudut disinari oleh cahaya benderang dan dihias dengan lentera serta panji-panji penuh warna, mengubah alun-alun menjadi suatu pemandangan yang lucu. Hampir seribu orang telah berkumpul. Di bagian tengah adalah para rahib yang dipaksa untuk hadir sesuai dengan perintah Lu Guang. Lingkar luar sebagian besarnya terdiri dari penduduk setempat. Musik ceria yang gegap gempita cukup berbanding terbalik dengan raut penuh duka di wajah para rahib, membuat suasananya jadi luar biasa muram.
Lu Guang, Bai Zhen, dan sang Ratu duduk di atas panggung. Rajiva berdiri di tengah alun-alun. Dia mengenakan satu set jubah merah yang terlalu besar di tubuhnya, bersama dengan topi corong runcing berwarna putih tipikal orang-orang Kucha. Akan tetapi, pakaiannya berantakan dan ada memar-memar baru di wajahnya. Bisa dibayangkan perlawanan macam apa yang terjadi saat dia dipaksa mengenakan pakaian ini.
Pusydeva menempatkanku di sisi Rajiva dan kemudian berjalan menjauh. Lewat tudung tipis, aku bisa melihat wajahnya dingin, menarik diri; matanya setengah terpejam; dan mulutnya melantunkan sutra tanpa henti. Sejak saat aku memasuki alun-alun hingga sekarang, dia tak menatapku bahkan sekali pun. Di matanya, aku hanyalah udara.
Lu Guang mengangguk pada Bai Zhen. Bai Zhen berdiri dan mengumumkan dengan agak canggung:
“Hari ini, raja ini menikahkan seorang putri kepada sang Guru, yang merupakan putra dari saudari raja ini, dan semakin memperdalam hubungan keluarga kami lebih jauh lagi. Merupakan harapan raja ini agar Guru bersedia memperlakukan anak raja ini dengan baik, bahwa kalian akan menjadi pasangan yang saling mencintai, dan supaya kalian akan hidup dan menua bersama.”
“Ah, Raja Agung pasti telah salah bicara. Bagaimana Anda masih bisa menyebut ‘Guru’?” Lu Guang menyela Bai Zhen dengan tawa lantang, memberi penekanan besar pada kata ‘Guru’, “Keponakanmu akan menikah, jadi bagaimana bisa dia tetap tinggal di balik pintu Buddha. Kalau semua rahib menirunya, tidakkah hal ini akan merendahkan tempat kediaman Buddha?”
“Jenderal Lu, seorang rahib yang mengambil istri memang adalah sesuatu yang belum pernah terdengar, namun tentu saja semua orang sudah tahu alasan untuk itu?” Rajiva, yang sebelumnya merapalkan sutra, tiba-tiba membuka matanya dan memberi Lu Guang tatapan tajam.
Dia kemudian berbalik untuk bicara kepada para rahib:
“Dahulu kala, ada seorang iblis yang mengirimkan bidadari-bidadari khayangan untuk menggoda Bodhisattva Penegak Masa dan menghancurkan pelatihan spiritualnya. Sang Bodhisattva Penegak Masa menolak. Hanya Guru Vimalakirti yang gembira menerima mereka. Orang-orang mengekspresikan ketidaksetujuan, namun Guru Vimalakirti tidak membela dirinya sendiri, dan alih-alih mengajari para gadis itu praktek Buddhisme secara pribadi. Sudah barang tentu, para gadis itu pun kemudian mulai menyadari bahwa kebahagiaan dari pelatihan spiritual lebih besar daripada kesenangan dari lima skandha (kelompok keinginan). Rajiva akan mengikuti contoh dari Guru Vimalakirti, bermeditasi dan mengabdikan dirinya pada pelatihan spiritual, untuk menemukan kebahagiaan dalam caranya sendiri.”
(T/N: Rajiva merangkum satu bagian dari Bab 4 Sutra Vimalakirti. Konteks lebih jauh dari bagian itu: Vimalakirti berpura-pura sakit pada saat itu demi mendapatkan kunjungan simpatik, yang mana kemudian dia gunakan sebagai kesempatan untuk mengajari orang lain tentang beragam prinsip Buddhisme. Sang Buddha pada akhirnya juga mengirimkan beberapa orang murid dan bodhisattva untuk mengunjunginya, yang semuanya menolak gara-gara pertemuan mereka sebelumnya dengan Vimalakirti, di mana dia telah menunjukkan kebijaksanaannya kepada mereka. Bodhisattva Penegak Masa adalah salah satu di antara mereka, dan ini adalah anekdot yang dia ceritakan ulang kepada sang Buddha)
Tatapan cerah dan cerdiknya beredar pada semua orang, namun sepasang mata itu tak mendarat padaku sama sekali. Nada bicaranya sedih namun tegas, “Rajiva telah memasuki pintu Buddha, dan pada setiap hari Rajiva hidup adalah hari lain untuk mengabdi dalam melayani Buddha, sama sekali takkan pernah kembali ke kehidupan awam. Pernikahan ini dijalankan di bawah paksaan. Buddhaku penuh belas kasih, jadi bahkan bila Beliau mempersalahkan dosa ini, hukumannya berada di tingkat menengah. Namun orang yang berada di belakang pemaksaan ini telah melakukan dosa pada tingkat tertinggi dan tidak bisa diampuni.”
Rajiva mengatakannya lagi dalam Bahasa Tokharia, sepenuhnya mengabaikan raut luar biasa malu di wajah Lu Guang.
Kerumunan meraung, tergerak oleh ketahanan Rajiva. Wajah Lu Guang telah berkerut membentuk sesuatu yang gelap dan buruk; dia mencibir:
“Begitukah? Kalau sebuah dosa dari tingkat tertinggi telah terjadi, maka Lu-mou tak peduli bila ada beberapa dosa lagi dilakukan!”
Lu Guang melambaikan sebelah tangannya dan orang-orangnya langsung mengeluarkan lusinan kendi arak. begitu penutupnya dibuka, bau arak menyebar ke seluruh alun-alun, membuat para rahib mengernyit dan menutupi hidung mereka. Salah seorang prajurit mulai memberikan satu mangkuk kepada masing-masing rahib, dan prajurit lainnya kemudian akan mengisi mangkuk itu dengan arak. Para rahib gemetar saat mereka memegangi mangkuk arak itu.
“Jenderal Lu, apa yang sedang berusaha Anda lakukan?” Rajiva berseru, marah.
“Hari ini, Guru akan menikah, jadi semua guru seharusnya juga berbagi kebahagiaanmu. Kalau mereka sudah datang untuk menghadiri pernikahan, maka bukankah mereka seharusnya minum semangkuk arak?” Lu Guang menjawab dengan seulas senyum dingin.
Pada akhirnya, Bai Zhen juga sudah tak tahan lagi dan berdiri untuk membujuk:
“Jenderal Lu, hari ini raja ini menikahkan putrinya, apa yang tidak baik dalam mempertahankan semuanya dalam kondisi gembira? Kenapa harus memaksa para guru untuk melanggar Sila?”
“Raja Agung, keponakanmulah yang mengabaikan niat baik Lu-mou, menyebabkan para guru menderita bersama dirinya!”
Tak mampu menahan amarahnya, dada Rajiva naik turun dengan cepat dan kepalannya mengencang. “Rajiva sudah menjadi orang yang melanggar Sila. Rajiva akan meminum semua arak itu untuk menggantikan para rahib.”
Dia menghampiri para rahib dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Jenderal Lu tak diragukan lagi akan merasa kecewa, karena bahkan bila dia minum sampai mati, Rajiva takkan pernah meninggalkan kebiarawanan!”
Begitu dia menyelesaikan kalimatnya, dia berjalan menghampiri seorang samanera (calon rahib yang masih dalam masa pelatihan) kecil yang berada paling dekat dengannya, mengambil mangkuknya, dan meminum isinya hingga tetes terakhir.
“Guru!” si samanera kecil berseru penuh air mata saat dia melihat Rajiva terbatuk karena pengaruh alkohol.
Rajiva menyeka mulutnya dengan lengan baju, menghampiri rahib selanjutnya, mengambil mangkuk araknya, dan meminum semuanya.
“Bisakah Guru meminum semua arak di sini?” Wajah Lu Guang jadi semakin dan semakin gelap saja.
“Bisa.”
Dia hanya mengucapkan satu kata, namun hal itu terdengar seperti janji terbesar di dunia, menghancurleburkan hati semua orang yang hadir.
“Jenderal Lu, juga ada aku.”
Yang bicara adalah Pusydeva, yang kemudian melangkah menghampiri Rajiva dan mencuri mangkuk ketiga dari tangannya.
“Aku juga bisa,” kapten dari pasukan pengawal istana melangkah keluar dari belakang Bai Zhen, berjalan menghampiri para rahib, dan mulai minum (untuk menggantikan mereka).
“Aku juga bisa minum untuk para guru!”
Semakin dan semakin banyak orang yang maju.
“Aku juga bisa!”
“Aku akan minum!”
“Dan aku!”
Suara-suara itu berkumandang keluar dalam arus tanpa akhir. Bahkan para warga sipil dari lingkar luar kerumunan juga melangkah maju.
“Kau-” Amarah Lu Guang meledak bagaikan halilintar dan rambut pada alisnya berdiri terbalik.
Dia mencabut pedang dari pinggangnya.
“Bagus! Kalian tak mau minum untuk bersulang, tapi malah menerima arak hukuman*! Biarkan pak tua ini melihat betapa keras leher-leher Kucha kalian!”
(T/N: 敬酒不吃吃罚酒 – jing jiu bu chi chi fa jiu – artinya dipaksa melakukan hal yang mula-mula ditolak)
“Jenderal, jangan!”
Orang yang berdiri di depannya adalah Du Jin, penasihat Lu Guang yang paling kompeten dan terpercaya. Karena aku berdiri dekat dengan mereka, aku bisa mendengar Du Jin berbisik kepada Lu Guang:
“Terlalu banyak paksaan dan rakyat akan memberontak, yang mana takkan menguntungkan kita. Jenderal, harap berpikirlah tiga kali!”
Lu Guang tiba-tiba tersadarkan dan dengan enggan menyarungkan pedangnya.
Bai Zhen buru-buru melangkah maju untuk mengakhiri upacara itu:
“Hari sudah semakin larut. Mari biarkan para guru kembali untuk beristirahat, sehingga Guru dan gadis kecilku juga bisa memasuki kamar pengantin lebih awal!”