Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 55
- Home
- Faithful to Buddha, Faithful to You
- Chapter 55 - Mengikat Ujung Baju Tuk Berjanji Seratus Tahun
Pintu berderit di belakang kami saat menutup, dan suara langkah-langkah kaki di belakang jadi semakin dan semakin mengecil hingga memudar hilang. Sepasang lilin merah menyinari ruangan yang polos namun tanpa noda, mewarnai sekeliling dalam kilau merah yang aneh. Karena status terhormat dan posisinya sebagai kepala kuil, Rajiva mendapatkan kamar dan halaman terpisahnya sendiri di Kuil Cakuri. Sebelumnya, aku terbiasa mengamati pekerjaannya di kuil dan tahu kalau di sinilah tempat tinggalnya, namun demi menghindari menimbulkan kecurigaan (dari orang lain), aku tak pernah berkunjung sekali pun. Aku tak menyangka kalau aku akan menghabiskan malam pengantinku di sini.
Kamar ini sunyi dengan ganjilnya. Bagaimana aku harus memberitahunya kalau mempelai wanitanya adalah diriku? Haruskah aku mengangkat sendiri kerudungku? Atau, haruskah aku menunggu dan melihat akan seperti apa reaksinya? Tak bisa memutuskan, aku pun berbalik dan menatap rak buku yang berdiri menyandar pada dinding.
“Kamu sudah disalahi hari ini.”
Huh? Aku berbalik dan menatapnya lewat sutra merah. Sebuah sosok tampan yang kabur memenuhi pandanganku. Jantungku berdebar kencang. Apakah dia mabuk? Atau dia memang selalu selembut ini dengan wanita mana pun?
“Rajiva tak menyangka kalau kamu dan aku akan menjadi suami istri.”
Saat dia mendongak, terdapat seulas senyum puas di sudut mulutnya. Kata-kata ‘suami dan istri’ terulang lembut dengan takzim serta kesukacitaan yang tak terkekang. Dia menatapku dengan mata berkilauan seperti ombak yang terpantul dalam cahaya, menenggelamkanku bersamanya.
“Menjadi suami dan istri, bagai sepasang burung terbang berdampingan bersama-sama*, tekadnya tak tergoyahkan – yang tak pernah Rajiva berani minta dalam hidup ini entah bagaimana terkabulkan malam ini.”
(T/N: 比翼双飞 – idiom Tiongkok, terjemahan harafiahnya adalah ‘bagaikan sepasang sayap terbang bersama; atau menurut MDBG: sepasang burung terbang berdekatan bersama-sama; artinya adalah menjadi satu)
Terbengong-bengong, aku menatap dirinya. Kepalaku begitu kebingungan hingga aku tak tahu bagaimana harus bertindak. Barusan tadi, dia begitu pantang menyerah dan acuh tak acuh di depan keramaian, jadi kenapa dia tiba-tiba menunjukkan perubahan sikap? Apa dia tahu siapa yang diajaknya bicara?
“Kamu pasti lelah. Beberapa hari terakhir ini, kamu pasti tidak tidur dengan baik. Istirahatlah lebih awal malam ini.”
Dia menghampiriku dan sudah akan meraih tanganku, tapi aku buru-buru menghindarinya.
“Ada apa? Apakah ini untuk mengecam Rajiva karena memperlakukanmu secara dingin di upacara pernikahan tadi?”
Suara lembut dan memabukkannya berhembus bagai semilir angin ke dalam telingaku. Mengulum senyum, dia berbisik, “Aku tak tahu kalau itu adalah kamu pada saat itu, dan tak ada waktu untuk mempertimbangkannya. Kamu punya hati yang begitu baik, jadi kamu takkan menyalahkan Rajiva untuk itu, kan?”
“Kau- Kau sudah tahu siapa aku?”
Nada suara itu, dia hanya memakainya denganku ketika tak ada orang lain yang hadir. Aku mengangkat sebelah tangan untuk menarik turun kerudungnya.
“Jangan!”
Dia menahan tanganku dan menatapnya dalam waktu lama sebelum berkata lembut, “Kerudungnya seharusnya hanya boleh dilepas oleh mempelai pria.”
Lautan merah di depan mataku selama beberapa jam terakhir ini akhirnya menghilang. Sutranya baru saja menggelincir lepas dan aku baru saja menyesuaikan mataku pada cahaya saat diriku terjatuh ke dalam dekapan hangat. Bersandar di dadanya, mendengarkan suara detak jantungnya, aku menyadari kalau debarannya sama kencangnya dengan diriku! Sesaat kemudian, dia sedikit menjauhkan tubuh kami dan meletakkan tangannya ke pinggangku, menatapku dari atas ke bawah sebelum mengesah dengan suara rendah:
“Ai Qing, gaun pengantinnya tampak cantik padamu.”
“Kau – Bagaimana kau tahu kalau itu aku?”
Kalau ingatanku benar, di sepanjang upacara, dia tak melirikku bahkan sekali pun. Tiba-tiba, aku teringat kembali saat kami diantar memasuki kamar pengantin. Dia berjalan di depan; punggungnya tegak namun bahunya bergetar. Pada saat itu, kupikir dia pasti masih marah, tapi mungkinkah hal itu adalah karena dia sudah tahu kalau mempelai wanitanya adalah aku?
Dia membuka telapak tangannya dan menampakkan sepotong kecil pensil.
“Ini – Ini adalah….”
“Pusydeva memberikannya kepadaku.”
Dia tersenyum, kebahagiaan membuncah dari kedalaman matanya.
“Ingat? Tepat saat dia merampas mangkuk ketiga yang akan kuminum, saat itulah dia meletakkan ini dalam telapak tanganku.”
Pusydeva? Aku tertegun. Tak heran dia terus mengedip padaku tepat sebelum kami memasuki kamar pengantin, tapi pada saat itu aku tak memahaminya. Namun bukankah dia bilang kalau dia ingin membiarkan Rajiva menyadarinya sendiri? Apakah dia khawatir kalau Rajiva akan melukaiku secara tak sengaja? Juga, sudah lewat berapa tahun itu, tetapi dia masih membawa-bawa barang-barang yang kutinggalkan….
“Aku selalu mengira kalau kau adalah Asuyamati, jadi aku tak pernah melihatmu. Rajiva sudah memutuskan untuk tidak masuk bahkan setengah langkah pun ke dalam kamar ini, tetapi saat menerima kuas tulis ini, Rajiva seketika memahami semuanya.”
Dia merundukkan kepalanya tepat ke samping telingaku; setiap hembusan napasnya menggelitik: “Rajiva cepat-cepat melihat mempelai wanita yang ditinggalkan seorang diri di tengah halaman, dan menyadari dengan terkejut bahwa gadis yang sedang berdiri dan tampak seakan dirinya telah disalahi adalah kamu!”
Di tengah-tengah kekacauan, aku tak memperhatikan apakah dia melihatku. Aku memutar tubuhku membelakanginya dan bertanya dengan wajah memerah:
“Tapi aku mengenakan kerudung, jadi bagaimana kau bisa tahu kalau itu adalah aku?”
“Kamu adalah wanita yang paling Rajiva kenal di dunia ini, jadi bagaimana aku tak bisa mengenali sosokmu?”
Dia menyeringai nakal kemudian kembali menatapku dari atas ke bawah:
“Asuyamati lebih tinggi, tetapi tak seputih dan seanggun kamu. Tapi, bagaimana kalian bisa bertukar tempat?”
Aku mengajaknya untuk duduk di ujung tempat tidur dan mengulang kembali keseluruhan ceritanya. Begitu Rajiva akhirnya memahami semuanya, dia terus menggelengkan kepalanya saat dia tersenyum, karena bahkan dirinya juga telah diakali oleh Pusydeva.
Meski telah menjelaskan semuanya, aku masih merasa gelisah. Setelah memikirkannya selama sesaat, aku memutuskan untuk bertanya kepadanya, “Rajiva, apa kau menyesal menikahiku?”
Dia menatapku dengan kaget.
“Ai Qing, kamu tahu kalau hati Rajiva kepadamu tak berubah selama dua puluh tahun terakhir. Rajiva masih belum cukup berterima kasih kepada Sang Buddha karena mengizinkanku menjadikan kamu sebagai istriku, jadi bagaimana bisa ada penyesalan?”
“Tapi….” Aku berkata terbata, “Tidakkah kau bilang kalau kebahagiaan dari praktek spiritual itu jauh lebih besar daripada kesenangan lima keinginan?”
Sejenak dia terkejut sebelum tiba-tiba mengembangkan senyum malu-malu:
“Kalau kamu menghadapi seorang wanita yang tidak kamu cintai, tentu saja takkan ada keinginan. Akan tetapi, saat ini, istri Rajiva adalah dirimu – setetes madu yang begitu manis dan murni, Rajiva terjebak jauh di dalamnya, tak mampu melepaskan dirinya sendiri, dan, pada kenyataannya, tak bersedia melepaskan dirinya sendiri. Kisah tentang gajah, lima racun, dan tikus itu menunjukkan bahwa tak ada manusia yang bisa lepas dari keadaan berbahaya seperti itu. Rajiva juga adalah seorang pria dengan tujuh emosi dan enam keinginan*. Tak mampu melepaskan diri dari rintangan ini, tak mampu memasuki Nirvana, namun selama aku bisa mendapatkan setitik madumu ini, Rajiva takkan takut pada apa pun.”
(T/N: 七情六欲 atau ‘Tujuh Emosi dan Enam Keinginan’ adalah sebuah konsep Tiongkok dengan berbagai asal dan interpretasi tergantung pada aliran pemikirannya. Tujuh Emosi menurut Kitab Ritual (Konfusianisme) adalah: 喜 kesukacitaan, 怒 keamrahan, 哀 kesedihan, 惧 rasa takut, 爱 cinta, 恶 benci, dan 欲 keinginan. Dalam Buddhisme adalah: 喜kesukacitaan, 怒 amarah, 忧 kecemasan, 惧 rasa takut, 爱 cinta, 憎 dendam, dan欲 keinginan. Pengobatan tradisional Tiongkok percaya bahwa ‘Tujuh Emosi’ the berhubungan dengan organ, dan emosi berlebih kemudian bisa menyebabkan penyakit fisik. Enam Keingianan’ sesuai Analek Musim Semi dan Musim Gugur Tuan Lu adalah keingian dari 生 hidup dan 死 mati, serta keinginan merasakan lewat 耳 telinga, 目 mata, 口 mulut, dan 鼻 hidung. Budddhisme menganggap ‘Enam Keinginan’ terdiri dari: nafsu, penampilan, reputasi terhormat, mengatakan dan mendengar suara, hidup dan mati dengan baik, serta hubungan antarmanusia. Teori-teori modern menempatkan ‘Enam Keinginan’ sebagai keinginan yang disebabkan oleh lawan jenis dalam hubungannya dengan cinta. (Sumber: Baike Baidu))
Dia tampaknya teringat sesuatu dan mengangkat kepalanya dalam perenungaan. Senyum di wajahnya memudar. Saat dia menatapku lagi, matanya sarat dengan rasa bersalah. Jantungku serasa diremas saat melihatnya. Pada akhirnya, tampaknya seperti masih ada sesuatu yang dia renungkan. Sampai kapan simpul dalam hatinya ini akan terurai?
Dia meletakkan satu tangan pada punggungku, memakai tangan lainnya untuk menyibakkan helaian rambut yang berkibar di depan dahiku, dan berkata perlahan dan lembut:
“Ai Qing, janji terbesar di dunia yang bisa dibuat oleh seorang pria kepada orang tercintanya adalah pernikahan. Kau telah memilih untuk memberikan dirimu sendiri kepadaku dan telah menderita begitu banyak kesusahan. Kau dan aku sudah lama menjadi suami istri. Rajiva selalu berharap dia bisa memberimu status resmi….”
Aku perlahan menghembuskan napas lega. Jadi semua itu hanya ada dalam hatiku. Dia tak menyesal menikahiku.
Aku tersenyum, menggelengkan kepalaku: “Aku tak keberatan – ”
“Tapi aku keberatan,” dia menyelaku, mendongak selama sesaat, berpikir, dan saat matanya kembali padaku, mata itu berkilau bagai kristal, “Ai Qing, saat dikurung selama dua hari terakhir itu, Rajiva terus memikirkan tentang saat kau memberiku anggukan di kuil. Ketidakberdayaan di matamu pada saat itu menghancurkan hati Rajiva. Rajiva mengira kamu akan pergi, karena bagaimana kamu sanggup menanggung menyaksikan Rajiva menikahi orang lain? Tetapi kalau kamu pergi, maka kita akan terpisah oleh jarak seribu tahun, bagaimana Rajiva akan bisa tahu ke mana harus mencarimu? Bahkan bila aku bersedia menunggumu selama sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, kau tidak akan kembali.”
Dia menangis dan menggenggam tanganku erat-erat, seakan takut kalau aku akan menghilang begitu dia melepaskannya.
“Rajiva berpikir kalau kali ini dia telah benar-benar kehilangan dirimu. Pemikiran ini membuat Rajiva merasa sangat ketakutan dan selama dua hari ini merasa sangat menyesali, sangat menyesal ah! Andai aku tahu kalau aku akan dipaksa mengambil istri, maka kenapa aku tak menikahimu lebih awal? Kenapa Rajiva tak memberimu status resmi yang selalu kuinginkan tetapi tak pernah berani untuk kuminta? Apa itu panggilan, apa itu harapan, keyakinan – hal-hal ini menjadi belenggu yang mengikatku, membuatku mengecewakanmu.”
Sudut bibirnya bergetar saat dia membelai wajahku:
“Ai Qing, Rajiva tak sanggup kehilangan dirimu lagi….”
Dengan air mata di wajahku, aku mengangkat tangan yang gemetaran untuk membelai wajahnya, pipinya yang cekung, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun, hanya punya cukup kekuatan untuk menggelengkan kepalaku.
Dia memanggil namaku dengan suara tercekat, membelai dahiku dengan kedua tangan sebelum menyentuhkan dahi kami.
“Jadi begitu menerima kuas tulis ini, rasanya seakan Rajiva bisa mendengar petir berdenging di kepalaku, memberiku perasaan yang campur aduk*. Orang yang Rajiva nikahi adalah dirimu, sesungguhnya adalah dirimu! Pada saat itu, aku bahkan merasa berterima kasih kepada Lu Guang. Dia telah menghancurkan praktek spiritual seumur hidupku, memaksaku melanggar Sila dan menikah, tetapi berkat belas kasihan Sang Buddha, penyatuan antara kamu dan Rajiva menjadi mungkin. Ini adalah keinginan terdalam yang Rajiva miliki namun tak berani akui. Jadi, Rajiva tak lagi membenci dirinya (Lu Guang).”
(T/N: Frase asalnya adalah 五味杂陈, sebuah idiom Tiongkok yang secara kasar diterjemahkan sebagai ‘pertunjukan dari pencampuran lima rasa’. Lima rasa mengacu pada ‘manis, asam, pahit, pedas, dan asin’. Lima rasa ini bercampur, jadi idiom ini adalah menggambarkan perasaan yang campur aduk dan rumit.)
Mata abu-abu muda menyelimutiku dalam tatapannya, menyapu bersih air mataku.
“Tapi kau pasti telah merasa disalahi, istriku.”
Istriku!
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Apakah aku telah disalahi? Mungkin di mata orang lain, aku memang telah disalahi. ‘Malam pertama’ku dilewatkan dengan ditonton dan berada di bawah penghinaan yang sedemikian besarnya. Hari pernikahan tak bisa dibilang sebagai perayaan apa pun di hadapan pedang dan belati-kapak. Akan tetapi, aku tak menyesalinya. Aku mencintai dia. Ini bukan tentang siapa yang lebih mencintai siapa, atau siapa yang telah berkorban lebih banyak. Aku ingin mengikuti dia, dan keinginan ini begitu kuat sehingga selama dia mencintaiku, apakah menjadi masalah bila orang lain berpikir kalau aku telah disalahi?
“Rajiva, apa kau sudah lupa kalau aku berasal dari masa depan? Catatan tentangmu menuliskan bahwa ‘istrinya adalah putri dari Kucha’ yang bernama Agayamati. Aku selalu mengira kalau diriku tak ada dalam sejarah hidupmu, tapi apa sekarang kau lihat, aku adalah putri Kucha. Aku adalah Agayamati. Jadi aku ada dalam sejarahmu, dan kau adalah orang yang kunikahi. – itu adalah takdir. Bahwa aku menyeberangi ribuan tahun untuk datang kemari, bertemu denganmu, jatuh cinta kepadamu, dan menjadi istrimu – semua itu telah diatur oleh para dewa sejak lama. Jadi aku tak menyesalinya, juga tidak merasa kalau aku telah disalahi….
“Seribu tahun dari sekarang, akan ada seorang rahib yang bernama Tsangyang Gyatso. Digelari sebagai Dalai Lama, dia adalah Buddha hidup dari Tubo (T/N: nama lama dari Tibet) dengan peringkat tertinggi. Namun seperti dirimu, dia juga jatuh cinta. Dia adalah seorang cendekiawan berbakat dan telah menuliskan banyak puisi untuk kekasihnya, Makye Ame. Salah satunya berbunyi seperti ini:
‘Malu bahwa perasaanku telah mencemari jalan suci,
Aku tetap takut akan pesona kecantikan setelah memasuki gunung.
Di dunia ini, bagaimana bisa memenuhi keduanya,
Setia kepada Buddha, setia kepadamu*.’
(T/N: Istilah mandarinnya, dan juga yang dipakai oleh pengarang sebagai judul kisah ini, adalah 不负如来不负卿 (Bu Fu Rulai, Bu Fu Qing). Terjemahan harafiahnya seharusnya: Tidak mengecewakan Rulai / Buddha, tidak mengecewakan cinta / kasih. Tetapi oleh penerjemah Inggris mengalami penyesuaian menjadi seperti yang kita ketahui sekarang, apalagi nama tokoh utama wanita adalah ‘Ai Qing’. Jadi kalimat ini juga bisa dijadikan permainan kata-kata: Setia kepada Buddha, setia kepada Qing (Ai Qing).)
“Sayangnya, dia tak bisa menemukan cara untuk memenuhi keduanya. Kekasihnya dipaksa menikahi orang lain, dan dia meninggal saat dikawal menuju Ibu Kota Dataran Tengah saat dirinya baru berusia dua pulah tahunan.”
(T/N: Tsangyang Gyatso (183 – 1706), adalah Dalai Lama keenam. Dia terkenal buruk karena dia lebih memilih gaya hidup hedonistis daripada menjadi rahib dan pada kenyataannya mengundurkan diri dari kebiarawanan pada tahun 1702. Puisi-puisi cintanya terkenal hingga saat ini bukan hanya di Tibet tetapi juga di Tiongkok. Dikawal dalam kalimat di atas maksudnya dikawal sebagai kriminal. Dia sebenarnya dimakzulkan dan diculik oleh Lha-bzang Khan, khan dari Khosut, yang merupakan bagian dari kekuasaan tripartite yang menguasai Tibet sejak 1642. Khoshut Khan mengendalikan militer, sementara kekuasaan eksekutif ada di tangan seorang regent (desi) yang mulanya ditujuk oleh Khosut khan, dan kekuasaan keagamaan ada di bawah Dalai Lama. Intinya ini adalah masalah politik dan perebutan kekuasaan yang terjadi pada masa Dalai Lama keenam, dan perilakunya dipakai sebagai alasan untuk menyingkirkan dirinya, yang mana juga disetujui oleh Kaisar Tiongkok, Kangxi, dari Dinasti Qing. Hal itu juga secara tidak langsung membawa keterlibatan Tiongkok dalam politik Tibet. Penyebabnya: imperialisme.)
Aku terdiam untuk menghentikan isakan dan kemudian tersenyum kepadanya.
“Tetapi Rajiva, aku ingin mengubah dua baris terakhir untukmu:
‘Di dunia ini, ada satu yang bisa memenuhi keduanya,
Setia kepada Buddha, setia kepadamu.’
Selama kau berani menikahiku, maka aku berani menjadi istri seorang rahib. Setelah mati, kita akan memasuki neraka bersama-sama. Bahkan bila kita harus mendaki gunung, menghadapi pedang, atau memasuki wajan penggorengan yang panas, selama aku bersamamu, aku tidak takut!”
Tergerak, dia menatapku, “Di dunia ini, ada satu yang bisa memenuhi keduanya: Setia kepada Buddha, setia kepadamu.”
Dia bertanya dengan tidak yakin: “Setia kepada Buddha, setia kepadamu. Ai Qing, bisakah Rajiva benar-benar melakukannya?”
“Bisa. Selama kau tak memedulikan fitnahan dari generasi ini dan kritikan dari generasi berikutnya.”
Dia tersenyum dengan matanya dan mengangguk dengan tegas:
“Selama Rajiva bisa menyelesaikan misi yang diberikan oleh Sang Buddha dan diizinkan untuk bisa bersama denganmu, Rajiva sudah puas dan tak meminta yang lainnya.”
Dia merundukkan kepalanya dan menciumku. Masih ada aroma arak yang menempel di mulutnya, membuatku merasa seakan aku telah dimabukkan oleh kebahagiaan. Air matanya membasahi pipiku dan bercampur dengan air mataku sendiri, rasa asinnya menjalar dari ciuman itu ke dalam hatiku.
“Istriku…,” dia menggumam dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku merasa seakan diriku telanjang di bawah siraman cahaya matahari, kembali ke kondisi alamiah, namun tanpa rasa malu sedikit pun. Oh Buddha, apakah aku diciptakan hanya untuknya?
“Oh, benar juga. Ai Qing, tadi saat upacara, seharusnya ada seorang saksi yang akan mengumumkan kita sebagai suami istri. Tapi gara-gara kekacauan pada saat itu, upacaranya jadi terganggu. Kemari – ”
Dia menggandengku ke arah meja, di mana sebuah rupang Buddha diletakkan di bagian tengah. Dia menyalakan beberapa batang dupa dan memegangnya dengan kedua tangan seraya berlutut: “Kita akan meminta Sang Buddha untuk menjadi saksi.”
Meski aku adalah orang modern yang pendidikannya berdasarkan pada materialisme, aku masih merasakan keraguan dan mengerut mundur: “Rajiva, kau – apa kau tidak takut pada teguran Sang Buddha?”
Dia menatap tenang kepadaku dan dengan lembut menggelengkan kepalanya:
“Kita telah melewati begitu banyak rintangan untuk bisa bersama, tidakkah kau berpikir kalau mungkin ini adalah kehendak Sang Buddha? Buddha penuh belas kasihan, bagaimana Beliau bisa membuat kita menderita lagi?”
Berbalik menghadap pada rupang Buddha, dia mengucapkannya keras-keras dengan suara sungguh-sungguh:
“Harap Sang Buddha menjadi saksi bahwa sejak saat ini, Rajiva dan Ai Qing akan menjadi suami istri, yang akan hidup dan mati di tempat yang sama*, tak pernah berpisah ataupun ditinggalkan**.”
(T/N: *生同衾,死同穴 – sebuah idiom Tiongkok yang berasal dari karya Wang Shifu dari Dinasti Yuan (1271-1368) berjudul 西厢记, atau ‘Kisah Sayap Barat / Romansa Kamar Barat. Wang Shifu berasal dari Dinasti Yuan, sementara kisahnya bersetting pada Dinasti Tang. Idiom ini secara harafiah berarti ‘terlahir di tempat yang sama, mati di tempat / lubang yang sama; menggambarkan perasaan yang mendalam antarpasangan satu sama lain.
**不离不弃 – sebuah idiom Tiongkok yang berasal dari kisah Impian dari Bilik Merah 紅樓夢 (Hónglóumèng) yang ditulis di pertengahan abad ke-18. Idiom ini serupa dengan frase ‘hingga maut memisahkan’ dalam sumpah pernikahan.
— Dan bagaimana seorang rahib dari abad ke-3 bisa tahu tentang idiom-idiom dari kisah yang berasal dari abad ke-12 dan ke-18… yah, suka-suka pengarang ajalah)
Dia membagi dua dupa-dupa itu denganku. Kami menaikkan batang-batang dupa itu ke dekat puncak kepala kami, berkowtow tiga kali, dan menancapkan dupa-dupa itu ke dalam pendupaan.
“Rajiva….”
Aku mendengus keras untuk menahan air mata yang sudah akan membanjir dan mendongak menatap wajah baik hati Sang Buddha. Pada saat ini, kuharap Sang Buddha sedang melihat kami dari atas, tersenyum dan memberi kami berkatnya.
Begitu kami selesai dengan dupanya, dia tampaknya tiba-tiba teringat sesuatu dan bertanya kepadaku:
“Di mana lukisan orang tuamu, yang kamu sebut sebagai ‘foto’ itu?”
Foto itu selalu disimpan olehku. Aku memberikannya kepada dia, merasa agak kebingungan. Dia mengambilnya, memandanginya sejenak, kemudian meletakkannya di atas meja, lalu berkowtow tiga kali.
(T/N: Sesuai dengan adat pernikahan Tiongkok, mempelai pria dan wanita akan berkowtow masing-masing tiga kali pada Langit, orangtua / tetua. Dan akhirnya pada satu sama lain sebagai bagian dari upacara. Tadi Rajiva berkowtow kepada Sang Buddha untuk bagian pertama, dan sekarang kepada orangtua Ai Qing (untuk orangtua yang sudah meninggal, dalam hal ini orangtua Rajiva, kau bisa memakai papan arwah, tapi mungkin orang Kucha tak memilikinya))
“Ayah Mertua dan Ibu Mertua, Rajiva berterima kasih kepada kalian berdua karena telah membesarkan anak perempuan sebaik ini. Demi menemani Rajiva, dia tak bisa kembali untuk memenuhi baktinya sebagai seorang anak – kesalahan ada di pihak menantu ini. Kalian berdua tak perlu khawatir, karena Rajiva bersumpah takkan pernah mengecwakan dia dalam seumur hidup ini.”
Tak lagi mampu menahannya, aku menangis sepenuh hati, menyentuhkan dahiku ke lantai dan berkowtow tiga kali keapda orangtuaku. Sebelum aku memulai proyek perjalanan waktu ini, aku tak pernah berani menyebutkannya pada orangtuaku; sebagiannya karena aku takut kalau mereka akan cemas, dan alasan lainnya adalah karena proyek ini harus dirahasiakan. Aku juga mendapati kalau aku akan kembali entah bagaimanapun caranya, cepat atau lambat. Tapi sekarang, aku sudah membulatkan pikiranku untuk tetap berada di sisinya.
Ibu dan Ayah, maafkan aku karena membuat kalian tak bisa melihat sendiri putri kalian menikah, dan atas fakta bahwa kalian bahkan tak mengenal siapa menantu kalian. Tetapi, putrimu sangat bahagia. Belum pernah sebahagia ini. Tidakkah kalian akan merasa senang atas kebahagiaanku? Maafkan putri kalian karena tidak berbakti. Jagalah diri kalian….
Kami telah memberi penghormatan kepada Buddha dan orangtua. Sekarang, adalah giliran kami. Aku membungkuk dan mengikatkan ujung dari pakaian kami menjadi satu. Dia mengikuti gerakanku dengan kaget. Sekali lagi, aku berkowtow tiga kali dan membuat sumpah dengan suara paling salehku:
“Semoga Sang Buddha dan orangtua menjadi saksi, Rajiva dan aku telah mengikatkan ujung dari baju untuk menjanjikan kebersamaan selama seratus tahun, dan bahwa siapa pun yang mati pada usia sembilan puluh tujuh tahun, akan menunggu yang lainnya selama tiga tahun di Jembatan Naihe*….”
(T/N: Jembatan Naihe / Jembatan Ketidakberdayaan adalah jembatan dalam mitologi Tiongkok yang harus diseberangi oleh setiap arwah sebelum direinkarnasi. Jadi dalam kalimat di atas, yang mati duluan akan menunggu pasangannya di jembatan Naihe, tidak berangkat duluan, agar nanti bila yang satunya menyusul, mereka bisa pergi bereinkarnasi bersama-sama. Kalimat di atas kemungkinan besar terinspirasi dari kisah dan lagu cinta dari Liu Sanjie. Silakan intip kembali ke catatan penerjemah di Chapter 26. kalau mau lengkap, silakan langsung membaca ke terjemahan Inggris oleh Haru)
Dia telah berlutut di sampingku. Begitu aku menyelesaikan sumpahku, dia juga berkowtow tiga kali kepadaku. Saat dia mengangkat kepalanya, matanya kembali bersinar cemerlang.
“Ai Qing, tak peduli berapa tahun pun waktu yang dibutuhkan, Rajiva bersedia menunggu….”
“Aku juga….”
Dia menggulung lengan bajunya dan menampakkan syal sutra warna-warni yang terikat di pergelangan tangannya. Dia tersenyum, sarat dengan emosi, melepaskan syal itu dan dengan seksama mengikatkannya ke leherku. Sebagai balasannya, aku melepaskan gelang yang terbuat dari manik-manik akik lalu memasangkannya kembali ke pergelangan tangannya. Sepuluh jemari bertautan satu sama lain, satu bahu menyandar pada yang lainnya – sejak saat ini, kami secara resmi menjadi suami istri, dan akan menjadi suami istri selama sisa hidup kami.