Faithful to Buddha, Faithful to You - Chapter 56
Sebuah ciuman lembut mengenai bibirku. Aku membuka mataku dengan setengah memicing dan melihat kalau langit di luar sudah terang.
“Maaf telah membangunkanmu.”
Dengan lembut dia mendorongku kembali ke bantal, “Kau bisa tidur sedikit lebih lama. Aku akan mengumpulkan para rahib untuk sutra pagi. Setelah kami selesai, aku akan kembali dan sarapan denganmu.”
Dia pergi dengan mengenakan jubah rahib, dan ketika dia membuka pintu, cahaya pagi yang pucat menyinari sosoknya yang tinggi dan kurus. Punggungnya yang rupawan dan terbuka menghasilkan lingkaran cahaya lembut di kamar. Aura yang menguar dari seluruh dirinya benar-benar unik dan tak tergambarkan.
Begitu pintu menutup, aku menarik selimut ke menutupi kepalaku dan terkikik, tak mampu lagi mengendalikan diriku sendiri. Aku tertawa hingga jadi terlalu sesak napas dan menyembulkan kepalaku keluar.
Semalam, kami hanya saling berpelukan saat kami tidur. Meski ini adalah malam pengantin kami, bagaimanapun juga kami berada di dalam sebuah kuil, jadi kami tak bisa menodainya. Akan tetapi, sekedar tidur dengan posisi berpelukan seperti itu saja sudah cukup untuk membuatku pusing dengan kebahagiaan.
Hari ini adalah hari pertamaku sebagai istrinya. Saat aku bergabung dengan proyek perjalanan waktu ini, aku tak pernah menyangka kalau aku akan menjadi istri dari seorang pria kuno ataupun seseorang yang sehebat ini — seseorang yang memiliki sifat yang tak terungkapkan memikatnya, karisma tak tertandingi, serta ketangguhan mental yang luar biasa.
Larut dalam pemikiran-pemikiran ini, suatu kebahagiaan rahasia membuncah di dalam diriku. Tiba-tiba, terdengar suara denting lonceng yang merdu di luar jendela dan segera setelahnya, suara rapalan dalam Bahasa Sansekerta mencapai telingaku. Meski aku tak bisa melihatnya, aku bisa membayangkan Rajiva memimpin kelompok rahib dalam menyalakan dupa, bersimpuh, dan kemudian melantunkan sutra. Medengarkan rapalan itu, hatiku langsung menjadi damai dan tenang. Tak ingin tidur lebih lama lagi, aku keluar dari ranjang dan memulai olahraga pagiku di halaman kecil itu. Aku tak berani berkeliaran lebih jauh lagi karena takut menyusahkan dirinya.
Seorang samanera (T/N: calon rahib yang masih belajar) kecil datang dengan membawa air. Begitu melihatku, tak tahu bagaimana harus memanggilku, dia merona, meletakkan embernya, dan kabur. Sesaat kemudian, seorang samanera lainnya membawakan aku sarapan, tergagap sesaat namun sepertinya tak bisa mengeluarkan kata-katanya. Begitu aku selesai membasuh diri, aku menatap nampan sarapan dengan tertegun, merenungkan statusku yang aneh.
Cinta dan aspirasi sama tidak cocoknya seperti api dan air. Kemampuan manusia terlalu kecil (untuk menangani keduanya). Bahkan bila aku bersedia tetap berada di sisinya dengan tenang, tak peduli dengan statusku, tanpa bisa dipungkiri aku tetap akan menjadi duri di jalan yang dia tempuh untuk memenuhi aspirasinya. Pada akhirnya, hal itu hanya akan menghasilkan penderitaan dan kebencian, serta kemudian pada akhirnya, perpisahan. Memikirkan tentang hal ini, diam-diam aku merasa bersyukur karena kami hidup di era yang begitu penuh kemelut. Perang telah membawa Lu Guang kemari, berulang kali memaksa Rajiva menikah, meski dia tak punya niat untuk membuat perjodohan cinta terjadi.
Dalam hal ini, aku memiliki pemikiran yang sama dengan Rajiva. Kami bersedia memaafkan Lu Guang tak peduli kekejaman macam apa yang telah, sedang, dan akan dia lakukan kepada kami. Bila dia tidak secara terbuka memaksa Rajiva, para rahib takkan menerima kami. Melanggar sila adalah sebuah noda tak terhapuskan dalam kehidupan cemerlang Rajiva. Ketenarannya seharusnya setara dengan ketenaran Xuan Zhang, namun karena noda ini, generasi selanjutnya akan, entah dengan disengaja atau tidak disengaja, menghindar dari membicarakan tentang kontribusi Rajiva ataupun menilainya dengan pandangan miring. Namun Rajiva berkata kalau dia tak keberatan. Dalam kegiatan apa pun, dia kini adalah seorang pria yang telah menikah namun masih bisa tinggal bersama dengan komunitas rahibnya, dan masih bisa mengikuti aspirasinya dalam menyebarkan ajaran Buddha. Dia lebih daripada puas dengan kondisi ini.
“Apa yang kau lamunkan?”
Melihatnya memasuki kamar, aku tersenyum cerah menyambutnya dan menutup buku harianku. Kami kemudian sarapan bersama. Rasanya seperti kembali pada hari-hari damai saat berada dalam tahanan rumah, di mana tak ada seorang pun yang mengganggu kami dan kami bisa sekedar begini saja, di mana kami bisa menikmati bersantap bersama, kadang-kadang mendongak untuk tersenyum kepada satu sama lain.
“Rajiva, aku ingin pindah ke rumahmu di Subashi hari ini.”
Dia menatapku dan mengangguk, “Baiklah.” Mengambil sepotong naan lagi, dia meneruskan, “Masavu dan istrinya telah pergi ke Tian Zhu bersama putra mereka, yang akan merawat mereka, jadi sekarang Kaodura dan istrinya yang menjaga rumah itu.”
Mengingat kembali bahwa Kaodura adalah kusirnya, aku mengangguk.
“Aku akan pergi setelah sarapan.”
“Ai Qing….”
Sebuah tangan meraih tanganku di bawah meja.
“Kau pasti telah merasa disalahi, tinggal di sini.”
Aku tersenyum dan menautkan jemari kami.
“Kita sekarang adalah suami istri, haruskah kita masih bersikap begitu formal antara satu sama lain?”
Dia harus pergi tepat setelah sarapan.
“Karena kekacauan perang dan fakta bahwa aku ditahan, kuil telah menjadi kacau balau dan banyak rahib yang telah kabur. Sekarang karena aku telah kembali, aku harus memulihkan ketertiban sesegera mungkin.”
Dia memberiku sorot bersalah, “Jadi hari-hari berikutnya akan jadi sangat sibuk.”
“Tidak apa-apa, kau pergilah dan lakukan tugasmu.”
Melihat kalau dia akan melangkah keluar, aku dengan cepat menarik lengannya kembali, berdiri berjinjit, dan memberinya kecupan di bibir.
Dia menatapku dengan tertegun, kemudian dengan senyum di sudut matanya, dia berkata, “Ai Qing, tolong kemasi pakaian dan barang-barangku juga.”
Dia melingkarkan lengannya pada pinggangku dan berbisik ke telingaku, “Aku akan kembali setelah rapalan sore.”
Wajahku memerah serta merta.
Aku menata barang-barangku. Aku tak punya banyak barang; sebagian besarnya adalah miliknya. Jubah-jubah rahibnya dibagi menjadi pakaian musim dingin dan musim panas. Kaus kakinya, melihat bagaimana kaus kaki itu terbuat dari linen kasar, aku menyesal tak membawa sejumlah kaus kaki katun modern untuknya. Saat merapikan barang, aku tak bisa menahan senyumku. Aku benar-benar menjalani kehidupan menikah yang bahagia: Membantu dia mengemasi barang, menungguinya pulang ke rumah di sore hari – aku adalah seorang nyonya muda yang bahagia.
“Kenapa Kakak Ipar bangun sepagi ini?”
Aku mendongak dan melihat Xiao Xuan masuk dengan membawa buntelan. Pusydeva sedang bersandar di pintu sambil menatapku. Dia menyandang tas ransel Northface-ku dengan agak menggelikan.
Wajahku terasa agak panas saat mendengar kata-kata ‘kakak ipar’. Secercah rasa manis merayap ke dalam hatiku. Mulai dari hari ini, mereka kini adalah keluargaku. Saat aku memberitahu mereka kalau aku akan pindah ke rumah di Kota Subashi, pasangan itu membantuku berkemas. Xiao Xuan telah membawakan kepadaku beberapa pakaian dan bahkan ada sekantong perak dijejalkan di dalamnya. Menolak tidaklah berguna; aku hanya bisa menerimanya. Tas ranselnya datang pada saat yang tepat. Aku memasukkan semuanya ke dalam. Xiao Xian menatap takjub pada bagaimana tas besar itu mampu menyimpan semuanya. Pusydeva hanya tersenyum.
Kami bertiga meninggalkan Kuil Cakuri bersama-sama. Pusydeva membawa tas ranselnya. Kalau dia juga mengenakan jaket penahan angin, dia akan tampak seperti seorang backpacker yang keren. Kami mengobrol dan tertawa saat kami pergi, menikmati waktu yang menyenangkan.
Pusydeva, yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti. Aku telah mendengarkan kisah-kisah Xiao Xuan tentang Qiu Si dan Yong Si* dan ketika aku mendongak, aku juga berhenti.
(T/N: keduanya adalah anak Pusydeva dan Xiao Xuan)
Beberapa orang pria menghadang kami. Mereka dipimpin oleh Lu Zuan, yang menatapku dengan kaget. Dalam sekejap, Pusydeva menempatkan tubuhnya di depanku dan Xiao Xuan.
“Salam Jenderal Kecil Lu.”
(T/N: Pusydeva menambahkan kata 小 – kecil / muda pada gelar Lu Zuan untuk membedakannya dengan ayahnya, Lu Guang. Tergantung konteksnya, hal ini bisa terdengar main-main atau bahkan penuh kasih, namun dalam situasi ini, Pusydeva mungkin sedang bermain-main di antara sikap hormat dan tidak hormat lagi)
“Guru Negara, bukankah wanita ini – ”
“Jenderal Kecil Lu, wanita ini adalah putri angkat sang Raja, Putri Agayamati dari Kucha.”
“Guru Negara ini, apakah Anda sedang bercanda denganku?” Wajah Lu Zuan menggelap, matanya yang garang terus menatapku dari atas ke bawah. “Wanita ini adalah orang Han, dia jelas-jelas – ”
“Bahwa Jenderal Kecil mengenali dirinya tidaklah aneh. Aku tak memberitahu Anda tentang identitas sang putri pada saat itu, jadi itu adalah kesalahanku.” Pusydeva dengan kalem membungkuk kecil kemudian berkata lantang, “Tapi ini benar-benar adalah sang putri yang gelarnya dianugerahkan oleh rajaku. Bahkan ada bandul kumala yang hanya dimiliki oleh keluarga istana Kucha pada dirinya. Di samping itu….”
Pusydeva tersenyum:
“Rajaku mengadopsi seorang wanita Han sebagai putrinya – apakah itu tak diperbolehkan?”
Baru sekarang aku tahu kalau singa kumala ini adalah simbol dari keluarga istana Kucha. Kumala ini bahkan memiliki namaku (Agayamati) terukir pada kakinya. Tak heran kalau Pusydeva pernah memberitahuku agar jangan melepaskannya.
“Kalau begitu Guru Negara, bahwa keluarga istana Kucha memiliki dua orang tuan putri yang sama-sama bernama Asuyamati, tidakkah Guru Negara mendapati bahwa hal itu aneh?”
Pusydeva mengernyit, pura-pura berpikir, kemudian membuat ekspresi muka seakan dia baru saja menyadari sesuatu, “Oh, Jenderal Kecil Lu bicara tentang putri dari raja yang sebelumnya. Bagaimana bisa putri dari seorang pendosa memiliki gelar sebagai tuan putri?”
Dia tersenyum tipis:
“Tak mengherankan kalau Jenderal Kecil Lu salah sangka. Nama dari putri kami adalah Agayamati, yang mana dalam Bahasa Kucha. Putri dari raja yang sebelumnya bernama Asuyamati, yang mana dalam Bahasa Sansekerta. Meski kedengarannya serupa, makna dari nama-nama itu sama sekali berbeda. Jenderal Kecil Lu tak memahami Bahasa Kucha ataupun Sansekerta, jadi mudah untuk membuat kesalahan.”
Wajah Lu Zuan jadi lebih gelap lagi. Dia ingin mengekspresikan amarahnya namun tak menemukan alasan untuk melakukannya.
Pusydeva dengan kalem membungkuk lagi dan berkata, “Kalau Jenderal Kecil tak memiliki urusan lain, saya yang rendah ini mohon izin untuk pergi lebih dahulu.”
Kami bertiga pun melanjutkan perjalanan kami. Untuk suatu alasan, aku terus merasa bahwa ada sepasang mata yang menatap punggungku dengan niatan keji. Seperti ada tulang ikan yang tersangkut di tenggorokanku, hal itu membuatku merasa dingin bahkan di bawah matahari pertengahan bulan sembilan yang panas.
Pusydeva membawaku hingga ke kediamannya. Sebelum dia pergi, dia berusaha menenangkanku dan memberitahuku agar jangan takut. Xiao Xuan terus menemaniku dan bahkan tetap tinggal untuk makan malam, baru pergi begitu Rajiva kembali.
Wajah Rajiva tampak agak lelah namun semangatnya tetap tinggi. Aku tergerak saat mengetahui bahwa kembali pada kesibukan kerja di kuil telah memulihkan dirinya. Dia benar-benar seorang pria yang berorientasi pada karir. Aku menyuruhnya untuk duduk dan dengan lembut memijat bahunya. Setelahnya, aku pergi untuk membawakan air hangat yang telah dipersiapkan oleh Kaodura untuknya mencuci wajah. Dia terus tersenyum gembira, dan matanya terus memandangi sosokku.
Aku pergi lagi untuk membuang airnya dan ketika aku kembali, aku melihat dia memegangi sebuah kotak di tangannya. Aku membukanya dan menemukan setumpukan sketsa di dalam. Sketsa-sketsa ini adalah sketsa yang telah dia gambar dahulu. Setelah melewati masa selama dua puluh tahun, sudut-sudut kertasnya semuanya telah menjadi usang.
Sketsa yang aku dulu pernah muntahi dengan darah warnanya telah menjadi seperti karat, dan sosokku di situ kini tampak kabur. Juga ada beberapa sketsa yang belum pernah kulihat sebelumnya, seperti sketsa tentang aku yang duduk di bawah bayang-bayang pohon, memegangi kepalaku dengan mata terpejam, ketiduran; ataupun sketsa tentang diriku yang dengan malu-malu dipeluk dalam dekapannya. Yang terakhir itu adalah kali pertama kami berciuman. Sketsa-sketsa ini adalah yang dia gambar dalam sepuluh tahun terakhir. Menatap masing-masing gambar satu demi satu, aku merasa tersentuh lagi dan lagi.
Dia berdiri di belakangku dengan lengannya melingkari bahuku, menatap gambar-gambar itu bersamaku. Kami berdua tak mengucapkan sepatah kata pun, leher sedikit bersentuhan satu sama lain. Aku memutar kepalaku dan mencium bibirnya yang lembab, kemudian memberinya kecupan pelan. Dia menundukkan kepalanya dan menautkan diri denganku, bergerak dari perlahan menjadi penuh semangat. Kepalaku berputar, tak mampu menentukan arah ketika tiba-tiba, kakiku berada di udara, tak lagi meyentuh tanah, dan tubuhku miring ke belakang.
Dia menggendongku ke ranjang.
“Aku… aku berat.” Jantungku berdegup kencang dan lenganku melingkari lehernya. Aku merasa agak cemas, takut kalau dia takkan bisa menopang bobotku.
“Kamu tidak berat….”
Namun ketika dia meletakkanku ke atas ranjang, dia terengah, matanya tampak seakan bisa melelehkanku sepenuhnya.
“Rajiva harus belajar cara menggendong istrinya. Kelak, mungkin akan berguna….”
Sebelum aku bahkan bisa bertanya kepadanya kapan dia akan perlu memakainya, dia sudah melingkupiku dengan tubuhnya. Dia menatapku. Seulas senyum terbentuk di wajahnya dan dengan merona, dia berbisik ke telingaku:
“Ai Qing, hari ini benar-benar adalah malam pengantin kita.”
Wajahku tiba-tiba memanas. Titik-titik keringat mengumpul di ujung hidungku. Aku ingin membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu namun yang keluar malah sebuah lenguhan lirih. Mendengarnya, bahkan aku juga terperanjat. Sejak kapan suaraku jadi semenggoda ini?
Mata kelabu mudanya tiba-tiba menjadi intens, memancarkan hawa panas menyengat seperti obor. Napasnya jadi lebih berat dan serentetan ciuman mendarat di mana-mana, seakan dia ingin mencium setiap area kulit. Rajiva malam ini sangat berbeda dari waktu-waktu lainnya. Ini adalah kali pertama dia begitu aktif dan penuh dengan hasrat. Tak ada keraguan ataupun perlawanan, tak ada lagi jejak ketidakyakinan ataupun rasa kehilangan. Dia menikmati sepenuh hati perasaan nikmat yang terbesar, saat paling indah dalam hidup yang telah diberikan Langit kepada manusia. Dia membawaku ke tanah surgawi, di mana aku tak mampu menahan lenguhanku, menunggangi gelombang demi gelombang kenikmatan.
Saat dia memanggil namaku ketika kami sama-sama akan mencapai puncak, air mata secara tiba-tiba dan tak disadari bergulir turun dari wajahku. Aku telah mendambakan momen penyatuan ini, bukan hanya secara fisik, namun juga di mana jantung kami berdetak bersama, dengan hanya sepuluh sentimeter di antara kami. Aku membelitnya dengan kedua tangan dan kakiku. Lagu ‘Sulur membelit pohon’* tiba-tiba muncul dalam benakku. Aku adalah sulur, dan dia adalah pohon. “Sulur tumbuh di atas pohon, membelit di sekelilingnya hingga kematian / Pohon tumbuh bersama dengan sulur, tak terbengkokkan karena belitan.”
(T/N: Judul mandarinnya adalah 藤缠树. Kau mungkin bisa mengenali judul lagu ini dari catatan akhir Haru di chapter sebelumnya, yang dibilang berasal dari film musikal Liu Sanjie. Lagu ini ternyata adalah adaptasi dari lagu rakyat Hakka (menurut Baike Baidu). Bagaimanapun, di bab ini, Ai Qing benar-benar mengacu pada lirik lagu rakyat yang asli, khususnya pada dua baris terakhir:
入山看到藤缠树,
出山看到树缠藤。
藤生树死缠到死,
树生藤死死也缠。
Bagi yang bisa mandarin, silakan artikan sendiri karena terjemahan inggris resminya tidak tersedia)
****
Aku pergi bersama istri Kaodura, Adoly, mengelilingi pasar. Sudah lama sejak aku bisa pergi keluar, jadi mendengar tentang pasar ini telah menyulut kembali semangat petualangku. Pasar di Kota Subashi digelar setiap sepuluh hari, dan ada petani-petani dari desa-desa terdekat dan juga pedagang dari Ibu Kota Kucha yang hadir. Pasar di udara terbuka ini luar biasa hidup. Barisan besar barang-barang terpajang. Ada perkakas tembaga yang dipoles dengan tangan, hasil kerajinan kayu buatan tangan, syal-syal wol, dan pisau-pisau kecil yang tampak indah untuk memotong daging…. Mataku begitu disilaukan hingga berubah menjadi bunga*.
(T/N: 眼花缭乱 – idiom Tiongkok (dan juga ekspresi umum di Vietnam) untuk menggambarkan kondisi begitu terpukau sehingga pupil matamu jadi agak lucu, yang mana dianggap seperti bunga – jangan tanya kenapa)
Aku pernah mengunjungi Bazar Besar di Kashgar saat aku melakukan perjalanan di sekitar Xinjiang. Bazar modern telah menjadi pasar petani yang buka setiap hari, semua tertata di dalam sebuah gedung banyak lantai besar khusus yang dibagi menjadi blok-blok yang seperti jaring. Meski pasarnya penuh dengan orang, tetap saja tidak seotentik pasar yang sedang kulihat sekarang, 1.650 tahun di masa lalu. Aku terperangah dan berjongkok di depan lapak seorang wanita. Dia menjual sulaman buatan tangan. Meski produknya tak seindah yang ada di istana kerajaan, pola-polanya masih tampak jelas sebagai pola khas Kucha. Aku mempelajari hampir setiap helainya dan pada saat Adoly dasao menarikku pergi, aku hanya berhasil membeli tiga buah.
(T/N: 大嫂 atau dàsǎo bisa diartikan sebagai istri dari kakak laki-laki. Akan tetapi, istilah ini juga merupakan istilah hormat untuk seorang wanita menikah yang lebih tua, yang mana diterapkan di sini karena Adoly tidak berhubungan keluarga dengan Ai Qing lewat pernikahan seperti Xiao Xuan)
“Nyonya, kumohon kau membeli lebih sedikit barang yang takkan kau gunakan, dan jangan terlalu banyak melihat-lihat barang yang tak berniat kau beli. Kalau gaya ini terus berlanjut, kita takkan bisa selesai mengelilingi pasar sebelum hari gelap.”
Hehe, aku bisa mengerti keluhan Adoly dasao. Aku nyaris tak bisa mengangkat barang-barang di kedua tanganku. Kebiasaan burukku yang kadang-kadang muncul sedang kumat lagi! Di mataku, aku telah menganggap semua benda ini sebagai relik sejarah dan budaya. Setelah mendengar keluhan Adoly dasao, aku tiba-tiba menyadari bahwa karena aku tak berencana untuk kembali ke masaku, mengumpulkan barang-barang ini tidaklah berguna.
“Baiklah, baiklah, aku takkan mengeluarkan uang secara gegabah lagi.”
Setelah menekuri diri secara serius, aku dengan cepat berubah menjadi seorang anak yang bersikap baik.
“Yang itu bagus sekali!” Adoly dasao mengangguk puas, namun begitu dia berbalik, dia tak bisa menemukanku.
Dia melihat sekeliling dan mendapati kalau aku telah berjongkok di depan sebuah lapak yang menjual keranjang yang dianyam dari tamariska, mengamati ini dan itu. Tentu saja, aku mungkin tak perlu menggambarkan seperti apa ekspresi Adoly dasao saat ini.
Adoly dasao telah sibuk beberapa hari terakhir ini karena dia telah mendapatkan seorang murid lincah yang tidak malu untuk mengajukan banyak pertanyaan. Aku sudah tidak meninggalkan rumah dalam seminggu terakhir. Kadang-kadang, Pusydeva dan istrinya akan datang untuk mengunjungiku. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk mempelajari gaya hidup orang kuno. Aku mengikuti Adoly dasao dan belajar cara memasak, bebersih, menguleni adonan untuk membuat mi dan naan. Pada perjalanan-perjalanan waktuku yang sebelumnya, tujuanku selalu jelas. Ada terlalu banyak hal yang perlu kuteliti sehingga aku tak punya sisa waktu untuk kebutuhan hidup sehari-hari*, ditambah lagi toh selalu ada orang yang menungguiku. Namun kini karena aku telah menjadi istri Rajiva, aku harus belajar bagaimana cara untuk tetap tidak mencolok sebisa mungkin. Terlebih lagi, keinginanku untuk berasimilasi ke dalam gaya hidup kuno sangatlah kuat, jadi aku bertekad untuk mempelajari semua pengetahuan dan keahlian yang seharusnya dimiliki oleh seorang wanita di masa ini. Aku memutuskan untuk memulainya dengan memasak, yang mana adalah salah satu keahlian terbaikku.
(T/N: 柴米油盐 (cháimǐyóuyán) – secara literal berarti kayu bakar, beras, minyak, dan garam – ekspresi ala Tiongkok untuk kebutuhan hidup sehari-hari)
Dahulu di abad ke-21, orangtuaku selalu sibuk dengan pekerjaan. Aku telah memasak untuk diriku sendiri sejak aku SMU, bergelut selangkah demi selangkah, pada akhirnya menjadi seorang koki yang cukup lumayan. Aku ingin menyiapkan makanan untuk Rajiva dan bersemangat untuk masuk ke dapur. Alhasil, aku berkutat di sekitar dapur sesiangan namun pada saat aku keluar, kepala dan wajahku kotor oleh jelaga. Untung saja ada Adoly dasao, kalau tidak aku akan telah membakar dapur hingga rata dengan tanah.
Seseorang seperti aku, yang selalu memakai microwave oven, kompor gas, dan cerobong pengisap asap, tak tahu apa yang harus dilakukan dengan tungku dari 1.650 tahun yang lalu. Melihat kalau kualinya masih tak kunjung panas juga setelah waktu yang lama, aku pun memutuskan untuk menambah beberapa potong kayu bakar. Apinya kemudian jadi terlalu tinggi dan aku tak tahu bagaimana cara untuk menyesuaikannya, karena tak ada tombol penyetel seperti pada kompor gas! Dagingnya pun terbakar gosong hingga garing. Saat menumis sayuran, karena aku tak familier dengan garam kasar di masa kuno, aku tak tahu seberapa banyak yang dibutuhkan untuk membumbui, sehingga masakannya pun berakhir dengan jadi sangat asin. Hanya sup egg drop-ku yang cukup bisa dimakan karena pada saat itu aku telah mendapatkan pelajaranku, namun tetap saja masih jauh dari tingkatanku di masa modern. Aku dibuat sedih oleh kesadaran bahwa kemampuan memasakku yang disebut-sebut bagus itu ternyata telah tergantung pada minyak, bubuk kaldu ayam, dan beragam bumbu yang telah dibuat terlebih dahulu.
Rajiva tak pernah makan malam. Dia mengikuti aturan kebiarawanan mengenai tak pernah makan setelah matahari terbenam. Namun sore itu, dia pulang ke rumah dan mendapati aku berlumuran arang dan sudah akan membuang masakannya. Dia menanyakan apa yang terjadi dan tertawa saat mendengar ceritaku, namun berkata bahwa makanan tak boleh dibuang-buang. Dia kemudian mengintruksikan kepada Adoly dasao untuk mengemasi makanan itu untuknya agar dibawa ke kuil pada keesokan harinya. Sore berikutnya, dia pulang ke rumah dengan mangkuk yang kosong. Aku begitu malu sehingga tak tahu di mana harus menyembunyikan wajauhku. Aku hanya bisa berharap dia takkan kena sakit perut. Pada saat bersamaan, diam-diam aku bertekad untuk belajar keras tentang cara memasak demi kesehatan Rajiva. Begitulah bagaimana Adoly dasao memperoleh seorang murid. Bagi Adoly dasao, pengetahuan itu cukup mendasar, namun sang murid masih dengan rendah hati dan hati-hati membuat catatan di buku tulisnya.
Setelah kami selesai berbelanja di pasar, Adoly dasao dan aku pergi dengan tangan kami penuh dengan barang, mengobrol saat kami berjalan. Begitu mencapai pintu masuk, langkah kami membeku.
Beberapa orang prajurit Lu Guang sedang bersandar di gerbang. Melihat, kami, mereka pun berdiri tegak.